Anda di halaman 1dari 41

RESPONSI KASUS RHEUMATOLOGI

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Oleh: Ganang Dwi Cahya Inneke Kusuma Basuki Royan Mechi Varendra Agnes Wanda Suwanto 0810710048 0810713070 0810713049 0810713044

Pembimbing: Dr. dr. BP Putra Suryana, Sp.PD-KR

Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univarsitas Brawijaya Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang 2012

BAB I PENDAHULUAN Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit inflamasi kronis akibat autoimun yang menyerang berbagai sistem dalam tubuh, di antaranya kulit, sendi, ginjal, paru- paru, dan sistem syaraf. Pada SLE, tubuh memproduksi autoantibody untuk melawan autoantigen sehingga membentuk kompleks imun yang dapat terdeposit pada seluruh organ dalam tubuh. SLE merupakan kelainan autoimun dengan broad spectrum presentasi klinis. Karena bisa didapatkan bermacam- macam tanda dan gejala yang menyerupai penyakit lain, penyakit ini disebut sebagai The Great Imitator (Ginzler and Tayar, 2008). Penyakit ini sembilan kali lebih banyak menyerang wanita dibanding lakilaki dengan onset usia awal 40 tahun. Ras etnis seperti Afrika dan Asia memiliki resiko lebih tinggi menderita SLE dibandingkan dengan ras Kaukasia. Insiden tahunan SLE di Eropa bervariasi sekitas 3,3 kasus dalam 100.000 populasi dengan prevalensi tertinggi di Swedia yaitu sebesar 39 kasus per 100.000 populasi. Di Amerika Serikat, didapatkan insiden bervariasi sebesar 1,8 hingga 7,6 kasus dalam 100.000 populasi setiap tahun. Prevalensi bervariasi antara 14,6 hingga 50 kasus dalam 100.000 populasi. Prevalensi dan Insiden SLE di Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan (Cervera et al., 2009). Jadi, prevalensi terjadinya SLE secara luas di seluruh dunia berkisar mulai dari 14 sampai 172 kasus per 100.000 orang dengan insiden tahunan berkisar mulai dari 1,8 sampai 7,6 kasus per 100.000 (Wallace, 2008). Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar tahun 1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk kupu- kupu, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala (lupus adalah kata dari bahasa Latin yang berarti serigala). Lupus discoid adalah nama yang sekarang diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit. SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang etiologinya tidak diketahui. SLE dapat bervariasi dari suatu gangguan ringan sampai suatu gangguan yang bersifat fulminan dan mematikan. Namun demikian, keadaan yang paling sering ditemukan adalah keadaan eksaserbasi

atau hampir remisi yang berlangsung dalam waktu yang lama. Identifikasi dan penatalaksanaan dini SLE biasanya dapat memberikan prognosis yang lebih baik karena prognosis SLE bergantung pada keparahan gejala, organ- organ yang terkena, dan lama waktu remisi dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan, sedangkan penatalaksanaan hanya untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh mana gejala- gejala ini dapat diatasi. Insiden herpes zoster ditentukan pada pasien dengan lupus eritematosus sistemik (SLE) dan seluler dan humoral kekebalan terhadap varicella-zoster virus (VZV) survei di 45 dari 92 pasien. Insiden herpes zoster adalah tinggi, terjadi pada 40 pasien (43%), meskipun itu jinak di semua. Pasien dengan SLE yang memiliki zoster menunjukkan antibodi secara signifikan lebih tinggi dari pada pasien SLE pada umumnya. Tingginya insiden zoster pada pasien dengan SLE adalah mungkin karena cacat pada imunitas seluler sekuritas dan antibodi normal atau meningkat VZV tidak akan bertindak sebagai tindakan pencegahan terhadap herpes zoster. Selain itu, reaktivasi VZV, gejala atau tidak, sering tampak terjadi pada pasien dengan SLE. Herpes zoster, suatu bentuk infeksi berulang varicella-zoster virus (VZV), sering dapat mengembangkan dalam 2 subyek lansia dan immunocompromised host. Ini termasuk pasien keganasan, khususnya lymphoproliferative penyakit, dan beberapa jenis autoimun penyakit, seperti systemic lupus erythematosus (SLE). 15 Penindasan imunitas seluler telah terlibat dalam patogenesis VZV reaktivasi, herpes zoster, untuk berulang VZV infeksi pada pasien dengan antibodi terhadap tujuh VZV.4 Imunologi studi pasien dengan SLE menunjukkan hipersensitivitas tertunda cacat Reaksi " dan immunlity humoral hiperaktif. 12 Jan kortikosteroid atau imunosupresif Pengobatan untuk SLE, atau keduanya, dapat menyebabkan pengurangan lebih lanjut dari perlawanan tuan rumah untuk infeksi. 13 14 Hubungan antara herpes zoster dengan SLE belum sepenuhnya diselidiki, Namun, dan ada beberapa laporan mengenai hal ini. Dalam '9 kami Mengamati 10 tahun pasien dengan Kami mencatat bahwa herpes zoster terjadi pada pasien dengan SLE lebih sering daripada tidak diharapkan. Kami melaporkan di sini kejadian zoster pada pasien dengan SLE, dan efek imunologi status patogenesis herpes zoster dibahas.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Systemic Lupus Erythemathosus (SLE) merupakan penyakit multisistem dimana etiologinya masih belum diketahui dengan pasti. Pendapat paling kuat SLE merupakan suatu penyakit autoimun kronis dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding autoantibodi dan kompleks imun yang berhubungan dengan autoantibodi terhadap komponen inti sel (antinuclear antibodies [ANA]). SLE ditandai dengan inflamasi multi sistem. Pada keadaan awal, sering sukar dikenali sebagai SLE, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Manifestasi klinis bervariasi dari gejala ringan sampai gejala yang mengancam nyawa, selain itu, dapat muncul eksaserbasi akut maupun kronis. Pasien dengan SLE memiliki kelainan sistem imun humoral dan seluler. (Isbagio, 2008)

2.2 Epidemiologi dan Prevalensi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit rematik utama di dunia. Prevalensi pada berbagai negara bervariasi antara 2,9/100.000 400/100.000. SLE dapat terjadi pada semua usia, pada umumnya antara 15 sampai 40 tahun. Penyakit ini lebih sering menyerang wanita, dengan perbandingan rasio wanita : pria 9 : 1 pada dewasa. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi. Estimasi prevalensi SLE di Indonesia 0,4-0,5%, yaitu sekitar 1,3 juta penduduk Indonesia. Pada lupus eritematosus yang diinduksi obat, rasionya lebih rendah 3 : 2. Insiden di Yogyakarta antara tahun 1983 1986 perawatan. (Velazquez, 2002) adalah 10,1/10.000 perawatan. Di Jakarta, antara tahun 1988 1990, sebesar 37,7/10.000

2.3 Etiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Penyebab SLE masih belum diketahui. Beberapa faktor diantaranya genetik, hormonal, sistem imun dan lingkungan mungkin berperan. (Hochberg, 1993) Ada kemungkinan penyakit autoimun ini dapat diturunkan pada kembar monozigot dan keturunan pertama. SLE dihubungkan dengan HLA-DR2 dan DR3. Defisiensi C4 dan C1q/r/s menyebabkan lebih rentannya seseorang terkena penyakit ini. Fakta bahwa SLE lebih sering pada wanita di usia belia menunjukkan adanya peran hormonal. Selain itu, ditemukan hiperaktivitas limfosit B dan T serta defek regulasi sistem imun. Paparan sinar ultraviolet juga meningkatkan aktivitas penyakit pada banyak pasien. Kerusakan jaringan disebabkan karena auto antibodi (misalnya antibodi yang menempel pada antigen permukaan sel yang menyebabkan sitopenia), selain itu karena deposisi kompleks imun dengan aktivasi komplemen (seperti pada Glomerulo Nephritis), juga karena trombosis karena antibodi anti fosfolipid. (Hahn, 2010) Onset terjadinya SLE sangat bervariasi. Gejala awal pada umumnya tidak spesifik (misalnya lelah, malaise, athralgia atau arthritis, serta demam). Manifestasi yang cukup parah (misalnya kejang atau disfungsi renal) biasanya terjadi pada 5 tahun pertama setelah diagnosis atau muncul saat onset penyakit dimulai. (Velazquez, 2002) Tanda dan gejala pada pasien SLE dapat disebabkan karena SLE itu sendiri, efek samping pengobatan, atau keluhan yang tidak berhubungan, yaitu : 1. Gejala Umum : Lelah, hampir terjadi pada semua pasien SLE. Hal ini dapat disebabkan anemia, infeksi, terapi, atau fibromyalgia. Sering disertai penurunan berat badan dan demam mencapai 41 0C. Sering juga ditemukan limfadenopati yang meningkat seiring eksaserbasi penyakit. (Isbagio, 2008) 2. Gejala Muskuloskeletal : Athralgia dan arthritis merupakan manifestasi tersering dari SLE. Arthritis dapat menyerang semua sendi dan simetris, misalnya sendi tangan, lutut dan pergelangan tangan. Deformitas swan neck dan boutonniere dapat ditemukan. Nekrosis avaskular (AVN) menyebabkan kecacatan pada SLE lanjut dan mengenai pinggul, bahu, dan lutut. Penggunaan kortikosteroid

