Anda di halaman 1dari 2

Mengentalnya Pragmatisme Kekuasaan Politisi

Oleh Thomas Koten

Kekuasaan dengan segala perniknya memang sangat memesona dan menggoda. Karena
itu, siapa pun dibuat tergiur untuk meraih dan merengkuhnya. Bahkan, setiap orang di
mana pun, selama hidupnya hanya mengorientasikan dirinya pada pencarian kekuasaan di
berbagai strata kehidupan. Maka, benar apa yang dikatakan oleh filsuf kenamaan
Willhem Nietzsche, naluri manusia yang tidak pernah padam sepanjang zaman adalah
kehendaknya untuk berkuasa.
Bagi para politisi, orientasi penuh pada kekuasaan menjadi jelas. Pendirian partai
tidak lain hanyalah sebagai kendaraan untuk mencapai finis peraihan kekuasaan. Bohong
besar kalau dikatakan bahwa berpolitik dan berpartai itu tidak untuk melempangkan jalan
mendapatkan kekuasaan. Dalam politik mutakhir hal itu menjadi lebih jelas lagi, yakni
hiruk pikuknya membangun koalisi, dengan tujuan utama tidak lain adalah untuk
mendapatkan kursi kekuasaan.

***
Karena itu, benar apa yang kerap dikemukakan oleh para pemerhati politik bahwa
syahwat atau nafsu yang paling besar yang dimiliki oleh para politisi adalah syahwat
kekuasaan. Besarnya syahwat kekuasaan yang dimiliki para politisi dalam membangun
koalisi tersebut dapat terlihat tatkala elite parpol yang gagal meloloskan kandidat
presiden pada pemilu, cenderung tidak tertarik menjadi oposisi. Dapat dilihat misalnya,
setelah Partai Demokrat memenangkan pemilu caleg secara signifikan, parpol besar dan
kecil beramai-ramai merapatkan diri ke pangkuan Susilo Bambang Yudhoyono, sang
capres dari partai tersebut.
Tujuan merapatkan diri ke Demokrat ini, memang sangat jelas, yaitu agar bisa
memperoleh bagian dari “kue kekuasaan” sebagai kompensasi dukungan politik terhadap
kandidat presiden. Tidak jadi persoalan, apakah posisi itu sekadar menteri sosial, menteri
pemuda atau menteri lainnya yang tidak terlalu dibutuhkan keahlian istimewa, yang
penting dapat menggapai dan merengkuh kekuasaan yang sudah menjadi cita-cita awal.
Apalagi, misalnya, dari kekuasaan-kekuasaan yang diraih dan direngkuh itu para
penguasa pemilik parpol sudah bisa berharap dapat memobilisasi dana rakyat untuk partai
demi keperluan pemilu berikutnya, seperti dikatakan Syamsuddin Haris (2004), sudah
menjadi rahasia umum di kalangan elite partai bahwa jabatan menteri menjadi semacam
“kasir” bagi partai, karena melalui jabatan tersebut sang menteri dapat menyalurkan
“dana haram” ke kas partainya. Inefisiensi anggaran negara, korupsi, BUMN yang deficit
melulu, dan tidak terhitungnya dana haram kampanye pemilu, dapat dijelaskan dari
kecenderungan tersebut.
Karena itu, sulit dipercaya misalnya, seorang politisi mengatakan bahwa apa yang
diperjuangkan dalam politik benar-benar ingin membenahi kehidupan rakyat, dan
mengantar rakyat kepada tingkat kehidupan yang lebih baik. Etika politik tertinggi
memang berjuang di pihak rakyat. Tetapi, sulit rasanya jika kesejahteraan rakyat menjadi
cita-cita final dari seluruh perjuangan dan sepak terjang politisi.
Jika dikerling secara lebih luas, banyak caleg yang bunuh diri dan sakit jiwa
karena kalah dalam perolehan suara pada pemilu calon legislatif 9 April, adalah contoh
yang paling otentik begitu kentalnya orientasi perburuan kekuasaan elite politik kita. Dan
hal itu juga semakin memperjelas bahwa segala janji surga dalam kampanye menjelang
pileg tidak lebih hanyalah suatu sajian kebohongan publik. Konsekuensinya, keinginan
rakyat akan perbaikan nasib setelah menjatuhkan pilihannya pada para caleg pun
akhirnya menguap tidak berbekas. Dan apakah penyelenggaraan pemilu yang begitu
mahal dan mewah itu akan menjadi sia-sia? Inilah pertanyaan yang sangat memiriskan
hati.
Lalu, apakah dengan demikian, adagium yang begitu kental dan klise yang
mengatakan bahwa politik itu kotor benar-benar mendapatkan pembenarannya di sini?
Sulit dibantah tentang tuduhan bahwa politik itu kotor, ketika para politisi semakin
menjadikan kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri, dan terus mengabaikan dimensi luhur
dan hakikat kekuasaan sebagai sarana atau alat untuk menciptakan keadilan,
keberadaban, demokrasi dan menciptakan kesejahteraan rakyat.
Tergerusnya dimensi luhur dari politik dan terabainya hakikat kekuasaan dari
genggaman politisi dan penguasa dapat dijelaskan juga dari semaraknya politik uang
yang dimainkan para caleg atau parpol pada pemilu 2009. Bukankah dengan pengeluaran
uang yang begitu banyak hingga beberapa miliar rupiah, telah membuat mereka
disangsikan dapat memperjuangkan nilai-nilai kesejatian politik atau hakikat kekuasaan,
yaitu terciptanya kesejahteraan rakyat? Bukankah dengan mengeluarkan uang yang
demikian banyak itu mereka akan menjadikan gedung wakil rakyat sebagai arena
komersialisasi jabatan demi mendapatkan uang agar dana kampanye politik dapat
kembali?

***
Bertolak dari uraian di atas, benar adanya bahwa kehidupan politik Indonesia
sepanjang sejarahnya hingga saat ini belum juga sanggup sebagai wahana utama atau
wahana memadai untuk mengejewantahkan definisi klasik Harold D. Laswel (1958)
mengenai politik who gets what, when, how. Sebuah aksi politik yang dimainkan oleh
apra politisi dengan mengabaikan peran negara etis dus mengabaikan etika politik, dan
politik sebagai wahana membangun masyarakat utama yang berkeadaban ala Aristoteles
dan Plato.
Politik bagi Plato dalam bukunya Politics, adalah jalan menggapai apa yang
disebut e perfect society; sedangkan bagi Aritoteles adalah cara meraih apa yang disebut
the best possible system that could be reached. Dan para politisi adalah negarawan yang
dengan kearifan dan kebijakannya mampu melahirkan gagasan cemerlang yang
memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Apakah wajah politik dan sosok para politisi kita masih seperti yang diidealkan
oleh kedua filsuf besar nan klasik asal Yunani itu? Pertanyaan itu harus dijawab dengan
mengatakan bahwa dengan sangat disayangkan, di sebuah negara yang besar dengan
kehidupan demokrasinya yang sudah tumbuh ini, belum memiliki sosok-sosok politisi
ideal yang mampu mengelola politik menjadi sebuah wajah politik yang agung dan penuh
pesona yang bebas dari pragmatisme kekuasaan.

Penulis, Direktur Social Development Center

Anda mungkin juga menyukai