Pertanyaan idiot inilah yang menjadi isu besar diskusi dalam artikel
ini. Dalam pembahasan, penulis memberanikan diri untuk mengajukan
suatu hipotesis yang bersifat antitetis (anti-thetical) terhadap anggapan
umum tentang negara seperti yang tak jemu-jemu dikhotbahkan
semenjak Rousseau cs. sampai Prof. Miriam Budiardjo, yaitu negara
berdaulat (sovereign state), yang bertujuan dan bertugas memberikan
keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Hipotesis idiot yang saya
tawarkan adalah 1800 kebalikannya: bagaimana jika ternyata negara
berdaulat memang tidak pernah berniat menyediakan keamanan dan
kesejahteraan rakyatnya? Jika benar demikian, maka sudah pasti jargon-
jargon dan janji-janji pemerintah untuk menyediakan keamanan dan
kesejahteraan adalah retorika semata alias pepesan kosong. Tujuannya?
—Apalagi jika bukan mempertahankan “kesetiaan” rakyatnya untuk
tinggal di teritorinya, mengingat salah satu unsur konstitutif negara
adalah rakyat?2
1
Makalah untuk disajikan pada diskusi di Cak Tarno Institute, Depok, 20 Maret
2010.
2
Lihat Konvensi Montevideo, 27 Desember 1933.
3
Untuk sekedar mempermudah, penulis mengikuti pembabakan sejarah Eropa
pertengahan pada umumnya: Abad Pertengahan Awal (early) sekitar 300-1000, Abad
Pertengahan Sentral (central) 1000-1300, dan Abad Pertengahan Akhir (late) sekitar
1300-1450.
4
Di antaranya: Visigoth dan Ostrogoth, Hun (dan Atilla-nya), Sueves, Vandals,
Lombards, Franks, Saxons, dst. (Bury, 1967)
5
Pemaparan pada bagian ini penulis sarikan dari beberapa literatur mainstream
seperti Bury (1967), Strayer (1970), Tilly (1992), Spruyt (1994), Thomson (1994), Percy
(2007), dan Jackson (2007).
Singkat cerita, sampailah Eropa pada Perang Tiga Puluh Tahun (The
Thirty Years War), 1618-1648. Pertempuran tersebut sebenarnya
merupakan letusan gunung es perselisihan antara Protestan dan Katolik.
Tahun 1500 pertengahan, Luther menyulut api Reformasi terhadap
kekristenan yang dimonopoli oleh Gereja Katolik Roma. Luther mendapat
dukungan dari beberapa raja di Jerman. Hal ini pada gilirannya semakin
memecah belah loyalitas terhadap Kekaisaran Romawi Agung yang
dipegang oleh Habsburg dari Austria yang merupakan “bodyguard” Gereja
Katolik Roma. Secara umum perang ini membentrokkan Kubu Perancis8
dan Swedia yang Protestan Reformis di satu sisi dan Kekaisaran Austro-
Romawi Habsburg yang Katolik di sisi lainnya. Situasi stalemate (imbang)
membuat para raja/ratu tidak memiliki pilihan lain selain duduk bersama
dan memikirkan perjanjian damai untuk menghentikan perang. Perang
telah menghancurkan perekonomian masing-masing pihak, sehingga
perdamaian menjadi kepentingan bersama yang mendesak untuk
dipenuhi (setidaknya untuk sementara waktu).
“... all the Rights, Regales and Appurtenances, without any reserve, shall
belong to the most Christian King, and shall be for ever incorporated with
8
Perancis, di bawah Louis XIII dan Cardinal Richelieu sebenarnya adalah penganut
Katolik, namun beraliansi dengan Swedia dan beberapa kerajaan Jerman untuk
meruntuhkan kekuasaan Habsburg.
9
Entitas-entitas tersebut seperti Liga Hanseatic, Ordo Militer Relijius, Bandit-bandit
dan Tentara bayaran, dst.
“That the most Christian King shall be bound to leave not only the
Bishops of Strasbourg and Bafle, with the City of Strasbourg, but also the
other States or Orders, Abbots of Murbach and Luederen ... so that he
cannot pretend any Royal Superiority over them, but shall rest
contended with the Rights which appertained to the House of Austria, and
which by this present Treaty of Pacification, are yielded to the Crown of
France. In such a manner, nevertheless, that by the present Declaration,
nothing is intended that shall derogate from the Sovereign Dominion
already hereabove agreed to.
(Traktat Osnabrück, Ayat 92, penekanan penulis)
“Above all, it shall be free perpetually to each of the States of the Empire,
to make Alliances with Strangers for their Preservation and Safety;
provided, nevertheless, such Alliances be not against the Emperor, and
the Empire, nor against the Publick Peace, and this Treaty, and without
prejudice to the Oath by which every one is bound to the Emperor and the
Empire.”
