Anda di halaman 1dari 19

Saat Negara Berbalik Memerangi Kita:

sebuah genealogi kedaulatan negara1


[Oleh: Hizkia Yosie Polimpung]

Dewasa ini banyak dari kita yang mungkin kecewa dengan


pemerintahan negara. Tentang bagaimana ia mengatur ini dan itu,
memfasilitasi kita ini dan itu, melindungi kita dari ini dan itu, dst. Banyak
pula dari kita, entah dengan dorongan nasionalisme atau apa, berusaha
mengkritik, mengusulkan, bahkan tidak sedikit yang memaki pemerintah
oleh karena itu. Jutaan opini koran ditulis, ribuan seminar
diselenggarakan, ratusan buku ditulis dan dibedah, namun negara
nampaknya “tenang-tenang saja” dan tetap tidak berubah. Berikutnya
tentu pertanyaan yang bahkan bisa dilontarkan oleh orang idiot akan
keluar: “mengapa begitu?”; bukankah seharusnya negara
memperjuangkan kepentingan kita, masyarakat, sebagaimana tak jemu-
jemu dikhotbahkan semenjak Rousseau cs. sampai Prof. Miriam Budiardjo?

Pertanyaan idiot inilah yang menjadi isu besar diskusi dalam artikel
ini. Dalam pembahasan, penulis memberanikan diri untuk mengajukan
suatu hipotesis yang bersifat antitetis (anti-thetical) terhadap anggapan
umum tentang negara seperti yang tak jemu-jemu dikhotbahkan
semenjak Rousseau cs. sampai Prof. Miriam Budiardjo, yaitu negara
berdaulat (sovereign state), yang bertujuan dan bertugas memberikan
keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Hipotesis idiot yang saya
tawarkan adalah 1800 kebalikannya: bagaimana jika ternyata negara
berdaulat memang tidak pernah berniat menyediakan keamanan dan
kesejahteraan rakyatnya? Jika benar demikian, maka sudah pasti jargon-
jargon dan janji-janji pemerintah untuk menyediakan keamanan dan
kesejahteraan adalah retorika semata alias pepesan kosong. Tujuannya?
—Apalagi jika bukan mempertahankan “kesetiaan” rakyatnya untuk
tinggal di teritorinya, mengingat salah satu unsur konstitutif negara
adalah rakyat?2

Dengan bekal hipotesis ini, penulis akan mencoba menelusuri


kemunculan gagasan negara berdaulat, yaitu pada Perjanjan Damai
Westphalia 1648 yang mengakhiri Perang 30 Tahun dan melihat kembali
unsur-unsur yang membuat gagasan tersebut menjadi “pemenang” di
antara gagasan-gagasan kenegaraan lain di saat itu. Kata ‘kembali’
bermaksud memberi penekanan bahwa sebenarnya telah terlebih dahulu
ada beberapa tesis yang menjelaskan kemenangan gagasan kedaulatan
tadi. Hanya saja, sekaligus sayangnya, tesis-tesis ini juga yang berbicara
tentang normativitas negara sebagai penyedia keamanan dan
kesejahteraan yang justru menjadi pemicu pertanyaan idiot di awal.
Sehingga untuk kesempatan kali ini, tesis-tesis tersebut juga akan diikut-
sertakan dalam daftar “tersangka” yang akan diinvestigasi.

1
Makalah untuk disajikan pada diskusi di Cak Tarno Institute, Depok, 20 Maret
2010.
2
Lihat Konvensi Montevideo, 27 Desember 1933.

1 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


(Skandal/) Perjanjian Damai Westphalia 1648
Eropa sekitar abad pertengahan,3 pasca apa yang terkenal dengan
Barbarian invasion terhadap Imperium Romawi (Abad 5-7),4 ditandai
dengan ketidak-jelasan organisasi sosial berikut sistem pengorganisasian
masyarakat dan teritorinya.5 Bentangan kontinen Eropa peninggalan
Imperium Romawi “diwariskan” kepada Kekaisaran Byzantine di Timur,
Kerajaan Merovingian di Barat, dan Khilafah Islam di Selatan. Untuk
kepentingan artikel ini, penulis memfokuskan pada nasib Kerajaan
Merovingian, yang disebut-sebut sebagai peletak dasar Eropa modern.
Para Merovingian berasal dari suku Frank (moyangnya Jerman sekarang),
yang merupakan salah satu suku barbar yang ikut andil meruntuhkan
Imperium Romawi. Kerajaan Merovingian terbagi-bagi kedalam beberapa
kerajaan yang lebih kecil (semacam provinsi, dengan duke/duchess
sebagai penguasanya); semacam desentralisasi kekuasaan pada zaman
itu untuk mengatur wilayah yang relatif luas. Wilayah yang sangat luas ini
sebenarnya terfragmentasi lagi ke ratusan tuan tanah/keluarga
bangsawan (yang disebut count/countess) yang saling mengklaim
kekuasaan atas teritori yang disebut regna—Regna-regna inilah yang
nantinya menjadi cikal-bakal regnum Anglicana (Inggris), regnum
Gallicum (Perancis), regnum Hispania (Spanyol), dst. Para tuan tanah ini
menjalankan suatu sistem kontraktual militer-politis dengan para ksatria
pada zaman itu demi keamanan teritorinya agar para pekerja/petani
mereka dapat bekerja dengan aman dari gangguan bandit. Hasil dari
tanah inilah yang nantinya akan dipersembahkan kepada raja sebagai
upeti. Sistem kontraktual ini sering disebut secara interchangeable
sebagai Feodalisme atau vassalage.

Singkat cerita, Merovingian berhasil “ditobatkan” oleh para uskup


(bishop) menjadi Kristen, dan pada gilirannya, ia digantikan oleh kerajaan
Carolingian dengan Raja Charlemagne-nya yang termashyur dengan
sebutan Karl the Great, yang sekaligus merupakan penyandang gelar
“kaisar Roma” pertama semenjak runtuhnya Imperium Romawi. Paus Leo
III sendiri yang menganugerahi gelar tersebut pada hari natal tahun 800.
Gelar kehormatan inilah yang terus menerus diturunkan (bahkan
diperebutkan, seringkali diwarnai semburat darah) oleh raja-raja
berikutnya. Tidak hanya gelar, tetapi juga teritori super-luas yang
dikangkangi oleh penyandang gelar kehormatan itu, yaitu yang
belakangan disebut Kekaisaran Agung Romawi yang tersohor itu.

3
Untuk sekedar mempermudah, penulis mengikuti pembabakan sejarah Eropa
pertengahan pada umumnya: Abad Pertengahan Awal (early) sekitar 300-1000, Abad
Pertengahan Sentral (central) 1000-1300, dan Abad Pertengahan Akhir (late) sekitar
1300-1450.
4
Di antaranya: Visigoth dan Ostrogoth, Hun (dan Atilla-nya), Sueves, Vandals,
Lombards, Franks, Saxons, dst. (Bury, 1967)
5
Pemaparan pada bagian ini penulis sarikan dari beberapa literatur mainstream
seperti Bury (1967), Strayer (1970), Tilly (1992), Spruyt (1994), Thomson (1994), Percy
(2007), dan Jackson (2007).

