Anda di halaman 1dari 12

Komun dalam Komunikasi, atau Bagaimana Teologi (Kristen) Dapat Belajar dari Komunikasi tentang Peperangan Rohani?

1
Oleh:

Hizkia Yosie Polimpung2 Communicate


Pronunciation:/kmjunket/ 1 share or exchange information, news, or ideas: the prisoner was forbidden to communicate with his family [with object] impart or pass on (information, news, or ideas): he communicated his findings to the inspector [with object] convey or transmit (an emotion or feeling) in a non-verbal way: the ability of good teachers to communicate their own enthusiasm; his sudden fear communicated itself succeed in conveying one's ideas or in evoking understanding in others: a politician must have the ability to communicate (of two people) be able to share and understand each other's thoughts and feelings: we don't seem to be communicating we need a break from each other Origin: early 16th century: from Latin communicat- 'shared', from the verb communicare, from communis (see common)

Common
Pronunciation:/kmn/ 2 shared by, coming from, or done by two or more people, groups, or things: the two republics' common border problems common to both communities belonging to or involving the whole of a community or the public at large: common land Origin: Middle English: from Old French comun (adjective), from Latin communis *Sumber: Oxford English Dictionary (http://oxforddictionaries.com)

P
1

ertanyaan yang ingin saya jawab melalui artikel singkat ini cukup sederhana: apa yang dapat komunikasi ajarkan bagi teologi? Mengamati model-model komunikasi3 yang dominan berkembang baik di masyarakat dan dunia akademiksedari

model

linier,

interaksional,

transaksional

sampai

kontekstual

dan

kondisional4maka akan segera didapati kesan yang secara implisit tersirat

Makalah disampaikan pada kuliah umum Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologia Inalta, Kelapa Gading, Jakarta, 20 Agustus 2011. 2 Penulis adalah pengajar tidak tetap pada STT Inalta. Sehari-hari sebagai peneliti di PACIVIS Center for Global Civil Society Studies, Universitas Indonesia. Saat ini sedang menyusun disertasi tentang teologi tatadunia dari perspektif psikoanalisis di Program Doktoral Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. 3 Jika k dalam kata komunikasi tercetak kapital, K, maka yang saya maksudkan adalah Komunikasi sebagai suatu disiplin khusus. Sebaliknya, ia adalah fenomena yang tentangnya artikel ini didedikasikan. 4 Literatur/buku-teks komunikasi pada umumnya hanya membahas empat model pertama. Model kelima, model kondisional, saya tambahkan setelah melihat kecenderungan teoritik kontemporer, terutama yang saya acu di sini, seperti sekelompok teoritisi media baru (new media) yang tergabung dalam Institute of Network Culture, Universitas Amsterdam, pimpinan Geert Lovink. Kelompok ini sukses menyebar pengaruh sampai seluruh dunia. Tokoh-tokoh simpatisan lainnya, selain saya sendiri, seperti Jodi Dean, Alexander

Hal.

1 Komun dalam Komunikasi Hizkia Yosie Polimpung

bahwa hakikat komunikasi adalah tersampainya pesan dengan baik. Kata baik di sini mengacu pada, sekaligus menjadi medan evolusi bagi, sederet teorisasi baik dari dalam (dan luar?)5 disiplin Komunikasi itu sendiri. Satu gugus teori tertentu akan cenderung mengukur baik dalam artian proses dan prosedur yang semestinya, sementara gugus teori lainnya lebih secara pragmatis menekankan sampai atau tidaknya pesan yang sesuai dengan sebagaimana ia dimaksudkan oleh pengirimnya. Gugus-gugus teoritik terbaru pun belum benar-benar mampu mengesankan standar baik lainnya di luar koridor opermengoper pesan.

