Anda di halaman 1dari 14

GAMBARAN FIBEROPTIC ENDOSCOPIC EXAMINATION of SWALLOWING (FEES) PADA PENDERITA DENGAN DISFAGIA OROFARINGEAL

dr. Yanuar Iman Santosa Sp. THT-KL*, Prof. Dr. Teti H.S. Madiadipoera, dr., Sp THT-KL(KAI)., FAAAAI**, dr. Sintasari Ratunanda, M. Kes., Sp THT-KL** dr. Ongka M. Saifuddin Sp.THT-KL(K)** * Departemen IK THT-KL, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang **Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, RS Hasan Sadikin, Bandung Abstrak Latar belakang : Disfagia adalah rasa nyeri, rasa tidak nyaman dan atau kesulitan dalam memulai atau menyelesaikan proses penelanan. Disfagia dapat disebabkan oleh kelainan neurologis, kelainan anatomis di kepala dan leher, psikogenik atau penyebab lainnya. Disfagia dapat dibedakan menjadi disfagia orofaringeal dan disfagia esofageal. Penelitian ini silakukan untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan FEES pada pasien dengan keluhan disfagia orofaringeal di poliklinik THT-KL di RS Hasan Sadikin Bandung. Metode : Deskriptif-retrospekstif terhadap rekam medis pasien dengan disfagia orofaringeal yang menjalani pemeriksaan FEES di poliklinik THT-KL di RS Hasan Sadikin Bandung selama periode September 2009-Januari 2010. Hasil : Telah dilakukan FEES 18 kali pada 13 pasien. 4 laki-laki, 9 perempuan. Usia pasien <18 th : 1 pasien, 18-40 th: 4 pasien, 40-60 th: 7 pasien, > 60 th : 1 pasien. Penyakit yang mendasari : neurologis 4, paska operasi 3, keganasan 1, paskatrauma 1, LPR 1, TB Laring 1, Scleroderma 1, dan Akalasia 1 pasien. Temuan dasar FEES terbanyak adalah residue (84%), spillage (46%), penetration (30%) dan aspiration (23%). Aspirasi terjadi pada 3 pasien. Khusus pada kelompok pasien dengan defisit neurologis, aspirasi ditemukan pada 2 dari 4 pasien (50%).

Simpulan : Disfagia terbanyak pada usia 41-60 tahun (54%). Penyebab terbanyak adalah kelainan neurologis 30%. Temuan dasar FEES terbanyak adalah residue (84%). Temuan aspirasi pada 23% pasien, khusus pada pasien dengan defisit neurologis 50%. Sebagian besar (54%) pasien membutuhkan fisioterapi oleh dokter spesialis rehabilitasi medis.

Kata kunci : Disfagia, evaluasi, menelan, FEES

Pendahuluan Disfagia adalah rasa nyeri, tidak nyaman dan atau kesulitan dalam memulai atau menyelesaikan proses penelanan. Disfagia terjadi pada 13-14% pada pasien yang dirawat di rumah sakit dan 30-35% pada pasien di pusat rehabilitasi. 70-90% pasien usia lanjut di fasilitas perawatan / rumah jompo mengalami masalah pada proses menelan meskipun tanpa penyakit neurologis. 41 % pasien dengan kanker kepala leher mengalami aspirasi. 40-70% pasien stroke akut mengeluhkan disfagia. 40-50% pasien stroke mengalami aspirasi dan setengahnya tanpa gejala. 20% pasien stroke dengan aspirasi meninggal akibat pneumonia karena aspirasi di tahun pertama. 1,2,3 Proses menelan secara umum terbagi atas tiga fase, fase oral, fase faringeal dan fase esofageal. Gangguan pada proses menelan secara umum disebut dengan disfagia. Disfagia dapat dibedakan menjadi disfagia orofaringeal dan disfagia esofageal. Sebagian besar pasien dengan keluhan disfagia mengeluhkan gangguan atau kesulitan menelan terutama pada fase orofaringeal.4 Disfagia orofaringeal pada dewasa dapat disebabkan karena kelainan neurologis (kelainan saraf tepi daerah laring, faring, lidah dan rahang, miasthenia gravis, miopati), kelainan anatomis di kepala dan leher (kanker, perubahan bentuk setelah operasi atau terapi radiasi, paska trauma, iatrogenik, kelainan kongenital), dan penyebab lainnya (infeksi, kelainan sistemik, efek samping obat, psikogenik).1 Komplikasi yang dapat timbul akibat disfagia dapat berupa malnutrisi, dehidrasi, pneumonia akibat aspirasi, obstruksi saluran nafas (spasme laring / spasme bronkus), penurunan kualitas hidup, aktivitas dan produktivitas kerja. 1 Seorang dokter spesialis THT-KL akan sering menemui pasien dengan keluhan kesulitan makan yang datang langsung ataupun rujukan dari teman sejawat. Diagnosis dan penatalaksanaannya ditangani oleh dokter spesialis THT-KL bersama dengan dokter spesialis rehabilitasi medis.5