merupakan faktor resiko terjadinya AVN. Selain itu juga terjadi osteoporosis dan memburuk dengan penggunaan steroid. Myositis jarang terjadi, namun dapat terjadi karena kortikosteroid dan hidroksiklorokuin. Fibromyalgia juga ditemukan pada SLE. (Isbagio, 2008) 3. Gejala Mukokutaneus : Pasien mengalami fotosensitif dengan manifestasi di kulit dan sistemik karena sinar matahari. Terdapat tanda klasik butterfly rash yang terdistribusi malar namun tidak di lipatan nasolabial. Lesi lainnya dapat berupa diskoid LE, sub acute cutaneous lupus erythematosus, lupus profundus/paniculitis, alopesia, eritema periungual, livedo retikularis, teleangiektasis, fenomena Raynauds / vaskulitis / bercak yang menonjol berwarna putih perak atau bercak eritematus pada palatum molle dan palatum durum, bercak atrofis, eritema, atau depigmentasi pada bibir. (Myers, 2001) 4. Manifestasi Paru : Pasien dapat mengalami penumonitis, emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau shrinking lung syndrome. Pasien akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Hal ini disebabkan deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis maupun tidak. Manifestasi yang sering adalah pleuritis dengan atau tanpa efusi pleura. Jika manifestasi ini ringan maka akan berespon terhadap terapi NSAID, jika lebih parah maka pasien memerlukan terapi glukokortikoid. Infiltrat pada paru juga merupakan manifestasi yang muncul, yang sulit dibedakan dengan infeksi pada pemeriksaan radiologis. Manifestasi SLE pulmonal yang mengancam jiwa antara lain, yaitu inflammasi interstitial, yang bisa mengarah pada fibrosis dan perdarahan intraalveolar. Keduanya memerlukan pengobatan imunosupressi agresif dan terapi suportif segera setelah onset. (Hahn, 2010) 5. Manifestasi Renal : Nefritis adalah manifestasi klinis yang paling serius karena bersama dengan infeksi. Nefritis asimptomatik pada kebanyakan pasien lupus, oleh karena itu urinalisis harus dilakukan pada setiap pasien yang dicurigai menderita SLE. Klasifikasi lupus nefritis didasarkan pada gambaran histologisnya. Pasien dengan

bentuk kerusakan glomerolus yang proliferatif, biasanya menunjukkan gambaran mikroskopik hematuria dan proteinuria (>500 mg/24 jam), sekitar setengahnya berkembang menjadi sindroma nefrotik dan kebanyakan berkembang menjadi hipertensi. Oleh karena itu, immunosupresif aggresif (glukokortikoid sistemik ditambah dengan obat sitotoksik) diindikasikan, kecuali sudah irreversibel. Beberapa pasien dengan proteinuria mempunyai perubahan glomerular membranous tanpa proliferasi pada biopsi ginjal memberikan prognosis yang lebih baik daripada DPGN. Lupus nefritis bisa terus berkembang dan memerlukan terapi kembali jika kambuh. Pada kebanyakan pasien dengan lupus nefritis, percepatan atherosklerosis bisa memberikan manifestasi seperti hipertensi, hiperlipidemia, dan hiperglikemia setelah beberapa tahun. (Isbagio, 2008) 6. Manifestasi CNS : Banyak manifestasi klinis yang berhubungan dengan CNS pada pasien dengan SLE, pada beberapa pasien menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas. Jika keluhan berhubungan dengan SLE maka harus dibedakan apakah keluhan tersebut berhubungan dengan proses difus atau penyakit oklusi vaskular. Gejala yang paling sering muncul adalah gangguan kognitif, dengan muncul gangguan pada memori dan penalaran. Sakit kepala juga mungkin muncul mulai dari migrain, tension headache sampai vertigo. Gejala CNS lain yang mungkin muncul pada pasien SLE adalah seizure, psikosis, dan myelopati. Pemberian glukokortikoid dosis tinggi direkomendasikan dan dimulai dari beberapa jam sampai beberapa hari sejak onset. (Isbagio, 2008) 7. Manifestasi Vaskuler : TIA, stroke, dan infark myokard meningkat pada pasien SLE. Kejadian ini berhubungan dengan adanya antibodi phospholipid (aPL). Tes untuk aPL dan pencarian terhadap sumber emboli perlu dilakukan untuk mengetahui intensitas dan durasi terapi anti-inflammasi dan antikoagulan. Iskemik otak bisa disebabkan oleh oklusi fokal atau embolisasi dari plak arteri karotis atau fibrin dari Libman-Sachs endocarditis. Pada SLE, infark myokard adalah manifestasi utama atherosklerosis yang cepat. Peningkatan kejadian yang berhubungan dengan vaskular dan atherosklerosis ini

dihubungkan dengan umur tua, hipertensi, dislipidemia, aPL, aktivitas penyakit yang berulang, dan akumulasi tinggi glukokortikoid. Jika kejadian ini akibat dari clotting maka penggunaan antikoagulan jangka panjang merupakan terapi pilihan. Kedua proses oklusi dan vaskulitis dapat terjadi bersamaan sehingga memerlukan terapi yang tepat dengan antikoagulan dan imunosuppresan. (Hahn, 2010) 8. Manifestasi Jantung : yang paling sering adalah pericarditis yang biasanya berespon terhadap terapi antiinflammasi dan jarang menjadi tamponade jantung. Manifestasi yang lebih serius yaitu myokarditis dan fibrinous endokarditis (Libman-Sachs). Keterlibatan endokard bisa menyebabkan insufisiensi katup, umumnya katup mitral atau aorta dan juga bisa terjadi embolus. Belum terbukti penggunaan glukokortikoid atau terapi imunosuppresan lain berguna dalam perbaikan lupus myokarditis atau endokarditis, tapi biasa digunakan steroid dosis tinggi untuk gagal jantung, aritmia, dan kejadian emboli. Pasien SLE mempunyai resiko lebih tinggi terkena infark myokard akibat atherosklerosis. (Hahn, 2010) 9. Manifestasi Hematologi : berupa anemia, biasanya normokhrom normositer, yang merefleksikan penyakit kronis. Hemolisis bisa muncul dengan onset yang cepat dan parah, memerlukan terapi glukokortikoid dosis tinggi, yang efektif untuk kebanyakan pasien. Leukopenia sering juga muncul dan umumnya disertai dengan lymphopenia, bukan granulositopenia, jarang sebagai predisposisi infeksi dan jarang memerlukan terapi. Thrombositopenia juga bisa muncul. Jika kadar thrombosit > 40.000/L dan tidak ada perdarahan abnormal maka terapi tidak diperlukan. Dosis tinggi glukokortikoid (prednison 1 mg/kgBB perhari ato ekuivalen) biasanya efektif untuk beberapa episode pertama trombositopenia yang parah. (Isbagio, 2008) 10. Manifstasi Saluran Pencernaan : mual kadang disertai muntah dan diare dapat bermanifestasi pada pasien SLE, begitu juga dengan nyeri abdomen difus yang disebabkan oleh autoimun peritonitis. Peningkatan serum AST dan ALT biasa muncul pada pasien dengan SLE aktif. Manifestasi ini bisa membaik dengan pemberian terapi

glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang terjadi di usus kecil mungkin bisa menyebabkan ancaman nyawa karena bisa menyebabkan perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis. Glukokortikoid dosis tinggi sebagai terapi (Isbagio, 2008) 11. Manifestasi Penglihatan : Sindrom Sicca (Sindrom Sjorgen) dan konjungtivitis non spesifik umumnya muncul pada SLE dan jarang menyebabkan gangguan penglihatan. Kebutaan bisa terjadi dalam hitungan hari atau minggu jika terjadi vaskulitis retina dan neuritis perifer. Terapi imunosupresi agresif harus segera direkomendasikan walaupun belum ada penelitian yang membuktikan keefektifitasannya. Efek samping pengobatan dengan glukokortikoid yang sering adalah katarak dan glaukoma. (Hahn, 2010) imunosupressan agresif direkomendasikan untuk kontrol jarak pendek, jika rekuren maka diperlukan terapi tambahan.

