Dengan alasan bahwa Tuhan sebagai Dzat yang amat sangat sakral. Maka
menggambarkan keadaan Dzat Tuhan pun manusia dianggap tidak akan mampu
dan akan menemui kesalahan persepsi, yang dianggap beresiko dapat
membelokkan pemahaman. Hal itu wajar karena menggambarkan Tuhan secara
vulgar dapat mengakibatkan konsekuensi buruk. Tidak menutup kemungkinan
akan terjadi “pembendaan” Tuhan sebagai upaya manusia mengkonstruksi
imajinasinya secara konkrit.
PIJAKAN SASMITA
Dzat adalah mutlak, Jumenengnya Dzat Maha Wisesa kang Langgeng Ora
Owah Gingsir, dalam bahasa Timteng lazimnya disebut Qadim, yang azali abadi.
Kalimat ini mempunyai maksud berdirinya “sesuatu tanpa nama” yang ada,
mandiri dan paling berkuasa, mengatasi jagad raya sejak masih awang-uwung.
Di sebut maha kuasa artinya, Dzat yang tanpa wujud, berada merasuk ke dalam
energi hidup kita. Tetapi banyak yang tidak mengerti dan memahami, karena
keber-ada-annya lebih-lebih samar, tanpa arah tanpa papan (gigiring punglu),
tanpa teman, tanpa rupa, sepi dari bau, warna, rupa, bersifat elok, bukan laki-laki
bukan perempuan, bukan banci.
Dzat merupakan sumber dari segala sumber adanya jagad raya seisinya.
Retasan dari Dzat Yang Mahasuci dalam mewujud makhluk ciptaanNya, dapat
digambarkan dalam alur yang bersifat hirarkhis sebagai berikut;
3. Cahaya dan teja, nur, nurullah; pancaran lebih konkrit dari kayun. Teja
menjadi perwujudan segala yang hidup, karena “disinari” kekuasaan atma
sejati. Dilambangkan sebagai tunjung tanpo telogo, bunga teratai yang hidup
tanpa air. Berbeda dengan api, cahaya tidak memerlukan bahan bakar.
Cahaya mewujud sebagai hakikat pancaran dari yang hidup. Di dalam
cahaya tidak ada unsur api (nafsu) maka hakikat cahaya adalah jenjem-
jinem, ketenangan sejati, suci, tidak punya rasa punya. Hakikatnya hanyalah
sujud/manembah yang digerakkan oleh energi hidup/kayun, yakni untuk
manembah kepada Dzat yang Mahasuci. Dalam martabatnya disebut
takyunsani, kenyataan mewujud yang pertama. Ruh yang mencapai
kamulyan sejati, di dalam alam ruh kembali pada hakikat cahaya. Sebagai
sifat hakekat “malaikat”.
4. Rahsa, rasa, sir, sirullah; sebagai perwujudan lebih nyata dari cahaya.
5. Roh, nyawa, sukma, ruh, ruhullah. Sebagai perwujudan dari hakekat rasa.
Sebab dari terpancarnya rasa sejati, diumpamakan sebagai tapaking kuntul
nglayang. Artinya, eksistensi maya yang tidak terdapat bekas, maka di dalam
martabat disebut sebagai akyankarijiyah. Rasa yang sesungguhnya, keluar
dalam bentuk kenyataan maya. Karena ruh diliputi rahsa, wujud ruh adalah
eksistensi yang mempunyai rasa dan kehendak, yakni kareping rahsa;
kehendak rasa. Tugas ruh sejati adalah mengikuti kareping rahsa atau
kehendak rasa, bukan sebaliknya mengikuti rasanya kehendak (nafsu). Ruh
sejati/roh suci/ruhul kuddus harus menundukkan nafsu.
6. Nepsu, angkara, sebagai wujud derivasi dari roh, yang terpancar dari sinar
sukma sejati. Hakikat nafsu dilambangkan sebagai latu murup ing telenging
samudra. Nafsu merupakan setitik kekuatan “nyalanya api” di dalam air
samudra yang sangat luas. Artinya, nafsu dapat menjadi sumber
keburukan/angkara (nila setitik) yang dapat “menyala” di dalam dinginnya air
samudra/sukma sejati nan suci (rusak susu sebelanga). Disebut pula sebagai
akyanmukawiyah, (nafsu) sebagai kenyataan yang “hidup” dalam
eksistensinya. Paradoks dari tugas roh, apabila nafsu lah yang menundukkan
roh, maka manusia hanya menjadi “tumpukan sampah” atau hawa nafsu
angkara. Mengikuti rasanya keinginan (rahsaning karep).
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa manusia memiliki dua kutub yang saling
bertentangan. Di satu sisi, kutub badan kasar atau jasad yang menyelimuti akal
budi sekaligus nafsu angkara. Jasad (fisik) juga merupakan tempat
bersarangnya badan halus/astral/ruh (metafisik), di lain sisi. Manusia
diumpamakan berdiri di persimpangan jalan. Tugas manusia adalah memilih
jalan mana yang akan dilalui. Tuhan menciptakan SEMUA RUMUS (kodrat)
sebagai rambu-rambu manusia dalam menata hidup sejati. Masing-masing
rumus memiliki hukum sebab-akibat. Golongan manusia yang berada dalam
kodrat Tuhan adalah mereka yang menjalankan hidup sesuai rumus-rumus
Tuhan. Setiap menjalankan rumus Tuhan akan mendapatkan “akibat” berupa
kemuliaan hidup, sebaliknya pengingkaran terhadap rumus akan mendapatkan
“akibat” buruk (dosa) sebagai konsekuensinya. Misalnya; siapa menanam;
mengetam. Rajin pangkal pandai. (lihat dalam Wirayat Laksita Jati).