Apa yang menjadi karakteristik paradigmatik model-model ini, sekaligus yang belum mampu dilampauinya, adalah sifat instrumentalistik. Karena berlaku paradigmatik, dengan demikian mempengaruhi baik konsepsi dan praktik, instrumentalisme komunikasi hanya memandang komunikasi sebagai alat/instrumen, layaknya tukang ledeng memperlakukan kunci inggris, dan koki memperlakukan pisau dapur. Perlakuan ini dilakukan sedari filosofi, teorisasi bahkan sampai perakitan perkakas.6 Paradigma instrumentalistik ini secara bersamaan, sekalipun tidak kentara, menyembunyikan suatu karakteristik lainnya, yaitu antropo-sentrisme (manusia-sentrik). Manusia akhirnya dipandang sebagai penghuni tahta pusat dan berdaulat atas seluruh proses komunikasi. Tidak ada yang salah dengan kecenderungan paradigmatik seperti ini. Namun jauh-jauh hari Martin Heidegger memperingatkan, bahwa paradigma seperti ini (bahasa dia, teknologisme) rawan jatuh pada perbudakan alam dan orang lain, sejauh keduanya dipandang sebagai alat untuk mencapai kepentingan egois.

Galloway, Nick Dyer-Witheford, Tiziana Terranova, dst. Singkatnya, model kondisional melihat komunikasi sebagai pengkondisian bagi suatu sistem eksploitasi kapitalisme global, tanpa memandang apa pesan yang dikomunikasikan; terjadinya komunikasi itu sendiri yang penting, seperti apa komunikasi itu terjadi: tidak penting. Untuk daftar bacaan model ini, silakan lihat silabus saya untuk mata kuliah Kekuatan Jaringan Informasi Global yang saya ampu (bersama Ibu Suzie Sudarman) di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia: http://ui.academia.edu/HizkiaPolimpung/Teaching/manage. 5 Louis Althusser dan Jurgen Habermas, misalnya, yang menteorikan komunikasi dengan berangkat dari filsafat. 6 Marshal McLuhan, misalnya, dengan jelas menekankan ini bahwa media adalah kepanjangan dari manusia (extensions of man): mikrofon merupakan kepanjangan suara; kamera surveillance merupakan kepanjangan mata, perekam merupakan kepanjangan otak, dst. Lihat karya-karyanya Understanding Media: The Extensions of Man (1964), juga buku-bergambarnya, The Medium is the Massage: An Inventory of Effects (1967).

Hal.

2 Komun dalam Komunikasi Hizkia Yosie Polimpung

Saya tidak akan mengelaborasi ini lebih jauh, karena memang bukan ini yang ingin saya tekankan. Sebagaimana judul di atas, saya ingin memetik pelajaran dari komunikasi dari sudut pandang teologi. Teologi, theos (tuhan) dan logos (ilmu), dapat secara minimal diartikan sebagai suatu kajian yang menelisik tentang kondisi-kondisi yang dimana Tuhan, sebagai yang absolut, hadir menyatakan diri dan kuasanya. Memandang komunikasi sebagai kondisi bagi kehadiran Tuhan, dengan demikian memandangnya secara teologis, akan berimplikasi pada penggeseran paradigma yang mendasarinya tadi (antroposentrisme dan instrumentalisme). Hal ini musti dilakukan karena selama manusia berada pada pusat perhatian, analisis teologis tidak akan benar-benar mampu melihat Tuhan.

Pergeseran paradigma ini nantinya akan mengubah nadir teori-teori yang ada, sekalipun substansi teorinya tidak berubah. Artinya, paradigma ini akan menjadi kerangka dimana, bagaimana dan kemana teori-teori yang sudah ada, dan yang nantinya terus ditelorkan, tadi diletakkan sekaligus diarahkan. Teori apapun, saat paradigmanya digeser, akan berubah secara fundamental. Hal ini demikian semenjak adalah paradigma yang memungkinkan keseluruhan bangunan teoritik yang nantinya menginspirasikan seluruh manifestasi dan aplikasi praktik; tanpa paradigma, teorisasi menjadi mustahilapalagi praktik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mengubah teori secara fundamental tidaklah cukup dengan melakukan falsifikasi empirik, mengungkap kepentingan tersembunyi, atau pembongkaran basis asumsi dari teori tersebut. Lebih dari itu, ia mensyaratkan apa yang saya sebut sebagai sabotase paradigmatik.

