Anda di halaman 1dari 6

FAKTOR RESIKO Beberapa faktor neurobiologi yang dapat menyebabkan skizoafektif adalah : A.

Genetik Penelitian tentang genetika dari skizofrenia, dilakukan pada tahun 1930 an. Dimana diketemukan bahwa kemungkinan seseorang akan menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia. Kemungkinan seseorang menderita skizofrenia berhubungan dengan dekatnya hubungan persaudaraan tersebut ( sebagai contohnya, sanak saudara derajat pertama atau derajat kedua). Prevalensi Skizofrenia pada populasi spesifik Populasi Populasi umum Bukan saudara kembar pasien skizofrenik Anak dengan satu orang tua skizofrenik Kembar dizigotik pasien skizofrenik Anak dari kedua orang tua skizofrenik Kembar monozigot pasien skizofrenik Prevalensi(%) 1,0 8,0 12,0 12,0 40,0 47,0

Kembar monozigot memiliki angka yang tertinggi. Penelitian bahwa kembar monozigot yang diadopsi menunjukan bahwa kembar yang diasuh oleh orang tua angkat mempunyai skizofrenia dengan kemungkinan yang sama besarnya seperti saudara kembarnya yang dibesarkan oleh orang tua kandungnya. Temuan tersebut menyatakan bahwa pengaruh genetic melebihi pengaruh lingkungan.

Pada penelitian yang sekarang dengan dilakukan observasi dengan berbagai peralatan biologi molecular dan genetic molecular. Terdapat beberapa hubungan yang dilaporkan pada

pasien dengan skizofrenia, meliputi kromosom 3,5,6, 8,13,dan 18. Dan disamping itu juga diketemukan trinucleotide repeats ( CAG/ CTG) pada kromosm 17 dan 18.

B.

Biokimia Rumusan yang paling sederhana untuk mengungkapkan patofisiolgi dari skizofrenia

adalah hipotesa dopamine. Hipotesa ini secara sederhana menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan karena terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Hipotesis ini disokong dari hasil observasi pada beberapa obat antipsikotik yang digunakan untuk mengobati skizofrenia dimana berhubungan dengan kemampuannya menghambat dopamine ( D 2 ) reseptor. Hipotesis dopaminergik tentang skizofrenia terus diperbaiki dan diperluas. Satu bidang spekulasi adalah reseptor dopamine tipe 1 mungkin memainkan peranan dalam gejala negatif, dan beberapa peneliti tertarik dalam menggunakan agonis D pengobatan untuk gejala tersebut.
1

sebagai pendekatan

mesolimbic overactivity = positive symptoms of psychosis

Walaupun hipotesis dopamine tentang skizofrenia telah merangsang penelitian skizofrenia selama lebih dari dua dekade, namun hal ini masih merupakan hipotesis. Hipotesis tersebut masih memiliki masalah. Pertama, antagonis dopamine efektif dalam mengobati hampir semua pasien psikotik dan pasien yang teragitasi berat, tidak tergantung diagnosis. Dengan demikian tidak mungkin untuk menyimpulkan bahwa terjadi hiperaktivitas dopaminergik. Sebagai contohnya antagonis dopamine digunakan juga untuk mengobati mania akut. Kedua, beberapa data eletrofisiologis menyatakan neuron dopaminergik mungkin meningkatkan kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan jangka panjang dengan obat anti psikotik. Data tersebut menyatakan bahwa abnormalitas awal pada pasien ini mungkin melibatkan keadaan hipodopaminergik.

Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa, dalam kondisi experimental yang terkontrol, konsentrasi asam homovanilinic ( sebagai metabolit dopamine utama) dalam plasma dapat mencerminkan konsentarasi asam homovanilinic dalam susunan saraf pusat. Penelitian tersebut menunjukan hubungan positif antara konsentrasi asam homovanilinic praterapi yang tinggi dengan : keparahan gejala psikotik dan respon terapi terhadap obat anti psikotik. Disamping itu perlu juga dipikirkan neurotransmitter lainnya seperti serotonin dan asam amino GABA sebagai etiologi dari skizofrenia. Secara spesifik antagonism pada reseptor serotonin ( 5 hidroxy- tryptamine) tipe 2 ( 5 HT2) menurunkan gejala psikotik dan dalam menurunkan gangguan tersebut berhubungan dengan antagonism D2. Pada salah satu penelitian, aktivitas serotonin berperan dalam perilaku bunuh diri dan impuls yang serupa juga ditemukan pada pasien skizofrenia. Neurotransmiter lainnya yang juga berperan adalah asam amino GABA inhibitor, dimana pada beberapa pasien skizofrenia mengalami kehilangan neuron GABA nergik di dalam hipokampus. Kehilangan inhibitor GABA ergik secara teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergic.

C.

Anatomi dan patalogi

Dalam dekade yang lalu semakin banyak penelitian yang telah melibatkan peranan patofisiologis untuk daerah tertentu di dalam otak, termasuk system limbic, korteks frontalis, dan ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi pada salah satu daerah mungkin akan melibatkan patalogi primer di daerah lainnya di dalam otak.