(Traktat Münster, Ayat 65)
Penulis ingin mengelaborasi lebih lanjut poin 3 dan 4. Untuk poin ke-
3, contoh entitas yang tidak diindahkan adalah Liga Dagang Hanseatic
yang saat itu sedang naik daun. Kemashyuran Liga terbukti dengan
menangnya Liga saat berhadapan dengan Raja Denmark dan Penguasa
London pada abad 14 akhir. Liga Hanseatic yang sedang berjaya ini
10
Kutipan-kutipan ini (dan seterusnya) penulis cuplik dari The Avalon Project :
Treaty of Westphalia, Yale Law School, 1996. Http://www.yale.edu/lawweb/avalon.
“... the emergence of sovereign states had direct consequences for the
other types of institutional arrangements in the system. The System
selected out those types of units that were, competitively speaking, less
efficient. ... Actors intentionally created a system of sovereign, territorial
states. They preferred a system that divided the sphere of cultural and
economic interaction into territorial parcels with clear hierarchical
authorities.”
(Spruyt, 1994: 180)
saja tidak dapat difalsifikasikan, semenjak falsifikasi adalah buah rasio kritis—Popper
menamai dirinya rasionalis kritis, sementara core business psikoanalisis adalah non-rasio
yang irasional. Popper harus mengubah filsafatnya menjadi ‘irasionalisme kritis’ baru
bisa memahami psikoanalisis, saya kira.
12
Interpretasi seminar yang tidak dipublikasikan ini, penulis menggunakan tiga
komentator Lacan: Gilbert Diatkine (2006), Ed Cameron (2007), dan Paul Verhaeghe
(1996).
Komoditas Kedaulatan
Sebenarnya, melalui artikel ini penulis ingin memproblematisasi
keseluruhan dimensi kedaulatan sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, namun demikian keterbatasan membuat penulis hanya bisa
membahas satu di antaranya, yaitu dimensi inside dari kedaulatan atau
yang biasa disebut ‘kedauatan ke dalam’.
Apabila ditarik ke level yang lebih makro, maka kontrol Ego atas Id,
menyerupai Pemerintah negara berdaulat, yang merepresi aktivitas-
aktivitas masyarakat domestiknya yang dianggap tidak sesuai dengan
‘rasionalitas’-nya. Negara menyakiti masyarakatnya sendiri, negara
membuat masyarakatnya menderita, dan sampai satu taraf tertentu,
dapat dikatakan bahwa negara itu suffering. Rasionalitas negara ini bisa
berupa idiologi negara, identitas negara, agama negara, “konsensus”
negara, haluan politik negara, sampai hal-hal terkecil, seperti peraturan
“dilarang menginjak rumput istana negara.” Pemerintah hadir, dengan
hukum-hukumnya, diperkuat aparatus-aparatusnya, untuk “menjaga”
agar masyarakat tetap, dalam jargon Orde Baru, “aman dan terkendali.”
Persis seperti adagium Freud, “wo es war sol ich werden” (dimana ada Id,
di situ Ego berjaga-jaga)
Jacques Lacan menolak adagium tersebut, menurutnya, Ego tidak
akan mampu benar-benar mengontrol, merepresi, membungkam,
menyingkirkan, atau menjinakkan Id. Id akan selalu muncul menghantui
tahta kedaulatan Ego. Lacan bahkan menunjukan bahwa Ego yang
berdaulat sebenarnya adalah ‘ilusi’. (1977) Ego akan selalu gegar dan
retak, karena ia akan selalu terbelah (splitted, atau bahasa Lacan, barred
subject ($)) di antara hasrat-hasratnya dan Superego, yang notabene
merupakan “musuh bebuyutan” Id.14 Sehingga Ego, senantiasa menjadi –
becoming-ego. Seperti kata Julia Kristeva, “the subject is never is.”
(Kristeva, 1974: 188)
14
Rupa-rupa Superego, seperti agama, hampir selalu menganak-tirikan hasrat,
mengganggap hasrat sebagai sesuatu yang menjijikan, sesuatu yang harus dikontrol,
sesuatu yang irasional … singkatnya, dosa!
-o0o-
15
Foucault (2008) dan Agamben (2007) memfokuskan studinya pada isu ini. Lihat
juga Negri (2008).
Prospek Perlawanan
Perlawanan konvensional biasanya akan terjebak pada gagasan-
gagasan normatif tentang negara: penyedia keamanan dan
kesejahteraan. Sehingga saat negara dirasa tidak menyediakannya, maka
hal itu dianggap sebagai penyimpangan, dan mengganti orang yang
duduk dalam sistem akan menjawab permasalahan tadi: singkatnya,
negara berdaulat akan bermasalah saat orang-orang yang duduk di
pemerintahannya jahat. Padahal sebaliknya, negara berdaulat itu jahat
karena ia bermasalah.17 Masalahnya, sebagaimana telah penulis jabarkan
di atas, terletak pada dasar bangunan universal-rasionalnya. Kecantikan
retorika universalitas-rasional kedaulatan (mis. nasionalisme, agama,
ideologi, dst.), ternyata menyimpan dimensi partikular irasional yang
sama sekali jahat (monstrous). Hal inilah yang membuat seluruh
perlawanan yang menggunakan rasionalitas universal (mis. nasionalisme,
agama, ideologi, kepentingan bersama, kesetaraan, pembangunan, dst.
dsb. dll.) hanya akan terjebak pada siklus setan ucapan pemerintah:
“nanti akan kami tindak-lanjuti! Percayakan pada pemerintah!”