Dari relasi sosial ke komun, via logika

Komunikasi, sebagaimana nukilan dari kamus Oxford di atas, sebagai suatu proses pertukaran ide, pesan maupun informasi, telah dan akan selalu mensyaratkan suatu relasi sosial. Implikasinya dalam, yaitu bahwa tanpa suatu relasi sosial, maka komunikasi adalah mustahil. Jelas di sini bahwa komunikasi mendapat suatu kondisi yang memungkinkannya dari suatu relasi sosial. Komunikasi tidak bisa berlangsung secara lugu sebagaimana diaspirasikan paradigma-paradigma dominan tadi. Tidak bisa pula seolah-olah tanpa relasi sosial yang mendahuluinya, tiba-tiba saja subyek berkomat-kamit atau berpandang-

Hal.

3 Komun dalam Komunikasi Hizkia Yosie Polimpung

pandangan sembari mengernyitan dahi satu sama lain dan tiba-tibasimsalabim!pesan sampai. Secara analitis, apabila ingin benar-benar mendapatkan gambaran obyektif mengenai suatu peristiwa komunikasi, maka adalah relasi sosial yang layak mendapat fokus perhatian para analis.

Lalu, apa dan bagaimanakah terbentuknya relasi sosial itu? Saya kira ini pertanyaan dasar yang segera terlontar. Banyak teoritisi yang sudah mencoba menjawab ke arah situ. Ada yang melihatnya sebagai relasi struktural-linguistik, baik secara gramatikal (langue) maupun simbolik (kata, tanda, parole, dst), yang mengemban tugas sebagi mediator untuk membahasakan (merepresentasikan ke dalam bahasa) apa yang hendak diutarakan. Yang lain melihatnya sebagai ekspresi relasi kelas yang timpang dimana kelas borjuasi (pemilik modal) menggunakan proses-proses komunikasi untuk mengeksploitasi kelas proletar (yang tidak memiliki modal dan terpaksa mempekerjakan diri pada borjuasi). Ada pula yang mencoba melihatnya sebagai relasi kekuasaan, yaitu antara mereka yang memiliki privilese/kedudukan lebih tinggi yang terlegitimasi secara moril (dan seringkali ilmiah) dan orang yang dicoba disingkirkan atas basis legitimasi moril (dan ilmiah) tersebut. Teoriteori lain mencoba mendekati dalam kerangka perbedaan identitas kultural, jender, seks, dst.

Daftar pendekatan dalam tradisi Komunikasi yang saya sajikan di atas bisa diteruskan sampai berlembar-lembar. Namun sayangnya bukan parade teori yang ingin saya lakukan disini. Yang menjadi kesibukan saya di sini adalah tentang kondisi apa yang memungkinkan suatu komunikasibahkan dengan seantero teori-teori tentangnya berlangsung. Namun demikian, penting untuk ditekankan bahwa hal ini lantas bukan berarti teori-teori tadi menjadi tidak relevan dan mesti dikesampingkan. Sama sekali bukan! Malah sebaliknya, teori-teori tadi ingin saya letakan sebagai suatu hasil, output atau luaran dari suatu proses yang terjadi dari relasi sosial yang notabene menjadi pra-kondisi bagi kemungkinan keberlangsungan komunikasi (entah itu yang berikutnya terwarnai secara bahasa, kelas atau kekuasaan). Yang ingin saya utak-atik di sini adalah paradigmanya, dan bukan teori-teori yang dimungkinkannya. Sehingga yang saya lakukan

Hal.

4 Komun dalam Komunikasi Hizkia Yosie Polimpung

di sini bukanlah throwing the baby out with the dirty water: karena apa gunanya mensabotase paradigma jika teorinya lantas dibuang?

