Anda di halaman 1dari 16

Journal Reading

Laporan Kasus; langkah-langkah mendiagnose kegagalan pernafasan akut karena emboli cairan ketuban pada kehamilan kembar.

Laboratorium Ilmu Anasthesiologi Dan Reanimasi Program Studi Pendidikan Dokter UNISMA RSUD Kanjuruhan Kepanjen

Abstrak
Introduksi kegagalan pernafasan dapat timbul selama tahap akhir dari kehamilan, dan berhubungan dengan tocolisis dan kondisi lain seperti pneumonia, sepsis, preeklamsi dan sindrom emboli cairan ketuban.

Presentasi kasus
wanita 34 th, hamil kembar usia kehamilan 31minggu,dan selama 6 hari mengalami kegagalan pernafasan akut, beberapa jam setelah mendapat tocolisis (ritodrine), karena PROM, Kesimpulan pasien ini menderita sindrom emboli cairan ketuban dengan tipe yang jarang.

Introduksi
Dispneu ringan merupakan gejala yang sering muncul selama kehamilan tahap akhir Dahulu banyak kasus terjadi akibat komplikasi obat (terutama tocolisis), namun akhir-akhir ini peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru dapat terjadi karena pre eclamsia, syok septic,abrupsi placenta, perdarahan pada obstetric dan sindrom emboli cairan ketuban,

Presentasi Kasus
Seorang wanita usia 34 th, dengan kehamilan kembar usia kehamilan 31 minggu dan selama 6 hari dirawat dirumah sakit dengan premature uterin contraction, riwayat kehamilan sebelumnya, alergi dan merokok disangkal. pada pemeriksaan pervaginam didapatkan cairan ketuban, sehingga didiagnosis dengan PROM, kemudian diberikan infuse ritodrine dengan dosis awal 0,10-0,3 mg/mnit, diberikan dalam 1000 ml NS, selama 24 jam. Pada 24 jam pertama kontraksi uterus berhasil dihentikan, sehingga infuse ritodrine di turunkan dan diberikan ritodrine per oral 2 mg tiap 2 jam. Pasien juga diberikan dexamethasone 12 mg dalam 2 dosis) untuk meningkatkan maturitas paru.

Presentasi Kasus
48 jam kemudian dilakukan section cesarean dengan spinal anesthesia, pasien melahirkan 2 bayi kembar sehat apgar score : 9 dan 8 pada menit pertama dan 10 pada 5 menit berikutnya. Saat SC dilakukan spinal anestesi pada sensoris T4, 1,5 L NS IV pre operasi dan 1 L selama operasi. Beberapa jam setelah melahirkan pasien mengalami dispneu akut dengan RR 35x/menit dan ronkhi bilateral. TD 75/74 mmHg. Pada ECG menunjukkan sinus takikardi 123x/menit. Kemudian diberikan oksigen via nasal (15 L/menit), arterial blood gas analysis menunjukkan hipoksemia berat dengan sianosis (pH 7.46, PaO2 6.25 kPa, PaCO2 3.99, bicarbonate 22 mmol/L). kemudian pasien di intubasi dan dipindah ke ICU

Presentasi Kasus

Gambaran Rontgen Thoraks menunjukkan edema paru bilateral dengan efusi pleura, pada CT-Scan thoraks tidak didapatkan embaoli paru.

Presentasi Kasus
Pasien diberikan infuse noradrenaline dengan dosis rendah (2 g/menit) selama resusitasi untuk meningkatkan tekanan darah, infuse noradrenaline dikurangi dan dihentikan setelah 90 menit hemodinamik pasien stabil. Dipasang Tekanan vena sentral 12mmHg dengan ventilator mekanik, pada ECG menunjukkan fungsi biventrivular baik dengan normal katub, dan tidak didapatkan peningkatan enzim jantung. Duplex ultrasound scanning pada ekstremitas bawah juga menunjukkan tidak terdapat trombosis pada vena femoral dan popliteal.

Presentasi Kasus
Selama 1 hari di ICU pasien mengalami demam (38.8C), leukositosis (17 109/liter) dan koagulopati ringan (trombosit 110 109/liter, APTT 47 detik, fibrinogen 140 mg/dl). Pemeriksaan serologi cairan pleura tidak menunjukkan tanda-tanda eksudat. Extensive kultur (darah, sputum dan vagina) negative, dengan C-reactive protein (CRP) meningkat (15 mg/dl).

Setelah 3 hari pengobatan pasien pulih dengan cepat mengalami perbaikan pada edem parunya dan pasien dilakukan extubasi 1 hari kemudian.

Diskusi
Pasien ini sesuai dengan kriteria Clark untuk AFE: hipotensi, edema paru, sianosis, koagulopati, dyspneu. Namun, dengan adanya PROM sebelum toksisitas ritodrin mengalami gambran klinis yang rumit. PROM didefinisikan sebagai pecahnya membran chorioamniotic sebelum awal persalinan. Pasien ini menerima ritodrin untuk tokolisis, yang merupakan simpatomimetik 2 agen untuk memperpanjang kehamilan sampai 48 jam. Ada hubungan yang kuat antara penggunaan ritodrin dan peningkatan edema paru ibu, terutama bersamaan dengan penggunaan steroid.

