Anda di halaman 1dari 28

[versi final untuk jurnal Mondial, 2011; untuk pengutipan, mohon hubungi penulis]

Mengapa Steve Jobs Tidak Begitu Inovatif: Kapitalisme Apple, Pasca-Fordisme, dan Implikasinya1
Oleh: Hizkia Yosie Polimpung Melissya Debora Sitopu Dwi Indah Mardyanti Center for Global Civil Society Studies (Pacivis) Universitas Indonesia

Abstrak
Artikel ini berupaya mengkontekstualisasikan apa yang penulis sebut sebagai Kapitalisme Apple, yaitu suatu kapitalisme yang berangkat dari cara kerja Steve Jobs melalui perusahaan Apple-nya. Kapitalisme Apple, yang bercirikan strategi diferensiasi dan inovasi, produksi yang berbasiskan konsumsi, paradigma jaringan, produksi artistik-kreatif dan kerja-sama tim, tidaklah lebih dari sekedar salah satu manifestasi kongkrit kapitalisme pasca-Fordis. Dengan dibantu beberapa aparatus konseptual dari para pemikir seperti Maurizzio Lazzarato, Antonio Negri dan Franco Berardi, penulis menunjukkan bagaimana kapitalisme pasca-Fordis hari ini beroperasi. Konsep immaterial labor dalam hal ini adalah yang memegang posisi sentral di sini. Tulisan akan diakhiri dengan menunjukkan beberapa implikasi penting untuk memahami transisi pasca-Fordisme, suatu transisi yang memungkinkan Steve Jobs dan Applenya berjaya.

Keywords: Kapitalisme, pasca-Fordisme, immaterial labor, Steve Jobs, Apple Pada 5 Oktober 2011 dunia kehilangan satu lagi orang yang (dianggap) memiliki andil penting dalam pengembangan gadget teknologi informasi. Beliau (dianggap) berjasa karena buah-buah pemikiran briliannya yang termanifestasikan ke dalam rupa-rupa gadget elektronik jualannya. Beliau (dianggap) menyumbang kemajuan penting dalam perkembangan umat manusia.2 Saat kematiannya dikumandangkan, jutaan tangisan, haru, simpati dan belasungkawa disampaikan melalui rupa-rupa media mulai cetak, online, jejaring-massal, dst. Berbagai kalangan mulai pejabat tinggi, kelas menengah, anak muda, sampai anak-anak dan hampir seluruh pengguna (maupun yang tidak menggunakan)
1 Awalnya tulisan ini berupaya membahas transisi historis paradigma kapitalisme Fordis menuju pasca-Fordis. Namun demikian, sesaat sebelum penulis menyerahkan kepada editor, kabar meninggalnya Steve Jobs datang dan membuat penulis berniat memanfaatkan momen tersebut. 2 Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, bahkan menyayangkan kepergian Jobs. Baginya, the world has lost a visionary yang telah mengubah the way each of us sees the world. Statemen ini dapat dilihat secara utuh di blog Gedung Putih, http://www.whitehouse.gov/blog/2011/10/05/president-obama-passing-steve-jobs-he-changed-wayeach-us-sees-world.

gadget yang ditelorkan pemikiran brilian beliau, tumpah ruah menyampaikan kesedihannya sembari mengiringinya dengan ungkapan haru melalui status facebook, kicauan di twitter, dsb. Kepergiannya ditangisi bak pahlawan yang gugur di medan pertempuran demi membela mereka-mereka yang menangisinya. Dialah Steven Paul Steve Jobs, pendiri sekaligus (mantan) CEO Apple. Tulisan ini tidak ingin menyampaikan suatu obituari. Bukan juga suatu belasungkawa atau ungkapan kesedihan berbalutkan rangkaian argumentasi intelekakademik. Sama sekali jauh dari itu. Tulisan ini justru ingin menunjukkan bahwa anggapan-anggapan bahwa Steve Jobs menyumbang kemajuan penting dalam sejarah kemanusiaan adalah benar adanya, namun demikian, sekaligus yang ingin penulis tandaskan, hal itu dilakukannya tanpa benar-benar disadarinya. Hal ini tidak lantas menganulir seluruh inovasi yang dilakukannya; tidak juga dengan sirik mengatakan bahwa Macintosh dan iPad tidak memiliki nilai terobosan yang signifikan. Benar bahwa gadgetgadget bermerekkan Apple telah menyumbang kemajuan penting dalam kehidupan berteknologi umat manusia,3 namun apabila kita meletakkannya dalam konteks sejarah (terutama sejarah modus produksi kapitalisme) maka yang disebut-sebut inovasi Jobs tadi tampak tidak begitu inovatif. Tulisan ini terbagi ke dalam tiga bagian. Keseluruhannya didedikasikan untuk menjabarkan argumentasi di atas yang menyangsikan inovativitas dari invoasi-inovasi Steve Jobs dengan produk-produk Apple-nya. Bagian pertama akan membahas beberapa pemikiran Steve Jobs yang melatar-belakangi sejarah perkembangan Apple. Untuk ini, penulis menggunakan kutipan-kutipan (yang dianggap) inspirasional dari Steve Jobs yang beberapa waktu silam, tidak lama setelah kepergian Jobs, dipublikasikan oleh Huffington Post dan diterbitkan ulang oleh Tempo Interaktif.4 Total keseluruhan terdapat 11 kutipan, namun demikian, tidak akan dibahas keseluruhan satu per satu; hanya beberapa saja yang penulis anggap relevan yang akan disoroti. Perlu ditekankan di sini, status Steve Jobs dalam artikel ini hanyalah sebagai apa yang disebut Hegel sebagai perantara yang hilang (vanishing mediator); sebuah perantara yang bertugas, dan memang hanya bertugas, untuk mengantarkan kita pada suatu telos (tujuan akhir), setelah itu ia tidak diperlukan. Jadi sekali lagi, artikel ini bukan tentang dan untuk Seteve Jobs, melainkan tentang dan untuk menjelaskan hal lain (yi. telos) yang lebih signifikan yang untuk sampai kepadanya, Steve Jobs merupakan mediator yang berguna. Tujuan utama artikel ini adalah menunjukkan suatu epos historis yang memungkinkan Steve Jobs dan Apple-nya menciptakan terobosanterobosan teknologis. Epos tersebut adalah epos kapitalisme pasca-Fordis.
3 iPad , misalnya, telah jelas-jelas mengubah cara pandang membaca. Membaca tidak harus dengan buku tebal; cukup dengan buku elektroik (e-book) yang dapat diunduh di internet dan langsung diaktifkan melalui aplikasi pembaca buku elektronik di iPad tersebut. 4 Cek http://www.huffingtonpost.com/2011/10/05/the-best-steve-jobs-quote_n_997300.html#s338862, untuk versi Tempo Interaktif dapat diakses di http://www.tempointeraktif.com/hg/amerika/2011/10/08/brk,20111008360466,id.html.

Bagian kedua akan mencoba menempatkan pemikiran-pemikiran Jobs kedalam konteks kapitalisme pasca-Fordis ini. Akan ditunjukkan betapa paradigma produksi pascaFordisme sangat kental dalam prinsip-prinsip Jobs, terlepas ia menyadarinya atau tidak. Gagasan-gagasan Jobs tentang diferensiasi produk, jaringan, dan kerja sama tim tidak bisa dipungkiri, memiliki kemiripan prinsipil dengan paradigma pasca-Fordisme. Kemiripan ini, menurut penulis, jauh dari pada suatu kebetulan; ia merupakan sesuatu yang tidak terelakkan semenjak Jobs berada pada era pasca-Fordisme. Artinya, jika bukan Jobs, orang lain yang akan melakukannya. Tepat pada bagian ini Steve Jobs akan memainkan perannya sebagai perantara yang penulis sebutkan diatas, yaitu untuk menghantarkan pembaca untuk memahami natur kapitalisme pasca-Fordis. Bagian ketiga, mencoba menarik beberapa implikasi teoritik dan metodologis dalam upaya memahami natur dan logika kapitalisme pasca-Fordis ini. Pula pada bagian ini akan ditekankan betapa kesilauan pada keunikan dan kebaruan yang ada di era kontemporer hari ini, jangan sampai membuat analisis mengabaikan konteks historis di mana kebaruan tersebut dimungkinkan. Jika tidak, analisis tidak akan lebih dari tulisan-tulisan di majalah-majalah gadget yang mengulas fitur-fitur baru iPad bagi calon pembeli yang bisa jadi hanya menggunakannya untuk mengakses akun facebook mereka semata.5 MENGENANG CELOTEH STEVE JOBS Perbedaan
"We've never worried about numbers. In the market place, Apple is trying to focus the spotlight on products, because products really make a difference. [...] Ad campaigns are necessary for competition; IBM's ads are everywhere. But good PR educates people; that's all it is. You can't con people in this business. The products speak for themselves."6

Dari kutipan di atas terlihat jelas bahwa Apple menempatkan produk pada baris depan pemasaran. Adalah produk yang kepadanya lampu sorot diarahkan, dan bukan peraga, model maupun pernak-pernik periklanan. Maksudnya, bukan berarti iklan dan divisi humas (hubungan masyarakat) tidak berguna, hanya saja keduanya bukanlah yang menjadi pusat perhatian. Adalah produk yang berbicara bagi dirinya sendiri, dan bukan iklan atau humas. Melalui strategi ini nampak bahwa Jobs menyadari bahwa obyektivitas suatu produkyaitu kegunaan, kualifikasi dan keunggulanyatidak dapat sepenuhnya direpresentasikan oleh peraga/model iklan. Ia yakin bahwa para pembeli hari ini bukanlah
5 Survei yang dilakukan Sillicon Alley Insider menunjukkan bahwa diantara pengguna iPad hanya sekitar 21% yang memanfaatkan fitur-fitur baru dari iPad. Sebagian besar pengguna masih banyak yang hanya memanfaatkan iPad untuk mengakses internet dan jejaring sosial. Laporan grafis survey tersebut dapat dilihat di www.businessinsider.com/how-people-really-use-the-ipad-our-exclusive-survey-results-2011-5#30-of-peoplesurveyed-have-more-than-one-ipad-in-their-home-2. 6 Seluruh kutipan dari Steve Jobs untuk seterusnya diambil dari versi Huffington Post. Lihat catatan kaki no empat untuk konsultasi sumber.