Lalu apakah relasi sosial tersebut yang mendahului relasi-relasi sosial di atas? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlulah terlebih dahulu dipikirkan persoalan metode: bagaimana memikirkan relasi sosial yang mengkondisikan relasi-relasi sosial yang ada? Memikirkan hal ini secara serius hanya akan menghantarkan analisis pada suatu paradoks: mungkinkah memikirkan relasi sosial sebelum relasi sosial pada kenyataan bahwa sang analiskitatelah mau tidak mau, suka tidak suka, terperangkap pada rupa-rupa relasi sosial yang ada. Misalkan, bagaimana mengetahui relasi sosial sebelum ada relasi bahasa? Jika akses analisis ke realita adalah melalui bahasa (bahkan saat ini yang saya ketikkan adalah manifestasi alfabet-digital dari suatu sistem bahasa; dan dalam membacanya anda juga disyaratkan memahami bahasa yang saya pakai!), maka bagaimana mungkin mengakses realitas yang pra- atau bahkan a-bahasa? Mustahil!

Di sinilah sedikit sentuhan trik metodologis bisa membantu. Kali ini dari disiplin Logika7, bahkan logika sederhana, dalam hal ini postulasi. Postulat adalah metode universal untuk mencapai aksioma universal, atau sederhananya, asumsi yang sudah tidak dipertanyakan lagi. Aksioma tidak selalu harus secara empirik benar atau bisa diverifikasi; ia cukup benar secara logis. Aksioma ini, akhirnya menjadi tidak lebih hanya sebagai hipotesis, suatu tesis/simpulan sementara yang harus terus-menerus dibuktikan secara kongkrit melalui elaborasi praktik eksperimental.

Maka, mencoba mengaplikasikan dalam konteks relasi yang mengkondisikan komunikasi dalam berbagai rupanya, didapat suatu pembalikan logika sederhana sebagai berikut: Jika ada keterbahasaan, maka telah lebih dahulu ada kebisuan, dalam arti tidak terepresentasikan oleh bahasa.

Lagi-lagi, kata Logika dengan L besar menandakan suatu disiplin, sementara sebaliknya merupakan suatu kata benda.
7

Hal.

5 Komun dalam Komunikasi Hizkia Yosie Polimpung

Jika ada ketimpangan, maka telah lebih dahulu ada kesetaraan, dalam arti tidak teratributasikan oleh kepemilikan kapital yang nantinya menjadi justifikasi penindasan. Jika ada penyingkiran, maka telah lebih dahulu ada ko-presensi (co-presence), dalam arti hadir bersama dalam suatu ruang tertentu. Intinya sederhana: jika ada perbedaan, maka telah terlebih dahulu ada kesamaan. Inilah karakterisitik relasi sosial dasariah komunikasi. Inilah komun dari komunikasi, yang memungkinkan terciptanya relasi-relasi sosial seperti misalnya bahasa, kelas dan kuasa. Komun (Ing., common; Pra., commun; Lat., communis)8 mengisyaratkan suatu kondisi dimana sekelompok makhluk (orang, hewan, alam) berbagi suatu kebersamaan.

Status kebersamaan di sini adalah sebagai obyek yang dimiliki-secara-bersama (shared in common), sehingga akan teramat sangat memiskinkan apabila obyek ini dipahami semata-mata sebagai suatu benda kongkrit. Malahan, obyek komun tidak seharusnya diartikan dari ke-benda-annya, melainkan sifat/ajektif-nya: yaitu sifatnya yang dimilikisecara-bersama. Hal ini berikutnya tidak hanya membawa kita pada kesimpulan bahwa komun adalah selalu transitif (yi., berobyek), melainkan juga sebaliknya: karena dan hanya karena obyek yang dimiliki-secara-bersama inilah komun ada.

Kembali pada komunikasi, komun sebagai relasi dasariah sekaligus titik awal yang memungkinkan komunikasi adalah selalu tentang berbagi kesamaan dalam berbagai rupanya: berbagi kebisuan yang tak terperikan bahasa; berbagi kesetaraan pra-atributasi kepemilikan; berbagi kehadiran-bersama/ko-presensi dalam satu ruang tertentu. Inilah komun: ialah yang menjadikan tidak relevan seluruh perbedaan dan ketidak-setaraan, terutama dalam problem kali ini, yang diprasyaratkan komunikasi; ia jugalah yang pada gilirannya akan menjadikan mustahil terjadi, bahkan sekedar untuk terpikirkan, seluruh eksploitasi, diskriminasi, dominasi dan penyingkiran berdasarkan perbedaan dan ketidaksetaraan tersebut.