2.4. Klasifikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Menurut Myers SA and Mary (2001), lupus eritematosus dibagi ke dalam 4 kategori (Hahn, 2010), yaitu: 1. Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE), dibagi lagi ke dalam 2 subtipe : a. Discoid Lupus Erythematosus (DLE) 1) Palmar-palmar Lupus Erythematosus 2) Oral Discoid lupus Erythematosus 3) Lupus Erythematosus panniculitis b. Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE) 2. Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE) 3. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 4. Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)

Sedangkan, menurut European Assosiation of Oral Medicine (2005) lupus eritematosus diklasifikasikan menjadi: 1. Discoid Lupus Erythematosus (DLE) 2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 3. Bullous form (BLE) 4. Neonatal form (NLE) 5. Acute Cutaneous form (ACLE) 6. Subacute Cutaneous form (SCLE) 7. Chronic Cutaneous form (CCLE) 8. Childhood onset (CSLE) 9. Drug Induced (DILE)

2.5 Diagnosis Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Kriteria diagnosis Systemic Lupus Erythematous adalah beberapa gejala pada tabel berikut, (Velazquez, 2002): Tabel 1. Kriteria klinis untuk diagnosis SLE No 1 Gejala Malar Rash (Butterfly rash) Adanya eritema Pengertian berbatas tegas, datar atau

meninggi pada wilayah pipi dan sekitar hidung (wilayah malar) 2 Discoid rash Bercak eritematous meninggi sirkuler disertai dengan lapisan keratotik. Dapat terbentuk jaringan parut dan atropi. 3 Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat

menimbulkan bercak-bercak

10

Ulkus oral

Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan

Arthritis

Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi

Serositis

Pleurits atau pericarditis yang ditemukan melalui ECG atau bukti adanya efusi pleura

Gangguan Ginjal

Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atas serpihan seluler

8 9 10 11

Gangguan Neurologis Gangguan Hematologis Gangguan Imunologis Antibodi Antinuklear

Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas Anemia atau leucopenia hemolytic (<4000/l)> Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipid Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANA sebelumnya.

Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya autoantibodi. Kriteria ini bertujuan untuk mengkonfirmasi diagnosis SLE pada pasien yang termasuk dalam suatu penelitian; penyusun penilitian menggunakan kriteria ini pada beberapa individu untuk menilai kecenderungan terjadinya SLE. Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam riwayat medis pasien, membuat pasien cenderung memiliki SLE (spesifitas dan sensitivitas secara berurutan 95% dan 75%). Pada beberapa pasien, gejala semakin b dalam selang waktu tertentu. Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien selama perjalanan penyakit; pemeriksaan ANA berulang yang negative menandakan diagnosisnya bukan SLE, kecuali jika autoantibodi lainnya ditemukan. Antibodi IgG dengan jumlah banyak pada DNA dan antibodi pada antigen Sm spesifik untuk SLE dan mendukung diagnosis terutama dengan keberadaan gejala klinis. Keberadaan beberapa autoantibodi pada seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya tidak didiagnosis SLE, walaupun pada orang

11

tersebut terjadi peningkatan resiko karena SLE secara klinis terjadi pada pasien setelah beberapa tahun ditemukannya autoantibodi. (Isbagio, 2008)

2.6 Pemeriksaan Laboratorium untuk SLE Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk (Wallace, 1997): 1) penegakkan atau menyingkirkan suatu diagnosis : 2) untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ; 3) untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.

2.6.1 Pemeriksaan Autoantibodi Secara diagnostik, antibodi yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibodi lainnya (anti-Ro atau antiDNA). Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (double-strand DNA) spesifik untuk SLE. Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi. (Hahn, 2010)

2.6.2 Pemeriksaan Standar untuk Diagnosis Pemeriksaan skrining dapat dengan pemeriksaan darah lengkap, hitung platelet, dan urinalisis dapat mendeteksi abnormalitas yang berperan terhadap diagnosis dan mempengaruhi keputusan penatalaksanaan. (Velazquez, 2002)

12

2.6.3 Pemeriksaan untuk Menilai Perkembangan Penyakit Sangat berguna untuk mengikuti hasil pemeriksaan yang

mengindikasikan status dari keterlibatan organ yang diketahui keberadaannya saat serangan SLE berlangsung. Pemeriksaan mencakup kadar hemoglobin, platelet, urinalysis, dan kadar kreatinin atau albumin serum. Terdapat minat yang tinggi dari identifikasi marker tambahan lainnya untuk menilai aktivitas penyakit. Kandidat marker termasuk kadar antibodi anti-DNA, beberapa komponen komplemen (C3 tersedia luas), produk komplemen teraktifasi (termasuk yang berikatan dengan reseptor C4d pada eritrosit), gen penginduksi IFN, IL-2, dan adiponektin urin atau monosit kemotaktik protein.1. Tidak ada yang disetujui sebagai indikator terpercaya pada serangan atau respon dari intervensi. Dokter sebaiknya menginformasikan kepada tiap pasien pemeriksaan laboratorium yang berubah dapat memprediksi serangan. Jika terjadi, perubahan terapi berespon dengan perubahan hasil laboratorium dapat mencegah suatu serangan. (Isbagio, 2008)

2.7 Penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi. Sehingga dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang berat dan mencegah kerusakan organ. Biasanya pasien akan mengalami beberapa efek samping pada medikasi. Pilihan terapi bergantung pada manifestasi penyakit, kerusakan organ, reversible atau tidak, dan pencegahan komplikasi penyakit. Selain itu diperlukan edukasi mengenai penyakit SLE, tipe dari penyakit ini, masalah fisik yang akan terganggu, masalah psikologis, pemakaian obat dalam jangka waktu lama, dan sumber informasi dimana pasien dapat lebih mengetahui tentang penyakit SLE. (Hahn, 2010)

2.8.1 Terapi Konservatif untuk Penanganan Keadaan yang Tidak Membahayakan Nyawa

13

Pada pasien dengan letih, nyeri, dan adanya autoantibodi untuk SLE, namun tidak disertai dengan keterlibatan pada organ utama, penatalaksanaan diarahkan untuk menekan gejala. Analgesik dan antimalaria merupakan yang sering digunakan. NSAID merupakan analgesic/antiinflamasi yang bermanfaat, terutama untuk arthritis/arthralgia. Namun 2 masalah penting dalam pemakaian NSAIDs. Pertama, pasien SLE dibandingkan dengan populasi pada umumnya memiliki peningkatan resiko terjadinya meningitis aseptic terinduksi NSAID, peningkatan serum transaminase, hipertensi, dan disfungsi renal. (Isbagio, 2008) Yang kedua, semua jenis NSAIDs, terutama yang mencegah

siklooksigenase-2 secara spesifik, dapat meningkatkan resiko untuk infark myokard. Acetaminophen untuk mengendalikan nyeri mungkin strategi yang baik, namun NSAIDs dapat lebih efektif pada beberapa pasien, dan perbandingan antara bahaya pada NSAID dengan kortikosteroid belum diketahui. Antimalaria (hydroxychloroquine, chloroquine, and quinacrine) dapat meringankan dermatitis, arthritis, dan keletihan. Obat ini juga dapat menurunkan kerusakan jaringan. Karena potensi toksik pada retina, pasien yang mendapatkan antimalaria sebaiknya menjalani pemeriksaan ophtalmologi paling tidak tiap tahun. Jika kualitas hidup belum cukup membaik dengan pemberian terapi konservatif ini, maka dosis glukokortikoid sistemik mungkin diperlukan. (Isbagio, 2008)