pembeli yang dungu yang bisa dibodohi oleh iklan. (Hal ini bisa dipahami semenjak diketahui bersama bahwa para pelanggan setia Apple merupakan para selfish elites yang wealthy, well-educated, power-hungry, over-achieving, sophisticated, unkind and non-altruistic 3050-year-olds).7 Menghadapi pelanggan-pelanggan yang berlatar-belakang demikian, iklan pun harus direkayasa sedemikian rupa agar mampu merayu mereka untuk merogoh kocek membeli produk Apple. Pemikiran ini nampak pada iklan-iklan Apple yang relatif sederhana dan tidak norak; menampilkan lebih banyak kecanggihan-kecanggihan fitur, ketimbang bermain di tataran klise, rayuan-rayuan gombal dan model iklan yang sensual. Iklan iPad misalnya. Di situ, secara lugas dan jelas ditekankan bahwa iPad berusaha menawarkan inovasi untuk mengatasi permasalahan mobilitas Mac (komputer desktop dan/atau laptop versi Apple) yaitu karena ukurannya yang besar membuatnya sulit dibawa kemana-mana, juga permasalahan minimalitas ukuran iPhoneyaitu ukurannya yang kecil membuat kurang leluasa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasanya dilakukan ole Mac. Melalui iklan tersebut ditekankan pula bahwa netbook (laptop kecil) bukanlah solusinya: netbook malah, menurut Jobs, menjadi masalah baru karena ia bukan menggabungkan iPhone dan Mac. Netbook tidak lebih daripada laptop murahan, yang kapasitasnya tentu saja sesuai dengan harga murahnya. Yang ingin ditawarkan Jobs untuk mengatasi solusi mobilitas Mac dan minimalitas iPhone adalah dengan memadukan kapasitas keduanya ke dalam suatu gadget baru, yang untuknya iPad menjadi jawaban. iPad berbeda dari, bahkan, sama sekali bukan netbook model baru; iPad = iPhone + Mac. Sekali lagi, iklan iPad tidak bertele-tele; ia langsung menyasar permasalahan pembeli.8 Inti dari ungkapan di atas, penulis yakin, ada pada gagasan tentang diferensiasi. Produk, agar ia bisa menarik perhatian pembeli, dan dengan demikian membuatnya laris, ia harus menawarkan perbedaan. Beban dari suatu produk adalah bagaimana ia mampu membuat dirinya berbeda dari produk lainnya. Keunggulan dari suatu produk akhirnya terletak pada bagaimana ia bisa dibedakan dari produk lainnya. Kenyataan ini membawa kita kepada suatu kenyataan lainnya, yaitu bahwa keunggulan suatu produk memiliki sifat relatif: tergantung pada bagaimana ia bisa diperbandingkan dengan produk lainnya; posisionalitas suatu produk menentukan sukses tidaknya suatu produk memperoleh predikat laris. Produksi, dengan demikian tidak hanya semata-mata kegiatan untuk menghasilkan suatu produk (barang atau jasa), melainkan lebih fundamental: produksi adalah selalu memproduksi perbedaan; diferensiasi produk adalah aspek vital bagi proses
7 Statemen ini disampaikan lembaga riset konsumen MyType kepada situs kultur internet bergengsi, Wired. Dapat diakses di http://www.wired.com/epicenter/2010/07/ipad-owner-are-selfish-elites-critics-are-independentgeeks-says-study/. 8 Untuk iklan iPad 1, cek video di YouTube melalui tautan ini: http://www.youtube.com/watch?v=R41NNPBqRCk; untuk iPad 2, http://www.youtube.com/watch?v=b2LLSrlKr3c&feature=fvwrel. Untuk pemaparan lugas posisi iPad di antara iPhone, Mac dan netbook, cek http://www.youtube.com/watch?v=F9E2JCtWzk8&feature=related.

produksi. Mencoba berjarak dari kenyataan ini, maka bisa dilihat bahwa strategi diferensiasi ini mensyaratkan, dan bahkan hanya dimungkinkan oleh, suatu medan pertukaran yang karakteristik utamanya disusun oleh perbedaan. Medan pertukaran tersebut tidak lain adalah pasar, dan pasar yang fitur utamanya adalah pertukaran perbedaan tidak lain adalah pasar dalam pengertian kapitalisme pasca-Fordisme. Penulis akan kembali ke tema ini pada bagian berikutnya. Konsumsi
"It's really hard to design products by focus groups. A lot of times, people don't know what they want until you show it to them."

Memahami ungkapan ini sebaiknya tidak dilepaskan dari konteks pembahasan sebelumnya tentang diferensiasi produk. Mengapa produk didiferensiasi? Tentunya supaya ia mampu menarik perhatian calon pembeli. Tetapi mengapa calon pembeli tertarik pada produk yang menawarkan perbedaan? Penulis kira inilah enigma prilaku/preferensi konsumsi dalam pasar yang berbasiskan pertukaran perbedaan: bagaimana produk yang satu dipilih, sementara produk lainnya yang juga sama-sama menawarkan perbedaan, tidak dipilih? Dari enigma ini bisa disimpulkan bahwa terdapat kualitas tertentu dalam suatu produk yang dimanifestasikan melalui rupa-rupa strategi diferensiasi; perbedaan yang ditawarkan suatu produk adalah selalu menawarkan makna yang lain yang bahkan sama sekali eksternal dari produk tersebut. Implikasinya dalam: melalui strategi diferensiasi, apa produk tersebut menjadi tidak begitu relevan ketimbang apa yang diwakili produk tersebut melalui rupa-rupa perbedaan yang ditawarkannya. Artinya, mengkonsumsi perbedaan, adalah mengkonsumsi makna. Sekali lagi, produk menjadi kurang begitu relevan dalam ekuasi konsumsi berbasis perbedaan ini. Sepanjang suatu produk mampu memberikan perbedaan bagi yang mengkonsumsinya, dan sepanjang perbedaan tersebut adalah perbedaan yang dihasrati oleh sang konsumen, maka larislah produk tersebut. Tepat di sinilah teka-teki dari konsumsi, yaitu bagaimana konsumen tahu barang mana yang mampu menawarkan makna yang sedang dicarinya? Dari ungkapan Jobs, jelas jawabannya: tidak, mereka tidak tahu, sampai kita menunjukkannya pada mereka. Jadi, apabila direkonstruksi skema situasi konsumsi, maka akan didapat gambaran seperti berikut. Seorang konsumen sedang mencari-cari sesuatu yang bahkan tidak diketahuinya. Para produsen berbondong-bondong menyerbu dan menawarkan produknya masing-masing kepada sang konsumen sembari meyakinkan bahwa produknya adalah ini yang anda cari, yang anda tunggu-tunggu!Kompetisi produk membuat setiap produsen berlomba-lomba mendiferensiasi produknya satu sama lain. Yang menang adalah yang dipilih oleh sang konsumen, dan begitu seterusnya. Sampai di sini tampak suatu paradoks: jika konsumen tidak tahu apa yang dicarinya, lalu bagaimana ia bisa
5

seolah-olah menemukan yang selama ini dicarinya? Jean Baudrillard akan menjawab bahwa sang konsumen akan melakukan rasionalisasi setelah ia berhadapan dengan suatu produk yang menjawab hasrat mengkonsumsinya.9 Kegunaan dan kualitas suatu barang dengan demikian tak lebih dari justifikasi yang dibuat-buat konsumen untuk membeli produk itu. Rasionalitas suatu produk dengan demikian hanyalah alibi bagi suatu aksi konsumsi.10 Merefleksikan situasi ini, muncul pertanyaan: bukankah ketidak-tahuan konsumen akan apa yang sedang dicarinya justru menjadi peluang bagi produsen untuk tak hentihentinya menciptakan rupa-rupa produk untuk terus ditawarkan kepada para konsumen? Hal ini akan turut menjelaskan mengapa produksi tidak pernah berhenti sembari menekankan bahwa produk terbarunya adalah yang lebih mutakhir, yang lebih mampu menjawab kebutuhan anda, yang lebih dapat anda andalkan, dst. Sekali lagi, hal ini tidak terlepas dari aspek diferensiasi yang telah penulis bahas di atas. Di sini, diferensiasi merupakan kredo wajib agar suatu produksi bisa berjalan terus dan hasilnya laris dipasaran. Diferensiasi ini bukan hanya sekedar membedakan. Dari situasi ini jelas terlihat bahwa diferensiasi suatu produk harus dipahami sebagai suatu inovasi dalam menciptakan bentukbentuk kebutuhan baru. Namun semenjak kebutuhan selalu datang belakangan, setelah aksi sulap rasionalisasi dan/atau alibi konsumsi sang konsumen, maka inovasi juga berarti menciptakan suatu persepsi tentang masalah baru untuk kemudian diatasinya sendiri. Jika memang demikian adanya, maka bukankah hal ini juga berarti bahwa hasrat untuk mengkonsumsi selalu datang terlebih dahulu ketimbang kebutuhan akan suatu barang? Juga bukankah bahwa jika hasrat konsumeris telah terlebih dahulu ada, maka produk tidak lebih dari pada perhentian sementara dari sang konsumen untuk beralih ke perhentian berikutnya? Jika benar bahwa yang dipercaya para psikoanalis bahwa hasrat adalah suatu jurang yang tak memiliki dasar,11 maka bisa dipastikan, produk-produk akan terus menerus muncul dalam rupa-rupa inovasi mutakhirnya, dan konsumen akan terus menerus mengkonsumsi tanpa hentinya. Konsumerisme akhirnya menjadi suatu gaya hidup, bahkan, menjadi sebentuk kehidupan sendiri,12 dan dunia di mana terdapat kehidupan tersebut, tak lain adalah suatu dunia produk, dunia komoditas.13 Inilah konsekuensi apokaliptik saat modus produksi yang didasari pada prinsip inovasi perbedaan dibenturkan dengan hasrat konsumsi yang tidak bertepi.

Jean Baudrillard, For A Critique of the Political Economy of the Sign, terj. C. Levin (Telos Press, 1981), hal. 136. Idem., hal. 55. 11 Lihat, misalnya, Jacques Lacan, Seminar 14: The Logic of Fantasy. Untuk pembahasan yang juga dalam tema konsumerisme, lihat David Bennett, "Getting the Id to Go Shopping: Psychoanalysis, Advertising, Barbie Dolls, and the Invention of the Consumer Unconscious," Public Culture, 17, 1 (2005) 12 Tentang bentuk kehidupan, form-of-life, lihat Giorgio Agamben, Form-of-Life, terj., C. Cesario, dalam M. Hardt & P. Virno, peny., Radical Thought in Italy: A Potential Politics (London: Uni Minnesota Press, 1996). 13 Tentang dunia yang dikepung komoditas, lihat Maurizio Lazzarato, From Capital-Labour to Capital-Life terj., V. Fournier dkk., Ephemera, 4(3), 2004.
9 10

Dari perspektif manajerial, jika produksi sedari awal mempertimbangkan aspek perbedaan, yaitu apa yang mampu ditawarkan suatu produk dibandingkan produk lainnya, maka bisa dipastikan bahwa modus produksi tersebut adalah modus produksi yang berpusatkan pada konsumen. Tujuan utama produksi, dengan demikian, adalah penciptaan sebanyak mungkin kebutuhan untuk senantiasa mengkonsumsi. Akhirnya, kapitalisme yang modus produksinya berbasiskan pada konsumsi seperti ini, tidak lain adalah kapitalisme pasca-Fordisme. Penulis akan kembali ke tema ini pada bagian berikutnya. Produksi artistik, produksi kreatif
"Picasso had a saying: 'Good artists copy, great artists steal.' We have always been shameless about stealing great ideas...I think part of what made the Macintosh great was that the people working on it were musicians, poets, artists, zoologists and historians who also happened to be the best computer scientists in the world."14

Ungkapan stealing great ideas tentu tidak dimaksudkan Jobs secara literer. Mencuri ide tentunya akan membuat Jobs akan duduk di kursi pesakitan, dan membuat Apple menjadi dibenci. Mencuri ide sebaiknya dipahami pertama-tama dari segi tujuannya, yang tidak lain adalah ide untuk membuat, mengkonsep, mendesain dan akhirnya menghasilkan suatu produk dan/atau komoditas. Produk komoditas ini tentu dimaksudkan untuk dikonsumi (setelah dibeli tentunya) oleh para konsumen. Di sinilah, yang penulis usulkan, konteks dimana mencuri ide harus diletakkan: yaitu bahwa ide suatu produk selalu didapat secara diam-diam dari konsumen itu sendiri. (Sekedar mengingatkan kembali, modus produksi bagi Jobs adalah berbasiskan pada konsumen). Dengan kata lain, para produsen harus memiliki sensitivitas tinggi untuk mampu menangkap apa yang disebutsebut sebagai animo pasar. Tidak berhenti di sini, setelah animo tersebut ditangkap, ia diolah sedemikian rupa ke dalam suatu produk untuk kemudian dikembalikan kepada pasar. Kontak konstan kepada konsumen dan pasar dengan demikian menjadi faktor penting bagi bahan bakar inspirasional proses produksi.15 Jobs sadar, dan pastinya kita semua juga, bahwa orang yang pekerjaannya mencaricari inspirasi liar dan kemudian menggubahnya ke dalam sebentuk maha-karya tak lain adalah seniman, artis16. Hal ini sebaiknya dipahami tidak hanya secara konotatif, melainkan juga secara denotatif! Secara konotatif, tentu adalah karakteristik nyeni yang harus diadopsi oleh para produsen. Mengapa demikian? Karena karakteristik nyeni ini kompatibel dengan kredo inovasi/diferensiasi dari produksi hari ini. Menciptakan hal baru tentu mensyaratkan
14 Huffington Post juga mencantumkan tautan kepada video rekaman wawancara yang dalamnya ungkapan ini terlontar. Silakan cek http://www.youtube.com/watch?v=CW0DUg63lqU&feature=player_embedded. 15 Penyedia jasa trend-spotter yang marak terjadi hari ini hanya bisa dipahami dalam kerangka pikir paradigmatik seperti ini. 16 Sedikit klarifikasi semantik. Penggunaan kata artis sering terpeleset pada kata aktris sehingga keduanya seolah-olah berarti sama. Artis, dengan kata dasar art yang berarti seni, adalah seniman. Sementara aktris, yang berkata dasar act, adalah orang-orang yang bertindak berdasarkan skenario (film, iklan, dst.).