Di sini saya menyerap (secara mentah) kata dari bahasa Perancisnya.

Hal.

6 Komun dalam Komunikasi Hizkia Yosie Polimpung

Dari trik logika seperti ini, maka akan muncul cara baru dalam memahami relasi-relasi sosial tadi yaitu, sebagaimana telah saya singgung diatas, sebagai suatu akibatdan penyebab akibat ini adalah suatu proses deviasi (pelencengan). Deviasi yang dimaksud di sini tidak, jangan, dan memang sama sekali bukan dalam kategori moral absolut yang memiliki konotasi buruk; deviasi di sini harus tetap dilihat sebagai konsekuensi logis. Memikirkan deviasi adalah sesederhana seperti memikirkan bahwa telah terjadi sesuatu yang mengganggu kondisi awal sehingga menyebabkan kondisi yang sekarang ini. Sehingga memahami komunikasi sebagai relasi sosiallinguistik, kelas, kuasasama saja melihat komunikasi sebagai suatu deviasi. Ya! Komunikasi pada hakikatnya adalah suatu deviasi! Prasyarat fundamental dari komunikasi adalah ketidak-setaraan. Apa artinya? Saya kira menunjukkan dengan jelas bahwa komun telah-selalu hilang dari komunikasi. Sehingga kata komun dalam komunikasi tidak lebih dari trik retoris ilusif untuk menyamarkan kondisi bahwa dalam komunikasi, obyek yang dimiliki-secara-bersama tidak lagi dimilikisecara bersama.9

Komunikasi, teologi dan peperangan merebut komun kembali

Penting untuk saya garis-bawahi tebal-tebal di sini bahwa kebisuan, kesetaraan, kopresensi, atau singkatnya kesamaan ini adalah memang universal, namun b u k a n dalam artian yang transenden mengawang-awang. Universalitas di sini adalah universalitas yang imanen, dalam arti inheren terdapat pada relasi sosial tersebut. Universalitas ini didapat bukan dari kepercayaan buta sebagai ungkapan pasrah yang sangat tipis dengan kemalasan dan kepengecutan berjuang mencari kebenaran; ia didapat dari gerak aktif dan militan untuk mengubah keadaan secara paksa! Universalitas ini melampaui segala kemungkinan dan kepengapan situasi yang ada. Dengan demikian, universalitas ini tidak ada di langit; ia adalah Tuhan di bumiTuhan yang telah-selalu ada tinggal (dwell) di antara kita. Implikasinya, melihat komunikasi secara teologis sama saja melihat bagaimana komunikasi sebagai suatu pengkondisian bagi hadirnya Tuhan di bumi; dan semenjak status Tuhan

Dari pembacaan seperti ini, maka saya kira adalah suatu lelucon apabila mengira komunikasi dapat diartikulasikan dalam kondisi kesetaraan seperti yang masih diyakinisampai taraf keimanan butamereka yang percaya pada konsep ruang publik (public sphere).
9

Hal.

7 Komun dalam Komunikasi Hizkia Yosie Polimpung

yang universal ini sama dengan status komunyang telah hilang seiring dengan munculnya komunikasimaka dapat dirumuskan suatu peran teologis bagi komunikasi, yaitu merebut komun kembali!

Memahami Tuhan di bumi, atau Tuhan yang imanen, bukankah ini yang dimaksudkan malaikat kepada para murid Yesus yang hanya bisa menganga melihat Yesus perlahanlahan terangkat ke surga: Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga (Kis. 1: 10-11).