16
Agamben (2004) menulis sebuah artikel dalam kemarahannya saat hendak
di-“tatoo” oleh otoritas Amerika Serikat.
17
Permainan kata ini terinspirasi dari Martin Suryajaya, saat mengatakan bahwa
“kapitalisme itu bermasalah karena ia jahat. Padahal kapitalisme itu jahat karena ia
bermasalah, dan bukan sebaliknya.”
Penutup
Jika diamati dengan cermat, setelah mengikuti alur pembahasan
pada artikel ini, judul diatas menjadi agak kontradiktif secara logika: ‘saat
negara berbalik memerangi kita’ mengasumsikan ada saat-saat dimana
negara memihak kita, padahal pembahasan penulis menunjukkan bahwa
negara secara by default telah, sedang dan akan selalu memerangi kita.
Namun untungnya bukan logika itu yang penulis pakai saat memilih judul
Biodata singkat
Hizkia Yosie Polimpung
Peneliti di Center for International Relations Studies (CIReS) FISIP UI, Pusat
Kajian Wilayah Amerika (PKWA) UI dan Lembaga Studi Urban (LSU)
Surabaya.
Kritik dan celaan, yosieprodigy@live.com
Agamben, G. (1998). Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, terj. D. Holler-
Roazen (California: Stanford Uni. Press)
Agamben, G. (10 Jan 2004). “No to Bio-political Tatooing,” Le Monde.
Agamben, G. (2007). Il Regno e la Gloria: Per una genealogia teologica
dell’economia e del governo [The Reign and The Glory: A Theological
Genealogy of Economy and Government]. (Neri Pozza)
Ashley, R. (1988). “Untying the Sovereign State: A Double Reading of the
Anarchy Problematique.” Millennium: Journal of International Studies, 17
(2), hal 227-262.
Ashley, R. (1995). “The Powers of Anarchy: Theory, Sovereignty, and the
Domestification of Global Life,” dalam James Der Derian, International
Theory: Critical Investigations (NY: New York University Press) hal. 94-128.
Bertens, K. (ed. dan penerj.) (2006). Psikoanalisis Sigmund Freud. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Beulac, S. (2004). The Power of Language in the Making of International Law.
The Word Sovereignty in Bodin and Vattel and the Myth of Westphalia.
(Leiden/Boston: Martinus Nijhoff Publishers)
Bury, J. B. (1967). The Invasion of Europe by the Barbarians. (New York: Norton).
Butler, J. (1 Apr 2002). “Guantanamo Limbo,” The Nation.
Cameron, E. (2007). “The Ethical Paradox in Kierkegaard’s Concept of Anxiety,”
COLLOQUY: text theory critique, 13. Diakses dari
www.monash.colloquy.edu.au/issue13/cameron.pdf
Diatkine, G. (2006). “A review of Lacan’s seminar on anxiety,” International
Journal of Psychoanalysis, 87, hal. 1049-58.
Devetak, R. (1995). “Incomplete States: Theories and Practices of Statecraft,”
dalam Macmillan, J., dan Linklater, A., ed. (1995) Boundaries in Questions:
New Direction in International Relations. (London: Pinter Publishers).
Foucault, M. (1984). “Truth and Power,” dalam The Foucault Reader, peny. P.
Rabinow (NY: Pantheon Books).
Foucault, M. (2003). Society Must Be Defended: Lecture at College de France,
1975-76, terj. David Macey (NY: Picador)
Foucault, M. (2008). The Birth of Biopolitics: Lecture at College de France, 1978-
79, terj. Graham Burchell (NY: Palgrave Macmillan).
Hardt, M. & Negri, A. (2000). Empire (Harvard: Harvard Uni. Press).
Hirst, P. (2004). War and Power in the 21st Century, terj. S. Bangun (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada).
Jackson, R. (2007) Sovereignty: Evolution of an Idea (Cambridge: Polity).
Kristeva, J. (1984). Revolution of Poetic Language, terj. L. S. Roudiez (New York:
Columbia University Press)
Lacan, J. (1977). Ecrits, terj. Alan Sheridan (London: Tavistock).
Lacan, J. (2007). The Seminar of Jacques Lacan, Book XVII: The Other Side of
Psychoanalysis, terj. R. Grigg (NY & London: W. W. Norton & Company, Inc.)
Nancy, J-L. (2007). The Creation of the World or Globalization, terj. F. Raffoul & D.
Pettigrew (Albany: SUNY Press).
Negri, A. (Winter, 2008). “Sovereignty: That Divine Ministry of the Affairs of
Earthly Life,” terj. G. Fadini, Journal for Cultural and Religious Theory, 9, 1.
Percy, S. (2007). Mercenaries: The History of a Norm in International Relations
(Ocford: Oxford Uni Press).
Schmitt, C. (1985). Political Theology: Four Chapters on the Concepts of
Sovereignty, terj. George Schwabb (Cambridge: MIT Press).
Spruyt, H. (1994). The Sovereign State and Its Competitors (Princeton:
PrincetonUni Press).