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menilai seorang pasien dengan keluhan disfagia antara lain : Videofluoroscopic Swallow Study (=Modified Barium Swallow (MBS)), Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing (FEES), Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing with Sensory Testing (FEESST), Scintigraphy. 4,5 FEES sekarang menjadi pilihan pertama untuk evaluasi pasien dengan disfagia di eropa karena mudah, dapat dilakukan berpindah tempat dan lebih murah dibandingkan MBS. Prosedur ini dapat dilakukan oleh dokter spesialis THT-KL bersama dokter spesialis Rehabilitasi Medik dan dapat menilai anatomi dan fisiologi menelan, perlindungan jalan nafas dan hubungannya dengan fungsi menelan makanan padat atau cair, diagnosis, rencana terapi selanjutnya serta evaluasi keberhasilan setelah terapi. 5 Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing (FEES) adalah pemeriksaan fase faringeal pada proses menelan yang dilakukan secara endoskopi. FEES sudah digunakan sebagai alat evaluasi pada kasus gangguan menelan sejak dideskripsikan oleh Susan E. langmore pada tahun 1988. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa FEES dapat mendeteksi dengan baik adanya aspirasi, penetrasi dan residu faringeal apabila dibandingkan dengan videofluoroskopi. Namun demikian FEES bukan merupakan pengganti dari pemeriksaan lainnya seperti videofluoroskopi. 5 Indikasi untuk dilakukan FEES antara lain penilaian penanganan sekresi / cairan, penilaian pasien yang berisiko tinggi terjadi aspirasi, melihat struktur laring dan faring, penilaian kemampuan menelan jenis makanan padat dan atau cair, penilaian fungsi menelan pasien yang tidak dapat dilakukan videofluoroskopi (karena tidak dapat mobilisasi, ketiadaan peralatan atau keadaan umum yang kurang stabil), dan penilaian berulang. 5 Pemeriksaan FEES dapat dilakukan pada pasien dengan kelainan neurologis, cedera kepala, keganasan kepala dan leher, perawatan intensif, terpasang tracheostomi / ventilator, gangguan pernafasan, cedera spinal, kelainan neuro-degeneratif, luka bakar dan trauma, pasien pediatri dan pasien usia lanjut. 5

Namun demikian perhatian khusus harus diberikan pada pasien risiko tinggi dengan kelainan gerakan berat / pasien yang gelisah, fraktur tulang wajah / tulang dasar tengkorak, riwayat epistaksis berat, keganasan operasi pada daerah sino-nasal / anterior skull base, stenosis nasofaring.5 Temuan dasar yang dapat diperoleh dari pemeriksaan FEES adalah spillage, residue, penetration dan aspiration. Spillage (tumpahan) adalah jika bolus makanan melewati daerah dasar lidah atau daerah yang lebih bawah lagi sebelum proses menelan dimulai. Residue (residu/sisa) adalah jika ditemukan bolus makanan yang tertinggal di daerah hipofaring, tidak sekedar melapisi dinding hipofaring namun terkumpul dalam jumlah yang cukup sehingga dapat mengalir, setelah proses menelan selesai. Penetration (penetrasi) adalah jika bolus masuk ke vestibulum laring melalui tepi dari inlet laring. Aspiration (aspirasi) adalah jika bolus dapat mencapai daerah dibawah pita suara (plika vokalis). 6 Langmore menyebutkan ada 4 pola disfagia yang umum ditemui, 1) Menurunnya kemampuan mengolah bolus makanan secara oral, 2) Ketidakmampuan untuk memulai proses menelan dengan waktu dan cara yang terkoordinasi dengan baik, 3) Ketidakmampuan melindungi jalan nafas ketika menelan, 4) Penelanan bolus makanan yang tidak sempurna. 10 Setelah pemeriksaan FEES dilakukan seharusnya dapat diperoleh informasi seperti anatomi dan fisiologi menelan, penanganan sekresi / cairan, perlindungan jalan nafas dan hubungannya dengan fungsi menelan, menelan makanan padat atau cair, postur, strategi dan manuver, ukuran dan konsistensi bolus yang optimal / sebaiknya diberikan, tehnik terapi. 5 Derajat disfagia dapat dinilai dengan skala dari American Speech-Language-Hearing Association (ASHA) sebagai berikut : 7 Level 0 : pasien tidak dapat diperiksa. Level 1 : proses menelan tidak fungsional. Level 2 : proses menelan yang tidak konsisten / proses menelan yang lambat, sehingga mengakibatkan pasien tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan nutrisinya, namun demikian proses menelan masih bisa dilakukan meskipun tidak sempurna.

