Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG Negara yaitu suatu tempat yang di dalamnya di diami oleh banyak orang yang mempunyai tujuan hidup yang bermacam-macam dan berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain. Suatu tempat dapat disebut dengan negara jika mempunyai 3 unsur terpenting yang harus ada didalamnya yaitu : 1. Wilayah 2. Pemerintah 3. Rakyat Ketiga unsur tersebut harus ada dalam suatu negara. Jika salah satu dari unsur tersebut tidak ada maka tempat tersebut tidak dapat dinamakan negara. Ketiga unsur tersebut saling melengkapi dalam suatu negara. Unsur yang lainnya yang juga harus dimiliki oleh suatu negara adalah pengakuan dari negara lain. Pengakuan dari negara lain harus dimiliki oleh suatu negara supaya keberadaan negara tersebut diakui oleh negara-negara lain. Setelah suatu negara terbentuk maka negara tersebut berhak membentuk undang-undang atau konstitusi. Konstitusi di Indonesia sudah ada sejak zaman dahulu bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia, konstitusi telah ada yang berfungsi mengatur kehidupan bermasyarakat yang disebut dengan adat istiadat yang ada karena kesepakatan dari suatu masyarakat yang terlahir dan dipakai sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat. Adat istiadat mempunyai suatu hukum yang dinamakan hukum adat. Pada jaman dahulu walaupun belum ada undang-undang seperti halnya sekarang, tetapi kehidupan masyarakat sudah diatur dengan adat istiadat dan yang melanggar adat istiadat akan dikenakan suatu hukum yang telah masyarakat setempat sepakati yaitu hukum adat. Seperti halnya adat istiadat, konstitusi juga mengatur kehidupan suatu negara supaya tertatanya kehidupan dalam negara.Jika dalam adat istiadat, pelanggar adat istiadat dikenai hukum adat maka dalam konstitusi, pelanggar konstitusi dikenai hukuman yang telah diatur dalam undang-undang. Maka untuk mengatur kehidupan negara dan unsur-unsur didalamnya, konstitusi sangat dibutuhkan keberadaannya. Suatu negara tanpa konstitusi atau undangundang seperti halnya mobil yang tanpa stir yang tidak dapat diatur geraknya yang jika

dibiarkan akan menabrak, seperti halnya suatu negara yang tanpa kostitusi maka semua hal dalam negara tidak dapat diatur pergerakannya yang jika dibiarkan mengakibatkan negara akan kacau, bobrok, runtuh dan berdampak buruk dengan hilang keberadannya. 1.2. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dapat dirumuskan beberapa masalah, namun yang akan dibahas pada penulisan kali ini lebih berfokus pada salah satu masalah yaitu mengenai NEGARA: 1.2.1. Bagaimana teori tentang negara pada masa klasik ? 1.2.2. Bagaimana teori tentang negara pada abad pertengahan ? 1.2.3. Bagaimana teori tentang negara pada masa Renaissance ? 1.2.4. Bagaimana teori tentang negara pada zaman baru ?

1.3. TUJUAN PENULISAN Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut : 1.3.1. Untuk memahami teori tentang negara pada masa klasik 1.3.2. Untuk memahami teori tentang negara pada abad pertengahan 1.3.3. Untuk memahami teori tentang negara pada masa Renaissance 1.3.4. Untuk memahami teori tentang negara pada zaman baru

1.4. MANFAAT PENULISAN Manfaat yang diperoleh dari makalah ini adalah sebagai berikut : 1.4.1. Menambah wawasan kita tentang teori negara pada masa klasik 1.4.2. Menambah wawasan kita tentang teori negara pada abad pertengahan 1.4.3. Menambah wawasan kita tentang teori negara pada masa Renaissance 1.4.4. Menambah wawasan kita tentang teori negara pada zaman baru