2.8.2 SLE Membahayakan Nyawa : Bentuk Proliferative dari Lupus Nephritis Penanganan utama untuk semua manifestasi inflamasi yang

membahayakan nyawa atau organ pada SLE adalah glukokortikoid sistemik (0.52 mg/kg per hari PO atau 1000 mg methylprednisolone sodium succinate IV harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.51 mg/kg prednisone per hari). Bukti bahwa terapi glukokortikoid menyelamatkan nyawa disimpulkan dari suatu penelitian retrospektif; harapan hidup lebih baik pada pasien yang disembuhkan dengan glukokortikoid dosis tinggi (4060 mg prednisone harian selama 4-6 bulan) dibandingkan dengan dosis yang lebih rendah. Saat ini, dosis tinggi direkomendasikan untuk jangka waktu yang lebih singkat; penelitian terkini pada intervensi SLE berat membutuhkan 4-6 minggu dari dosis tersebut. Setelah itu,

14

dosis ditappering-off jika keadaan klinis mengizinkan, biasanya hingga dosis maintenance mulai dari 5 hingga 10 mg prednisone per hari atau 10 hingga 20 mg tiap 2 hari. (Isbagio, 2008) Kebanyakan pasien dengan episode SLE berat membutuhkan terapi maintenance ini untuk beberapa tahun, dimana dosisnya dapa ditingkatkan untuk mencegah atau mengobati serangan. Penelitian prospektif pada lupus nephritis menunjukkan bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi melalui intravena (Methylprednisolone 1000 mg/hari selama 3 hari) lebih mempersingkat waktu penyembuhan dibandingkan dengan pemberian oral namun tidak lebih baik dalam memperbaiki fungsi ginjal. Pendekatan ini harus dipertimbangkan tingkat keamanannya, seperti keberadaan efek samping yang disebabkan glukokortikoid (infeksi, hyperglycemia, hipertensi, osteoporosis, dan lainnya) (Hahn, 2010). Agen immunosupresif/sitotoksik yang diberikan dengan glukokortikoid direkomendasikan untuk mengatasi SLE yang berat. Kebanyakan penelitian prospektif pada SLE melibatkan agen sitotoksik telah dilakukan pada pasien dengan lupus nephritis, dan selalu dengan kombinasi bersama glukokortikoid. Sehingga, pemberiannya direkomendasikan untuk mengatasi nephritis. Penelitian jangka pendek terhadap glukokortikoid disertai mycophenolate mofetil menunjukkan bahwa regimen ini lebih aman dan tidak lebih jelek daripada siklophosphamide dalam mempertahankan perbaikan setelah 6 bulan fase induksi. Jika siklophosphamide digunakan, dosis yang direkomendasikan adalah 500-700 mg/m2 secara intravena, setiap bulan selama 3 hingga 6 bulan, kemudian pemberiannya dihentikan dan melanjutkannya dengan mycophenolate atau azathioprin. (Isbagio, 2008) Penelitian di Eropa menyimpulkam bahwa siklophosphamide dengan dosis 500 mg tiap 2 minggu untuk 6 dosis sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama yang direkomendasikan sebelumnya, selama masa 5-7 tahun. Siklophosphamide dan mycophenolate mulai berespon setelah 3-16 minggu terapi dimulai, dimana glukokortikoid berespon dalam waktu 24 jam pertama. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang tinggi [misal, 265 mol/L (3,0 mg/dL)] selama beberapa bulan dan angka kronisitas pada biopsy renal sepertinya tidak berspon dengan baik. Efek samping siklophosphamide

15

yang memiliki angka tinggi kejadian kegagalan ovarium dan testis seiring dengan akumulasi dosis obat yang meningkat, mual dan malaise yang sering mengikuti tiap dosis IV adalah alopesia dan infeksi oportunis. (Isbagio, 2008) Karena glukokortikoid disertai dengan siklophosphamide memiliki efek samping dan sering tidak disukai oleh pasien, telah dilakukan penelitian terhadap terapi yang kurang toksik; hal ini mengarah kepada penelitian terkini serta penggunaan glukokortikoid. mycophenolate. Azathioprine disertai dengan glukokotikoid kemungkinan mengurangi angka serangan SLE dan menjaga kebutuhan dosis

BAB 3 LAPORAN KASUS

16

Nama Umur Status Alamat Suku Pendidikan Pekerjaan

: Khoiro Insiyah : 39 th : Kawin :Jl. Tejowangi RT:04/02, Purwosari Pasuruan :Jawa :SMP :Wiraswasta

Jenis kelamin : Perempuan

3.1 Anamnesa Keluhan utama: Mual muntah Pasien datang dengan keluhan mual muntah sejak 2 minggu yang lalu. Rasa mual teraasa terus menerus sepanjang hari. Muntah dialami pasien setiap kali pasien makan 2-3 sendok dengan isi munthan sesuai yang dimakan dan volume muntahan sesuai dengan yang dimakan. Muntah disertai rasa panas pada daerah ulu hati serta rasa kaku pada perut seperti kram. Pasien juga mengeluhkan bintik-bintik merah pada daerah payudara kiri sampai ke punggung kiri sejak 10 hari yang lalu. Awalnya timbul hanya bintikbintik merah yang kemudian membesar menonjol berisi air, terasa nyeri terus menerus terutama bila disentuh, dan tidak berkurang walaupun sudah diberi salep acyclovir yang dipakai sejak 2 hari yang lalu dan dioleskan 2 kali sehari. Pasien juga mengeluh pusing sejak 2 hai yang lalu. Pusing terasa sepanjang hari berkurang bila minum paracetamol. Pusing terasa di seluruh kepala namun terasa lebih nyeri pada daerah kedua alis. Pasien mengeluh penglihatan kabur sejak 5-6 bulan yang lalu. Rasa kabur terutama pada siang hari dan berkurang pada malam hari. Pasien mengatakan bahwa dirinya terdiagnosa SLE sejak bulan Maret 2008. Rekam Medis pasien, 27 Juli 2011 Keluhan utama: pro biopsi ginjal Px mengeluh bengkak pada kaki kanan terutama sendi lutut dan pergelangan kaki sejak 3 tahun yang lalu. Pasien mengeluh bengkak bertambah parah hingga ke tangan dan jari-jari tangan 1.5 tahun yll. Pasien juga mengeluh kulit kaki mengelupas karena obat. Sebelumnya px pernah MRS di Bangil (14-16 hari) dan

17

mendapat terapi methylprednisolon. Lalu px pergi ke dokter untuk control dan mendapat pengobatan hexylon dan cellebex. Px juga pernah MRS karena bengkak di RSSA 8 bln yll, dan pernah MRS karena diare 2 bln yll. Sekarang Px diberi terapi methylprednisolon, fuosemide, dan captopril. Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa. Riwayat DM (-). 3.2 Pemeriksaan fisik General appearance looked moderately ill TD = 120/90 mmHg Head Anemic edema periorbitaNeck Thorax cor JVP R + 1 cm in 300 Invisible, Palpable at ICS V MCL S, RHM in SL D LHM as ictus S1 S2 single, murmur systolic (-) lung I:Simetric, P: SF D = S v v Rh - v v v v Kulit - -Wh - --HR = 102 bpm regular RR = 22 tpm Icteric Rash + pada daerah wajah. Tax = 37.10C GCS E4 V5 M6

Terdapat lesi macula, bulae, erosi dan krustae bergerombol setinggi torakal 4-6, bulla punggung kiri. meluas dari thoraks kiri ke

Abdomen

Flat, soefl,, BU (+) normal, liver span 8 cm, troube space tymphani

18

Extremitie s

Anemis (-), icterik (-), arthritis paa kedua lutut dan jari-jari tangan, Edema (+) pada kedua tungka kaki D/S

3.3 Pemeriksaan Laboratorium Lab Leukocyte Hemoglobin MCV MCH PCV Trombocyte SGOT SGPT Value 4720 13.10 94 31.30 39.30 180000 26 16 350010000/L 11.016.5g/dl 80-97H um3 26.5-33.5H pg 35-50% 150000390000/L 11-41U/L 10-41U/L Lab RBS Ureum Creatinine Albumine Na K Cl ANA Test ds DNA Value 85 13.60 0.35 3,61 141 3.71 103 Positif (<200mg/dL 10-50mg/dL 0.7-1.5mg/dL 3,5-5,5
136-145Mmol / L 3.5-5.0Mmol / L 98-106Mmol / L