2 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


Gambar 1. Teritori "Kaisar Roma" Charlemagne pada Abad Ke-8
(Sumber: Encyclopedia Encarta 2009)

Pengaruh Gereja pada masa-masa itu mulai menguat kembali


semenjak kejatuhan Imperium Romawi. Dari teritori “pemberian” Pepin si
Cebol (ayah Charlemagne), yaitu Negara Papal (Papal State), sekarang
Vatikan, Gereja mulai bergerak menguasai ruang-ruang spiritual para raja
dan tuan tanah dengan klaim-klaimnya yang suci, universal dan melangit.
Puncaknya, saat Gereja memenangkan keyakinan Charlemagne, dan
menjadikannya “pengawal” kekristenan sekaligus “Emperor by God’s
grace” atas Persemakmuran Kristen Eropa (Christian Commonwealth of
Europe) atau yang populer disebut Kristendom.

Sampai di sini, terdapat setidaknya dua macam sistem organisasi


sosial: feodalisme dan Persemakmuran Kristen Eropa yang diatur oleh
Kekaisaran Agung Romawi. Pada perkembangannya, Feodalisme pun
akhirnya menampakkan eksesnya mengingat kecacatannya secara
sistemik: para ksatria bisa saja melayani lebih dari satu tuan (liege).
Eksesnya jelas: tidak terdapat kejelasan loyalitas ksatria terhadap
tuannya. Feodalisme pun akhirnya menjadi tidak relevan dan akhirnya
berangsur ditinggalkan. Lagipula, sekitar abad 11-an, tentara profesional
(bayaran—mercenaries) sudah mulai berkembang sehingga ksatria
perseorangan mulai ditinggalkan. Perkembangan sistem perekonomian
pun ikut menyoraki melemahnya feodalisme, di sisi lain. Akhirnya, muncul
beberapa organisasi sosial baru yang menjadi kompetitor bangsawan-
bangsawan feodal.

Pada kisaran abad ke-10 s/d 13 mulai bermunculan organisasi-


organisasi sosial yang menjadi sistem pengorganisasian teritori. Di Barat,
Dinasti Capetian, secara mengejutkan berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya dari hanya sekitar 2600 mil2 (sekitar lima kali pulau Bali) di
sekitar Paris, sampai sebesar sekitar sepertiga wilayah kekuasaan
Charlemagne (lihat gambar 1). Dengan dipelopori oleh Raja Hugh Capet,
dinasti ini meletakkan dasar yang nantinya dikenal sebagai negara
berdaulat. Dasar-dasar tersebut sepert: sistem pemerintahan “domestik”

3 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


(estate) yang terpusat di Paris, penggunaan hukum universal (dalam hal
ini hukum Romawi) sebagai landasan otoritas, melucuti dan membatasi
ruang gerak feodalisme, dan yang paling berani, menentang beberapa
kehendak Paus dan menolak mengakui Roma sebagai pusat kekuasaan—
sekalipun masih tunduk pada kekuasaan Jerman sebagai Kaisar Agung
Romawi. Terlebih lagi, istilah ‘penguasa berdaulat’ (sovereign authority)
muncul dari masa dinasti ini.

Di Utara, Kekaisaran Agung Romawi juga menyaksikan perpecahan


diantara kerajaan-kerajaan-nya. Para penduduk kota (town) berontak
terhadap duke/count-nya yang egois dan gila kekuasaan seraya kurang
memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Mereka akhirnya memprakarsai
suatu liga kota dagang yang memiliki sistem otoritas terlepas (sekalipun
tidak sepenuhnya independen) dari kerajaan yang disebut Liga Hanseatic.
Liga ini mencakup bagian utara Jerman, sedikit Inggris, dan beberapa kota
di Laut Baltik. Liga ini juga memiliki angkatan bersenjata yang berfungsi
untuk menjaga keamanan pelayaran perdagangannya. Hanya saja, tidak
seperti Dinasti Capetian, Liga ini tidak berniat, dan memang demikian,
terhadap suatu pengorganisasian teritorial khusus.

Di Selatan, Italia berkembang dalam rupa negara-kota. Sistem


negara-kota berbeda dari sistem liga-kota ala Liga Hanseatic. Telah
terdapat derajat otonomi dan pemisahan teritori yang cukup jelas antara
kota, sementara pada liga-kota, sistem feodal yang tumpang tindih masih
cukup populer. Belum lagi pada libidio aneksasi para penguasa kota
terhadap kota-kota lainnya, sangat berbeda dengan motivasi dagang liga-
kota yang lebih peaceful. Namun demikian, negara-kota tidak dapat
disamakan dengan negara berdaulat (sovereign), karena hirarki yang
terdapat dalam suatu kota tidak serapi negara berdaulat. Misalnya, kota
Genoa yang ditaklukan Milan, masih diberi otoritas terbatas untuk
mengatur administrasi kotanya. Para penguasa sebenarnya hanya tertarik
untuk menguasai, dan bukan memerintah. Kota taklukan tadi secara rutin
membayar upeti. Dengan demikian sistem ini lebih tepat disebut
suzerainty, ketimbang sovereignty.

Selain ketiga sistem organisasi sosial diatas, terdapat juga beberapa


entitas lain yang memiliki cukup peran dalam perpolitikan (baca:
peperangan) di Eropa Abad Pertengahan Akhir. Misalnya, ksatria-ksatria
yang tergabung dalam Ordo Militer Relijius (seperti Teutonic Knights, dan
The Hospitallers)6. Entitas lainnya yang belakangan mendapat sorotan
juga, rupa-rupa Tentara Bayaran yang loyalitas dan tuannya berpindah-
pindah seiring bergantinya penguasa yang membayar mereka.7 Untuk
sekedar informasi tentang jenis-jenis tentara, lihat gambar 2.
6
Ditambah dengan The Poor Knights of Christ, atau yang terkenal dengan sebutan
The Templars, keseluruhan ada tiga ordo. Hanya, pada 1307, Raja Philip IV dan Paus
Clement V membubarkan (dan membinasakan) seluruh ordo dengan alasan ordo
tersebut menjalankan praktek-praktek bid’ah (heresy). Alasan ini belakangan menjadi
kontroversi mengingat ada isyarat bahwa hal tersebut adalah akal-akalan Philip untuk
merebut kekayaan The Templars.
7
Lebih lanjut tentang ini lihat Thomson (1994) dan Percy (2007).

4 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


Tabel 1. Jenis-jenis tentara berdasarkan otoritas memerintah, alokasi penggunaan, dan
kepemilikannya.
(Sumber: Thomson, 1994)

Singkat cerita, sampailah Eropa pada Perang Tiga Puluh Tahun (The
Thirty Years War), 1618-1648. Pertempuran tersebut sebenarnya
merupakan letusan gunung es perselisihan antara Protestan dan Katolik.
Tahun 1500 pertengahan, Luther menyulut api Reformasi terhadap
kekristenan yang dimonopoli oleh Gereja Katolik Roma. Luther mendapat
dukungan dari beberapa raja di Jerman. Hal ini pada gilirannya semakin
memecah belah loyalitas terhadap Kekaisaran Romawi Agung yang
dipegang oleh Habsburg dari Austria yang merupakan “bodyguard” Gereja
Katolik Roma. Secara umum perang ini membentrokkan Kubu Perancis8
dan Swedia yang Protestan Reformis di satu sisi dan Kekaisaran Austro-
Romawi Habsburg yang Katolik di sisi lainnya. Situasi stalemate (imbang)
membuat para raja/ratu tidak memiliki pilihan lain selain duduk bersama
dan memikirkan perjanjian damai untuk menghentikan perang. Perang
telah menghancurkan perekonomian masing-masing pihak, sehingga
perdamaian menjadi kepentingan bersama yang mendesak untuk
dipenuhi (setidaknya untuk sementara waktu).