Jika benar Tuhan ada di antara kita, lalu mengapa kita masih melihat ke langit?tidak ada apa-apa di sana. Tuhan bisa diakses kapan saja, di mana saja! Tidak perlu pula ia harus dimediasi oleh rupa-rupa mediasi, mulai barang-barang (yang dianggap) sakral, minyakminyakan, asesoris perhiasan, bahkan sampai bahasa-bahasa doa puitis (atau yang dibuatbuat?). Bukankah ini yang diharapkan Tuhan saat ia menurunkan api roh kudus pada Pentakosta? (Kis. 2)yaitu supaya setiap orang diberi kuasa untuk mengemban pemberitaan kabar suka-cita bahwa karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16).

Syaratnya hanya satu, perubahan paradigma pikir, perubahan logika! Bukankah ini yang juga diharapkan Hukum Kasih yang tersohor itukasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap pikiranmu (Mat. 22: 37)dengan mengasihi dengan segenap pikiran? Mengakses Tuhan melalui pikiran adalah memikirkan apa yang tidak terpikirkan. Bukankah Paulus memaksudkan yang demikian ini dalam suratnya kepada jemaat di Filipi[J]adi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu (Flp. 4:8)?

Hal.

8 Komun dalam Komunikasi Hizkia Yosie Polimpung

Pikiran dan logika memainkan peran penting dalam aksesi kepada iman, sekalipun hati dan jiwa juga tidak bisa diremehkan, karena pembalikan logika sebagaimana saya demonstrasikan di atas merupakan satu-satunya jalan yang bisa dilakukan manusia rasional untuk mengakses kebenaran yang sama sekali tidak dikenal dunia devian hari ini, dunia dimana komun sudah terampas. Kebenaran ini asing bagi dunia komunikasi yang tercirikan sebagai relasi linguistik, kelas dan kuasa. Suatu kebenaran yang persis seperti yang berulang kali diperingatkan sejak Nabi Yesaya sampai Rasul Paulus, [y]ang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia (Yes. 64:4; Kis. 2:9).

Tuhan lepas dari relasi perbedaan, relasi kelas dan relasi kuasa. Lantas untuk apa melihat ke atas, menunggu datangnya Tuhan? Tuhan sudah turun, dan jika ia diimani secara aktif, ia akan menyatakan dirinya. Iman tidak dapat diverifikasi secara empiris, ia hanya dapat diverifikasi (jika kata ini masih relevan digunakan), bahkan sekaligus sebagai satu-satunya jalan mendapatkannya, secara logis. Bukankah ini sudah diimplikasikan dalam definisi purba iman dari Paulus sebagai dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr. 11:1)? Yang diperlukan adalah subyek-subyek militan yang taat dan setia kepada keyakinan imannya dan memperjuangkannya untuk memerangi segala deviasi yang telah merenggut komun hari ini. Ini saatnya untuk merayakan kedatangan Tuhan di dunia. Tuhan datang ke dunia untuk memimpin manusia yang percaya padanya (dan memang kepada hanya yang demikian saja) dalam peperangan rohani. Peperangan rohani, bukanlah menumpas habis orang-orang yang berbeda (secara suku, agama, ras, golongan, kepentingan politik, kelas, dst.). Peperangan rohani, berangkat dari pemikiran logika imanen tadi, adalah peperangan untuk mengkonfrontasi seluruh proses-proses deviasional yang menyebabkan umat manusia tercerabut dari komun: terpecah-pecah, teradu-domba, saling menindas satu sama lain seperti yang hari ini sedang terjadi. Ketimpangan, diskriminasi, ketidak-setaraan yang kerap menghiasi pelataran media informasikomunikasi cetak, digital, visual dan jejaring kita hari-hari ini bukanlah tanpa penyebab ia adalah akibat deviasi sistemik! Ia bukan semata-mata akibat dari keserakahan,

Hal.