kreativitas sang pencipta untuk selalu keluar bahkan menabrak kotak kanon-kanon prinsipil yang sudah ada (established), dan berpikir diluar kotak seperti ini tentu adalah makanan sehari-hari para seniman. Kebaruan inovasi dalam produksi dengan demikian harus dipahami sebagi suatu kreatifitas artistik. Ekspresif, kebebasan dan keliaran menjadi ciri, jika bukan gaya, berpikir mereka-mereka yang berkecimpung dalam dunia produksi dan inovasi.17 Sekiranya sampai di sini cukup culas terlihat bahwa seluruh produksi yang berbasiskan pada inovasi dan diferensiasi adalah selalu merupakan produksi artistik. Secara denotatif, maka ungkapan ini menjadi pretensi dan bahkan justifikasi untuk merekrut para seniman kedalam squad produksi, atau kasarnya, tim buruh. Pada 2008 silam, sebuah konferensi bertajuk Art and Imaterial Labour diselenggarakan di Tate Britain, London, Inggris, mencoba membahas fenomena ini.18 Konferensi tersebut mencoba tidak hanya mendokumentasikan, melainkan juga memberi penjelasan mengenai keterlibatan para seniman, pergeseran paradigma ke new aesthetic paradigm, dan status karya-karya seni dalam koridor produksi kapitalisme pasca-Fordisme hari ini. Bisa ditebak, seniman-seniman ini diupah untuk melakukan suatu proses estetisasi produk komoditas melalui mulai dari konsepsi, bentuk produk, desain bungkus, sampai efek-efek, injeksi nuansa, permainan kata-kata, manipulasi emosi, rangkaian scene, skrip skenario dan alunan musik bagi iklan. Di sini sekiranya kita tidak bisa meremehkan kata artis (seniman), dalam ungkapan produksi artistik. Hari-hari ini, produksi artistik tidak hanya berdimensi artistik, tapi ia bahkan juga diproduksi sebagai oleh para artis. Implikasinya, sepanjang produksi didasarkan pada dimensi kreativitas artistik, maka seluruh buruh yang memproduksi suatu produk komoditas tersebut, sah menyandang predikat artis. Sehingga kita semua, sepanjang kita berpartisipasi pada produksi kreatif dan inovatif, telah selalu menjadi seorang artis. Akhirnya, kapitalisme yang menyandarkan modus produksinya pada inovasi kebaruan kreatif dan artistik ini, yang bahkan menempatkan mereka-mereka (yang berjiwa, maupun yang adalah) seniman sebagai nahkoda tim kreatif produksi, tak lain adalah kapitalisme pasca-Fordis.19 Penulis akan kembali ke tema ini pada bagian berikutnya. Jaringan

17 Untuk kebebasan dan ekspresivitas yang mencirikan buruh di era kapitalisme hari ini, lihat Tiziana Terranova, Free Labor: Producing Culture for the Digital Economy, Social Text, 63 (2000). 18 Konferensi tersebut menghadirkan para teoritisi kapitalisme pasca-Fordis seperti Antonio Negri, Maurizio Lazarato, Judith Revel dan Franco Bifo Berardi, dengan Eric Alliez sebagai moderator. Seluruh makalah pada konferensi tersebut didokumentasikan di jurnal Radical Philosophy, 149 (Mei-Jun 2008). 19 Para guru-guru manajemen ternama seperti Richard Florida juga telah mengumandangkan the rise of the creative class pada kapitalisme hari ini. Lihat Richard Florida, The Rise of the Creative Class (New York: Basic Books, 2002). Pembahasan apik lainnya, lihat Sarah Brouillette, Creative Labor, Mediations, 24, 2 (Spring 2009).

"The most compelling reason for most people to buy a computer for the home will be to link it into a nation-wide communications network. We're just in the beginning stages of what will be a truly remarkable breakthrough for most peopleas remarkable as the telephone."

Jika benar yang dikatakan Jobs melalui ungkapan di atas bahwa orang membeli komputer adalah demi menghubungkan dirinya ke jaringan komunikasi, maka melalui skema konsumsi yang sudah di bahas di bagian sebelumnya bisa disimpulkan bahwa di sisi konsumen terdapat suatu hasrat untuk senantiasa terkoneksi kepada jaringan yang untuknya komputer (Mac Apple) didedikasikan. Ketersambungan sang konsumen tersebut pada gilirannya akan memungkinkan dia untuk merealisasikan hasratnya, yaitu untuk mengkonsumsi komoditas. Penulis akan mengambil jalan memutar sejenak untuk memahami pergeseran konsepsi komoditas di era informasi. Hal ini penting untuk menunjukkan dua fenomena baru yang khas pada zaman informasi ini: komodifikasi informasi20 dan informatisasi komoditas21. Komodifikasi informasi merupakan gestur yang memasukkan informasi kedalam kategori komoditas atau barang jualan. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di komoditas ini juga semakin banyak (sekalipun pemiliknya semakin sedikit)perusahaan media, media-baru, jaringan sosial, koran, majalah, sindikat berita, bahkan petuah-petuah motivasional, dst baik yang offline maupun online.22 Kemudian informatisasi komoditas, ia merupakan suatu gestur untuk mentransformasi komoditas menjadi sesuatu yang sifatnya informasional. Dua manifestasi suksesnya adalah iklan dan merek. Melalui iklan komoditas diabstraksikan (dalam berbagai rupanya: disketsakan, dinuansakan, difilmkan, didigitalisasi, dst.) kedalam bit-bit (satuan informasional) untuk kemudian dipertukarkan dan disebarkan melalui jaringan.23 Begitu pula dalam merek, komoditas dimampatkan ke dalam suatu logo, motto, slogan, dan/atau jinggle untuk kemudian menjadi representasi dari keseluruhan komoditas tersebut.24 Kedua fenomena inilah yang berseliweran di jejaring informasi, atau meminjam Castells, galaksi internet.25

Fenomena ini banyak dibahas, sekalipun dengan istilah lainnya, oleh pakar-pakar media kritis seperti Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford Uni Press, 2009), Bab 2; juga Manuel Castells, Information Age, vol I: The Rise of the Network Society, edisi kedua (Malden, Oxford: Wiley-Blackwell, 2010), bab 2. 21 Fenomena ini banyak dibahas, sekalipun dengan istilah lainnya, oleh Michael hardt & Antonio Negri, Empire (Harvard: Harvard Uni Press, 2000), bab 3.4. 22 Paradoks proliferasi media: semakin banyak dan bervariasi media bermunculan, namun semakin sedikit dan tersentralisir dari segi kepemilikan. Hegemoni mogul media ini diilustrasikan dengan sangat baik oleh Castells, Communication Power, hal. 76 dan 444. 23 Pembahasan mengenai fungsi dan peran iklan dalam kapitalisme pasca-Fordis, lihat Adam Arvidsson, Creative Class or Administrative Class? On Advertising and the Underground, Ephemera, 7, 1 (2007). Dalam kaitannya dengan rupa-rupa jejaring sosial kontemporer, lihat Mark Cot and Jennifer Pybus, "Learning to Immaterial Labour 2.0: MySpace and Social Networks," Ephemera, 7, 1 (2007). 24 Pembahasan tajam mengenai iklan dalam konteks pasca-Fordisme dapat dilihat di Adam Arvidsson, Brands: Meaning and value in media culture (London, NY: Routledge, 2006), bab 6. 25 Manuel Castells, The Internet Galaxy: Reflections on the Internet, Business and Society (Oxford: Oxford Uni Press, 2001).
20

Kembali ke ungkapan Steve Jobs. Dalam konteks kedua fenomena khas di galaksi internet tadikomodifikasi informasi dan informatisasi komoditasmaka apa yang ditawarkan komputer tersebut sesungguhnya tidak lebih dari sebuah perantara (mediator) dan kendaraan (vehicle) bagi sang konsumen untuk memasuki dunia, atau berselancar dalam samudera komoditas, yang dalam hal ini memanifestasi dalam bentuk informasi. Jaringan komunikasi berbicara tentang lalu lintas pertukaran komoditas-informasi, dan adalah internet yang menjadi puncak capaian jaringan ini. Aksesi konsumen pada jaringan informasi menjadi suatu kebutuhan, bahkan imperatif, semenjak hasratnya untuk mengkonsumsi informasi selalu didesak oleh jargon-jargon disipliner seperti stay up-todate, keep yourself informed, jangan ketinggalan zaman! atau bahkan dengan kata-kata sesederhana, wah, anda ketinggalan berita! Sebagaimana juga telah disinggung di atas bahwa dalam kapitalisme pasca-fordis konsumerisme telah menjadi sebentuk kehidupan tersendiri, maka di era jejaring informasi seperti saat ini, berpartisipasi di internet adalah salah satu, jika bukan yang terutama, dari kebutuhan hidup itu sendiri. Bahkan hari-hari ini, orang tidak sekedar menyaksikan internet, mereka hidup dengan internet.26 Hal ini bisa dipahami karena semenjak konsumerisme menandai hidup tidaknya suatu kehidupan, maka datangnya era masyarakat jaringaninformasi27 menjadikan konsumsi informasi dan partisipasi dalam jaringan internet menjadi sebentuk kehidupan yang baru. Sehingga tidak heran jika di era jaringan saat ini, insekuritas didefinisikan sebagai kondisi terdiskoneksi dari jaringan komunikasi.28 Terputus dari jaringan membuat seseorang menjadi tidak memiliki kehidupan (dont get a life). Akhirnya, kapitalisme yang beroperasi dengan paradigma jaringan seperti ini, yang seluruh aspek produksinya terinformatisasi sedemikian rupa, hanya dapat ditemukan pada kapitalisme pasca-Fordis. Penulis akan kembali pada tema ini pada bagian berikutnya. Kerja-sama tim
"My model for business is The Beatles. They were four guys who kept each other's kind of negative tendencies in check. They balanced each other and the total was greater than the sum of the parts. That's how I see business: great things in business are never done by one person, they're done by a team of people."