Perjanjian Damai Westphalia 1648 adalah perjanjian yang


mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun. Perjanjian ini memiliki arti penting
bagi perkembangan gagasan negara berdaulat yang telah dimulai oleh
Dinasti Capetian di Perancis. Perjanjian ini terdiri dari dua sub-traktat,
yaitu Traktat Osnabrück, yang mengakhiri pertikaian antara Ratu
Protestan Swedia melawan Kaisar Habsburg dari Kekaisaran Roma (Holy
Roman Empire), dan Traktat Münster, yang mengakhiri pertikaian antara
Raja Katolik Perancis yang juga melawan Kekaisaran Roma. Traktat ini
menelurkan gagasan tentang kedaulatan dan negara modern yang
berdaulat. Prinsip kedaulatan modern menurut Westphalia, ada dua:
pertama, ekslusi, yaitu pengeksklusian semua entitas non-teritorial
secara gradual dan pasti.9

“... all the Rights, Regales and Appurtenances, without any reserve, shall
belong to the most Christian King, and shall be for ever incorporated with
8
Perancis, di bawah Louis XIII dan Cardinal Richelieu sebenarnya adalah penganut
Katolik, namun beraliansi dengan Swedia dan beberapa kerajaan Jerman untuk
meruntuhkan kekuasaan Habsburg.
9
Entitas-entitas tersebut seperti Liga Hanseatic, Ordo Militer Relijius, Bandit-bandit
dan Tentara bayaran, dst.

5 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


the Kingdom France, with all manner of Jurisdiction and Sovereignty,
without any contradiction from the Emperor, the Empire, House of
Austria, or any other: so that no Emperor, or any Prince of the House of
Austria, shall, or ever ought to usurp, nor so much as pretend any Right
and Power over the said Countrys, as well on this, as the other side the
Rhine.”
(Traktat Münster, Ayat 76, penekanan penulis)10

“That the most Christian King shall be bound to leave not only the
Bishops of Strasbourg and Bafle, with the City of Strasbourg, but also the
other States or Orders, Abbots of Murbach and Luederen ... so that he
cannot pretend any Royal Superiority over them, but shall rest
contended with the Rights which appertained to the House of Austria, and
which by this present Treaty of Pacification, are yielded to the Crown of
France. In such a manner, nevertheless, that by the present Declaration,
nothing is intended that shall derogate from the Sovereign Dominion
already hereabove agreed to.
(Traktat Osnabrück, Ayat 92, penekanan penulis)

Kedua, mutual recognition, yaitu pengakuan kedaulatan dari


negara berdaulat lain. Dari Traktat Westphalia ini juga terbentuk norma
sentral sistem internasional modern: non-intervensi masalah internal,
tiada wilayah tanpa penguasa tunggal, dan setiap penguasa berhak
membuat hukumnya sendiri dan juga membuat hukum perjanjian dengan
penguasa lain. Interaksi antar negara harus terjadi di perbatasan mereka
dalam tritunggal perdagangan, diplomasi dan perang.

“Above all, it shall be free perpetually to each of the States of the Empire,
to make Alliances with Strangers for their Preservation and Safety;
provided, nevertheless, such Alliances be not against the Emperor, and
the Empire, nor against the Publick Peace, and this Treaty, and without
prejudice to the Oath by which every one is bound to the Emperor and the
Empire.”
(Traktat Münster, Ayat 65)

Jika diperhatikan baik-baik, maka ada beberapa hal menarik, bahkan


ironis, yang dapat dipetik: 1) memudarnya, sekalipun masih bertahan,
kekuasaan Habsburg dan Kekaisarannya; 2) Jerman merupakan pihak
yang paling tercabik-cabik dalam perjanjian ini—belum lagi perang yang
kebanyakan terjadi di wilayahnya, karena wilayah Jerman dibagi-bagi
secara politis kepada para partisipan perjanjian; 3) tidak sedikit pun
disinggung entitas-entitas lain di Eropa saat itu, kecuali negara berdaulat
dan Kekaisaran Romawi; 4) memudarnya peran Gereja secara drastis!

Penulis ingin mengelaborasi lebih lanjut poin 3 dan 4. Untuk poin ke-
3, contoh entitas yang tidak diindahkan adalah Liga Dagang Hanseatic
yang saat itu sedang naik daun. Kemashyuran Liga terbukti dengan
menangnya Liga saat berhadapan dengan Raja Denmark dan Penguasa
London pada abad 14 akhir. Liga Hanseatic yang sedang berjaya ini

10
Kutipan-kutipan ini (dan seterusnya) penulis cuplik dari The Avalon Project :
Treaty of Westphalia, Yale Law School, 1996. Http://www.yale.edu/lawweb/avalon.

6 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


akhirnya melemah dengan sendirinya semenjak banyak kota-kota—yang
sekarang sudah menjadi kota dari negara berdaulat—menutup
perwakilannya bagi Liga. Tidak hanya itu, Perjanjian Westphalia sudah
menskenariokan “pengganti” kekuatan ekonomi bagi Liga Hanseatic,
yaitu Belanda. Provinsi Belanda dihadiahi kedaulatan oleh Traktat.
Belanda inilah yang menjadi pesaing terbesar Liga dan pada akhirnya
membuat Liga gulung tikar. Pertemuan terakhir Liga Hanseatic di 1669,
hanya enam kota (dari ratusan) yang mengirimkan perwakilannya.

Berikutnya poin ke-4, Gereja. Peran gereja semakin memudar di


Eropa, prinsip eksklusi diatas secara implisit juga memaksudkan eksklusi
Gereja dari ranah kekuasaan politik negara berdaulat. Hal ini diperkuat
dengan kenyataan bahwa Gereja hanya dicantumkan tidak lebih dari tiga
kali di traktat. Bahkan yang lebih mengejutkan lagi, Paus tidak hanya
tidak diikut-sertakan, ia bahkan tidak diberi-tahu tentang perjanjian ini.
“Sri Paus sangat terkejut atas hasil perjanjian itu dan mengeluarkan
sebuah dokumen resmi yang mengecam keras...” (Hirst, 2004: 73)

Jadi, jika motivasi perjanjian tersebut adalah perdamaian Eropa


sebagaimana di pembukaan traktat, maka seharusnya semua entitas
dilibatkan. Simak cuplikan berikut,
“That there shall be a Christian and Universal Peace, and a perpetual, true,
and sincere Amity, between his Sacred Imperial Majesty, and his most
Christian Majesty ... That this Peace and Amity be observ'd and cultivated
with such a Sincerity and Zeal, that each Party shall endeavour to procure
the Benefit, Honour and Advantage of the other; that thus on all sides they
may see this Peace and Friendship in the Roman Empire, and the Kingdom
of France flourish, by entertaining a good and faithful Neighbourhood.”
(Ayat 1 traktat Münster)
Ternyata tidak! Berarti sah apabila penulis memberikan tuduhan idiot
bahwa perjanjian ini hanyalah untuk mengakomodasi kepentingan para
raja-raja. Sah juga apabila penulis lebih menyebut Westphalia 1648 ini
tidak sebagai Perjanjian, melainkan Skandal—skandal kedaulatan.

Berbicara tentang skandal tentu berbicara kepentingan kelompok.


Kelompok tersebut akhirnya berkomplot untuk menyerang kelompok lain,
misalnya. Berbicara kepentingan kelompok berarti berbicara tentang
partikularitas. Partikularitas tentu lawan dari universalitas, tidak diragukan
lagi. Namun demikian, berlawanan bukan berarti tidak dapat
dipertemukan. Nampak jelas dalam perjanjian Westphalia ini: kepentingan
sekelompok raja-raja menunggangi universalitas yang mewujud dalam
perjanjian Westphalia ini. Sampai di sini terlihat jelas sebuah paradoks
universalitas: setiap unversalitas didorong oleh daya-daya yang partikular.
Diskusi seputar paradoks ini penulis kira telah disampaikan semenjak
Schelling, Marx, sampai Zizek, Butler dan Laclau sehingga ada baiknya
untuk dilewati terlebih dahulu.