BAB II PEMBAHASAN

A. NEGARA 1. Teori-Teori Tentang Negara a. Masa Klasik 1. Jaman Yunani Kuno Socrates yang meninggal tahun 399 SM mengatakan bahwa negara bukan semata-mata sebagai keharusan yang bersifat obyektif. Awal mula negara berpangkal pada pekerti manusia. Tugas negara adalah menciptakan hukum, yang itu harus dilaksanakan oleh pemimpin atau penguasa yang dipilih oleh rakyat dengan seksama. Adapun kewajiban rakyat ialah mentaati hukum. Dari sini tersimpan pemikiran demokratis Socrates, sehingga dia meninggal karena dipaksa minum pikiran pada saat itu. Plato (429-347 SM), murid terbesar Socrates dalam bukunya Politeia (negara) mengatakan bahwa negara timbul karena manusia itu berbeda-beda kebutuhan dan keinginan, sehingga perlu mengkoordinir itu semua. Pemikirannya tentang negara, menurutnya negara merupakan persekutuan hidup. Negara terbentuk karena kita tidak sanggup mandiri, kita membutuhkan banyak hal. Plato membagi masyarakat menjadi tiga lapisan, yaitu ahli pikir (filsuf) sebagai penguasa, tentara untuk menjamin keamanan dan pekerja untuk untuk memenuhi kebutuhan akan barang. Plato melihat ada lima bentuk negara. Yang tertinggi adalah aristrokasi. Ketika penguasa lebih mementingkan kemahsyuran dan kehormatan daripada keadilan, maka aristrokasi akan merosot menjadi timokrasi. Jika penguasa negara dapat dipengaruhi oleh kemewahan dan mudah diperalat oleh si kaya, timokrasi berubah menjadi oligarkhi yang menghisap dan memiskinkan rakyat. Ketika orang-orang miskin bersatu dan melakukan perlawanan maka muncul negara demokrasi. Demokrasi bisa lenyap karena kurang tertib, sehingga racun karena pikirannya dianggap merusak alam

terjadi anarkhi (kekacauan). Untuk mengatasi kekacauan muncul tirani, yang ini merupakan bentuk pemerintahan yang paling jauh dari cita-cita keadilan. Aristoteles (384-322 SM), murid terbesar Plato, dalam pemikirannya sangat berbeda dengan Plato yang bersifat idealis kemudian dari gaya berfikir itulah Aristoteles menemukan pemikirannya yang sifat Realis.

Sehingga pemikirannya tentang negara berpandangan bahwa negara adalah satu kesatuan, yang tujuannya untuk mencapai kebaikan yang tertinggi. Dalam bukunya Politica dikatakan bahwa tujuan negara ialah menyelenggarakan keadilan untuk kepentingan umum, dan itu hanya bisa dicapai tergantung budi pekerti warga negaranya. Oleh karena itu, selain ada undang-undang yang mengatrur hak dan kewajiban warga negara, maka etika menjadi bagian penting dari kehidupan negara. Aristoteles membedakan bentuk negara dari jumlah orang yang memegang pemerintahan, sifat dan tujuan pemerintahannya. Jika kekuasaan negara dipegang oleh satu orang disebut monarkhi, yang eksesnya ke arah tirani. Jika dipegang oleh beberapa orang disebut aristokrasi dengan ekses ke oligarkhi. Negara demokrasi yang diperintah oleh rakyat biasanya cenderung ke anarkhi. Berbeda dengan Plato, bentuk negara yang terbaik menurut dia adalah Republik Konstitusional (Soehino, 1985:23-27). Epicurus (342-271 SM), mengembangkan faham individualisme. Menurut dia elemen terpenting bukan negara atau masyarakat, tetapi individu karena adanya negara adalah untuk memenuhi kebutuhan individu-individu. Di masa berikutnya filsafat Yunani dipengaruhi oleh faham kaum Stoa, yang dipelopori oleh Zeno (300 SM). Pokok ajaran Zeno adalah universalisme. Universalismenya tidak terbatas hanya pada bangsa Yunani, tetapi seluruh umat manusia dan bersifat kejiwaan, sehingga perbedaan antara orang Yunani dan orang biadab akan hilang. 2. Jaman Romawi Kuno Pada zaman romawi kuno pemikiran tentang negara tidak berkembang pesat disebabkan bangsa Romawi adalah bangsa yang menitik beratkan praktis daripada berpikir teoritis.