Diskusi
Takikardia dan tachypnea dari pasien dikaitkan dengan infus ritodrin, Antibiotik diberikan karena risiko infeksi intrauterin. 2 jam operasi caesar, pasien mengalami akut respiratory distress dan dipindahkan ke ICU. Adanya akut infark miokard tidak disertai oleh gambran elektrokardiografi yang khas dan perubahan echocardiographic serta peningkatan enzim. Duplex scanning dari kedua ekstremitas menunjukkan adanya thrombosis di vena, serta gambaran normal pada CT scan pada pulmonary embolism kurang memungkinkan. Terapi tokolitik juga merupakan penyebab yang kurang memungkin karena ritodrin dengan paruh eliminasi 1 sampai 3 jam, dihentikan sekitar 48 jam sebelum timbulnya kegagalan pernafasan akut.

Diskusi
Anestesi spinal terkait dengan blok vasomotor, bradikardia yang mendalam dan insufisiensi pernapasan yang bisa berespon pada hipotensi pasca operasi dan takipnea. Dalam kasus seperti kehamilan kembar, terjadi peningkatan tekanan intra-abdomen dan mengurangi ruang epidural dan subarachnoid oleh pembengkakan dari epidural venus pleksus. Di keadaan ini, biasanya direkomendasikan dosis spinal anestesi untuk pasien tidak hamil namun akan mengakibatkan hipotensi pada ibu dan lebih hipoperfusi pada pusat medula respiratory. Namun, dalam kasus kami, diberikan dosis yang jauh lebih rendah dari anestesi lokal (8 mg 0,75% ropivacaine), tingkat anestesi sensorik di atas T4 dan pasien terhidrasi dengan baik sebelum dan selama operasi.

Diskusi
Sedangkan klinis pada korioamnionitis tidak dapat didukung dari pemeriksaan klinis (tidak ada nyeri rahim, purulen keputihan atau takikardia janin). Namun, perubahan dalam imunitas seluler karena hormon selama kehamilan, seperti progesterone dan human chorionic gonadotropine, merupakan penyebab dari PROM dan tokolisis yang berhubungan dengan perkembangan pneumonia. Gambaran radiologi tidak spesifik untuk pneumonia, tapi pada pasien dengan gejala infeksi saluran pernapasan bawah, terdapat gambaran radiologis pneumonia sebanyak 39% kasus. Selanjutnya, analisis biokimia cairan pleura tidak mengungkapkan tanda-tanda eksudat.

Diskusi
Diagnosis akhir yang dibuat dari gangguan pernapasan dan edema paru , adalah kasus sindrom AFE. Pasien datang terutama dengan dyspnea, sianosis dan hipotens, yang merupakan tahap awal dari peningkatan edema paru. Telah dikemukakan bahwa AFE secara klinis, hemodinamik dan hematologically dibedakan dari anafilaksis dan syok septik. Tidak ada yang pasti dari klinis atau laboratorium, kecuali untuk nekropsi yang menunjukkan sel skuamosa janin, musin, rambut atau vernix di pembuluh darah paru. Gangguan pernapasan ditemukan mendominasi di 51% pasien, hipotensi di 27% dan koagulopati di 12% .

Diskusi
Patofisiologi AFE tidak sepenuhnya dipahami. AFE dikaitkan dengan obstruksi mekanik paru oleh cairan ketuban, mengakibatkan cedera endotel dari zat biologis aktif tissue faktor, endotelin, histamin, prostaglandin dan aktivasi komplemen dalam cairan ketuban. Terjadinya AFE pada kehamilan kembar sangat jarang terjadi. Kami menganggap AFE pada kehmilan kembar mewakili jenis AFE dengan gangguan pernapasan berat, hipotensi ringan, demam dan koagulopati ringan, meskipun tidak ada faktorfaktor risiko yang diketahui seperti penggunaan stimulan rahim, ibu lanjut usia atau mekonium dalam cairan ketuban.

Kesimpulan
Edema paru dapat berkembang pada tahap lanjut kehamilan, baik sebagai komplikasi tokolisis atau karena peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru, karena pre-eklampsia, syok septik atau AFE sindrom. Pada pasien ini terjadi pola biphasic dari gangguan pernapasan akut, awalnya dikaitkan dengan penggunaan ritodrin karena PROM, dan selanjutnya adanya hipoksemia berat, hipotensi dan bedah caesar, serta koagulopati ringan yang dikaitkan dengan tipe yang jarang dari non fatal AFE. Diagnosis banding dari gangguan respiratory yang berat adalah sepsis, pneumonia, tromboemboli dan gagal jantung akut.

Anda mungkin juga menyukai