Level 3 : gangguan menelan yang mengakibatkan pasien tidak dapat makan untuk memenuhi kebuituhan nutrisinya sehingga diperlukan pengawasan dalam proses makan. Level 4 : gangguan menelan namun pasien masih bisa memenuhi kebutuhan nutrisinya,

walaupun pengawasan masih diperlukan untuk memastikan penggunaan modifikasi tehnik menelan. Level 5 : proses menelan masih fungsional untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi, walaupun modifikasi tehnik menelan digunakan dan dapat dilakukan secara mandiri, pasien kadang mungkin memerlukan petunjuk dalam modifikasi tehnik menelan. Level 6 : proses menelan masih fungsional untuk sebagian besar proses menelan, walaupun kadang timbul kesulitan. Waktu tambahan dibutuhkan untuk menyelesaikan proses makan. Level 7 : proses menelan normal dalam semua situasi. Komplikasi dari pemeriksaan FEES cukup rendah. Dilaporkan pada tahun 1995, dari 6000 prosedur FEES, dicatat hanya 27 kasus komplikasi yang terjadi. Angka pembatalan prosedur FEES 3,7% dibandingkan dengan 3,1% pada prosedur videofluoroskopi akibat adanya muntah atau aspirasi yang memerlukan tindakan pembersihan jalan nafas (suctioning). 5 Penatalaksanaan disfagia orofaringeal bertujuan untuk menghilangkan aspirasi atau memperbaiki proses menelan yang tidak efisien (residu yang menetap di mulut atau faring setelah proses menelan). Modalitas terapi yang dapat dipilih antara lain modifikasi diet (kekentalan dan volume, modifikasi kebiasaan (Behavior Re-Adjusment Therapy (BRAT)), pengalihan rute pemberian makanan dengan menggunakan Naso-Gastric Tube (NGT) atau infus, penggunaan prostetik dalam rongga mulut atau intervesi operatif (miotomi krikofaring, suspensi laringeal). 1 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran temuan dasar pemeriksaan FEES pada pasien dengan keluhan disfagia orofaringeal di poliklinik THT-KL di RS Hasan Sadikin Bandung selama periode September 2009-Januari 2010.

Metode : Penelitian ini adalah suatu penelitian deskriptif-retrospekstif terhadap kasus-kasus disfagia yang dilakukan pemeriksaan FEES melalui data rekam medik pasien rawat jalan poliklinik THT-KL di RS Hasan Sadikin Bandung selama periode September 2009- Januari 2010.

Hasil : Dalam kurun waktu antara bulan September 2009 Januari 2010 telah dilakukan prosedur pemeriksaan FEES sebanyak 18 kali pada 13 pasien, dengan pemeriksaan berulang pada beberapa pasien. Pasien laki-laki sebanyak 4 pasien dan pasien perempuan 9 pasien. Rentang usia pasien < 18 th : 1 pasien, 18-40 th: 4 pasien, 40-60 th: 7 pasien, > 60 th : 1 pasien. Kemungkinan penyakit yang mendasari keluhan disfagia; neurologis : 4 pasien, paska operasi : 3 pasien, keganasan : 1 pasien, paskatrauma : 1 pasien, LPR 1 pasien, TB Laring 1 pasien, Scleroderma 1 pasien, Akalasia 1 pasien. Hasil temuan pada pemeriksaan FEES didapatkan Spillage pada 6 pasien, Residue pada 11 pasien, Penetration pada 4 pasien dan Aspiration pada 3 pasien. Khusus pada kelompok pasien dengan defisit neurologis, aspirasi ditemukan pada 50% kasus. Tabel 1. Hasil penelitian Karakteristik Jumlah pasien Jenis kelamin Laki laki Perempuan Usia < 18 th 18 40 th 41 60 th > 60 th 1 4 7 1
7