Di masa romawi, negara berpangkal pada tiga unsur, yaitu negara kota Roma, pemerintahan monarkhi yang menguasai bermacam rumpun bangsa dan senat yang terdiri dari kaum ningrat (patricia). Polybios (204-122 SM), sejarawan Romawi mengatakan bahwa dimana-mana monarkhi adalah bentuk pemerintahan yang tertua. Namun, ketika monarkhi memunculkan tirani, kaum bangsawan kemudia bersekongkol untuk melawannya sehingga lahir aristokrasi. Oleh sebab yang sama, aristokrasi berubah menjadi oligarkhi. Ketika rakyat bangkit melawan, lahirlah demokrasi. Akibat korupsi, demokrasi dengan cepat turun derajat menjadi okhlorasi dan akhirnya rakyat kembali menginginkan bentuk monarkhi. Berbeda dengan Epicurus, Cicero (106-43 SM) dalam bukunya De Republica berpendapat bahwa negara dibentuk untuk kegunaan bagi anggotaanggotanya. Di saat-saat akhir, orang-orang Romawi mulai kehilangan tradisi luhur bangsanya, yaitu mengabdi pada negara. Saat itu kekuasaan negara hanya tinggal pada kekuatan bala tentara, sementara para kaisar (penguasa) telah rusak akhlaknya. Akibatnya negara semakin mundur dan akhirnya mengalami kehancuran. b. Abad Pertengahan 1. Paham tentang negara di Eropa Keruntuhan kerajaan Romawi Barat di abad 5M membuat Eropa memasuki abad pertengahan atau jaman Kegelapan. Di bawah dominasi gereja Katolik Roma, pandangan Eropa tentang negara lebih didasarkan pada cita-cita keutuhan. Hal tu terlihat dari peikiran para filsuf berikut : St. Agustinus (354-430M) Dalam bukunya De Civatate Dei (Kota Tuhan) membedakan antara Civitas Dei (negara Tuhan) dan Civitas Terrena atau Civitas Diabolis (negara iblis). Civitas Dei ada pada pangkuan Kristus. Sedangkan Civitas Terrena adalah negara yang kotor seperti Imperium Roma. John Salisbury (1159) Dalam bukunya Politicritus mengatakan bahwa antara kekuasaan rohani (gereja) dan duniawi (negara) seharusnya ada kerjasama.
5

Thomas Aquinas (1225-1274) Dalam bukunya De Regimine Principum (1269) tentang pemerintahan raja-raja mengatakan bahwa manusia menurut kodratnya adalah mahluk sosial, sehingga harus hidup bersama dengan orang lain dalam bermasyarakat. Tujuan negara adalah menyelenggarakan kebahagiaan bagi warganya dan harus diselaraskan dengan syarat agama. Monarki adalah bentuk pemerintahan terbaik. Akan tetapi apabila pemerintahan tidak baik maka sama saja. Thomas Aquinas menolak adanya revolusi dan membunuh raja apabila dia tidak menepati janji kepada rakyatnya.

Dante (1265-1321) Dalam bukunya De Monarchia tertulis hanya monarki dunia saja yang dapat melakukan perdamaian umum, dan pada kepala monarki dunia tersebut dia dapat berlaku adil. Mengenai timbal balik antar negara sebaiknya diatur dalam bentuk federasi.

Marsilius (1270-1340) Defensor Pacis dan Wiliam Occam mendefinisikan negara sebagai suatu badan (organisasi) yang hidup dan bebas, dengan tujuan tertinggi untuk mempertahankan perdamaian. Negara seharusnya mengatasi gereja dan memajukan kemakmuran serta memberi kesempatan pada anggotanya untuk mengembangkan diri secara bebas. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang berada ditangan rakyat. Gagasan tersebut nantinya ditemukan kembali pada pemikiran Rousseau di abad 18 dan monarki konstitusi abad 19.