Dua hal penting yang disiratkan ungkapan ini adalah tentang pentingnya (oto-) kritik dan kerja-sama tim dalam manajemen pekerja/sumber daya manusia/ buruh. Suatu tim kerja, agar bisa efektif, harus senantiasa waspada terhadap negativitas internalnya
Manuel Castells, Communication Power, hal. 64. Untuk kedatangan masyarakat seperti ini, lihat Manuel Castells, The Rise of the Network Society . 28 Kalimat ini merupakan resonansi dari ungkapan Michael Barnett, seorang penasihat Pentagon, bahwa disconnection defines danger. Lihat Michael Barnett, The Pentagons New Map, Esquire (Maret, 2003), juga dapat diakses dari http://www.nwc.navy.mil/newrulesets/ThePentagonsNewMap.htm
26 27

10

masing-masing. Negativitas internal ini bisa diartikan macam-macam, mulai kemalasan, tidak-fokus, komitmen minim, etos rendah sampai permasalahan pribadi dan/atau perangai buruk individu dari anggota tim tersebut. Karena jika negativitas tersebut keluar ke permukaan, maka ia akan merusak seluruh aktivitas kerja tim tersebut. Inilah yang menjadi perhatian Jobs melalui gagasan kerja-sama tim yang dimaksudkannya dengan meneladani kelompok musik The Beatles. Suatu tim yang sukses dalam melakukan kerja sama, adalah tim yang anggotanya mampu saling mengisi kekurangan angota lainnya. Dalam wacana manjerial dewasa ini tentu tidak asing lagi dengan kata-kata kerja sama tim. Namun yang mungkin belum banyak di sadari adalah spesifisitas logika yang melandasi gagasan tersebut. Asumsi dasar gagasan kerja sama tim terletak pada pandangan bahwa suatu pekerjaan tidak akan mampu diselesaikan dengan baik selama ia berada pada komando terpusat seorang koboi; pekerjaan diyakini akan lebih sempurna apabila ia bukan pekerjaan one-man-show. Artinya, seluruh anggota dalam tim harus secara aktif berpartisipasi; tidak boleh ada anggota tim yang pasif dan hanya menunggu perintah saja. Kerja sama tim mensyaratkan masing-masing anggotanya mengambil peranan dalam menentukan arah pekerjaan. Bahkan, seluruh anggota harus memiliki rasa kepemilikan bersama terhadap hasil pekerjaan yang ditargetkan kelompok tersebut. Inilah tantangan manajemen pekerja hari ini: bagaimana cara meningkatkan kerja-sama tim dalam perusahaannya? Asumsi ini yang pada gilirannya menginspirasikan berbagai kebijakan yang bertujuan membuat para pekerja secara sukarela berpartisipasi pada visi misi perusahaan. Kebijakan-kebijakan seperti outbound, outing dan rekreasi bersama antara karyawan dan manajer adalah beberapa contohnya. Melalui kegiatan seperti ini, para pekerja diperlakukan secara baik untuk memotivasinya dalam pekerjaannya sehari-hari. Tidak sedikit pula perusahaan yang mengajak para pekerjanya untuk meneriakkan yel-yel tertentu sebelum dan setelah jam kerja. Bahkan, beberapa perusahaan menugaskan orangorang, jika bukan sebuah divisi, untuk memperhatikan para pekerjanya secara personal. Tidak jarang juga dijumpai manajer-manajer, bahkan direktur, yang bersikap egaliter dan ramah kepada para bawahan dan karyawannya. Hal lain yang dilakukan adalah dengan sistem merit award dan/atau bonus. Sistem ini bertujuan meningkatkan iklim kompetitif di antara pekerja sehingga mereka masing-masing bekerja sekuat mungkin untuk mencapai, bahkan melebihi, target yang ditetapkan bagi mereka. Berbagai iming-iming kenaikan gaji, liburan gratis sampai penghargaan dari si bos sendiri disayembarakan kepada para pekerja. Kesemuanya ini dilakukan sedemikian rupa agar membuat para pekerja nyaman, ... dan bekerja lebih baik tentunya. Mencoba mengambil jarak dari fenomena kerja sama tim ini, maka secara analitis dapat dilihat bahwa melalui kerja sama tim, pekerja bukan hanya diperlakukan sedemikian rupa agar ia menjadi lebih nyaman dalam bekerja sehingga pekerjaannya bisa lebih efektif.

11

Lebih dalam dari itu. Melalui wacana kerja sama tim ini tampak perluasan jangkauan manajerial: yang dimenej bukan hanya tindakan pekerja selama di perusahaan, melainkan ia merambah ke aspek emosi, pikiran dan bahkan mental. Dengan berbagai keramahan dan kelemah-lembutan pimpinan kepada para bawahannya, adalah emosi para pekerja yang ikut dipekerjakan. Saat bonus disayembarakan di kalangan para pekerja, sehingga menuntut mereka berpikir keras sedemikian rupa untuk memperoleh bonus tersebut, maka adalah pikiran yang turut dipekerjakan. Saat iklim kompetitif dalam sistem merit award diberlakukan, bahkan saat suatu capaian kerja tertentu diasosiasikan oleh para manajer dengan standar-standar keunggulan persona tertentu, maka adalah mental para pekerja bawahannya yang ikut dipekerjakan.29 Ekspansi ranah manajerial ini pada akhirnya juga turut mengubah status dari pekerja itu sendiri menjadi semacam socialised worker.30 Ekspansi ini merambah tidak hanya aspek-aspek teknis dan kemampuan pekerja, namun ia juga merambah dimensi kognisi dan afeksi. Ekstrimnya, keseluruhan hidup itu sendiri berada pada komando manajerial. Hidup akhirnya dimaknai hanya sebagai kerja, kerja dan kerja.31 Dari sini sekiranya bisa menjelaskan fenomena gila-kerja (workaholic) dan reduksi brutal terhadap pendidikan sebagai produsen tenaga kerjasehingga hari-hari ini pertanyaan yang ditanyakan bagi para mahasiswa adalah: setelah lulus mau kerja apa? Kerja seakan-akan menjadi suatu linearitas tak terelakkan dari kehidupan, dan akhirnya hidup itu sendiri juga turut dipekerjakan.32 Kapitalisme yang secara paradigmatik berupaya mempekerjakan seluruh aspek kehidupan pekerjanya demi mengakumulasi profit seperti yang penulis jabarkan di atas, tidak lain adalah kapitalisme pasca-Fordis. Penulis akan kembali ke tema ini pada bagian berikutnya. ***
Modus-modus lainnya dalam upaya memanipulasi pikiran, emosi dan mental pekerja telah banyak didokumentasikan, misalnya, dalam Katherine Crowley & Kathi Elster, Working with You Is Killing Me: Freeing Yourself from Emotional Traps at Work (NY, Boston: Warner Books, 2006) 30 Sebutan Antonio Negri untuk para pekerja yang seluruh aspek kehidupannya telah diinklusikan dalam sistem kerja kapitalis. Lihat Antonio Negri, Proletarians and the State: Toward a Discussion of Workers' Autonomy and the Historic Compromise dalam A. Negri, Books for Burning: Between Civil War and Democracy in 1970s Italy, terj., T.S.Murphy, dkk. (London, NY: Verso, 2005) 31 Dalam laporan Rosalind Gill tentang prilaku pekerja media baru di Amsterdam menunjukkan hasil yang menarik yaitu bahwa para pekerja tersebut merasa menemukan diri-nya dalam pekerjaan mereka. Kebanyakan percaya bahwa hobi dan pekerjaan bukan dua kategori yang secara culas berbeda; keduanya bisa berjalan bersamaan. Gill juga menunjukkan bagaimana para perusahaan media baru menekankan dimensi playful dan hobi dari pekerjaan sehingga mampu menarik banyak pekerja. Penelitian ini tentu valid untuk kalangan pekerja yang berpendidikan tinggi. Lihat Rosalind Gill, Technobohemians or the new Cybertariat? New media work in Amsterdam a decade after the Web, Laporan untuk Institute of Network Cultures (Amsterdam: Notebooks, 2009), dapat diunduh di http://www.networkcultures.org/networknotebooks. 32 Subjugasi kehidupan pada kerja ini dibahas lebih lanjut pada Cristina Morini & Andrea Fumagalli, Life put to work: Towards a life theory of value, Ephemera, 10, 3/4 (2010) dan Paolo Virno, A Grammar of Multitude: For an Analysis of Contemporary Forms of Life, terj., I. Bertoletti, dkk. (NY, LA: Semiotext(e), 2004) berikut kata pengantar dari Sylvere Lotringer, We, the Multitude dalam buku tersebut.
29

12

Sampai di sini setidaknya upaya penulis untuk mengenang ungkapan-ungkapan inspirasional dari sosok Steve Jobs telah menunjukkan pada kita beberapa gagasan sentral yang menjadi motor di balik jayanya Apple. Beberapa diantaranya adalah: strategi diferensiasi dan inovasi, produksi yang berbasiskan konsumsi, paradigma jaringan, produksi artistik-kreatif, dan kerja-sama tim. Karena gagasan-gagasan ini terinspirasi dari cara Steve Jobs mengantarkan Apple ke kejayaannya, maka sebagai penghargaan anumerta bagi Jobs, penulis usulkan untuk menganugerahkan predikat Kapitalisme Apple pada paradigma produksi yang demikian. Penghargaan ini sekaligus membebas-tugaskan Jobs sebagai sang perantara di artikel ini. Dalam tulisan ini, Jobs telah melaksanakan tugas dengan baik untuk menghantarkan penulis dan para pembaca sekalian untuk memahami gambaran awal dari kapitalisme pasca-Fordis melalui Kapitalisme Apple. Keberhasilan Kapitalisme Apple dalam menghantarkan pembahasaan pada paradigma produksi kapitalis yang lebih makro lagi, yaitu pasca-Fordis, juga berarti bahwa sebenarnya Kapitalisme Apple tidaklah begitu inovatif. Segala keliaran artistik yang mampu dipikirkan Jobs untuk kemudian digubahnya dalam Mac, iPod, iTouch, iPhone, iPad dan i-i lainnya sebenarnya telah dapat ditebak apabila kita memahami karakteristik kapitalisme pasca-Fordis. Bagian berikutnya adalah untuk membuktkan argumentasi ini, yaitu bahwa paradigma produksi kapitalisme pasca-Fordis telah lebih dahulu ada dari pada Kapitalisme Apple, sehingga Steve Jobs dan Applenya tidak lebih dari pada salah satu figur atau simptom zaman yang darinya kita dapat telusuri semangat zaman (zeit geist) yang melatar-belakanginya. TRANSISI KAPITALISME: FORDIS PASCA-FORDIS Sistem kapitalisme senantiasa mencari cara untuk menjaga kesinambungan proses akumulasi kapital. Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa kapitalisme selalu berhasil keluar dari setiap krisis yang menimpanya dengan menciptakan sistem yang baru dengan karakteristiknya tersendiri. Kapitalisme selalu mencari celah dan cara untuk melanggengkan, menstabilisasi, dan mereproduksi dunianya (yi. sistem kapitalisme itu sendiri); namun dengan tujuan yang sama yaitu untuk melanggengkan, bahkan jika bisa mengabadikan rezim akumulasi kapital. Salah satu kesepakatan di antara para akademisi dalam melihat transisi dari kapitalisme ini adalah dengan memberikan label pada sistem yang berlangsung pada suatu periode (era) waktu tertentu. Pada saat ini, kapitalisme sedang berada pada periode yang disebut-sebut sebagai kapitalisme pasca-Fordis, yang didahului oleh apa yang disebut dengan kapitalisme Fordis. Pelabelan istilah pascaFordisme untuk mengidentifikasi kapitalisme saat ini pun sebenarnya masih berupa perdebatan di antara kalangan akademisi.33 Ada yang menyebutnya dengan pasca-industri, pasca-modern, Kondratiev kelima, dan sebagainyayang pada dasarnya istilah ini
Perdebatan ini, salah satunya, terdokumentasi dengan baik pada Ash Amin, peny., Post-Fordism: A Reader (Oxford: Basil Blackwell, 1994).
33