Urinalisis Result SG PH Leucocyte Nitrite Protein 1,020 5,5 -trace +3 10 x Epithelia Cylinder Hyaline Granular + + 0-1 Result

19

Glucose Erythrocyte

+3

Leukocyte Erythrocyte 40 x

0-1

Keton urine Urobilinogen Bilirubin Bacteria

Eritrosit Leukocyte Crystal Bact

8-10 4-6 -

20

2.2 Problem Oriented Medical Record Cue and Clue Problem List Perempuan/ 39 th Linu sendi, kemerahan di wajah, rambut rontok, fotosensitif, badan lemah, riwayat sariawan tidak nyeri, Pem. Fisik: BP 140/90. PR 84. RR 32 Tax 36,8, anemic -, malar rash +, bulae +, Lab.:Hb leukosit 4720, ANA test + Perempuan/39 th Mengeluh nyeri di daerah dada s.d punggung sejak 3 hari yang lalu. Terdapat bula sepanjang dermatome T4-T5. Awalnya hanya nyeri dan bercak kemerahan, lama2.Herpes Zooster TZank test Per oral: Acyclovir 5x 800mg tab Per Topikal: Salep acyclovir, Perbaikan Keadaan umum. Subjekti ve, VS 13.10 1. SLE IVFD NS 0.9% 20 tpm Per oral: Methylprednisolone 3x4 mg Paracetamol 500 mg IDx PDx Planning Therapy Monitori ng Vital sign Keluhan DL UL

21

lama muncul bulae berisi cairan bewarna bening kemudian keruh. Perempuan/39 th Mual muntah sejak 2 minggu SMRS, mual terus menerus. Muntah setiap kali makan. Muntah disertai rasa panas di ulu hati. Lab: SGOT: 26 U/L, SGPT: 16 U/L 3.Dyspepsi a syndrome Inj. Metoclopramide 3x10 mg iv

22

BAB III PEMBAHASAN

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit multisistem dan pleiomorphic di mana terjadi inflamasi, produksi antibodi, dan deposit complement-fixing immune complex sehingga menyebabkan kerusakan pada jaringan ikat (Wallace, 2008). Penegakan diagnosis SLE terdiri dari anamnesis untuk mencari keluhan (symptom) dari pasien, pemeriksaan fisik untuk mencari gambaran klinis (sign) dari pasien, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini, dapat ditegakkan diagnosis SLE karena telah memenuhi 5 dari 11 kriteria SLE menurut American College Rheumatology (ACR). Pemenuhan kriteria SLE pada pasien ini dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Kriteria SLE menurut American College Rheumatology (ACR) dibandingkan dengan sign dan symptoms pada pasien

Kriteria SLE menurut American No. College Rheumatology 1 (ACR) Malar rash Erythema menetap, datar ataupun meninggi melewati penonjolan malar, hingga lipatan nasolabial Definisi Kriteria SLE yang ditemukan pada pasien

Pada pasien ini ditemukan gambaran erythematous membentuk gambaran kupu- kupu dengan tubuh pada basis hidung dan sayap melebar pada penonjolan malar.

Discoid rash

Ruam erithematous dengan perlekatan keratotic scalling dan plug folikulaer, lesi atrofik dapat terjadi 23

Photosensitivity

pada lesi yang lebih tua Ruam kulit sebagai reaksi dari paparan sinar matahari, didapatkan dari anamnesa ataupun pemeriksaan

Pasien mengeluhkan muncul ruam-ruam di kulit ketika terkena paparan sinar matahari dengan disertai rasa panas dan nyeri. Pada pasien ini memiliki riwayat adanya lesi oral yang dikeluhkan pasien menyerupai sariawan pada lidah sebelah kiri, berwarna putih dan tidak nyeri. Pada pasien ini mengalami nyeri sendi pada kedua lutut dengan krepitasi (+)

Oral ulcers

Ulkus oral atau nasofaring, biasanya tanpa nyeri

Arthritis

Arthritis nonerosif melibatkan dua atau lebih sendi perifer dengan karakteristik tenderness, bengkak, atau efusi a. Pleuritis : riwayat nyari peluritik dan terdengar suara gesekan (rub) atau bukti adanya efusi pleura b. Perikarditis: dapat dilihat dari EKG, terdengar suara gesekan, ataupun ditemukan efusi perikard a. Proteinuria persisten > 500mg /hari atau >3+ tanpa kuantifikasi b. Silinder selular: dapat berupa eritrosit, hemoglobin, granular,

Serositis

Renal disorder

24

Neurologic disorder

tubular, atau mixed a. Kejang: tanpa penggunaan obat yang berpengaruh atau kondisi metabolik tertentu seperti uremia, ketoasidosis, atau elektrolit imbalans b. Psikosis: tanpa penggunaan obat yang berpengaruh atau kondisi metabolik tertentu seperti uremia, ketoasidosis, ataupu imbalans elektrolit a. Anemia hemolitikdengan retikulositosis b. Leukopenia < 4000/mm3 c. Lymphopenia < 1500/m3 pada 2 atau lebih tes d. Trombositopeni <100.000 tanpa penggunaan obat-obat yang berpengaruh a. Anti DNA : antibodi terhadiap native DNA pada titer abnormal b. Anti SM: adanya antibodi terhadap SM nuklear antigen c. A ntibodi antiphospolipid positif berdasarkan (1) level

Tidak didapatkan gangguan elektrolit, uremia, ataupun penggunaan obat-obatan yang dapat memicu kejang

Hematologik Disorder

Pada pasien ini dari hasil lab didapatkan leukosit sebanyak 4720

10

Immunologic Disorder

25

serum anticariolipin antibodi IgG dan IgM abnormal, (2) hasil positif pada antikoagulasi lupus menggunakan metode standar, atau (3) tes serologis false positif untuk siphilis kurang lebih selama 6 bulan dan dikonfirmasidengan imobilisasi Trepanoma palidum atau tes absorbsi antibodi 11 ANA treponemal Titer ANA abnormal dengan imunofluoresensi tanpa penggunaan obat yang dapat menginduksi sindrom lupus Malar rash atau butterfly rash merupakan ruam klasik yang ditemukan pada pasien SLE. Pada pasien ini ditemukan gambaran erythematous membentuk gambaran kupu- kupu dengan tubuh pada basis hidung dan sayap melebar pada penonjolan malar. Ruam ini ditemukan pada 30% hingga 60% pasien dengan SLE. Ruam berbentuk kupu-kupu muncul dengan atau tanpa inisiasi paparan cahaya matahari. Kriteria photosensitif dan butterfly rash bersifat independen satu sama lain dan dapat terjadi bersama pada pasien lupus (Buyon, 2008). Pada pasien ini kriteria photosensitivity juga terpenuhi. Pasien mengeluhkan muncul ruam-ruam di kulit ketika terkena paparan sinar matahari dengan disertai rasa panas dan nyeri. Lesi mukosal merupakan salah satu bagian dari spektrum klinis SLE dan dapat mempengaruhi mulut, hidung, dan area anogenital. Lesi oral paling sering ditemukan dan dapat dilihat pada mukosa buccal dan lidah ataupun perlukaan pada palatum. Lesi ini biasanya tidak nyeri akan tetapi dapat berkembang ANA Test (+)

26

menjadi nyeri setelah terjadi depresi sentral (Buyon, 2008). Pada pasien ini didapakan riwayat adanya lesi oral yang dikeluhkan pasien menyerupai sariawan pada lidah sebelah kiri, berwarna putih dan tidak nyeri. Salah satu kriteria hematologik menurut ACR ialah leukopenia kurang dari 4000. Pada pasien ini dari hasil lab didapatkan leukosit sebanyak 4720 sehingga tidak memenuhi kriteria diagnosa SLE. Anemia dan trombositopeni juga didapatkan pada pasien ini akan tetapi belum memenuhi kriteria hematologik diagnostik SLE. Gejala konstitusional yang biasa terjadi pada penderita SLE juga didapatkan pada pasien ini. Dari anamnesis pada pasien ini didapatkan keluhan utama linu di seluruh tubuh. Rasa linu didapatkan pada banyak sendi yang sama berat antara kanan dan kiri. Gambaran arthralgi pada pasien SLE ditemukan pada 90% dari waktu perjalanan penyakit, seringkali sebagai manifestasi awal. Karakteristik athralgia antara lain poliarticular, simetris, dan episodik. tangan, siku, bahu, lutut, dan pergelangan kaki (Mahmedbasic, 2010). Sendi yang paling sering terkena adalah sendi- sendi proksimal tangan, pergelangan