2. Paham tentang Negara di Luar Eropa Disaat Eropa Barat hidup dalam kegelapan abad pertengahan, kekuasaan Islam di Spanyol justru sedang berada di puncak gemilang. Cordoba menjadi pusat peradaban dunia dan lahirnya filsuf-filsuf besar. Ibn Sina atau Avicena (980-1037) Menyerukan agar manusia kembali ke dasar kenegaraan seperti pada jaman khalifan para Nabi. Menurut dia dasar negara ialah rasa kecintaan dalam keluarga karena merupakan himpunan dari beberapa keluarga yang kemudian membentuk keluarga besar, dengan seorang pemimpin

didalamnya. Cita-cita Avicena adalah Madinah Fadilah (Negara Utama) yang rakyatnya hidup saling berdampingan dengan damai dan saling mengasihi. Ibn Khaldun (1332-1405) Bukunya yang berjudul Muqadimah berisi bahwa faktor penentu kehidupan negara adalah politik dan ekonomi, bukan kecintaan ataupun kecerdasan. Dia membagi jaman menjadi 3 periode yaitu Wahsiyah (masa

mengembara), Badawiyah (hidup menetap), dan Hadariyah (berdagang). Negara baru muncul dimasa Hadariyah ketika masyarakat perlu organisasi untuk menjaga keselamatan. Pada abad yang sama di Indonesia muncul Mpu prapanca pada jaman kerajaan Majapahit. Dalam bukunya Negara Kertagama (1363) dia berhasil mensintesakan antara faham Indonesia asli dengan Buddisme dan Brahmanisme dari Hindu. Konsepsi Prapanca diguanakan sebagai pedoman Majapahit. Sebagaimana Thomas Aquinas dan Dante, negara Prapanca bersifat otokratis-teokratis. Raja berdaulat secara absolut dan kekuasaan datang dari Tuhan. Sebaliknya, ajaran Hindu menganut alam baka adalah alam kedewataan dan nirwana yang berbeda dari dunia fana. Dalam konsepsi Prapanca, raja sebagai dewa yang nampak dan bertugas sebagai penghubung antara dunia fana dengan alam gaib. Selama dia menyelenggarakan hubungan itu dengan tindakan suci seperti membangun candi, meluhurkan brahmana dan pendeta.

c. Masa Renaissance Berkembangnya kembali kebudayaan Yunani Kuno dan pengarugh feodalisme di Eropa, selain menimbulkan kekacauan juga disintegrasi di masyarakat. Situasi itu membuat orang berpikir ke arah kekuasaan sentral dan mutlak dalam bentuk negara absolut yang dapat mengatasi kekacuan. Absolutisme Eropa makin berkembang dengan munculnya reformasi gereja di abad ke-16. Nicollo Machiaveli (1496-1527) hidup di saat Italia mengalami perpecahan, mendambakan adanya figur raja yang kuat, berani dan cerdik. Berbagai nasihat diabolis muncul dalam bukunya IL Principe. Machiavelli

berpendapat bahwa orang tidak perlu menghiraukan asas-asas tata susila, karena itu hanya akan merugikan kepentingan negara. Menurut Machiavelli apabila semua orang baik, maka peraturanlah yang buruk. Akan tetapi apabila semua orang jahat maka peraturan itu baik. Keadaan negara dengan keadaan seperti itu hanya akan terwujud dengan morakhi absolut. Ajarannya disebut kepentingan negara, karena kepentingan negara akan