13

menjelaskan karakteristik yang relatif sama dengan pasca-Fordisme. Namun, terlepas dari berbagai perdebatan yang ada, muncul konsensus bahwa pada saat ini telah, sedang, dan masih akan terjadi transisi kapitalisme yang menyebabkan pola dan nature dari kapitalisme itu sendiri pun mengalami perubahan.34 Berkaitan dengan itu, pertanyaan yang kemudian muncul adalah kapan transisi terjadi; apa yang terjadi sebelum, pada masa, dan setelah transisi; mengapa ia terjadi, dan apa implikasinya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penting bagi kita untuk memahami Fordisme yang merupakan bentuk kapitalisme versi sebelumnya. Pada bagian akhir dari sub-bab ini, akan dijelaskan bagaimana transisi dari fase kapitalisme sebelumnya telah membawa perubahan pada kapitalisme hari ini (yaitu pasca-Fordisme). Fordisme Kapitalisme Fordis, atau Fordisme, adalah kapitalisme yang menekankan aspek produksi sebagai usahanya untuk bertahan eksis. Masa kejayaan kapitalisme Fordisme berada di sekitar tahun 1950-an hingga 1960an. Kapitalisme ini diawali dengan adanya revolusi produksi yang diinisiasi oleh Frederick Taylor dan Henry Ford.35 Taylor memperkenalkan metode manajemen buruh berdasarkan studi ilmiah yang dilakukannya.36 Menurutnya, maksimalisasi produksi dan kecepatan kerja buruh dapat dicapai melalui simplifikasi pekerjaan bagi tiap buruh. Metode semacam ini menyebabkan adanya fragmentasi tugas ke bagian-bagian yang lebih detil dan spesifik. Setiap bagian harus dikerjakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh manajer perusahaan.37 Henry Ford menerapkan metode Taylorisme tersebut melalui inovasi-inovasi yang digalakkan perusahaannya. Di antara pertengahan tahun 1913 dan awal tahun 1914, Ford sebagai pemilik Ford Motor Company memperkenalkan dua inovasi (assembly line atau lini perakitan dan program five dollar day) yang memungkinkan perubahan proses produksi yang menekankan pada produksi massal. Menurut Ford, kedua inovasi perusahaannya tersebut sebenarnya adalah bentuk respon atas problematika yang sebelumnya dialami perusahaan; tingginya tingkat absensi buruh di pabrik dan ketidakmampuan perusahaan memenuhi permintaan pasar untuk memproduksi mobil Model T. Model T ini merupakan
34 Pasca-Fordisme itu sendiri sebenarnya juga telah dan sedang mengalami mutasinya sendiri. Misalnya, untuk transisi ke kapitalisme berparadigma jaringan, lihat Luc Boltanski & Eve Chiapello, The New Spirit of Capitalism, terj., G.Elliott (London: Verso, 2007). Untuk perdebatan mengenai transisi (dan krisis) kapitalisme finansial, lihat Andrea Fumagalli & Sandri Mezzadra, peny., Crisis in the Global Economy: Financial Market, Social Struggles and New Political Scenarios, terj., J.F. McGimsey (LA: Semiotext(e), 2010). Namun demikian artikel ini hanya akan membahas pascaFordisme pada umumnya, jika bukan varian yang mula-mula, saja, yaitu yang terjadi di sekitaran tahun 1970an akhir. 35 Michel Aglietta. A Theory of Capitalist Regulation: The U.S. Experience (London: New Left Books, 1979), hlm 111-122. 36 Lihat Frederick W. Taylor, Principles of Scientific Management (NY, London: Harper & brothers, 1947 [1911]) 37 Aglietta, Capitalist Regulation, hlm. 111-122.

14

jenis mobil yang diproduksi Ford yang ditujukan untuk kelas menengah sehingga harganya pun relatif terjangkau.

Gambar Mobil Model T38

Inovasi Ford yang berupa lini perakitan memungkinkan perusahaan memenuhi permintaan pasar yang sangat tinggi atas mobil Model T . Dengan metode tersebut, Ford mampu berproduksi secara massal. Strategi yang diaplikasikan dalam metode lini perakitan mendorong timbulnya fragmentasi dan simplifikasi pekerjaan seperti pada Taylorisme. Penetapan rangkaian tugas yang ada pada lini perakitan menuntut setiap buruh menyelesaikan tugas bagiannya masing-masing dengan tepat waktu agar bagian selanjutnya dapat dikerjakan oleh buruh lain, dan begitu seterusnya. Metode perakitan juga menuntut lebih disederhanakannya tugas bagi setiap buruh sehingga pekerjaan dapat selesai sesegera mungkin, sesuai batas waktu dan tempat yang dialokasikan oleh manajer perusahaan. Tempo dan ritme kerja yang cepat dan teratur inilah yang menjadi strategi untuk meningkatkan produktivitas buruh sehingga pada akhirnya Ford dapat memproduksi mobil Model T secara massal. Sementara itu, program five dollar day menjadi inovasi yang diperkenalkan untuk menarik lebih banyak buruh yang bersedia bekerja di pabrik dengan cara menaikkan upah sebanyak dua kali lipat. Ketersediaan buruh dalam jumlah besar tentunya sangat diperlukan pada proses produksi massal. Ford menaikkan upah buruh demi memenuhi ketersediaan buruh tersebut. Kenaikkan upah buruh dilakukan juga untuk mencegah buruh lama meninggalkan pabrik. Produksi massal mendorong upaya intensifikasi daya kerja buruh sehingga mereka dituntut untuk meningkatkan tempo kerja yang tentunya akan menambah beban mereka. Jika kenaikan beban kerja ini tidak diiringi dengan kenaikan gaji, pemilik perusahaan khawatir para buruh akan berhenti bekerja.39 Dengan

Diakses dari http://www.time.com/time/specials/2007/article/0,28804,1658545_1657686_1657663,00.html Carl H. A. Dassbach, The Origins of Fordism: The Introduction of Mass Production and the Five-Dollar Wage, Critical Sociology, 18: 77 (1999), hlm 87.
38 39

15

kata lain. upah buruh yang ditingkatkan ini merupakan bentuk insentif bagi buruh sejalan dengan meningkatnya tuntutan produktivitas perusahaan. Karakteristik Kapitalisme Fordis Inovasi-inovasi Ford berhasil menjadi tren dalam manajemen organisasi industri di Amerika dan meluas ke negara-negara industrialisasi kapitalis lainnya, seperti di Eropa dan Jepang.40 Inovasi-inovasi tersebut memicu revolusi proses produksi perusahaaanperusahaan yang menekankan pada produksi massal. Walaupun demikian, Fordisme bukan hanya sekadar merujuk pada sistem produksi massal. Ada karakteristikkarakteristik yang menonjol dari Fordisme yang membedakannya dari kapitalisme saat ini, yakni kapitalisme pasca-Fordis. Pada bagian ini, penulis akan memaparkan karakteristik kapitalisme Fordis sebelum menjelaskan perbedaannya dengan kapitalisme pasca-Fordis. Menurut Bob Jessop, kapitalisme Fordis dapat dianalisis dalam empat level.41 Keempat level yang disebutkan oleh Jessop memiliki karakteristik ideal dari Fordisme yang merujuk pada kondisi ekonomi makro Amerika Serikat di sekitar tahun 1950-an.42 Pertama, sebagai bentuk proses kerja, Fordisme melibatkan produksi massal berdasarkan teknik lini perakitan dan dioperasikan oleh buruh semi-terampil (semi-skilled labour) dalam jumlah yang besar. Kedua, sebagai mode pertumbuhan ekonomi makro yang stabil (rezim akumulasi), Fordisme menggantungkan circle of growth pada produksi massal, meningkatkan pendapatan melalui peningkatan produktivitas, sedangkan peningkatan produktivitas sendiri dilakukan berdasarkan skala ekonomis. Dalam maksimalisasi profit, kapitalisme Fordis pun turut memaksimalkan pemanfaatan kapasitas produksi. Fordisme juga mendorong investasi besar-besaran yang dialokasikan untuk perbaikan teknik dan alat-alat produksi massal. Ketiga, sebagai mode regulasi, Fordisme memiliki pembagian kerja antara pemilik dan pengontrol perusahaan sehingga menyebabkan adanya desentralisasi dalam pengorganisasian pekerjaan. Meskipun demikian, kontrol dan pengambilan keputusan tetap ada di pusat. Dalam Fordisme juga terdapat monopoli harga, pengakuan pada serikat buruh dan perundingan secara kolektif. Fordisme memungkinkan upah buruh sejalan dengan pertumbuhan produktivitas dan inflasi harga jual produk. Terakhir, Fordisme dilihat sebagai pola organisasi sosial secara umum. Dalam konteks ini, Fordisme turut ambil bagian dalam relasi sosial masyarakat. Hal yang menonjol pada kapitalisme Fordis adalah adanya standardisasi dan homogenisasi
40 Deborah M. Figart, Wage-setting under Fordism: The rise of job evaluation and the ideology of equal pay, Review of Political Economy , 13:4, (2001), hlm 408. 41 Dalam Ash Amin, Post-Fordism, hlm 9-10. 42 Ibid , hlm 10.

16

konsumsi masyarakat. Standarisasi juga terjadi pada barang dan layanan publik. Standardisasi macam ini dilakukan oleh negara. Pada masa Fordisme, negara memegang peranan penting dalam kehidupan ekonomi makro. Negara mengeluarkan kebijakankebijakan yang mendukung gagasan Keynesian mengenai welfare state, seperti kebijakan yang menjamin full employment, membantu terciptanya keseimbangan permintaan dan penawaran pasar, mengatur kebijakan buruh, dan mencegah terjadinya inflasi. Di masa kapitalisme Fordisme, para pemilik kapital tidak hanya harus memikirkan bagaimana caranya memproduksi dalam jumlah massal. Mereka juga harus mencari cara agar produk-produk mereka dikonsumsi oleh konsumen. Kelas pekerja, sebagai kelas yang jumlahnya paling besar, dianggap sebagai pasar yang menjanjikan bagi kalangan kapitalis.43 Untuk menjadikan kelas pekerja sebagai konsumen, tentunya daya beli mereka harus ditingkatkan. Oleh karena itu, pada masa kapitalisme Fordisme, muncul kebijakankebijakan penaikan upah buruh yang diinisiasi para welfare capitalist.44 Langkah menjadikan pekerja sebagai konsumen juga dilakukan Ford melalui program five dollar day yang sempat dibahas sebelumnya. Bahkan selain melalui program five dollar day, Ford sampai melaksanakan investigasi untuk mempelajari kondisi kehidupan domestik para buruhnya. Berdasarkan investigasi ini, Ford menerapkan strategi-strategi yang mendorong timbulnya gaya hidup mengkonsumsi durable goods diantara para buruh yang menjamin ketergantungan mereka terhadap tingginya upah.45 Akhir Fordisme Perdebatan di antara kalangan akademisi mengenai penyebab berakhirnya kapitalisme Fordisme dan munculnya pasca-fordis telah dan masih mewarnai studi ilmu sosial hingga saat ini. Namun, pada dasarnya, banyak yang sepakat bahwa terdapat suatu transisi perkembangan kapitalis yang dimulai sejak pertengahan 1970-an. Transisi yang dimaksud adalah transisi kapitalisme Fordis ke pasca-Fordis. Kapitalisme Fordis mengalami krisis yang menyebabkan ia bertransisi ke fase selanjutnya. Fordisme mulai menunjukkan kelemahannya pada akhir 1960-an dan kemudian mengalami krisis, ditandai dengan adanya resesi ekonomi, di kisaran tahun 1973.46 Resesi ekonomi ini ditunjukkan dari tingkat inflasi yang tinggi sepanjang dua puluh tahun terakhir. Tingkat penurunan profit akibat krisis saat itu merupakan yang paling buruk dalam beberapa dekade terakhir. Di AS saja, profit menurun hingga 11%, padahal

43 Maria N. Ivanova, Consumerism and the Crisis: Wither 'the American Dream'?, Critical Sociology, 37: 3, (2011), hlm. 333. 44 David Gartman, Postmodernism; Or, The Cultural Logic Of Post-Fordism? The Sociological Quarterly ,39, 1, (Winter, 1998) , hlm 122. 45 ibid, hlm 122. 46 ibid, hlm 121.