9 Komun dalam Komunikasi Hizkia Yosie Polimpung

kurangnya kepemimpinan, kendornya supremasi hukum, dst. Lebih dari itu, semuanya merupakan efek dari pengkondisian sistemik yang deviasional. Pengkondisian sistemik inilah yang semestinya diperangi. Bukankah ini yang dimaksud Paulus saat

memperingatkan bahwa perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulupenghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara. Lalu bagaimanakah berperang dengan berangkat dari logika imanensi ini? Atau lebih tepatnya, apa yang harus dilakukan setelah mengubah logika, menentukan aksioma kesetaraan, dan berjuang dengan berangkat dari keteguhan iman akan aksioma tersebut? Untuk ini, Yesus, dengan memberi diri disalibkan, memberi contoh paradigmatik (dan bukan contoh mentah-mentah bahwa orang harus disalib untuk melawan!) yang baik, yaitu berperang dengan cara yang tak terpahami. Pelajaran paradigmatik perlawanan Yesus adalah bahwa Ia, dengan memberi diri disalibkan, tidak hanya melawan maut alias rezim penindasan sang Iblis. Lebih dari itu, dengan memberi diri disalibkan, Yesus melawan sistem

itu dilakukan!10 Yesus masuk ke jantung sistem dan menghujamnya dengan telak. Yang dilakukan Yesus tidak hanya menumpas sistem perbudakan dosa, lebih dari itu, Ia juga menghajar sistem yang memungkinkan sistem perbudakan dosa tersebut. Yesus mampu keluar dari dan berbalik melawan anggapan umum tentang perlawanan yang mungkin, sebagaimana disediakan oleh sistem berpikir dominan seperti misalnya yang diolokolokkan orang Yahudi kepadanya saat disalib: memanggil sebatalion malaikat, menggunakan kuasa Allah untuk turun dari salib, dst. (Mat. 27: 39-44; Mrk. 15:29-32; Luk. 23:35-39).

10 Sistem yang saya maksud telah-selalu melakukan mekanisme bertahan yang demikian: ia mengantisipasi perlawanan telak (dan bukan yang sekedar menggelitik) padanya dengan menyediakan, mengatur dan kemudian mensosialisasikan koridor kemungkinan (field of possibility) perlawanan terhadapnya. Akibatnya perlawanan yang dilangsungkan masih dalam koridor kemungkinan tersebut, nasibnya cuma satu: gagal. Perlawanan yang telak adalah perlawanan yang pertama-tama keluar dari koridor kemungkinan (dengan demikian masuk pada dimensi ketidak-mungkinan) dan berbalik melawan sistem yang menyediakan koridor kemungkinan tersebut. Inilah yang dilakukan Yesus.

Hal.

10 Komun dalam Komunikasi Hizkia Yosie Polimpung

pengkondisian yang membatasi jangkauan kemungkinan cara perlawanan terhadap sistem

Berpaling kepada ide-ide muluk nan melangit tentang hak asasi manusia dan kemanusiaan universalbukan dalam artian logis, melainkan ekstra-teresterial dari dunia lainatau sekedar pada ide-ide munafik (hipokrit) sehari-hari seperti kasihan, iba, dan kedermaan filantropis (charity), seperti yang kerap disuntikkan rangsangannya oleh berbagai rupa reality show dan film-film seperti Laskar Pelangi, adalah mengulangi kebodohan menyedihkan murid-murid Yesus yang hanya bisa menganga dungu sembari mengantar kenaikan gurunya dengan tatapan lugu. (Penting: baca catatan kaki!) 11 Berharap ada orang diluar sanapemimpin ideal yang berkarakteristik, bergelar lulusan luar negeri, berpakaian dan beratribut relijiussama saja mengingkari dan menolak kenyataan bahwa api Pantekosta telah dihinggapkan pada kita semua sehingga kita semua memiliki segala potensialitas yang dibutuhkan untuk memerangi seantero musuh.