menjadi ukuran tertinggi perbuatan manusia. Di Eropa, absolutisme hanya terwujud di Prancis (oleh Jean Bodin 15301586) dan Spanyol. Di Inggris hanya bertahan sementara waktu. Di Belanda, raja bahkan terusir dan muncul pemerintahan republik. Di Jerman dan Italia absolutisme bahkan tidak pernah terwujud. Menurut Jean Bodin negara adalah suatu ikatan dari keluarga-keluarga dengan segala miliknya. Semuanya diatur dan diperintah oleh raja sebagai kepala keluarga. Semua orang, badan dan organisasi dalam negara bisa berdiri karena adanya berkah kemauan raja yang berdaulat. Raja berdaulat karena ia memerintah berdasarkan Hukum Asli ( kehendak Tuhan) yang lebih tinggi dari UU Negara. Dengan demikian negara tidak lain adalah kemauan raja. Dan raja tidak terikat pada Undang-undang. Pada dasarnya raja hanya memiliki imperium (hak berkuasa) bukan dominatus (hak milik), sehingga apabila dia tidak menaati Hukum Tuhan maka dia akan menjadi raja yang lalim. Bentuk negara yang terbaik menurut Bodin adalah monarkhi, yang didalamnya hanya orang laki-laki saja yang boleh memerintah. Dalam model ini perselisihan antar partai akan sangat kurang. Dimasa berikutnya salah satu kelompok penentang absolutisme ialah kaum Monarchomacha (pembantai raja) yang umumnya berasal dari penganut Calvinis ( Schmid 1965). Kaum Monarchomacha Duplesis Monray (1579) dalam buku Vindicie contra Tyrannos (Alat-alat Hukum melawan Raja Tirana) menyampaikan bahwa, pada hakikatnya ada dua perjanjian yang harus ditaati yaitu: pertama, antara Tuhan dan raja, yaitu raja harus memerintah rakyat berdasarkan Hukum Asli, dan kedua, antara raja dan rakyat, yaitu menaati Undang-undang negara. Jika raja melanggar Hukum Asli, maka rakyat harus melawan dan sedapatnya membunuh raja tiran, karena kerajaan ada untuk kepentingan rakyat dan raja diangkat atas persetujuan rakyat dan dipilih oleh
8

Tuhan. Alasannya, tidak ada orang yang dilahirkan sebagai raja dan tidak mungkin seseorang menjadi raja dengan sendirinya atau memerintah tanpa rakyat. Hubungan yang baik antara raja dan rakyat ialah suatu stipulatio, yaitu suatu persetujuan. Rakyat meminta raja supaya memerintah dengan adil dan sesuai dengan Undang-undang, dan rakyat berjanji akan taat dibawah syarat-syarat itu. Apabila raja tidak memenuhi kewajibannya, maka rakyat dengan sendirinya bebas dari kewajibannya. George Buchanan, seorang monarchomachus bangsa Skotlandia,

membedakan raja dengan tiran. Raja yang memperoleh kekuasaan tanpa dukungan rakyat atau melakukannya secara tidak adil, dia adalah seorang raja tiran. Dia berdiri diluar Undang-undang dan harus mempertanggungjawabkan pelanggaran itu pada rakyat. Seorang tiran boleh dibunuh, namun itu harus dilakukan dengan berlandaskan pada Undang-undang dari rakyat. Johan Althaus (1568-1638), seorang Calvinis, pada tahun 1610 menerbitkan buku berjudul Politica Methodice Digesta (Susunan Ketatanegaraan yang Sistematis). Ajarannya bersifat organistis. Menurutnya, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan kepentingan jasmani dan rohani anggota-anggota negara, dan itu ada di tangan rakyat sebagai keseluruhan. Maka bentuk pemerintahan yang sesuai adalah bersifat campuran. d. Zaman Baru ( Berkembangnya Teori Hukum Alam Abad ke-17 dan ke-18 ) Jika di masa-masa sebelumnya perlawanan terhadap absolutisme selalu dikaitkan dengan Hukum Alam dari sudut pandang katolik,di abad ke-17 orang berusaha melepaskan diri dari ikatan tersebut. Hugo de Groot atau Grotius (1583-1645) Dalam De Jure Belli ac Pacis menjadikan akal sebagai dasar baru bagi pandangannya tentang negara. Negara terjadi karena adanya persetujuan, karena tanpa negara orang tidak dapat menyelamatkan diri dengan baik. Dari persetujuan itu lahir kekuasaan, dan kekusaan tertinggi untuk memerintah disebut kedaulatan. Thomas Hobbes (1588-1679) Dalam Leviathan mengatakan bahwa dalam keadaan alamiah ( pra-negara) yang terjadi ialah perang antar individu. Disini orang tidak dapat