17

sebelumnya, antara tahun 1948-1968, profit rata-rata selalu berada pada tingkat 20%.47 Krisis semakin memburuk dengan meningkatnya resistensi buruh. Hampir disetiap negara industri kapitalis mengalami pelonjakan aktivitas pergerakan buruh. Kondisi-kondisi demikian menimbulkan ancaman bagi akumulasi kapitalis. Oleh karena itu, berbagai usaha dilakukan para kapitalis untuk mengatasi krisis dan mempertahankan eksistensinya. Sistem produksi massal yang dibarengi dengan peningkatan upah buruh tidak lagi digunakan mengingat profit yang terus menurun. Usaha-usaha inilah yang pada akhirnya membuka peluang terjadinya transisi kapitalisme yang mengarah kepada pasca-Fordisme. Pasca-Fordisme Satu poin penting dalam memahami transisi ke masa pasca-Fordisme adalah bahwa kapitalisme itu sendiri telah mengalami pergeseran makna, sehingga berakibat pada perubahan pola dan natur dari kapitalisme. Dua masa yang berbeda ini memperlihatkan kondisi yang secara fundamental masih berada dalam logika yang sama (yaitu logika kapitalisme itu sendiri untuk akumulasi kapital), namun telah berubah dalam wujudnya. Untuk hal ini Negri berpendapat, mutation has already taken place.48 Dengan kata lain, baik Fordisme maupun pasca-Fordisme pada dasarnya adalah kapitalisme itu sendiri, namun perubahan yang terjadi ini mengindikasikan bahwa kapitalisme itu telah bermutasi menjadi sesuatu yang oleh Lazzarato dikatakan menciptakan dunianya sendiri.49 Hal ini bermakna bahwa kapitalisme berperan dalam menciptakan apa yang dibutuhkan, bahkan menciptakan apa yang ia inginkan untuk dibutuhkan. Jadi pasca-Fordis pada akhirnya tetaplah kapitalisme yang ditujukan untuk memperkuat sistem kapitalisme itu sendiri.50 Sebagai akibat dari transisi yang terjadi sebelumnya, pasca-Fordisme membawa suatu cara pandang yang baru dalam melihat modus produksi dan konsumsi. Pertama, sampai pada titik tertentu dalam sistem kapitalisme, sistem produksi tidak lagi didasari oleh sistem produksi massal seperti yang terjadi pada masa Fordis, namun produksi yang lebih terspesialisasi yang dalam perkembangannya menjadi produksi komoditas yang eksklusif dengan logika pembedaan dalam sistem sosial masyarakat (untuk hal ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya). Kedua, pola konsumsi pun pada akhirnya berubah dari konsumsi yang pada awalnya disadari untuk memenuhi kebutuhan yang utama menjadi pola konsumsi yang memiliki tujuan untuk mencapai standar hidup yang lebih tinggi
47 George Caffentzis, From Capitalist Crisis to Proletarian Slavery: An Introduction to Class Struggle in the US, 19731998, diakses dari http://libcom.org/library/capitalist-crisis-proletarian-slavery-introduction-class-struggle-us-19731998. 48 Antonio Negri, Metamorphoses, terj. A. Toscano, Radical Philosophy , 149 (Mei-Jun 2008), hal. 22. 49 Maurizzio Lazzarato, From Capital-Labour to Capital-Life, Ephemera, 4, 3 (2004), hal. 187. 50 Krishan Kumar, From Post-Industrial to Post-Modern Society: New Theories of the Contemporary World (2nd Edition), (Oxford: Blackwell Publishing Ltd, 2005), hlm. 68.

18

dengan mengaburkan kebutuhan yang sebelumnya disadari sebagai kebutuhan tersier sebagai kebutuhan yang (harus) dipenuhi, alasan mengapa (harus) akan dijelaskan pada bagian berikutnya. Dengan kata lain, pola konsumsi pada masa pasca-Fordis tidak hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan mendasar, namun sesuatu yang diterjemahkan sebagai kebutuhan yang mendasar. Sebagai konsekuensinya, pasar dengan produksi massal menjadi semakin tidak populer karena pasar yang menawarkan kemewahan (luxury), spesifikasi, dan eksklusivitas menjadi tren belakangan; sehingga secara umum, modus produksi menjadi tidak homogen dan terstandardisasi, melainkan terspesialisasi dan terdiferensiasi. Manajemen Buruh Pasca-Fordis Manajemen buruh merupakan jantung dari kapitalisme yang berarti bahwa inovasi dari dari unsur inilah yang memungkinkan kapitalisme bertahan hingga saat ini. Namun transisi dari era Fordis ke pasca-Fordis mengakibatkan konseptualisasi akan buruh bergesar sehingga mekanisme kontrol terhadapnya pun berubah. Sama dengan penjelasan terdahulu dalam pengantar sub-bagian pasca-Fordis ini, logika dari manajemen buruh ini masih tetap sama, yaitu untuk mengorganisasikan bagaimana buruh (akan bekerja); namun praktik dan implementasi dari bagaimana mereka akan dipekerjakan-lah yang berbeda antara masa Fordis dan pasca-Fordis. Terlepas dari perdebatan mengenai kapan tepatnya dunia ini memasuki zaman pasca-Fordis, nyata terlihat beberapa pola, kecenderungan, dan kondisi yang berbeda di masa ini dengan sebelumnya. Menurut Lazzarato, great transformation yang terjadi pada awal tahun 1970an telah menyebabkan perubahan yang cukup signifikan, terutama dalam hal pengorganisasian kerja.51 Berangkat dari kondisi ini, Lazzarato kemudian menggagas konsep immaterial labor untuk menunjukkan kecenderungan yang sedang terjadi saat ini (masa pasca-Fordis) bahwa labor tidak hanya mengacu pada para buruh maupun pekerja yang mendedikasikan waktu kerjanya kepada para pemilik modal untuk menghasilkan komoditas tertentu yang daripadanya mereka akan mendapatkan imbalan atas usahanya. Material labor adalah istilah Lazzarato untuk merepresentasikan buruh yang menghasilkan produk tertentu (yang riil, non-abstrak) sebagai komoditas yang dihasilkan. Namun kemudian Lazzarato melihat bahwa pengertian yang demikian saja tidak cukup menjelaskan konsep labor dalam sistem kapitalisme kontemporer, sehingga digagasnyalah konsep immaterial labor. Secara sederhana, ia tetaplah buruh yang menghasilkan komoditas, namun sebagai mana yang ditekankan Lazzarato, immaterial labor menghasilkan komoditas yang sifatnya informasional dan kultural,52 yang notabene merupakan manifestasi relasi
Maurizio Lazzarato, Immaterial Labor, terj., P. Colilli & E. Emery, dalam M. Hardt & P. Virno, peny., Radical Thoughts in Italy: A Potential Politics (Minnesota:University of Minnesota Press, 1996), hlm. 133. 52 Ibid., hlm. 142
51

19

sosial. Dengan kata lain, imaterial labor tidak sekedar menghasilkan produk (yang wujudnya dapat dilihat dan disentuh), ia juga menghasilkan relasi sosial. Relasi sosial ini, oleh Lazzarato, didefinisikan secara sederhana sebagai korelasi antara inovasi, produksi dan konsumsi, yang notabene merupakan kondisi yang memungkinkan berlangsungnya proses akumulasi kapital terhadap apapun, yang kepadanya immaterial labor ini bekerja bahkan secara sukarela dan tidak sadar. Lebih dari itu, dalam kerangka produksi immaterial labor, relasi sosial dijadikan komoditas. Berbeda dari komoditas lainnya, relasi sosial abstrak, namun ia memiliki kapasitas untuk mentransformasi orang yang mengkonsumsinya.53 Dengan relasi sosial sebagai komoditasnya, immaterial labor ini mempromosikan makna yang terkandung dalam sebuah komoditas (benda) dengan menciptakan imajinasi terhadap kebutuhan, selera, dan rasa yang dimanipulasi melalui benda tersebut, sehingga makna yang terkandung dalam suatu benda menjadi signifikan dalam memproduksi relasi sosial. Inilah yang menjadi dasar argumen mengapa, dalam masa pasca-Fordis dengan immaterial labor sebagai labor force-nya , apapun produk yang dikonsumsi menjadi tidak sesignifikan makna yang disampaikan ketika seseorang mengkonsumsinya. (Misal, apapun jenis kopinya, yang penting adalah aktivitas minum kopi di Starbucks, dan bukan di warung kopi di pinggir jalan. Menjadi kurang begitu signifikan produknya, melainkan apa artinya mengkonsumsi produk tersebut.) Logika ini berimplikasi bahwa siapa pun memiliki peluang yang sama untuk disebut sebagai immaterial labor, karena setiap saat dan di setiap tempat, orang-orang melakukan pekerjaan yang menghasilkan relasi sosial ini. Bekerja, umumnya, secara logis dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk menghasikan sesuatu (dalam hal ini komoditas) dalam waktu tertentu. Namun dalam konteks immaterial labor, bekerja tidak hanya dilakukan pada waktu tertentu, karena yang ingin dihasilkan adalah relasi sosial di mana para buruh ini berinteraksi satu dengan lainnya secara terus menerus, sepanjang hidupnya; hingga pada akhirnya bekerja dilihat sebagai bagian dari hidup itu sendiri.54 Dengan kata lain, hidup adalah bekerja, dan bekerja adalah hidup (life work). Argumentasi ini didukung oleh Sylvre Lotringer, bahwa era pasca-Fordis mempengaruhi struktur dan mentalitas, termasuk pemahaman akan kerja. Simpulan ini ditariknya setelah melihat ada kecenderungan meningkatnya mobilitas angkatan buruh yang waktu kerjanya tidak lain adalah waktu hidupnya sendiri.55 Memahami manajemen buruh sebagai jantung dari sistem kapitalisme selanjutnya memberikan dampak yang signifikan dalam memahami angle lain yang membentuk
Ibid., hlm. 147. Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat Lazzarato, Immaterial Labor. 55 Sylvre Lotringer, We, the Multitude, dalam A Grammar of the Multitude: for an Analysis of Contemporary Forms of Life (Los Angeles: Semiotext(e), 2004), hlm. 7.
53 54

20

unsur-unsur dari kapitalisme itu sendiri. Sebagai implikasi dari berubahnya sistem manajemen buruh dalam era pasca-Fordis ini, yang juga berubah dalam masa pasca-Fordis adalah pola konsumsi dan produksi (artistik). a. Perluasan definisi dan pola produksi Transisi kapitalisme secara signifikan dipengaruhi oleh modus dan proses produksi. Sejak sistem produksi massal yang diterapkan pada masa Fordis tidak lagi diadopsi pada masa pasca-Fordis, sistem kapitalisme saat ini menemukan cara yang baru dalam memproduksi, yaitu dengan sistem produksi yang terspesialisasi. Untuk hal ini dapat berhasil, maka diperlukan cara yang baru untuk memasarkan produk yang terspesialisasi ini. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan menerapkan logika pembedaan. Permainan logika pembedaan ini terlihat ketika sistem kapitalisme saat ini berupaya untuk mengontrol pembedaan itu sendiri, dengan senantiasa menciptakan kondisi yang tidak pasti dan sulit untuk diprediksi agar perbedaan ini selalu ada.56 Manipulasi terhadap pembedaan ini pada intinya adalah untuk menjadikan individu untuk terus-menerus mengkonsumsi, namun pada saat yang sama ingin terlihat ekslusif dan berbeda dengan orang kebanyakan, sehingga ketika ia mampu menjadi berbeda dengan orang lain, ada kepuasan yang didapatkan oleh mereka yang mengkonsumsi komoditas yang ada. Untuk hal ini, marketing memainkan peran yang signifikan dalam melakukan manipulasi terhadap apa yang dibutuhkan, dengan membalut apa yang sebenarnya bukan kebutuhan mereka namun dengan propaganda yang intensif melalui iklan dan publikasi dibuat seolah-olah menjadi suatu kebutuhan. Dengan kata lain, want dibuat seolah-olah menjadi needs. Kondisi ini adalah sebuah keadaan yang menyadarkan orang-orang ketika kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan saja tidak cukup menjadi kebutuhan primer. Ekslusivitas, kemewahan, dan identitas seseorang yang dibedakan dengan orang kebanyakan mulai menjadi bagian dari kebutuhan hidup yang entah sejak kapan kebutuhan tersier ini bergeser ke ranah primer. Inilah sebabnya mengapa mengkonsumsi kebutuhan ini menjadi keharusan: harus dipenuhi demi identitas. b. Perluasan definisi dan pola konsumsi Ketidaan produksi massal pada masa pasca-Fordis pada kenyataannya memberi implikasi bahwa era produksi telah digantikan oleh era konsumsi, karena barang yang diproduksi secara terspesialisasi memang didedikasikan untuk dapat dikonsumsi dengan cara yang unik. Unik dalam hal ini mengacu pada sesuatu yang memiliki kekhasan yang membuat seseorang berbeda dengan orang pada umumnya (dengan logika pembedaan yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya).
56

Ibid ., hlm. 191.