Jumlah (pasien) 13

Persentase (%) 100 %

4 9

31 % 69 %

7% 31 % 54 % 8%

Kemungkinan mendasari Neurologis Paska operasi Paska trauma Keganasan LPR TB Laring Scleroderma Akalasia

penyakit

yang

4 3 1 1 1 1 1 1

30 % 22 % 8% 8% 8% 8% 8% 8%

Temuan dasar FEES Spillage Residue Penetration Aspiration 6 11 4 3 46 % 84 % 30 % 23 %

Temuan

FEES

pada

pasien 4

100 %

dengan kelainan neurologis Aspirasi Non aspirasi Terapi Medikamentosa 6 46% 54% 2 2 50% 50%

Medikamentosa + fisioterapi 7

Diskusi: Pada pemeriksaan FEES untuk pasien pasien dengan keluhan disfagia didapatkan dari 13 pasien, 69% perempuan dan 31% laki-laki seperti tampak pada grafik 1, namun tidak ada penelitian yang menyebutkan bahwa ada pengaruh dari jenis kelamin terhadap kejadian disfagia.

Jenis Kelamin
31% Perempuan 69% Laki-laki

Grafik 1. Distribusi jenis kelamin

Hawson, F.Y. pada penelitiannya menyebutkan bahwa pada orang dengan usia > 75 tahun memiliki risiko 6 kali lebih besar terjadi disfagia dan pneumonia akibat aspirasi jika dibandingkan dengan dewasa muda.3 Cichero, J pada bukunya menyebutkan bahwa mulai usia 65 tahun terjadi proses degenerasi seperti ossifikasi kartilago laring, atrofi otot-otot intrinsik laring, dehidrasi pada mukosa laring, berkurangnya elastisitas ligamen-ligamen laring, berkurangnya gigi geligi, penurunan kemampuan sensoris di daerah faring dan laring terutama pada kelompok umur 41-60 tahun dan 61-90 tahun dimana semua hal tersebut akan dapat menyebabkan keluhan disfagia dengan atau tanpa aspirasi.9

Pada penelitian ini didapatkan distribusi umur penderita seperti tampak pada grafik 2.

Umur
8% 7% 31% 54% < 18th 18 - 40 41 - 60 > 60 th

Grafik 2. Distribusi umur Tampak disfagia terjadi terbanyak pada kelompok umur 41-60 tahun (54%). Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Cichero,J pada bukunya, namun berbeda dengan yang disampaikan oleh Hawson, F.Y. Perbedaan ini dapat terjadi karena pada penelitian ini kelompok usia > 75 tahun hanya ada 1 orang pasien dari total 13 pasien, sehingga bila dibandingkan dengan kelompok umur yang lain maka angka persentasenya kelompok umur > 60 tahun menjadi sangat rendah. Mungkin apabila dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah populasi yang seimbang pada setiap kelompok umur akan dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang perbandingan kejadian disfagia pada setiap kelompok umur. Temuan dasar FEES pada penelitian ini nampak seperti pada grafik 3. Temuan terbanyak pada pasien dengan keluhan disfagia adalah residue (84%), diikuti spillage (46%), penetration (30%) dan aspiration (23%). Residu dapat terjadi akibat kontraksi otot yang kurang di daerah basis lidah dan dinding faring sehinga bolus tidak dapat terdorong sempurna ke bawah untuk membuka sfingter esofagus atas, atau elevasi laring yang yang kurang sehingga mengurangi diameter bukaan sfingter esofagus atas sehingga bolus masih ada yang tertinggal di hipofaring. 10

10

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Temuan dasar FEES 46 % 30 % Spillage Residue Penetration Aspiration 23 % 84 %

Grafik 3. Temuan dasar FEES Pola yang paling sering ditemui pada disfagia orofaringeal menurut Langmore adalah penelanan bolus makanan yang tidak sempurna, yang dibuktikan dengan ditemukannya residu bolus makanan yang tertinggal di daerah hipofaring setelah proses menelan selesai. Residu ini dapat terakumulasi pada setiap proses menelan hingga dapat mengalir ke vestibulum laring (penetrasi) dan akhirnya terjadi aspirasi. 10 Temuan yang penting adalah ada tidaknya aspirasi pada pasien dengan keluhan disfagia (grafik 4). Aspirasi (Defisit Neurologis)
50% 50% Non aspirasi Aspirasi