27

28

Demam, rasa lelah, lemah, dan berkurangnya berat badan yang dikeluhkan pasien merupakan gejala- gejala nonspesifik dari SLE. Biasanya timbul pada awal penyakit dan dapat berulang pada perjalanan penyakit ini. Rasa lemah dan lelah bisa juga merupakan manifestasi dari anemia pada penderita SLE. Pada pasien SLE on treatment, gejala-gejala sistemik dapat muncul tiba-tiba atau lebih disebut flare. Pada pasien kami flare yang muncul meliputi: nyeri kepala (8), nyeri sendi (4), demam (1) sehingga jumlah score sledai nya adalah 13 atau bisa dikatakan flare ringan. Vasculitis dapat juga menjadi gambaran kelainan kulit pada SLE. Vasculitis dapat bermanifestasi berupa urtikaria, purpura palpabel, ulkus pada lipatan kuku atau digiti, papul eritematous pada pulp jari dan palmar, atau perdarahan splinter (Cavera et al, 2009). Pada pasien ini tidak didapatkan vaskulitis pada telapak tangan dan kaki yang tampak sebagai makula, tidak hilang jika ditekan. Anorexia, mual, muntah dapat dijumpai pada sepertiga pasien dengan SLE aktif. Manifestasi akibat SLE aktif bersifat persisten dan tidak dapat dijelaskan dengan faktor lain. Chronic intestinal pseudoobstruction (CIPO) mengakibatkan munculnya gejala di atas dan mengganggu sistem saraf enterik. Penggunaan obat- obatan seperti salicylates, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), antimalarial drugs, corticosteroids, dan cytotoxic agents juga dapat menimbulkan

29

manifestasi anorexia, mual, dan muntah. Gejala ini dapat terjadi hingga beberapa minggu setelah obat dihentikan (Hallegua & Wallace, 2007). Pemeriksaan penunjang pada pasien SLE dilakukan secara bertahap dalam 4 level. Pemeriksaan bertahap ini dibagi menjadi pemeriksaan yang dapat dilakukan secara rutin untuk melihat progresivitas dari penyakit dan pemeriksaan yang dilakukan secara spesifik. Pemeriksaan 4 tahap ini dapat dilihat pada tabel 3.2.
Tabel 3.2 Pemeriksaan 4 tahap pada pasien SLE

Level 1 (screening rutin pada semua pasien)

Pemeriksaan yang diperlukan Complete blood count untuk memeriksa ada tidaknya anemia, autoimmune hemolytic anemia, leucopenia, lymphopenia, leukocytosis, and Comprehensive metabolic profile

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien Telah dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis pada pasien ini. Didapatkan leukositopeni, anemia, trombositopeni, dan lymphopenia.

thrombocytopenia dilakukan Pada pasien ini telah pemeriksaan lipid, thyroid, liver, renal dilakukan pemeriksaan fungsi liver (SGOT dan SGPT), fungsi ginjal (ureum dan creatinine), dan lipid profile (kolesterol total, HDL, dan LDL). Didapatkan SGOT dan SGPT yang meningkat. HDL pada pasien ini menurun. Pada pasien ini telah dilakukan urinalisis. Didapatkan proteinuria, eritrosituria, dan

Urinalisis

untuk menunjukkan sediment, casts, atau ekskresi

30

protein untuk mengetahui keadaan ginjal dan memantau perkembangan Muscle enzyme penyakit Akan meningkat pada myositis

ketonuria.

Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan CPK dan didapatkan hasil CPK masih dalam batas normal. Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan CRP dan LED. Didapatkan hasil CRP dan LED masih dalam batas normal

Acute phase reactant

Acute-phase reactants seperti erythrocyte sedimentation rate dan Creactive protein meningkat pada penyakit aktif Foto thorax menggambarkan adanya efusi pleura, pleural scarring, dan perubahan pada interstitial atau alveolar

Chest radiograph

Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan foto thorax dan didapatkan infiltrat pada pulmo kanan yang menggambarkan suatu infeksi pada paru (diduga kuat suatu pneumonia) Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan EKG dan didapatkan hasil EKG yang normal.

Electrocardiogram

dapat menggambarkan adanya pericarditis atau myocarditis sebagai screening dari infarction, strain

31

patterns, atau Antinuclear Antibody arrhythmias ANA positif pada lebih dari 95% pasien SLE. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibody yang mampu menghancurkan inti dari sel tubuh sendiri. Komplemen C3 atau C4 Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan komplemen C3 atau Anti ds-DNA uji spesifik untuk SLE. C4 Pada pasien ini telah dilakukan tes pada tahun 2003, dengan 2 (readily available, inexpensive testing for selected patients) 3 (reflex panel testing to characterize nature of lupus involvement) 4 (specialized testing limited to selected clinical circumstances) PTT, 2D hand or feet cardiographs, rheumatoid factor, bone densitometry Anti extractable nuclear antigen panel, antiphospolipid panel CT or MRI, electrical studies, bone scan Tidak dilakukan pada pasien ini Tidak dilakukan pada pasien ini PTT memanjang lupus anticoagulant hasil ANA test (+) Tidak dilakukan pada pasien ini Pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan ANA test. Pasien dan keluarga pasien menolak dilakukan ANA test karena masalah biaya.

echocardiography, pada pasien

32

Anemia normokrom normositer seringkali ditemukan pada pasien SLE dengan didapatkannya level serum iron dan iron binding capacity yang rendah. Abnormalitas ini dikaitkan dengan inflamasi kronis dan perubahan elemen besi dari erythroblast menjadi makrofag. Anemia nonspesifik dapat terjadi pada 80% pasien dengan SLE (Cavera et al, 2008). Pada pasien ini didapatkan anemia normokrom normositer (Hb 8) dengan didapatkan konjunctiva anemis dan keluhan lemah badan. Anemia yang terjadi bukan akibat terjadinya hemolisis sebagaimana biasa ditemukan pada pasien SLE karena didapatkan hasil coomb test negatif, serta tidak adanya peningkatan bilirubin indirek. Sehingga anemia pada pasien ini tidak memenuhi kriteria diagnostik ACR untuk SLE. Trombositopenia pada SLE dapat terjadi (1) secara kronis akibat penyakit kronis dengan gejala asimptomatik dan (2) secara akut menyerupai idiopatik autoimun trombositopeni purpura dengan ditemukannya perdarahan gusi ataupun ptechiae. Trombositopenia dapat menjadi gejala awal SLE. Pada wanita muda dengan idiopatik trombositopeni harus diwaspadai adanya SLE. Penghancuran trombosit dimediasi oleh antibodi antiplatelet akan tetapi antiplatelet juga dapat ditemukan tanpa adanya tombositopeni ( Buyon, 2009 & Cavera et al, 2008). Didapatkan trombositopeni 146.000 pada pasien ini. Tetapi trombositopeni yang ada belum memenuhi kriteria diagnosis berdasarkan ACR. Pada pasien SLE, kerusakan pada ginjal bisa terjadi. Pada pasien ini tampak dari didapatkannya eritrosit dan proteinuria. Terdapatnya eritrosit dan protein pada urine mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjal. Walaupun ureum dan creatinine pada pasien ini dalam batas normal, tetapi dimungkinkan gangguan fungsi yang masih minimal pada ginjal menyebabkan ureum dan creatinine belum meningkat. Manifestasi lupus nephritis pada pasien ini adalah ditemukannya leukosituria, proteinuria dan didapatkan silinder apada urunalisis. Berdasarkan criteria lupus nephritis yang ada pada buku pedoman doagnostik Sistemik Lupus Eritematous, maka pasien ini dikelompokkan ke dalam kelompok lupus nephritis kategori 2 dimana Ana test +, didapatkan leukosituria dan proteinuria tetapi ureum/creatinin dalam batas normal. Pengelompokan yang lebih baik mengenai lupus nephritis adalah dengan biopsi. Dari anamnesa kami, pasien mengaku pernah dibiopsi ginjal, namun pasien lupa bagaimana hasilnya. Oleh sebab itu pengelompokan lupus nepritis pada pasien ini hanya berdasarkan