Penelitian menyebutkan bila terjadi disfungsi misalnya pada bagian tertentu dari sitem limbic yang merupan tempat yang potensial akan menimbulkan gangguan pada sebagian besar pasien dengan gangguan skizofrenia. Pembesaran ventricular otak merupakan salah satu yang palin sering menyebabkan gangguan pada pasien skizofrenia. Akan tetapi pembesaran pada sulkus dan atrofi pada otak juga pernah dilaporkan. Pembesaran ventricular secara teoritis berhubungan dengan kemiskinan fungsi premorbid, gejala negative, kemiskinan terhadap respon pengobatan, dan gangguan kognitif. Pada pemeriksaan dengan menggunakan MRI terdapat juga kemungkinan kerusakan pada daerah thalamus, amygdale/ hippocampus, lobus temporal, dan basal ganglia. Pada peneliatan, menunjukan sampel otak pasien skizofrenia postmortem diketemukan adanya penurunan ukuran daerah tersebut. Ganglia basalis terlibat dalam pengendalian gerakan dimana pada pasien skizofrenia mempunyai pergerakan yang aneh, bahkan tanpa adanya gangguan pergerakan akibat medikasi. Gerakan aneh termasuk berjalan yang kaku, menyeringai wajah, dan gerkan streotipik. Sehingga ganglia basalis dilibatkan dalam patofisiologi skizofrenia. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ukuran regio temporal yang berkurang pada skizofrenia dan gangguan pada gyrus temporalis superior atau planum temporal berhubungan dengan timbulnya halusinasi.

D.

Perkembangan saraf Saat trisemester kedua pada kehamilan, neuron otak janin harus saling berhubungan

dengan neuron lainnya sehingga menghasilkan suatu kesatuan dalam otak. Gangguan proses perkembangan yang dapat dihubungkan pada gangguan skizofrenia adalah kegagalan sel dalam melakukan pematangan, pemindahan hingga terjadinya apoptosis. Kegagalan dari sel untuk berpindah pada posisi yang benar akan menyebabkan terjadinya daerah abu abu yang ektopik pada otak dan kekacauan neuron pada daerah spesifik di hipokampus. Hal tersebut akan menimbulkan gejala pada pasien skizofrenia. Disamping itu juga ditemukan adanya hubungan gangguan perkembangan dengan cedera otak yang terjadi pada awal kehidupan, dimana pada pasien dengan skizofenia memiliki lebih banyak sejarah cedera otak dan komplikasi perinatal dibandingkan dengan pasien yang tidak skizofrenia.

E.

Elektrofisiologi Penelitian elektroensefalografi ( EEG) pada pasien skizofrenia menunjukan sejumlah

besar pasien mempunyai rekaman yang abnormal, yang disertai dengan peningkatan kepekaan terhadap prosedur aktivasi akan terlihat, penurunan aktivitas alfa, peningkatan aktivitas teta dan delta, dengan kemungkinan aktivitas epileptiformis yang lebih dari biasanya. F. Neuroimunolgi Sejumlah kelaianan imunologis dihubungkan dengan pasien skizofenia dimana didapatkan adanya penurunan produksi interleukin 2 sel T, penurunan jumlah dan responsifitas limfosit perifer, kelainan pada reaktivitas seluler dan humoral terhadap neuron, dan adanya antibody yang diarahkan ke otak. Penelitian yang dilakukan secara cermat yang mencari bukti bukti infeksi virus neurotoksik pada skizofrenia telah menghasilkan hal yang negative, walaupun data epidemiologi menunjukan tingginya insidensi skizofrenia.

G.

Komplikasi kelahiran Penelitian terakhir menyatakan bahwa skizofrenia juga dapat disebabkan dari

ketidaknormalan perkembangan otak. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa paparan yang terjadi pada wanita hamil, seperti komplikasi pada kelahiran dapat menyebabkan meningkatnya resiko menderita skizofrenia, hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan seseorang terhadap skizofrenia.

H.

Malnutrisi Kekurangan gizi yang cukup berat, terutama yang bila terjadi pada trimester pertama

kehamilan, dapat menyebabkan gangguan perkembangan struktur sistem saraf pusat. Yang mana pada akhirnya hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya skizofrenia. Menurut Dr. Jack McClellan seorang professor psikiatri dari University of Washington, asam folat mempunyai peranan besar dalam proses transkripsi gen dan regulasi, serta replikasi DNA. Kekurangan zat ini pada janin akan menyebabkan mutasi ini dapat menyebabkan ketidaknormalan fungsi otak yang dapat berkembang menjadi skizofrenia.

I.

Infeksi Infeksi virus yang terjadi selama kehamilan, dapat mengganggu perkembangan otak

janin, yang berakibat timbulnya skizofrenia di kemudian hari. Perubahan anatomi pada

susunan saraf pusat akibat infeksi virus pernah dilaporkan pada orang-orang dengan skizofrenia. Penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi virus pada trimester kedua kehamilan akan meningkatkan seseorang menjadi skizofrenia. Virus influenza, measles, polio, herpes simplex tipe 2, difteria dan pneumonia yang terjadi pada janin merupakan faktor resiko yang meningkatkan kemungkinan terjadinya skizofrenia, walaupun belum dapat dipastikan apakah penyakit ini langsung mengenai otak janin atau ketidaknormalan perkembangan merupakan akibat sekunder dari respon imun maternal.

1. Bagaimana epidemiologi kasus ini? Prevalensi seumur hidup dari gangguan skizoafektif adalah kurang dari 1 persen, kemungkinan dalam rentang 0,5 sampai 0,8 persen. Tetapi angka tersebut adalah angka pekiraan, karena berbagai penelitian terhadap gangguan skizoafektif telah menggunakan kriteria diagnostic yang bervariasi. Prevalensi gangguan telah dilaporkan lebih rendah pada laki-laki dibandingkan wanita, khususnya wanita yang menikah. Usia onset untuk wanita adalah lebih lanjut daripada usia untuk laki-laki. Laki-laki dengan skizoafektif kemungkinan menunjukkan perilaku antisocial dan memiliki pendataran atau ketidaksesuaian afek yang nyata. (Kaplan, 2003) Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3 sampai 1 % dan biasanya timbul pada usia sekitar 18 sampai 45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11 sampai 12 tahun sudah menderita skizofrenia.

Anda mungkin juga menyukai