Grafik 4. Aspirasi pada pasien dengan defisit neurologis

11

Pada penelitian ini aspirasi secara keseluruhan terjadi pada 23% (3) pasien, dengan 2 pasien pada disfagia neurogenik (meningitis TB, dan stroke ulang), dan 1 pasien paska trauma (paska repair ruptur laringoesofageal). Penulis tertarik secara khusus pada kasus dengan defisit neurologis dimana aspirasi terjadi dengan angka kejadian yang besar. Paciaroni et al pada tahun 2004 melaporkan 34,7% dari 406 pasien dengan stroke mengalami disfagia.2 Hawson, F.Y. bahkan melaporkan angka yang lebih tinggi yaitu 40-70% pasien stroke akut menderita disfagia dan aspirasi terjadi pada 40-50% kasus. Grafik 4 menunjukkan khusus pada kelompok pasien dengan defisit neurologis, 2 dari 4 pasien (50%) ditemukan aspirasi tanpa gejala klinis. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan sebelumnya oleh Hawson, F.Y. 8 Dibutuhkan penelitian lanjutan pada kelompok pasien dengan gangguan neurologis dengan jumlah sampel yang lebih besar, karena sesuai dengan penelitian sebelumnya pada kelompok ini aspirasi terjadi pada 50% pasien, jumlah yang besar dan dapat berakbat fatal bagi pasien apabila tidak terdiagnosis dengan tepat. Grafik 5 menunjukkan kemungkinan penyakit yang mendasari terjadinya disfagia.

Kemungkinan penyakit yang mendasari


Neurologis 8% 8% 8% 8% 8% 22% 8% 30% Paska operasi Paska trauma Keganasan LPR TB laring Scleroderma Akalasia

Grafik 5. Kemungkinan penyakit yang mendasari

12

Tampak penyebab yang paling banyak adalah kelainan neurologis 30%, disusul oleh akibat kejadian paska operasi 22% diikuti oleh kelainan-kelainan lainnya masing-masing 8%. Penelitian ini kurang dapat menggambarakan penyebab kejadian disfagia secara keseluruhan karena jumlah pasien yang terbatas (13 pasien). Sehingga dibutuhkan jumlah pasien yang lebih besar dengan proporsi yang seimbang pada tiap kelompok kelainan yang berbedabeda untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang kemungkinan penyebab disfagia. Grafik 6 menunjukkan terapi selanjutnya dari pasien dengan keluhan disfagia. Sebagian besar (54%) pasien membutuhkan intervensi tambahan berupa fisioterapi oleh dokter spesialis rehabilitasi medis. Terapi
medikamentosa 54% 46% medikamentosa + fisioterapi

Grafik 6. Terapi Kesimpulan : Pasien dengan keluhan disfagia terbanyak (54%) berusia >40 tahun. Penyakit tersering yang mendasari keluhan disfagia adalah kelainan neurologis (30%). Hasil temuan dasar FEES adalah residue (84%), spillage (46%), penetration (30%) dan aspiration (23%). Khusus pada kelompok pasien dengan gangguan neurologis, ternyata pada 50% kasus terjadi aspirasi. Sebagian besar pasien (54%) memerlukan fisioterapi sebagai intervensi tambahan selain terapi medikamentosa.

13

Daftar Pustaka 1. Abou-Elsaad, Handout Assessment And Management of Oropharyngeal Dysphagia in Adults Workshop, IALP, Copenhagen, 2007 2. Rosen, A., Rhce, T.T., Kaufman, R. Prediction of Aspiration in Patients With Newly Diagnosed Untreated Advanced Head and Neck Cancer. Arch Otolaryngology Head Neck Surgery. 2001 3. Hawson, F.Y., The Assessment of Oropharyngeal Dysphagia in Adults. Philippine Journal Of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2009 4. Bailey, Byron J., Head & Neck Surgery - Otolaryngology, 4th Edition, Lippincott Williams & Wilkins, 2006, Ch 50. 5. Kelly AM, Hydes K, McLaughlin C Wallace S. Fibreoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES): The role of speech and language therapy. RCSLT Policy Statement 2005 6. Langmore SE. Endoscopic evaluation and treatment of swallowing disorders. [Book preview]. Thieme. 2000. Available from

http://books.google.co.id/books?id=tWy7yYpzRZoC&printsec=frontcover&hl=en#v=one page&q=&f=false 7. Paik NJ. Dysphagia. [article on the internet]. Emedicine.2008.[updated 2008 june 25]. Available from http://emedicine.medscape.com/article/324096-overview 8. Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing (FEES). Protocols 9. Cichero, J., Dysphagia:foundation, theory, and practice, John Wiley & Sons Ltd, 2006, England. 10. Langmore SE. Endoscopic evaluation of oral and pharyngeal phases of swallowing. Article in
GI Motility online (2006).

Iowa Head and Neck

Available

from

http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo28.html

14

Anda mungkin juga menyukai