Pertanyaan berikutnya, yang tak kalah idiotnya: lantas apa daya-


daya partikular tersebut? Jawabannya tentu tidak akan lepas dari teks

7 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


Skandal Westphalia 1648. Dari dua prinsip yang dikemukakan di atas,
penulis menyimpulkan ada empat karakteristik yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain dari kedaulatan ala Westphalia; tiga
karakteristik pertama bahkan tidak akan “hidup” tanpa karakteristik
keempat: 1) batas-batas teritori yang jelas, yang memisahkan antara: 2)
wilayah inside, yang disebut ‘domestik’ dan dikuasai oleh suatu
kekuasaan yang tersentralisir, yang memiliki otoritas penuh untuk
membuat hukum dan mengeksekusi hukum tersebut, bahkan dengan
kekerasan; dan 3) wilayah outside, yaitu wilayah “internasional” yang
otonom, yang tidak boleh dicampuri oleh masing-masing pemerintah
berdaulat—kecuali jika mengajak berperang/ berdagang tentunya. Ketiga
karakteristik ini hanya akan ‘hidup’ apabila terdapat karakteristik yang ke-
4) hukum yang melandasi ketiganya. Adalah hukum universal yang
mengesahkan batas-batas teritori, melegalkan pemerintah membuat
hukum di wilayahnya sendiri, dan mendasari setiap hubungan diplomatik
antara negara-negara berdaulat. Tanpa hukum, kedaulatan Westphalia
hanyalah impian filsuf-filsuf semenjak Jean Bodin, Thomas Hobbes, dan
Nicollo Machiavelli. Keempat karakteristik inilah yang menjadi daya
partikular yang penulis maksudkan tadi.

Adalah Carl Schmitt (1985) yang menurut penulis memberikan


petunjuk bagi pembacaan demikian. Dalam buku-bukunya, terutama
Political Theology, ia menunjukkan bahwa siapapun yang membuat
hukum, maka ia haruslah berada diluar hukum tersebut. Sehingga jelas,
segala tindakan menciptakan suatu tatanan (nomos) legal, adalah
tindakan ilegal tersendiri. Jadi, seuniversal, semulia, dan semuluk apapun
isi Skandal Westphalia, tetap saja ia adalah tindakan ilegal. Dikatakan
ilegal, karena tidak ada hukum universal yang telah ada sebelumnya yang
memberi landasan pembenar bagi daya-daya partikular raja-raja tersebut.
Hal penting lain yang dikemukakan Schmitt adalah tentang pengecualian
(exception). Baginya, sang berdaulat adalah ia yang menentukan
pengecualian. Raja-raja tadi, dengan demikian menjadi berdaulat saat
universalitas yang mereka ciptakan akhirnya mengecualikan entitas-
entitas lain dari cakupan universalitas tadi. Tidak hanya dikecualikan, ia
dieksklusikan, dan “dibiarkan mati”. Mirip seperti adagium Foucault,
kekuasaan sang berdaulat adalah kekuasaan untuk “make live and let
die” (2003, 241)

Sampai di sini sekiranya jelas bahwa dibalik universalitas-


universalitas yang menjadi “jualan” kedaulatan, tersimpan ambisi-ambisi
partikular, bahkan pribadi untuk berkuasa. Universalitas ini bisa jadi
mewujud dalam segala macam rasionalisasi, justifikasi, bahkan dogma
agama, akan tetapi di baliknya bersembunyi kegilaan irasional yang tak
mampu ditangkap oleh segala bentuk universalitas.

Pertanyaan berikutnya? Mengapa keempat karakteristik kedaulatan


(batas, teritori, otonomi, dan legalitas akan ketiganya) itu menjadi target
dari raja-raja? Apa spesialnya keempat hal tersebut dibandingkan emas
atau koloni di wilayah seperti Indonesia? Singkatnya, mengapa harus

8 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


negara berdaulat? Sejauh pembacaan penulis, jawaban berkisar pada
efektivitas negara berdaulat dibanding sistem pengorganisasian lainnya
(Kekaisaran, Gereja, Liga, negara-kota, dst). Dua diantaranya,

“... the emergence of sovereign states had direct consequences for the
other types of institutional arrangements in the system. The System
selected out those types of units that were, competitively speaking, less
efficient. ... Actors intentionally created a system of sovereign, territorial
states. They preferred a system that divided the sphere of cultural and
economic interaction into territorial parcels with clear hierarchical
authorities.”
(Spruyt, 1994: 180)

“... perubahan-perubahan militer abad ke-16 melambungkan biaya


perang dan karena itu mereka lebih menyukai sentralisasi kekuatan dan
kehadiran negara modern. Negara sentral mampu mengeliminasi negara-
negara yang lebih lemah dan menciptakan suatu monopoli terhadap cara-
cara pengendalian kekerasan.”
(Hirst, 2004: 13)

Argumentasi Spruyt mirip dengan teori pilihan rasional, dan sedikit


bercorak seleksi alam neo-darwinian. Bagi penulis, masalahnya adalah
mengapa intensi serupa—secara rasional menciptakan sistem negara
berdaulat—tidak dimulai oleh Paus? Secara jam terbang, bukankah
kepausan telah lebih lama merasakan getirnya sejarah Eropa. Cukup
potensi bahwa ia akan secara otomatis menemukan cara penyesuaian diri
yang relevan dengan zamannya...dibandingkan para barbar yang baru
beberapa ratus tahun menjadi “beradab”—itupun “diadabkan” oleh Paus!
Nampaknya ada faktor X yang dimiliki raja-raja tersebut tetapi tidak
dimiliki Paus. Keberatan penulis terhadap Hirst adalah argumentasi
tersebut telalu materialistik—sekalipun penulis maklum dengan latar
belakang intelektual Marxis Inggrisnya. Bagi penulis, masalahnya adalah
kenapa prakarsa ini—mengeliminasi negara-negara yang lebih lemah dan
menciptakan suatu monopoli terhadap cara-cara pengendalian kekerasan
—tidak dimulai oleh sistem kekuasaan lain, bandit-bandit misalnya?
Contoh terbaiknya adalah bandi-bandit seperti Grup Akatsuki dalam film
animasi jepang Naruto yang berambisi menyatukan segala kekuatan
tentara (ninja) bayaran untuk akhirnya menguasai seluruh negara di sana.
Hal serupa bukanlah tidak mungkin terjadi di Eropa semenjak hampir
seluruh peperangan di Eropa dijalankan oleh bandit! Akhirnya bandit
menjadi variabel penentu kemenangan. Lantas mengapa prakarsa itu
datang bukan dari bandit? Nampaknya ada faktor X yang dimiliki raja-raja
tersebut tetapi tidak dimiliki bandit.

Faktor X dan beberapa Hipotesis Lacanian


Mencoba keluar dari pengaruh materialistik dan determinisme teori
rasional, secara idiot penulis mencoba mengelaborasi faktor irasional.
Psikoanalisis terkenal (buruk) sebagai kerangka analisis yang relevan.11
11
Terkenal buruk, maksudnya, misal oleh Popper, karena Psikoanalisis tidak dapat
difalsifikasikan, maka ia bukanlah sistem pengetahuan ilmiah. Tanggapan penulis: jelas

9 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


Untuk kepentingan artikel ini, penulis hanya menggunakan dua konsep
psikoanalisis Lacanian: ‘fase cermin’ dan ‘kegelisahan’ (anxiety).
Pertama, fase cermin. Setiap subyek, menurut Lacan (1977) akan
menjalani apa yang dia sebut sebagai fase pembentukan diri (self, ego-
ideal, yang dikodekan dengan ‘S1’). Diri ini ditandai dengan koherensi
struktur tubuh subyek ke dalam suatu gestalt atau citra tubuh yang utuh.
Untuk mencapai ini, subyek dibantu dengan cermin. Cermin dengan
demikian, menjadi idealisasi bagi suatu imaji ke-diri-an yang utuh dan
koheren. Citra imajiner ini yang berikutnya akan memanggil (interpelasi)
subyek untuk mengidentifikasikan diri dengannya.