membedakan antara adil dan tidak adil yang berlaku hanyalah nafsu manusia. Adanya ketakutan karena keselamatan diri selalu terancam, melahirkan perjanjian kemasyarakatan. Benedictus Spinoza (1632-1677) Berpendapat negara diciptakan bertujuan untuk memberi kemerdekaan, perdamaian dan keamanan, sehingga ketakutan berakhir. Spinoza bukanlah penganut monarkhi, baginya aristokrasi lebih baik, karena yang berkuasa sejumlah orang sehingga dasar kekuasaan menjadi lebih kokoh. John Locke (1632-1704) Dalam Two Treatises on Civil Government menyangkal pendapat Hobbes. Dikatakannya keadaan ilmiah memang mendahului negara, namun bukan berarti tanpa aturan kemasyarakatan. Di masa itu sudah ada perdamaian, akal pikiran, dan hak alamiah, termasuk hak dasar yang dimiliki manusia yaitu, hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak milik. Menurut Locke negara terbentuk karena suatu perjanjian kemasyarakatan diantara rakyat guna melindungi hak alamiah ( hak dasar). Locke melihat bentuk pemerintahan dari jumlah orang yang memerintah, jika undang-undang dipegang masyarakat dan kekuasaan atau pelaksana hanya menjalankan disebut demokrasi. Jika kekuasaan hanya pada satu orang disebut monarkhi. Bila dipegang beberapa orang disebut aristokrasi. Locke seorang penganut monarkhi parlementer yang

menghendaki adanya satu parlemen yang kuat. Dia merupakan tokoh yang menjembatani pemikiran abad ke-17 dan ke-18. Abad ke-18 tampaknya menjadi tonggak penting dalam sejarah pertumbuhan negara. Apabila pemikiran sebelumnya hanya bersifat menerangkan tanpa mempengaruhi politik apapun, di abad ke-18 pemikiran memperoleh arti politik penting. Disini unsur pemberian nilai lebih diutamakan, akal yang semula abstrak, dikonkritkan. Puncaknya ialah pecahnya revolusi perancis tahun 1789. Charles Secondat Baron Labrede et de Montesquieu (1689-1755) Membandingkan situasi perancis yang monarkhi absolut dengan inggris yang menganut Trias Politica, yang membagi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Yang menarik ialah hipotesisnya tentang pengaruh faktor geografis dan iklim terhadap lembaga masyarakat dan ketatanegaraan. Dalam hipotesisnya tentang pengaruh faktor geografis dan iklim terhadap lembaga
10

masyarakat dan ketatanegaraan, dikatakan masyarakat yang bermukim di daerah pegunungan dan beriklim dingin lebih menggemari kebebasan politik. Di daerah yang luar biasa makmur, senantiasa ada tirani. Untuk negara yang wilayahnya sangat luas dan berupa daerah kepulauan, rakyat mengehendaki demokrasi. Perdagangan yang luas, tidak sesuai bagi monarkhi, sedangkan republik biasanya tidak menyukai adanya perusahaan besar dengan monopoli. Jean Jacques Rousseau (1717-1778). Berbeda dengan Locke, Rousseau berpendapat bahwa dalam perjanjian setiap orang menyerahkan semua haknya kepada masyarakat. Namun demikian dalam prakteknya masyarakat hanya memakai sebagian hak yang dipandang perlu, sedangkan sisanya dikembalikan pada warganegara. Semua yang lahir dari perjanjian disebutnya kesatuan susila kolektif. Peralihan dari kondisi alamiah ke kondisi bernegara, diartikannya sebagai pergantian dari naluri ke kesusilaan atau dari kebebasan alamiah tanpa batas menjadi kemerdekaan yang dibatasi oleh kemauan kolektif. Menurut Rousseau, kota (Negara) adalah suatu badan moril yang kehidupannya terdiri dari kesatuan anggota-anggotanya. Demokrasi baik untuk Negara kecil, aristokrasi cocok untuk Negara sedang dan monarkhi untuk Negara besar. Immanuel Kant (1724-1804) Berpendapat negara terjadi karena persetujuan sukarela. Kemauan Negara yang terjelma dalam Undang-undang merupakan kemauan umum. Kant menolak hak berevolusi, karena hanya akan membawa kekerasan dan kekacauan. Perubahan hendaknya dilakukan oleh Sang Daulat dan melalui per-Undang-undangan yang sah. Dia membela perlunya hukum internasional di atas Negara demi kepentingan perdamaian. David Hume (1711-1776) Negara terjadi akibat sejarah setiap bangsa. Adanya hak rakyat, seperti kebebasan pers, kebebasan berpikir, dll amat tergantung pada sifat negaranya. Dalam Negara campuran setengah monarkhi dan setengah demokrasi, terdapat banyak kebebasan, karena baik raja maupun rakyat menginginkan kebebasan kritik. Dalam monarkhi absolute, tidak ada pihak yang membutuhkan kritik.