33

urinalis, dan berdasarkan buku pedoman diagnostil SLE yang mengacu pada criteria WHO sperti pada tabel 3.3
Tabel 3.3 Klasifikasi Lupus Nefritis berdasarkan WHO
Kela s Pola Tempat deposit komplek I II III Normal Meningeal Fokal dan Segmental Proliferatif imun Tidak ada Mesangial saja Mesangial subendotheli al, subephitelia IV Difuse proliperative l Mesangial subendotheli al, subephitelia V Membranou se l Mesangial subephitelial Eritrosit, leukosit, silinder, eritrosit Tidak ada >3000 mg 1000 3500 mg Tidak ada Eritrosit/tid ak ada Eritrosit, leukosit sedimen Proteinur ia (24 jam) <200 mg 200-500 mg 500 3500 mg Normal Normal Normal sampai meningk at ringan Normal sampai tergantun g saat dialisis Normal sampai meningk at sedikit Normal Normal Normal Normal sampai meningk at sedikit Tinggi Positif samp ai titer tinggi Negati f samp ai Titer sedan g Normal Menuru n Kreatini n serum Tekanan darah Antidsdn a Negati f Negati f Positif Normal Normal Menuru n C3/C4

Penyakit liver parenkimal akibat SLE jarang ditemukan. Akan tetapi hepatomegaly dan atau abnormalitas pada tes fungsi hepar dapat ditemukan pada 30% pasien. Peningkatan transaminase bisa didapatkan selama fase aktif penyakit. Tsuji et al. meneliti 73 pasien dengan SLE dan peningkatan transaminase. Pada 58,9% (43 orang) tidak ditemukan penyebab spesifik peningkatan transaminase dan dikaitkan dengan adanya proses SLE aktif (Buyon, 2009 & Cavera et al, 2008). Abnormalitas transaminase bisa juga ditimbulkan akibat penyebab non hepatik seperti hiperbilirubinemia unconjugated, hemolisis, hepatitis autoimun, infeksi, peningkatan level enzim otot ataupun penggunaan obat- obatan seperti non steroidal anti inflammatory drugs (NSAIDs), azathioprine, dan methotrexate. Pada kondisi dimana obat-obat tersebut tidak digunakan, perlu diwaspadai terjadinya hepatitis lupoid dan perlu dilakukan biopsi liver. Lupus hepatitis didefinisikan sebagai onset transaminitis akut, insidous, pada pasien yang

34

memenuhi kriteria American College of Rheumatology (ACR) untuk SLE, biasanya ditemukan hasil positif pada ribosomal P antibody, dan pada biopsi ditemukan infiltrasi limfosit pada area periportal dengan area nekrosis terisolir. Pasien dengan lupus hepatitis memiliki gambaran gejala tidak khas seperti fatigue, malaise, dan anorexia (Hallegua & Wallace, 2007). Gejala tersebut juga didapatkan pada pasien ini, oleh karena itu perlu dilakukan liver biopsy utuk mengkonfirmasi dugaan lupus hepatis pada pasien ini. Pada pasien ini didapatkan peningkatan SGOT dan SGPT sebesar 192 dan 53 serta tidak ditemukan jaundice ataupun adanya pembesaran hepar dari pemeriksaan fisik. Diduga peningkatan transaminase yang ada merupakan akibat dari aktivitas penyakit. Dugaan adanya hemolisis disingkirkan karena didapatkan hasil coomb test negatif serta tidak didapatkan peningkatan bilirubin indirek. SGOT merupakan enzim yang tidak spesifik untuk hepar, adanya peningkatan SGOT dapat juga diartikan sebagai peningkatan level enzim otot. HbsAg. Terapi yang telah diberikan pada pasien ini dapat dibagi menjadi terapi simptomatis dan terapi kausatif. Terapi simptomatis berupa paracetamol yang diberikan atas indikasi adanya demam pada pasien, diet TKTP. Terapi kausatif dengan obat bagi pasien SLE mencakup pemberian obatobat anti inflamasi non steroid (NSAID), agen immunosupresan, kortikosteroid, dan antimalaria. Pemilihan obat yang sesuai tergantung pada organ yang terserang oleh penyakit ini. Pada pasien ini diberikan metilprednsolone per oral 3x4mg, dan untuk herpes zoosternya diberikan acyclovir tablet 5x800mg selama 5 hari. Selain itu untuk mengatasi bulae / lesi topis pada pasien diberikan pula salep acyclovir serta salep cloramphenicol. Diberikan salep antibiotic pada hari ke 5 dikarenakan pada pasien ini bulae yang timbul akibat hrpes zoster yang pada mulanya bewarna putih, berubah menjadi keruh. Selain itu pada beberapa luka herpes pus mulai muncul. Oleh sebab itu selain toilet luka pada pasien, pemberian salep clorampenicol penting untuk diberikan. NSAID efektif digunakan untuk mengatasi nyeri pada pasien dengan arthritis, myalgia, arthralgi, serositis, dan nyeri kepala (Manzi & Kao, 2009). Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal akibat lupus nefritis, NSAID harus dihindari karena penghambatan cyclooxigenase dapat menurunkan renal blood flow dan menurunkan transpor tubular melalui penurunan prostaglandin dan Dugaan adanya infeksi viral perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan anti HCV maupun

35

prostasiklin. Karena pasien ini didapatkan proteinuria, eritrosituria, dan diduga terjadi gangguan pada ginjalnya, maka tidak dapat diberikan NSAID. Penurunan renal blood flow dapat mempercepat progresivitas kerusakan ginjalnya. Terapi immunosupressan (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun SLE. Obat- obatan ini biasanya dipakai ketika (Mahmedbasic, 2010): 1. diagnosis pasti sudah ditegakkan 2. adanya gejala- gejala berat yang mengancam jiwa 3. kegagalan tindakan pengobatan lainnya 4. tidak adanya infeksi, kehamilan, dan neoplasma Pada pasien ini tidak digunakan obat- obatan imunosupresan karena diduga terjadi infeksi pada pasien. Terapi antimalaria kadang- kadang efektif apabila NSAID tidak dapat mengendalikan gejala SLE. Biasanya antimalaria awalnya diberikan dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau dosis. Pemberian kostikosteroid biasanya digunakan sebagai lini pertama terapi SLE dengan dosis yang di tapering dalam beberapa minggu. Dosis obat- obatan ini biasanya dikurangi setelah beberapa minggu (Mahmedbasic, 2010). Pada pasien ini dipilih terapi kortikosteroid. Obat- obatan anti malaria dapat diberikan selanjutnya, jika kortikosteroid tidak dapat mengendalikan gejala SLE. Obatobatan imunosupresan juga baru dapat diberikan jika pasien dipastikan tidak memiliki infeksi, neoplasma, ataupun tidak dalam keadaan hamil. Aspek penting dari pencegahan serangan SLE adalah menghindari terkena sinar ultraviolet (UV). Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar matahari secara normal akan bersifat antigenic, dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah terkena sinar. Pasien SLE harus dianjurkan untuk memakai payung, topi, dan baju lengan panjang apabila keluar rumah. Tabir surya dengan factor proteksi 15 harus dipakai untuk menahan sinar ultraviolet. Pasien juga harus diberi daftar obat- obatan yang dapat menimbulkan serangan, agar pemakaian obat- obatan ini dapat dicegah (Mahmedbasic, 2010). Pada umumnya, pasien SLE dapat bertahan kurang lebih 20 tahun, walaupun kualitas hidupnya tidak maksimal. 40% kematian pada pasien lupus diakibatkan oleh inflamasi, dan biasanya meninggal setelah 12 sampai 25 tahun

36

setelah didiagnosa karena infeksi atau komplikasi terapi kortikosteroid kronis (Wallace, 2008). Karena itu, infeksi paru pada pasien ini harus segera dicari penyebabnya dan dilakukan pengobatan sesuai dengan hasil kultur dan tes sensitivitas. Setelah pasien keluar rumah sakit, pasien tetap harus rajin kontrol dan dokter tetap harus memberikan edukasi pada pasien tentang penyakitnya dan hal- hal yang harus dihindari. Hal ini dapat meningkatkan angka ketahanan hidup dan memperbaiki prognosa. Faktor yang dapat membatasi morbiditas dan mortalitas pada pasien dapat dilihat pada tabel 3.3.
Tabel 3.3 Faktor- faktor yang dapat membatasi morbiditas dan mortalitas pada pasien SLE tanpa penggunaan medikasi