21

Hal tersebut juga diperkuat oleh Lazzarato ketika ia menjelaskan bagaimana perusahaan bisnis mengeksploitasi dan bahkan menetralkan dinamika dan proses pembentukan pembedaan ini, dengan mengorganisasikan cara bagaimana orang-orang memiliki pemahaman baru tentang gaya hidup yang dapat memuaskan jiwa mereka.57 Dengan demikian, orang-orang pun mulai beralih pada kegiatan mengkonsumsi, untuk memuasakan segala bentuk hasrat (dan keinginan ini). Penjelasan ini menguatkan bagaimana pada akhirnya, pola konsumsi yang terjadi saat ini tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan mendasarnya saja. Dengan demikian, hadirnya immaterial labor yang menciptakan pola-pola relasi dalam sistem sosial ini membuat definisi konsumsi meluas; di mana ketika seseorang mengkonsumsi, yang perlu dipahami adalah bukan apa yang sedang ia konsumsi (baju merk terkenal apa yang ia kenakan, di kawasan elit mana ia tinggal, gadget terbaru apa yang ia miliki, mobil mahal apa saja yang sudah ia koleksi, tempat makan mewah mana yang ia pilih untuk makan malam, bentuk tubuh yang seperti apa yang berhasil ciptakan dengan pergi ke gym secara teratur), melainkan akan menjadi apa seseorang dipandang dengan ia mengkonsumsi segala benda-benda tadi. Dalam hal ini, Lazzarato juga mengatakan hal serupa: [to] exist is to be different. 58 Sebagai konsekuensinya di era pasca-Fordis ini muncullah apa yang disebut dengan konsumerisme. Konsumerisme menggambarkan sebuah komunitas di mana setiap individu di dalamnya memformulasikan tujuan hidup mereka dengan mendapatkan komoditas yang sebenarnya tidak begitu mereka perlukan (bukan kebutuhan primernya). Mereka terjebak dalam proses mendapatkan barang melalui belanja dan memperoleh identitasnya melalui apa yang mereka beli dan barang apa yang mereka miliki yang dapat dipertunjukkan kepada orang lain.59 Dengan demikian, konsumerisme membantu menciptakan sebuah fantasi tentang kebebasan dan kepastian (akan identitasnya) yang pada dasarnya semu dalam sebuah komunitas di mana mereka menjadi bagian di dalamnya.60 *** Melalui rangkaian penjelasan diatas, kita dapat melihat bagaimana transisi dari masa yang disebut dengan Fordisme menuju pasca-Fordisme telah mengakibatkan perubahan yang cukup signifikan dalam melihat karakteristik, pola, dan wujud dari kapitalisme. Sistem yang sebelumnya bertumpu pada sistem produksi massal kemudian bertransisi pada sistem produksi terspesialisasi, dengan pola konsumsi yang semakin semakin spesifik pula. Poin yang perlu diperhatikan dalam penjelasan akan transisi ini
Ibid, hlm. 189 Lazzarato, From Capital-Labour to Capital-Life, hlm. 191. 59 Peter N. Stearns, Consumerism in World History: The Global Transformation of Desire, (New York: Routledge, 2001), hlm. ix. 60 Alan Warde, Consumers, Consumption, and Post-Fordist, dalam R.Burrows & B. Loader, peny., Towards a Post-Foridist Welfare State?, (London: Routledge, 1994).
57 58

22

adalah bahwa apa yang terjadi pada saat ini adalah bagian dari rangkaian sejarah; yang tidak terjadi begitu saja, atau hanya sebagai konsekuensi logis, dari perkembangan peradaban manusia. Pula melalui pemaparan ini penulis kira tema-tema Kapitalisme Apple yang disinggung pada bagian sebelumnya telah ditunjukkan presedennya. Strategi diferensiasi dan inovasi, produksi yang berbasiskan konsumsi, paradigma jaringan, sampai produksi artistik-kreatif telah diantisipasi oleh paradigma pasca-Fordisme. Sehingga sekali lagi, Kapitalisme Apple tidaklah begitu inovatif apabila dibandingkan dengan pergeseran paradigmatik Fordisme ke pasca-Fordisme. Mungkin akan lebih tepat dikatakan bahwa Kapitalisme Apple merupakan salah satu manifestasi kongkrit kapitalisme pasca-Fordis, dengan Steve Jobs sebagai relay utamanya. Tidak lebih. Implikasi dan tantangan analitis ke depan Sedikit refleksi tentang penggunaan istilah. Memahami transisi kapitalisme sebaiknya tidak dengan menggunakan istilah-istilah tahap,61 perkembangan, 62 dan/atau pertumbuhan.63 Penggunaan istilah demikian tidaklah salah, melainkan beresiko mengikatkan analisis pada suatu asumsi bahwa transisi kapitalisme varian satu ke yang lainnya adalah sesuatu yang linier, tidak terelakkan (necessary) dan merupakan konsekuensi logis dari kemajuan peradaban umat manusia. Resikonya, analisis tidak akan mampu melihat kebaruan yang benar-benar baru, unik, bahkan radikal dari kapitalisme itu sendiri seraya bersusah-payah mnecocok-cocokkan fenomena-fenomena kontemporer dengan kanon, konsep dan teorisasi ortodoks, butut dan lapuk. Leninism cannpot explain the metropolis,64 dan jika ia dipaksakan mentah-mentah maka bisa ditebak, hasilnya tidak akan pernah akurat. Sekali lagi ditekankan, hal tersebut tidaklah salah dan sebenarnya bukan pula menjadi urusan penulis, namun jika suatu analisis konsisten untuk tetap mempertahankan predikatnya sebagai suatu analisis, dan bukan ideologi, maka hal tersebut harus diperhatikan.

Misal, Vladimir Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism (1916), (bisa diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1916/imp-hsc/ ) dan Robert Albritton, Makoto Itoh, Richard Westra dan Alan Zuege, peny., Phases of Capitalist Developmen: Booms, Crises and Globalizations (London: Palgrave, 2001). 62 Misal, Paul Sweezy, The Theory of Capitalist Development (New York: Monthly Review Press1968 [1942]). 63 Ronald E. Seavoy, Origins and Growth of the Global Economy: From the Fifteenth Century Onward (Westport: Greenwood Press, 2003) dan nobel loreat ekonomi tahun 2001, Michael Spence, The Next Convergence: The Future of Economic Growth in a Multispeed World (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011). 64 Franco Berardi, Technology and Knowledge in a Universe of Indetermination, SubStance #112 , 36, 1 (2007), hlm. 57. Kapitalisme kontemporer telah bermutasi kearah yang tidak dialami, dan bahkan tidak dibayangkan oleh Lenin yang seolah-olah menandaskan kemungkinan otonomi kesadaran kelas (yi. intelektual organik) dari basis ekonominya, dan menyandarkan harapan revolusi padanya. Kapitalisme kontemporer beroperasi justru di dan dengan cara mengaburkan basis kesadaran, bahkan pengetahuan (kognisi), dengan basis material ekonomi. Kegagalan Lenin memahami ini membuat revolusi Leninis tidak lebih dari pada inovasi Schumpeterian. Lihat catatan kaki no 68.
61

23

Resiko teoritis lainnya dalam mengasumsikan linearitas transisi kapitalisme adalah bahwa analisis tidak akan mampu menunjukkan faktor-faktor apa yang menuntun, jika bukan memaksa, terjadinya transisi-transisi dalam sejarah kapitalisme. Ia akan gagap menjelaskan bagaimana transisi kapitalisme tersebut terjadi di situ dan saat itu, dan bukan di tempat lain dan masa-masa lainnya. Akibatnya, sang analis akan terus menerus diterpa kekagetan abadi dalam menghadapi krisis demi krisis yang melanda kapitalisme. Implikasinya justru kontra-produktif, setidaknya dari kacamata perlawanan yang penulis kampanyekan, karena analisis tidak akan berhenti menjadi urusan pertukangan yang harus selalu menjelaskan apa dan mengapa kapitalisme bertransisi (kepada pada penguasa politik dan pemodal). Analisis hanya akan menjadi tidak lebih dari pengencang sekrupsekrup, pengganti engsel karatan, dan penambal talang-talang bocor negara, perusahaan dan masyarakat (kapitalis) yang disebabkan hujan badai kapitalisme, sementara hujan badai tersebut tidak pernah tersentuh. Analisis memang sebaiknya ditujukan untuk pemecahan masalah (problem solving). Namun demikian, dan ini sekaligus menjadi posisi penulis, analisis haruslah memecahkan masalah yang diajukannya sendiri, dan bukan masalah yang diajukan oleh orang lain. Otonomi problematisasi adalah unsur yang mengedepan di sini. Analisis selalu muncul dalam konteks problematik; dan suatu problem selalu adalah problem bagi seseorang, sementara bukan bagi yang lainnya. Misalnya, volatilitas bursa valuta asing adalah problem bagi segelintir spekulan petaruh bursa efek, namun bukan problem bagi seorang anak di bawah umur yang mengumpulkan uang untuk makan dari mengemis di persimpangan satu ke persimpangan lainnya. Jadi jelas di sini, problematisasi sendiri bukanlah sesuatu yang universal. Problematisasi adalah pilihan dan keberpihakan politik.65 Sehingga secara operasional, tujuan utama dari analisis adalah mengklarifikasi suatu problem di lapangan dan meletakkannya dalam medan problematik yang dianggapnya benar-benar problematik, dan bukan sebagaimana diyakini popularitas. Karena jangan-jangan, cara orang kebanyakan memproblematisasi sesuatu, justru sumber problem itu sendiri. Akhirnya, langkah pertama bagi kerja problematisasi adalah suatu problematisasi ulang (reproblematization). Memproblematisasi ulang fenomena transisi kapitalisme, penulis mengusulkan untuk memahaminya dalam istilah mutasi66. Tidak seperti istilah-istilah sebelumnya, mutasi mengimplikasikan suatu perkembangan yang dipaksakan sebagai akibat dari
65 Tentang problematisasi sebagai sebentuk kerja pemikiran (work of thought) dan politik tersendiri, lihat Michel Foucault, Polemics, Politics, and Problemizations, dalam P. Rabinow, peny., The Foucault Reader (NY: Pantheon Books, 1984) 66 Seperti yang ditekankan Bifo, ...we realize that this process cannot be deterministic. Processes of mutation are in general highly volatile. During the mutation, the relationship between the organism and its environment is perturbed, redefined as stochastic, fragile, probabilistic. Lih. Franco Berardi (Bifo), Biopolitics and Connective Mutation, Culture Machine, 7 (2005), par. 4.