Konsep kedua, kegelisahan. Konsep ini dielaborasi Lacan pada


seminar ke-10 (1962-63).12 Menurutnya, memodifikasi Freud, kegelisahan
berhubungan dengan fase cermin. Saat subyek merasa citra dirinya tidak
seperti yang ditampakkan pada cermin ideal, maka ia akan gelisah. Di sini
Lacan menghubungkan citra diri yang mencemaskan ini dengan konsep
uncanny (keanehan yang melampau pengetahuan) dari Freud. Tidak
berhenti disini, kegelisahan ini berikutnya memproduksi suatu skenario
yang mengada-ada (berlebihan, surplus) akan kehancuran eksistensial
(bahasa teknisnya, ‘kastrasi’) dirinya karena gagal mengubah citra-dirinya
yang aneh. Gagasan ini dipengaruhi oleh Kierkegaard, tentang fantasi
kemungkinan: kemungkinan mati, kemungkinan dikastrasi, kemungkinan
tertimpa musibah, dst. Intinya, karena merasa ada yang kurang dalam
dirinya, fantasi kehancuran eksistensial akan selalu menghantui. Sehingga
Lacan mengatakan bahwa kecemasan muncul saat “the lack is itself
lacking; anxiety is the lack of a lack.”

Jika disesuaikan dengan konteks zaman saat itu, yaitu masa-masa


Rennaisance, Pencerahan, Rasionalisme, Reformasi dan Humanisme,
bukankah (setidaknya) gagasan besar ini merupakan cermin interpelasi
imajiner bagi raja-raja? Bisa dibayangkan citra-diri yang muncul adalah
subyek yang otonom, rasional, berwibawa, dan berkehendak bebas.
Mutatis mutandis, bukankah keempat citra-diri ini sama dengan keempat
dimensi kedaulatan Westphalia?—teritori “tubuh politik” yang koheren
dan jelas, otonom dari segala intervensi eksternal termasuk “Tuhan,”
memiliki raison d’etat yang rasional untuk mengatur sendiri kehidupan
domestik, dan tentunya punya daya berkehendak bebas untuk
berdiplomasi dengan subyek-subyek lainnya. Lalu, bukankah ketidak-
jelasan teritori dan sistem pengorganisasian semenjak invasi kaum
barbar, silang-sengkarut feodalisme, sampai invasi kaum viking
mencemaskan fantasi citra-diri ideal yang koheren dan integral (utuh)
para raja-raja? Dan terakhir, bukankah perang-perang di Eropa pada abad
pertengahan seperti Perang Ratusan Tahun dan Perang Tiga Puluh Tahun,

saja tidak dapat difalsifikasikan, semenjak falsifikasi adalah buah rasio kritis—Popper
menamai dirinya rasionalis kritis, sementara core business psikoanalisis adalah non-rasio
yang irasional. Popper harus mengubah filsafatnya menjadi ‘irasionalisme kritis’ baru
bisa memahami psikoanalisis, saya kira.
12
Interpretasi seminar yang tidak dipublikasikan ini, penulis menggunakan tiga
komentator Lacan: Gilbert Diatkine (2006), Ed Cameron (2007), dan Paul Verhaeghe
(1996).

10 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


karena dipicu tumpang-tindih otoritas, merupakan usaha subyek modern
untuk mengatasi uncanny-ness-nya?

Jika semua jawabannya “ya” maka pertanyaan terakhir adalah


mengapa cermin ini hanya menginterpelasi raja-raja? Hipotesis yang
penulis ajukan adalah ini: hanya raja-raja yang berminat dengan
perkembangan-perkembangan ini. Gereja terbukti represif dan menutup
diri terhadap perubahan: Galileo dibakar hidup-hidup, Luther diintimidasi
mati-matian. Hal lain yang menjadi sorotan penulis adalah mereka-
mereka yang menyediakan cermin bagi sang raja. Mereka-mereka inilah
yang tidak dimiliki oleh misalnya bandit dan liga-kota. Mereka-mereka ini,
diantaranya, misalnya yang mempengaruhi Swedia dan Bohemia adalah
Rene Descartes, Francis Bacon di Exeter-Inggris, Martin Luther di Saxony,
dan Cardinal Richelieu terhadap Louis XIII dan XIV di Perancis.
Kulminasinya, penulis kira, adalah pada ungkapan paling filosofis yang
pernah diutarakan dari kalangan raja, yaitu ungkapan Louis XIV: “L’etat,
c’est Moi” (I am the State, negara adalah aku).13 Sampai di sini penulis
memberanikan diri untuk mengklaim bahwa Skandal Westphalia 1648
sebenarnya menjadi pelengkap, bahkan penutup seri revolusi pencerahan
di Eropa. Dengan kata lain, sejajar dengan Rasionalisme Filsafat,
Humanisme, dan Reformasi Gereja, Skandal Westphalia merupakan
Renaissance bagi Hubungan Internasional.

Komoditas Kedaulatan
Sebenarnya, melalui artikel ini penulis ingin memproblematisasi
keseluruhan dimensi kedaulatan sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, namun demikian keterbatasan membuat penulis hanya bisa
membahas satu di antaranya, yaitu dimensi inside dari kedaulatan atau
yang biasa disebut ‘kedauatan ke dalam’.

Gagasan tentang kedaulatan ke dalam ini, merupakan gagasan


yang berasal dari sang Bapak Kedaulatan dari Perancis, Jean Bodin.
Melalui bukunya The Six Books of Commonwealth (1583 edisi Perancis,
1606 edisi Inggris), Bodin memahami negara berdaulat sebagai apa yang
disebut Stéphane Beulac sebagai “the power centraliser”. (Beulac,
2004:101) Menurut Bodin, kedaulatan menempatkan sang pangeran
(raja/presiden) pada puncak piramida otoritas kekuasaan di suatu wilayah
tertentu. Posisi ini menyebabkan ia memiliki wewenang dan hak untuk
mengatur segala sesuatu yang ada diwilayah kedaulatannya: membuat
dan memaksakan hukum, mengatur kehidupan subyek hukum dan
kedaulatannya, bahkan menghukum mereka-mereka yang melawan
kedaulatannya. Sampai di sini tidak mengherankan apabila Cardinal
Richelieu menyebutnya sebagai “State’s reason” (raison d’etat).

Hal ini paralel dengan gagasan subyektifitas modern yang


mengandaikan suatu subyek yang sepenuhnya rasional. Apa yang
dilakukan oleh sang subyek adalah benar-benar merupakan pertimbangan
13
Setidaknya inilah hipotesis yang penulis tawarkan. Sampai saat ini, progres riset
yang penulis capai baru sampai di sini.