SLE dan Herpes Zooster Reaktivasi herpes virus varicella-zoster zoster (VZV) terjadi pada 10% -20% dari penduduk seumur hidup [2, 20]. Kejadian tahunan herpes zoster kurang dari 0,5% pada populasi umum. Herpes zoster terjadi pada SLE pasien jauh lebih

37

sering daripada diharapkan. Studi imunologi pada pasien SLE menunjukkan ada kelemahan mendasar hadir dalam penyakit itu sendiri (misalnya, gangguan imunitas selular, cacat hipersensitivitas tertunda humoral respon dan hiperaktif). Efek obat (kortikosteroid dosis tinggi dan pengurangan perlawanan tuan rumah Infeksi. Faktor risiko predisposisi dan sifat komplikasi pada lupus pasien bervariasi antara berbagai kelompok etnis dan wilayah geografis. Jepang pasien dengan SLE tampaknya jauh lebih sensitif dengan Zoster kejadian 43%, prevalensi yang dilaporkan dalam berbeda seri mulai dari 13,5% menjadi 46,6% dari orang dewasa SLE pasien. Ini jauh lebih dari apa yang kami temukan di kami populasi pasien dengan lupus eritematosus sistemik, prevalensi Zona adalah 6% dan AlRayes et al. 5% Pasien yang memiliki herpes zoster juga dikenal lebih episode infeksi utama selama perkembangan penyakit mereka . Hal ini bisa disebabkan oleh aktivitas penyakit, imunosupresif faktor genetik dan terapi tuan rumah yang menentukan umum kerentanan terhadap infeksi dan dua LED. T fungsi sel memainkan peran penting dalam pemeliharaan VZV latency di tuan rumah. Dalam studi ini, dua-pertiga dari pasien telah meningkat lupus kegiatan dalam 6 bulan sebelum herpes Herpes zoster disebabkan terjadinya penyakit atau menyala. Herpes zoster lesi yang terletak di 25% dari kami pasien. Insiden pasien dengan difusi penelitian kami adalah jauh lebih tinggi (21,9%) dibandingkan dengan yang lain penelitian berkisar antara 2% -11%. Alasannya Mungkin lebih sering terjadi pada pasien yang menerima tinggi dosis steroid dan imunosupresan atau atas dasar penundaan dalam terapi antiviral. Dosis rata-rata prednisolon oral dalam kasus SLE kita ketika herpes Zoster adalah 80 mg dan 12 mg dibandingkan dengan kontrol. Penurunan A dosis steroid harus dipertimbangkan secara serius, pasien yang menerima dosis tinggi prednisolon pada awal Episode herpes zoster. Semua pasien herpes zoster pulih tanpa insiden. Dua pasien memiliki beberapa episode (2 masing-masing), dan tiga dari mereka memiliki opthalmicus Zona, tidak satupun dari mereka SNC klinis jelas atau visceral keterlibatan atau komplikasi lain seperti defisit motor permanen, pneumonia, penyembuhan kulit, terlepas dari pengobatan, atau kelanjutan dari obat imunosupresif. Tak satu pun dari pasien kami memiliki pasca-herpes neuralgia. Tidak ada pasien yang imunosupresif atau keduanya digunakan untuk mengobati parah Penyakit ini juga dapat menyebabkan

38

memiliki infeksi bakteri dan tidak ada kematian. Herpes Zoster pada pasien SLE kami relatif ringan dan sejenis dengan yang dilaporkan oleh Moutsopoulos et al. dalam serial [15]. Semua pasien menerima pengobatan antivirus baik dalam oral atau intravena. Imunosupresan dihentikan 59% dari pasien kami, tetapi mengingat durasi tindakan agen imunosupresif, mengubah diet mereka akan mungkin ada gunanya.

Dalam seri kami dan dalam rangkaian Khal et al Pasien. yang mengembangkan zoster lebih cenderung mengalami serius manifestasi SLE, termasuk nefritis, hemolisis,dan trombositopenia dan kebutuhan pengobatan dengan siklofosfamid. Selain itu, pasien kami telah metilprednisolon intravena terapi. Retrospektif sifat studymay membawa kita episode herpes zoster tomiss pasien dengan SLE bisa kurang serius memiliki kunjungan rutin memiliki kurang sering atau kurang mungkin untuk mencari perawatan medis untuk herpes zoster mereka. Selain itu, dua-pertiga dari pasien kami tidak mencapai SLE organ utama dan menerima baik dosis tinggi steroid atau immunosuprressive pengobatan dalam waktu tiga bulan sebelum dan termasuk zona attention.Many episode herpes zoster tapi masih sought medical reactivations di kedua seri ini terjadi ketika SLE adalah tidak aktif. Hasil yang sama ditunjukkan by Manzi et al. yang juga mencatat bahwa pasien yang mengembangkan zoster lebih parah SLE. Mereka juga menemukan terapi imunosupresif faktor risiko untuk pengembangan herpes zoster infeksi pada pasien ini. Itu imunosupresif pengobatan bertindak sebagai penanda aktivitas lupus dapat merupakan faktor risiko independen untuk herpes zoster mungkin tidak bisa ditarik dari studi mereka. Kedua bakteri dan Infeksi virus telah dikaitkan dengan penyakit pada umumnya aktivitas pada pasien dirawat di rumah sakit dengan SLE, terlepas dari terapi imunosupresif. Kami menyimpulkan bahwa infeksi terjadi pada herpes zoster meningkat frekuensi pada pasien dengan lupus eritematosus sistemik dan memiliki relatif jinak. Herpes infeksi pada pasien dengan herpes zoster lupus yang tidak selalu berhubungan dengan morbiditas yang berlebihan; diperlukan untuk menghentikan terapi imunosupresif pasien SLE mungkin tidak diperlukan dalam kontek Zoster infeksi. Shingles kasus SLE secara signifikan lebih cenderung memiliki manifestasi parah dari penyakit. Itu PSL berarti dosis oral dan proporsi pasien yang menerima termasuk PSL pulsa imunosupresif, IV cyclo, dan

39

mycophenolate secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan SLE aktif dibandingkan dengan pasien dengan SLE dalam remisi Ketika herpes zoster. Diseminata zoster dikembangkan SLE relatif terhadap pasien SLE dalam remisi. Risiko utama untuk pasien herpes zoster SLE adalah ketidakseimbangan imunologi dasar intrinsik untuk lupus, daripada imunologi kelainan tertentu terkait dengan wabah penyakit atau pengobatan. Agresif rejimen untuk lupus, bagaimanapun, adalah terkait dengan risiko komplikasi yang berpotensi serius dari herpes zoster dan pasien yang menerima pengobatan harus dikelola dengan meningkatkan kewaspadaan klinik.

40

DAFTAR PUSTAKA Buyon, J. P. 2008. Systemic Lupus Erythematosus: Clinical and Laboratory Features. Primer on The Rheumatic Disease 13th edition. New England: Springer (303 326) Cervera, R., Espinosa, G., Dcruz, D. 2009. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis, Clinical Manifestations and Diagnosis. (Online) pdf, (www.eular.org/myuploaddata/files/Compendium_sample_chapter. diakses 30 Maret 2011) Dzelaludin, J., et al. 2008. Processing and Analysis of Clinical-laboratory Features in the Therapy of Lupus Nephritis. Original Paper, 16: 191 196 Font, J., et al. 1998. Systemic Lupus Erythematosus (Sle) In Childhood: Analysis Of Clinical And Immunological Findings In 34 Patients And Comparison With Sle Characteristics In Adults. Ann Rheum Dis, 57: 456 459 Ginzler, E. Tayar, J. 2008. Systemic Lupus Eryhematosus. Atlanta: American College of Rheumatology Lawley, et al. 2009. Harrisons Principles of Internal Medicine: Manual of Medicine 17th edition. New York: Mc Graw Hills Company (855 857) Longmore, M., et al. 2007. Oxford Handbook of Clinical Medicine 7th edition. New York: Oxford University Press (540 541) Mehmedbasic, A. 2010. Algorithms in the Diagnosis and Treatment of Systemic Lupus Erythematosus. Dermatovenerology, 18: 157 162 Wallace, D.J. 2008. Oxford American Rheumatology Library: Lupus The Essential Clinicians Guide. New York: Oxford University Press (5, 11-12, 15-19, 50, 73, 75, 77-81, 93-94)

41

Anda mungkin juga menyukai