24

terganggunya linearitas lintasan ideal dari, dalam hal ini, kapitalisme. Hasil dari transisi kapitalisme dengan demikian bisa dibilang sebagai sesuatu yang sifatnya jadi-jadian. Kapitalisme yang dilahirkan dari suatu transisi terpisah secara radikal dengan konsepsi kapitalisme sebelum krisis, bahkan ia sama sekali tidak terbayangkan. Contohnya sederhana, mungkinkah Lenin sudah membayangkan memimpin revolusi dengan menggesek-gesek iPad dengan jemarinya, atau Henry Ford menugaskan aktris film porno untuk menggesek-gesekkan payudara silikonnya ke kap mobil Ford model T-nya untuk memikat calon pembeli? Menekankan radikalitas transisi ini, Negri menggunakan istilah metamorfosis67 sekaligus usul istilah lain dari penulis di samping mutasi untuk menggantikan perkembangan, dst. Metamorfosis tidak berbicara mengenai perubahan dalam arti reformis, sebaliknya ia menunjukkan suatu perubahan radikal, tidak hanya di tataran imaterial, melainkan sampai kepada penjelmaan imaterialitas tersebut ke dalam obyekobyek yang material. Metamorfosis kapitalisme (yaitu metamorfosis modus produksi yang berbasiskan pada ekstraksi nilai lebih dari para buruh) di era kontemporer saat ini mempertontonkan munculnya bentuk-bentuk komodifikasi, produksi, kerja, dst. yang sama sekali baru, bahkan aneh, jika di pandang dari cara pandang sebelumnya.68 Contoh sederhananya, jika dahulu komoditas hanya berupa barang, maka hari ini jasa paling absurd sekalipun seperti menjodohkan kakek-kakek dengan ABG pun bisa menghasilkan keuntungan besar. Tujuan tulisan ini bukan untuk menunjukkan suatu pergeseran yang absolut (yang tanpa regresi, yang tanpa ambiguitas, dsb.). Yang ingin diemban tulisan ini adalah untuk mendemonstrasikan bahwa telah lahir varian baru kapitalisme, dan untuk memahami ini tentu dibutuhkan progresivitas, inovasi, bahkan mutasi dalam hal teorisasi. Kapitalisme di zaman Elvis Presley, tentu berbeda dengan kapitalisme di zaman Lady Gaga; pula mode produksi saat sistem komunikasi hanya bisa dilakukan paling banter melalui telegram, dengan mode produksi di saat jari-jari yang meluncur di atas papan bernama iPad bisa membawa orang ke semesta jejaring informasi dunia maya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa Elvis dan Gaga tidak memiliki hubungan sama sekali. Memahami popularitas Lady Gaga juga harus menunjukkan faktor-faktor yang mengubah standar popularitas dari era Elvis ke era Gaga. Popularitas Lady Gaga hari ini dengan demikian

Antonio Negri, Metamorphoses, hal. 22. Beberapa akan tergoda untuk menghubungkan hal ini dengan destruksi kreatif dan inovasi enterprenerial ala Joseph Schumpeter. Hal ini bukanlah yang dimaksud penulis karena dalam pengertian Schumpeterian ini tersembunyi nada keniscayaan profetik pada perkembangan kapitalisme tersebut. Hal ini diakibatkan karena: 1) ia tidak mampu menelusuri asal-usul mengapa kapitalisme harus incessantly being revolutionized from within by new enterprise (h. 31); dan 2) primasi inovasi enterprenerial membuatnya abai terhadap faktor-faktor yang mengarahkan kemana inovasi sang enterpreneur menuju. Joseph Schumpeter, Capitalism, Socialism, Democracy (London: Routledge, 2006 [1942]).
67 68

25

dimungkinkan oleh logika popularitas yang berlaku pada hari ini, dan bukan pada zaman Elvis. Sehingga ingin penulis tekankan di penghulu tulisan ini, bahwa tantangan bagi analisis kedepan: bukan memilih salah satu varian kapitalisme dan menegasikan varianvarian lainnya; bukan juga semata-mata menekankan dimensi historis dari seluruh varian kapitalisme; bukan juga dengan naif merayakan keunikan kapitalisme dengan varian mutakhir. Tantangan perjuangan teoritik hari ini adalah bagaimana memahami keunikan hari ini, dengan segala spesifisitas dan inovasinya, dalam konteks historisnya. Pada gilirannya, tantangan ini akan membawa analisis untuk memahami kondisi-kondisi apa sajamaterial, mental, sruktural, dst.yang menyebabkan kapitalisme harus bermutasi, dan bukan semata-mata karena ia mampu, ke variannya yang hari ini. Biodata Hizkia Yosie Polimpung Peneliti dam Manajer Program di PACIVIS Center for Global Civil Society Studies, FISIP UI; mengajar Hubungan Internasional di beberapa kampus di Jakarta; aktif dalam kajian Teori dan Metodologi HI, tata-dunia, dan Kapitalisme Pasca-Fordis dari perspektif Psikoanalisis; saat ini sedang mempersiapkan disertasi doktoral untuk Departemen Filsafat, Universitas Indonesia. Melissya Debora Sitopu Staf Peneliti di PACIVIS Center for Global Civil Society Studies, FISIP UI; mahasiswa semester akhir di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI; memfokuskan studi pada kajian konsumerisme dalam era pasca-Fordisme.

Dwi Indah Mardyanti Staf Peneliti di PACIVIS Center for Global Civil Society Studies, FISIP UI; mahasiswa semester akhir di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI; memfokuskan studi pada kajian ekonomi informal dan kaitannya dengan kapitalisme global.

26

Daftar Pustaka
Agamben, Giorgio, Form-of-Life, terj., C. Cesario, dalam M. Hardt & P. Virno, peny., Radical Thought in Italy: A Potential Politics (London: Uni Minnesota Press, 1996). Aglietta, Michel, A Theory of Capitalist Regulation: The U.S. Experience (London: New Left Books, 1979). Albritton, Robert, Itoh, Makoto, Westra, Richard & Zuege, Alan, peny., Phases of Capitalist Developmen: Booms, Crises and Globalizations (London: Palgrave, 2001). Andrea Fumagalli & Mezzadra, Sandro, peny., Crisis in the Global Economy: Financial Market, Social Struggles and New Political Scenarios, terj., J.F. McGimsey (LA: Semiotext(e), 2010). Amin, Ash, peny., Post-Fordism: A Reader (Oxford: Basil Blackwell, 1994). Arvidsson, Adam, Brands: Meaning and value in media culture (London, NY: Routledge, 2006). Arvidsson, Adam, Creative Class or Administrative Class? On Advertising and the Underground, Ephemera, 7, 1 (2007). Barnett, Michael, The Pentagons New Map, Esquire (Maret, 2003), dapat diakses di http://www.nwc.navy.mil/newrulesets/ThePentagonsNewMap.htm Baudrillard, Jean, For A Critique of the Political Economy of the Sign, terj. C. Levin (Telos Press, 1981). Berardi, Franco, Technology and Knowledge in a Universe of Indetermination, SubStance #112, 36, 1 (2007) Bennett, David, "Getting the Id to Go Shopping: Psychoanalysis, Advertising, Barbie Dolls, and the Invention of the Consumer Unconscious," Public Culture, 17, 1 (2005). Boltanski, Luc & Chiapello, Eve, The New Spirit of Capitalism, terj., G.Elliott (London: Verso, 2007). Brouillette, Sarah, Creative Labor, Mediations, 24, 2 (Spring 2009). Caffentzis, George, From Capitalist Crisis to Proletarian Slavery: An Introduction to Class Struggle in the US, 1973-1998, diakses dari http://libcom.org/library/capitalist-crisis-proletarian-slavery-introductionclass-struggle-us-1973-1998 Castells, Manuel, Communication Power (Oxford: Oxford Uni Press, 2009) Castells, Manuel, Information Age, vol I: The Rise of the Network Society, edisi kedua (Malden, Oxford: Wiley-Blackwell, 2010) Castells, Manuel, The Internet Galaxy: Reflections on the Internet, Business and Society (Oxford: Oxford Uni Press, 2001). Cot, Mark & Pybus, Jennifer, Learning to Immaterial Labour 2.0: MySpace and Social Networks, Ephemera, 7, 1 (2007). Crowley, Katherine & Elster, Kathi, Working with You Is Killing Me: Freeing Yourself from Emotional Traps at Work (NY, Boston: Warner Books, 2006) Cunningham, David, dkk., peny., Radical Philosophy, 149 (Mei-Jun 2008). Dassbach, Carl H. A., The Origins of Fordism: The Introduction of Mass Production and the FiveDollar Wage, Critical Sociology, 18: 77 (1999). Figart, Deborah M., Wage-setting under Fordism: The rise of job evaluation and the ideology of equal pay, Review of Political Economy, 13:4, (2001). Florida, Richard, The Rise of the Creative Class (New York: Basic Books, 2002). Gartman, David, Postmodernism; Or, The Cultural Logic Of Post-Fordism? The Sociological Quarterly ,39, 1, (Winter, 1998). Foucault, Michel, Polemics, Politics, and Problemizations, dalam P. Rabinow, peny., The Foucault Reader (NY: Pantheon Books, 1984). Gill, Rosalind, Technobohemians or the new Cybertariat? New media work in Amsterdam a decade after the Web, Laporan untuk Institute of Network Cultures (Amsterdam: Notebooks, 2009), dapat diunduh di http://www.networkcultures.org/networknotebooks.

27

Hardt, Michael & Negri, Antonio, Empire (Harvard: Harvard Uni Press, 2000), bab 3.4. Hardt, Michael & Virno, Paolo, peny., Radical Thought in Italy: A Potential Politics (London: Uni Minnesota Press, 1996). Kumar, Krishan, From Post-Industrial to Post-Modern Society: New Theories of the Contemporary World (2nd Edition), (Oxford: Blackwell Publishing Ltd, 2005). Lacan, Jacques, Seminar 14: The Logic of Fantasy. [kumpulan makalah tidak terbit] Lazzarato, Maurizio From Capital-Labour to Capital-Life terj., V. Fournier dkk., Ephemera, 4(3), 2004. Lazzarato, Maurizio, Immaterial Labor, terj., P. Colilli & E. Emery, dalam M. Hardt & P. Virno, peny., Radical Thoughts in Italy: A Potential Politics (Minnesota:University of Minnesota Press, 1996). Lenin, Vladimir, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism (1916), bisa diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1916/imp-hsc/. Ivanova, Maria N., Consumerism and the Crisis: Wither 'the American Dream'?, Critical Sociology, 37: 3, (2011). Morini, Cristina & Fumagalli, Andrea, Life put to work: Towards a life theory of value, Ephemera, 10, 3/4 (2010) Negri, Antonio, Books for Burning: Between Civil War and Democracy in 1970s Italy, terj., T.S.Murphy, dkk. (London, NY: Verso, 2005) Negri, Antonio, Metamorphoses, terj. A. Toscano, Radical Philosophy , 149 (Mei-Jun 2008), hal. 22. Negri, Antonio, Proletarians and the State: Toward a Discussion of Workers' Autonomy and the Historic Compromise dalam A. Negri, Books for Burning: Between Civil War and Democracy in 1970s Italy, terj., T.S.Murphy, dkk. (London, NY: Verso, 2005) Rabinow, Paul, peny., The Foucault Reader (NY: Pantheon Books, 1984). Seavoy, Ronald E., Origins and Growth of the Global Economy: From the Fifteenth Century Onward (Westport: Greenwood Press, 2003). Stearns, Peter N., Consumerism in World History: The Global Transformation of Desire, (New York: Routledge, 2001) Sweezy, Paul, The Theory of Capitalist Development (New York: Monthly Review Press1968 [1942]). Taylor, Frederick W., Principles of Scientific Management (NY, London: Harper & brothers, 1947 [1911]) Terranova, Tiziana, Free Labor: Producing Culture for the Digital Economy, Social Text, 63 (2000). Warde, Alan, Consumers, Consumption, and Post-Fordist, dalam R.Burrows & B. Loader, peny., Towards a Post-Foridist Welfare State?, (London: Routledge, 1994). Virno, Paolo, A Grammar of Multitude: For an Analysis of Contemporary Forms of Life, terj., I. Bertoletti, dkk. (NY, LA: Semiotext(e), 2004).

28

Anda mungkin juga menyukai