11 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


dan kalkulasi sadar dan rasional. Kesadaran dan rasionalitas subyek
modern mendapat posisi yang mulia, sementara hal-hal yang
bertentangan dengan itu, seperti emosi, hasrat, nafsu, gairah, dan
kegilaan, dianggap sebagai deviasi subyektivitas modern. Adalah
Sigmund Freud dengan Psikoanalisisnya yang melakukan “emansipasi”
terhadap aspek-aspek non-rasio dan nir-sadar dari manusia. Freud
mempertanyakan rasionalitas subyek modern dan mendestabilisasinya
dengan menteorikan struktur psikis manusia kedalam triadik Ego-Id-
Superego.

Ego merupakan sisi rasional manusia, Id merupakan hasrat bawah


sadar manusia, sementara Superego merupakan nilai-nilai budaya yang
ditanamkan oleh lingkungan ke subyek. (penjelasan lebih lanjut lihat
Bertens, 2006) Ego, menurut Freud merupakan “penjaga” yang
senantiasa mengontrol rupa-rupa aktivitas Id (hasrat, seks, nafsu, gairah)
untuk tidak muncul ke permukaan, karena hal ini bertentangan dengan
Superego. Kontrol bawah sadar ini mensyaratkan suatu represi, yang
tentunya membuat sang Ego sendiri menderita (suffer). Malahan, apabila
Ego gagal mengontrol Id, maka habislah Ego, karena Id akan berkuasa di
tubuh … atau dalam bahasa psikologisnya, schizofrenia, atau singkatnya,
gila.

Apabila ditarik ke level yang lebih makro, maka kontrol Ego atas Id,
menyerupai Pemerintah negara berdaulat, yang merepresi aktivitas-
aktivitas masyarakat domestiknya yang dianggap tidak sesuai dengan
‘rasionalitas’-nya. Negara menyakiti masyarakatnya sendiri, negara
membuat masyarakatnya menderita, dan sampai satu taraf tertentu,
dapat dikatakan bahwa negara itu suffering. Rasionalitas negara ini bisa
berupa idiologi negara, identitas negara, agama negara, “konsensus”
negara, haluan politik negara, sampai hal-hal terkecil, seperti peraturan
“dilarang menginjak rumput istana negara.” Pemerintah hadir, dengan
hukum-hukumnya, diperkuat aparatus-aparatusnya, untuk “menjaga”
agar masyarakat tetap, dalam jargon Orde Baru, “aman dan terkendali.”
Persis seperti adagium Freud, “wo es war sol ich werden” (dimana ada Id,
di situ Ego berjaga-jaga)
Jacques Lacan menolak adagium tersebut, menurutnya, Ego tidak
akan mampu benar-benar mengontrol, merepresi, membungkam,
menyingkirkan, atau menjinakkan Id. Id akan selalu muncul menghantui
tahta kedaulatan Ego. Lacan bahkan menunjukan bahwa Ego yang
berdaulat sebenarnya adalah ‘ilusi’. (1977) Ego akan selalu gegar dan
retak, karena ia akan selalu terbelah (splitted, atau bahasa Lacan, barred
subject ($)) di antara hasrat-hasratnya dan Superego, yang notabene
merupakan “musuh bebuyutan” Id.14 Sehingga Ego, senantiasa menjadi –
becoming-ego. Seperti kata Julia Kristeva, “the subject is never is.”
(Kristeva, 1974: 188)

14
Rupa-rupa Superego, seperti agama, hampir selalu menganak-tirikan hasrat,
mengganggap hasrat sebagai sesuatu yang menjijikan, sesuatu yang harus dikontrol,
sesuatu yang irasional … singkatnya, dosa!

12 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


Kembali ke gagasan ‘kedaulatan ke dalam’, ia mengasumsikan suatu
tempat khusus bagi kehadiran subyek rasional dalam negara, sang Ego
negara, yang darinya bersumber segala kebenaran, dan yang olehnya
masyarakat dapat diwakili sebagai satu suara. (bdk. Ashley, 1988: 20)
Pandangan ini utopis menurut Rob Walker, sejauh ia mengasumsikan
suatu kehidupan yang harmonis dan ideal di dalam (inside) batas-batas
kedaulatan, singkatnya kehidupan yang utopis. (Walker, 1992:22)
Kehidupan domestik yang dinamis, plural, dan (dalam bahasa Hobbes)
konfliktif, bahkan subversif, harus “dimasukan ke bawah karpet,”
direpresi, dan dibungkam atas nama penegakan hukum, atas nama
stabilitas politik, atas nama kedaulatan. Inilah rupa-rupa “pembungkaman
domestik” yang dilakukan oleh negara modern. Maka menjadi relevan
pertanyaan Ashley,

“How amidst all the ambiguities and contingencies of a diverse global


history, are actions co-ordinated, energies concerted, resistances
tamed, and boundaries of conduct imposed such that it becomes
possible and sensible simply to represent a multiplicity of domestic
societies, each understood as a coherent identity subordinate to the
gaze of a single interpretive centre, a sovereign state?”
(Ashley, 1988: 229)

Pandangan seperti ini diyakini oleh kebanyakan (bahkan, mungkin,


seluruh) Realisme Hubungan Internasional, sehingga tidak aneh apabila
sebenarnya tradisi dominan di studi HI adalah Idealisme-Utopisme, dan
bukannya Realisme. Realisme, dalam hal ini, diskriminatif dalam
memandang anarki. Realisme terlalu mengidealkan suatu utopia
keteraturan dalam kehidupan domestik. Singkatnya, di dalam batas
teritori kedaulatan negara pun terdapat anarki!

Mengakui bahwa kehidupan di dalam batas teritori kedaulatan


negara juga anarki, berarti mengakui bahwa kedaulatan hanyalah ilusi,
dan hal ini pada akhirnya meruntuhkan legitimasi praktik kenegaraan
modern yang sudah “dibina” sejak Westphalia. Oleh karena itu gagasan
anarki harus dibendung agar tidak masuk dalam teritori kedaulatan
negara modern. Hal ini dapat dilakukan dengan ‘menjaga’ agar wilayah
berdaulat, yang telah dipisahkan dari wilayah anarki, tetap berdaulat.
Atau dengan kata lain, negara, sang sovereign, harus “menghapus” jejak,
tanda, atau gejala anarki diwilayah di mana ia berdaulat. (Devetak, 1995:
171) Kata lain “penghapusan” ini adalah ‘pembungkaman domestik’.

Sejarah panjang negara modern, merupakan sejarah panjang


pembungkaman domestik yang dilakukan oleh negara untuk
menghomogenisasikan kehidupan di dalam batas-batas kedaulatannya.
Hal ini membawa kita pada suatu momen untuk kembali merefleksikan,
bahwa usaha manusia, subyek, atau negara untuk menjadi the sole
sovereign power, selalu mensyaratkan penundukan “yang lain.” Dua kali
Perancis dibawa Napoleon berusaha menjadi the sole sovereign power di
Eropa, gagal. Dua kali pula Jerman berusaha menjadi the sole sovereign
power di Eropa, gagal pula. Hal serupa terjadi dengan negara-negara lain.

13 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


Perang Sipil di Amerika Serikat merupakan masa dimana Union dan
Confederation bertarung, saling menyakiti satu sama lain, demi
memperoleh kedaulatan.