Mengikuti teladan Yesus bukanlah menjiplak mentah-mentah yang tertera dalam Alkitab. Namun yang lebih penting adalah memetik teladan paradigmatik darinya dan menerapkannya dalam kehidupan hari ini. Ke-hari-ini-an berbicara tentang aktualitas yang

hari ini seabad yang lalu, atau sewindu yang lalu. Hari ini berbicara tentang suatu kondisi kekinian yang aktual terjadi (actually existing). Tanpa pendasaran pemahaman tentang tentang apa yang secara aktual sedang terjadimisrepresentasi, ketimpangan, penyingkiran: singkatnya perampasan komunmaka Alkitab tidaklah lebih sebagai

Teramat penting untuk diklarifikasi! Saya katakan munafik, karena secara psikoanalitis, perasaanperasaan ini menyembunyikan suatu hasrat narsisisme-egois yang sama sekali kontradiktif dengan efek filantrofis-dermawan yang ditampakkannya. Contohnya, iba kepada orang miskin, menyembunyikan dua lapis kemunafikan: perasaan iba muncul karena seseorang merasa lebih beruntung, sehingga ia merasa berdosa dan akan sangat kejam jika tidak membagi keberuntungan tersebut melalui bersedekah/beramal. Tidak ada yang salah. Melainkan dimensi hipokrit segera terasa: orang melakukan sedekah dan amal tersebut semata-mata untuk menghilangkan perasaan bersalah tadidan bukan maksud tulus membantu. Hipokrisi kedua adalah bahwa tindakan amal tadi adalah ungkapan malas yang bersangkutan untuk benar-benar membantu orang miskin tadi. Di katakan malas karena ia tidak pernah mau secara militan berpikir ruwet untuk melihat kondisi-kondisi apa yang membuat orang tersebut termiskinkan. (Kemalasan ini tentunya terima kasih kepada kultur instan, praktis, pragmatis yang mewarnai kehidupan sosial hari ini). Absennya militansi paradigma pikir ini membuat amal/sedekah tadi tidak akan mampu benar-benar menolong si miskin. Hal ini tidak hanya dalam artian mengentaskannya dari kondisi yang memproduksi si miskin tersebut dan para miskin lainnya, melainkan juga melawan kondisi tersebut yang notabene merupakan proses deviasi yang merebut komun, suatu kondisi yang membuat kita (yang merasa beruntung) dan si miskin (yang malang) setara, suatu proses yang membuat si miskin harusnya juga beruntungatau sebaliknya, yang membuat kita harusnya juga malang.
11

Hal.

11 Komun dalam Komunikasi Hizkia Yosie Polimpung

spesifik secara temporal. Konsekuensinya, hari ini satu milenium lalu berbeda dengan

skriptura antik yang tidak memiliki relevansi hari ini. Akibatnya, para pembaca Alkitab akan berakhir pada kesimpulan a la Dan Brown, yaitu Yesus berhubungan seksual dengan Maria. Memperlakukan teladan Yesus sebagai teladan paradigmatik, maka akan membuat orang untuk kembali ke pergumulan dan penderitaannya sehari-hariYa! Anda harus menderita!dan berperang dari sana.

Dengan berbekal logika imanen ini, saya kembali ke pergumulan saya di awal, yaitu komunikasi. Kembali ke model komunikasi konvensional yang mengimplikasikan suatu hakikat bahwa komunikasi merupakan suatu alat penyampai pesan. Bagaimana peran komunikasi dalam teologi setelah elaborasi teladan paradigmatik Yesus tadi? Apakah teoriteori tadi lantas dibuang begitu saja karena justru menjustifikasi misrepresentasi, eksploitasi dan diskriminasi? Dengan tegas saya jawab: tidak! Teori-teori komunikasi tadi hanya perlu digeser paradigmanya. Reformulasi teologis bagi paradigma teori-teori komunikasi pada gilirannya akan memposisikan komunikasi sebagai proses untuk menepuk pundak orang-orang di sekitar kita sembari berkata, hai saudara-saudariku,

pertebal imanmu dan tunggu apa lagi?bersiaplah berperang! Rebut kembali komun!

Selamat datang di Teologi Imanen. Tuhan memberkati.

Hal.

12 Komun dalam Komunikasi Hizkia Yosie Polimpung

mengapa engkau berdiri melihat ke langit? Tuhanmu ada di antaramu. Pakai logikamu,

Anda mungkin juga menyukai