11

Dasar negara ialah cita-cita kenegaraan, yaitu kepercayaan yang meresap di hati rakyat bahwa pemerintah perlu ditaati. Disiplin timbul dalam sejarah, bukan hasil perjanjian sebagaimana ajaran Hobbes. Di sini warganegara yakin bahwa adanya negara cukup menguntungkan dirinya, antara lain negara telah memberi rasa keadilan, membela hak perorangan dan lain-lain. De Bonald (1817), Sekembalinya di Perancis menulis Analytie Sur les lois Naturelles. Isinya adalah menentang teori hukum alam. Menurut dia Negara bukanlah buatan manusia, tetapi organisasi Ketuhanan yang terjadi karena kegaiban untuk mengatur manusia. Warganegara diciptakan oleh Negara, bukan sebaliknya warganegara yang mendirikan negara. Kekuasaan raja tidak timbul karena perjanjian dengan rakyat, tetapi memang kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, warganegara harus patuh pada perintah raja, sebab dialah wakil Tuhan yang sebenarnya. John Stuart Mill (1863) Dalam bukunya The Utilitarians tertulis bahwa baginya susunan negara yang baik untuk sebuah negeri belum tentu dapat digunakan untuk negeri lain, sehingga setiap negara harus berusaha menemukan susunan yang cocok dengan kondisinya. Tujuan negara ialah menyelenggarakan apa yang bermanfaat bagi warganya, agar mencapai kemakmuran yang sebesarbesarnya. Warganegara perlu diberi kebebasan seluas-luasnya dan negara jangan terlalu banyak mencampuri urusan warganegara, kecuali bila terjadi kesenjangan sosial di masyarakat. Hak memilih anggota parlemen seharusnya hanya diberikan kepada warganegara yang membayar pajak, dan anggota parlemen harus memiliki kekayaan yang cukup agar tidak menggantungkan hidupnya dari gaji anggota parlemen.

12

BAB III KESIMPULAN

Dari makalah ini, dapat diketahui alasan masyarakat membutuhkan negara adalah karena masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, ras, dan agama memiliki tujuan dan cita-cita yang berbeda-beda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga mereka butuh suatu wadah yang terpercaya untuk mencurahkan aspirasi mereka tersebut untuk dapat direalisasikan demi kebaikan bersama. Namun negara butuh suatu aturan untuk membatasi aspirasi-aspirasi rakyat yang masuk untuk dapat disusun prioritasnya. Aturan tersebut yang kemudian dinamakan sebagai konstitusi. Konstitusi mempunyai tujuan dan kegunaan dalam pembentukannya. Konstitusi dibuat dengan tujuan untuk mencapai tujuan bersama dari sutu negara yang membuatnya, kalau di Indonesia konstitusi dibuat untuk mencapai tujuan yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila yang sebagai dasar Negara Indonesia. Selain mempunyai tujuan, konstitusi juga mempunyai kegunaan bagi penguasa sebagai alat mewujudkan cita-cita dari tujuan negara yang sesuai dengan kaedah negara pembuatnya. Selain sebagai wadah penampung aspirasi, alasan masyarakat membutuhkan negara adalah masyarakat ini butuh suatu perlindungan dari gangguan atau pengaruh budaya luar yang asing bagi kehidupan mereka dengan tujuan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup mereka. Sehingga mereka dapat berdiri kokoh dan tidak mudah terpengaruh budaya luar serta pada akhirnya mendapatkan pengakuan dari negara lain (de yure) disamping mendapatkan pengakuan dari sisi wujud negaranya sendiri (de facto).

13

DAFTAR PUSTAKA

Priyanto, Supriyo. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Semarang: Fasindo.

14

Anda mungkin juga menyukai