-o0o-

Menyimpulkan kisah suram kedaulatan negara ini, penulis


sebenarnya ingin menunjukkan bagaimana mekanisme negara berdaulat
menjustifikasi dirinya dengan universalitas-universalitas yang notabene
pada akhirnya justru membawa penderitaan bagi rakyatnya sendiri.
Peneguhan universalitas pada akhirnya mensyaratkan kekerasan, tapi
anehnya masih banyak yang percaya pada universalitas. Penulis ingin
mempertegas posisi universalitas ini pada mekanisme produksi dan
reproduksi kedaulatan: universalitas ini merupakan apa yang penulis
sebut sebagai ‘komoditas kedaulatan’. Bila pada ekonomi, komoditas
berarti apa saja yang bisa dijual demi mendatangkan profit, maka dengan
sedikit modifikasi, komoditas kedaulatan merupakan apa saja yang bisa
dijual, dijadikan retorika, dan dijadikan landasan bagi lestarinya (status
quo) kedaulatan negara. Jadi, apabila negara memprogramkan
pengentasan kemiskinan, maka sebenarnya itu bukan ditujukan untuk
mengentaskan kemiskinan, melainkan untuk menekankan eksistensinya
sebagai pengentas kemiskinan. Lainnya, apabila presiden
menyelenggarakan program BOS (Bantuan Operasional Sekolah), maka
sebenarnya tujuannya bukan untuk meringankan beban pendidikan
rakyatnya, melainkan menunjukan bahwa negara ada dan siap membantu
rakyat. Akhirnya, seluruh kegiatan yang dilakukan oleh negara berdaulat,
pada dasarnya dimotivasi untuk memperkuat dan memperkokoh
eksistensinya sendiri sebagai sang berdaulat. Semakin intim jangkauan
pengaturan negara, maka semakin berdaulatlah ia.15

Sekedar menambah kesuraman, Giorgio Agamben menambahkan


bentuk lain dari paradoks universalitas, yaitu universalitas hanya akan
ada apabila ia mampu menciptakan pengecualiannya (exception). Dengan
kata lain, universalitas ditopang oleh pengecualiannya. Judith Butler
menambahkan, pada hari-hari ini, saat universalitas ada di mana-mana—
menjadi suatu ‘unitotalitas’ kata Jean-Luc Nancy (2007)—maka “we are
dealing with the exception here.” (2002) Zona pengecualian ini, menurut
Agamben, dihuni oleh apa yang ia sebut sebagai homo sacer atau
manusia yang telah ditelanjangi seluruh atribut-atribut politisnya yang
membuatnya sebagai subyek yang unik, menjadi sekedar makhluk hidup
yang, seperti lalat dan nyamuk, bisa dibunuh kapan saja sekalipun bukan
dikorbankan. Sialnya, justru aktivitas utama negara berdaulat adalah
menciptakan homo sacer ini. (Agamben, 1998: 53)

Memikirkan homo sacer tidak sebaiknya terlalu terpaku pada


contoh-contoh culas Agamben: orang-orang di kamp konsentrasi. Kamp
konsentrasi adalah zona dimana pengecualian berada. Orang-orang di

15
Foucault (2008) dan Agamben (2007) memfokuskan studinya pada isu ini. Lihat
juga Negri (2008).

14 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


kamp konsentrasi (Auschwitz, Gulag, misalnya) bisa kapan saja dibunuh
tanpa perlu diotorisasi oleh hukum. Tapi saat ini, dimana sudah tidak ada
kamp konsentrasi, homo sacer menjadi kabur maknanya...atau apakah
memang begitu? Menurut Agamben, “If today there is no longer any one
clear figure of the [homo sacer], it is perhaps because we are all virtually
[homo sacer].” (Ibid: 68)

Lalu, bagaimana mekanisme penciptaan homo sacer kontemporer


ini?—tentu tidak sama dengan cara Nazi memperlakukan Yahudi dulu.
Seperti telah penulis singgung, seseorang dijadikan homo sacer dengan
diteanjangi atribut-atribut politisnya dan dikeluarkan dari jangkauan
hukum. Namun dalam perkembangan mutakhirnya, “kamp konsentrasi”
kontemporer tidak hanya menelanjangi atribut politis subyek, melainkan
mempolitisirnya kembali sesuai kepentingannya. Keunikan-keunikan
politis dari suatu subyek yang membuat hidupnya berbeda dari yang
lainnya diangkat dan digantikan dengan “seragam” pola kehidupan baru.
Bukankah nomor KTP merupakan seragam baru subyek warga negara?
Lalu sidik jari yang disimpan di komputer-komputer di kelurahan,
pemindai retina, dan bahkan implantasi chip dalam tubuh manusia,
merupakan cara pemerintah untuk mengontrol masyarakatnya?
Penyensoran buku ini itu, pengharaman ini itu, pelarangan ini itu,
bukankah hal ini juga merupakan monopoli negara tentang penilaian yang
akhirnya menjadikan manusia hanya pengekor-penekor ideologi negara?
Akhirnya, hidup manusia menjadi ruang terakhir yang dipolitisasi negara
berdaulat. Sehngga kedaulatan erat kaitannya dengan bio-politik—politik
kehidupan. Agamben menyebut strategi-strategi demikian sebagai
“biopolitical tatooing”.16

Prospek Perlawanan
Perlawanan konvensional biasanya akan terjebak pada gagasan-
gagasan normatif tentang negara: penyedia keamanan dan
kesejahteraan. Sehingga saat negara dirasa tidak menyediakannya, maka
hal itu dianggap sebagai penyimpangan, dan mengganti orang yang
duduk dalam sistem akan menjawab permasalahan tadi: singkatnya,
negara berdaulat akan bermasalah saat orang-orang yang duduk di
pemerintahannya jahat. Padahal sebaliknya, negara berdaulat itu jahat
karena ia bermasalah.17 Masalahnya, sebagaimana telah penulis jabarkan
di atas, terletak pada dasar bangunan universal-rasionalnya. Kecantikan
retorika universalitas-rasional kedaulatan (mis. nasionalisme, agama,
ideologi, dst.), ternyata menyimpan dimensi partikular irasional yang
sama sekali jahat (monstrous). Hal inilah yang membuat seluruh
perlawanan yang menggunakan rasionalitas universal (mis. nasionalisme,
agama, ideologi, kepentingan bersama, kesetaraan, pembangunan, dst.
dsb. dll.) hanya akan terjebak pada siklus setan ucapan pemerintah:
“nanti akan kami tindak-lanjuti! Percayakan pada pemerintah!”
16
Agamben (2004) menulis sebuah artikel dalam kemarahannya saat hendak
di-“tatoo” oleh otoritas Amerika Serikat.
17
Permainan kata ini terinspirasi dari Martin Suryajaya, saat mengatakan bahwa
“kapitalisme itu bermasalah karena ia jahat. Padahal kapitalisme itu jahat karena ia
bermasalah, dan bukan sebaliknya.”

15 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


Ide-ide universal akhirnya malah menjadi komoditas bagi
kedaulatan negara. Nasionalisme misalnya, ia menjadi alat bagi negara
berdaulat untuk membuat rakyatnya tetap memiliki kebanggaan saat
sekalipun ia dijadikan homo sacer secara tak sadar. Bahkan nasionalisme
ini akan menjadi “green tea” bagi kedaulatan negara, yang
“antioksidannya” ampuh menangkal “radikal bebas” yang dapat
mengganggu metabolisme “tubuh politik” negara berdaulat. Tepat di
sinilah nasionalisme memiliki fungsi “teknologi politik” bagi negara
berdaulat.

Di akhir artikel ini penulis ingin menyarankan beberapa isu


metodologis bagi perumusan teori dan praksis perlawanan. Pertama di
ranah epistemik. Sebaiknya disadari terlebih dahulu bahwa
penggambaran Agamben di atas tidaklah sesuram itu. Saat homo sacer
dikecualikan dari hukum, dan membuatnya bisa diperlakukan sewenang-
wenang oleh sang berdaulat, maka sebaiknya ia sadar bahwa hal itu juga
berarti bahwa ia juga bisa dan boleh berlaku sewenang-wenang! Pasivitas
hanya membawa homo sacer ke rumah pemotongan hewan, dan tidak
menolong apa-apa. Percuma juga berteriak-teriak (baca: berdemo) sambil
memaki-maki sang berdaulat, karena akhirnya aksi itu hanya untuk
memuaskan fantasi histeris subyek—dan tidak mengubah koordinat
situasi. Malahan Lacan menimpali, “The regime is putting you on display.
It says, ‘Look at them enjoying!’” (2007: 240) Bukan hanya itu, akhir dari
aksi histeris tersebut adalah mengulangi penindasan, kali ini dengan
penguasa lainnya. “I would tell you that, always, the revolutionary
aspiration has only a single possible outcome—of ending up as the
master's discourse ... What you aspire to as revolutionaries is a
master.You will get one.” (Ibid. 239)

Usulan kedua adalah membuang jauh-jauh kedaulatan negara dari


analisis-analisis perlawanan politik. Hal ini terjadi di taraf asumsi. Dengan
tidak mengasumsikan kedaulatan negara, maka akan nampak jelas bahwa
seluruh produk kenegaraan (hukum, UU, KUHP, slogan, dst.) adalah suatu
teknologi politik dan seluruh jargon universal adalah suatu komoditas
politik, yang notabene keduanya menyumbang pada peneguhan
kedaulatan. Seperti kata Foucault, yaitu bahwa yang kita perlukan saat ini
“.. is a political philosophy that isn’t erected around the problem of
sovereignty, nor therefore around the problems of law and prohibition.
We need to cut off the king’s head: in political theory that has still to
be done.” (1984: 63)

Penutup
Jika diamati dengan cermat, setelah mengikuti alur pembahasan
pada artikel ini, judul diatas menjadi agak kontradiktif secara logika: ‘saat
negara berbalik memerangi kita’ mengasumsikan ada saat-saat dimana
negara memihak kita, padahal pembahasan penulis menunjukkan bahwa
negara secara by default telah, sedang dan akan selalu memerangi kita.
Namun untungnya bukan logika itu yang penulis pakai saat memilih judul

16 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


tersebut, melainkan ini: ‘saat negara berbalik memerangi kita’, kita
seharusnya sadar bahwa ia memang akan senantiasa memerangi kita,
bahwa ia memang tidak pernah memihak kita. Kesadaran ini, pada
gilirannya, sebagaimana penulis harap, akan memunculkan pertanyaan
idiot lain di benak kita: “lalu darimana datangnya fantasi yang selama ini
kita idap bahwa negara seharusnya mengupayakan keamanan dan
kesejahteraan kita kalau bukan dari sublimasi kepengecutan kita akan
hidup?”

Biodata singkat
Hizkia Yosie Polimpung
Peneliti di Center for International Relations Studies (CIReS) FISIP UI, Pusat
Kajian Wilayah Amerika (PKWA) UI dan Lembaga Studi Urban (LSU)
Surabaya.
Kritik dan celaan, yosieprodigy@live.com

17 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


Bibliografi

Agamben, G. (1998). Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, terj. D. Holler-
Roazen (California: Stanford Uni. Press)
Agamben, G. (10 Jan 2004). “No to Bio-political Tatooing,” Le Monde.
Agamben, G. (2007). Il Regno e la Gloria: Per una genealogia teologica
dell’economia e del governo [The Reign and The Glory: A Theological
Genealogy of Economy and Government]. (Neri Pozza)
Ashley, R. (1988). “Untying the Sovereign State: A Double Reading of the
Anarchy Problematique.” Millennium: Journal of International Studies, 17
(2), hal 227-262.
Ashley, R. (1995). “The Powers of Anarchy: Theory, Sovereignty, and the
Domestification of Global Life,” dalam James Der Derian, International
Theory: Critical Investigations (NY: New York University Press) hal. 94-128.
Bertens, K. (ed. dan penerj.) (2006). Psikoanalisis Sigmund Freud. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Beulac, S. (2004). The Power of Language in the Making of International Law.
The Word Sovereignty in Bodin and Vattel and the Myth of Westphalia.
(Leiden/Boston: Martinus Nijhoff Publishers)
Bury, J. B. (1967). The Invasion of Europe by the Barbarians. (New York: Norton).
Butler, J. (1 Apr 2002). “Guantanamo Limbo,” The Nation.
Cameron, E. (2007). “The Ethical Paradox in Kierkegaard’s Concept of Anxiety,”
COLLOQUY: text theory critique, 13. Diakses dari
www.monash.colloquy.edu.au/issue13/cameron.pdf
Diatkine, G. (2006). “A review of Lacan’s seminar on anxiety,” International
Journal of Psychoanalysis, 87, hal. 1049-58.
Devetak, R. (1995). “Incomplete States: Theories and Practices of Statecraft,”
dalam Macmillan, J., dan Linklater, A., ed. (1995) Boundaries in Questions:
New Direction in International Relations. (London: Pinter Publishers).
Foucault, M. (1984). “Truth and Power,” dalam The Foucault Reader, peny. P.
Rabinow (NY: Pantheon Books).
Foucault, M. (2003). Society Must Be Defended: Lecture at College de France,
1975-76, terj. David Macey (NY: Picador)
Foucault, M. (2008). The Birth of Biopolitics: Lecture at College de France, 1978-
79, terj. Graham Burchell (NY: Palgrave Macmillan).
Hardt, M. & Negri, A. (2000). Empire (Harvard: Harvard Uni. Press).
Hirst, P. (2004). War and Power in the 21st Century, terj. S. Bangun (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada).
Jackson, R. (2007) Sovereignty: Evolution of an Idea (Cambridge: Polity).
Kristeva, J. (1984). Revolution of Poetic Language, terj. L. S. Roudiez (New York:
Columbia University Press)
Lacan, J. (1977). Ecrits, terj. Alan Sheridan (London: Tavistock).
Lacan, J. (2007). The Seminar of Jacques Lacan, Book XVII: The Other Side of
Psychoanalysis, terj. R. Grigg (NY & London: W. W. Norton & Company, Inc.)
Nancy, J-L. (2007). The Creation of the World or Globalization, terj. F. Raffoul & D.
Pettigrew (Albany: SUNY Press).
Negri, A. (Winter, 2008). “Sovereignty: That Divine Ministry of the Affairs of
Earthly Life,” terj. G. Fadini, Journal for Cultural and Religious Theory, 9, 1.
Percy, S. (2007). Mercenaries: The History of a Norm in International Relations
(Ocford: Oxford Uni Press).
Schmitt, C. (1985). Political Theology: Four Chapters on the Concepts of
Sovereignty, terj. George Schwabb (Cambridge: MIT Press).
Spruyt, H. (1994). The Sovereign State and Its Competitors (Princeton:
PrincetonUni Press).

18 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]


Strayer, J. (1970). On the Medieval Origins of the Modern State (Princeton:
PrincetonUni Press).
The Avalon Project : Treaty of Westphalia, Yale Law School, 1996.
Http://www.yale.edu/lawweb/avalon
Thomson, J. E. (1994). Mercenaries, Pirates, & Sovereigns (Princeton: Princeton
Uni Press).
Tilly, C. (1992). Coercion, Capital, and European States, AD 990-1992 (Malden:
Blackwell).
Verhaeghe, P. (Spring, 1996). “The Riddle of Castration Anxiety: Lacan beyond
Freud,” The Letter. Lacanian Perspectives on Psychoanalysis, 6, hal. 44 - 54.
Walker, R. B. J. (1992). Inside/Outside: International Relations as Political Theory.
(Cambridge/New York: Cambridge University Press)

19 | Saat Negara Berbalik Memerangi Kita [Hizkia Yosie Polimpung]

Anda mungkin juga menyukai