Anda di halaman 1dari 32

SATU 2.1. Industri Obat Tradisional Industri Obat Tradisional menurut Permenkes No.

246 tahun 1990 adalah adalah industri yang memproduksi obat traditional dengan total asset diatas Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), tidak termasuk harga tanah dan bangunan. Sedangkan yang dimaksud dengan Industri Kecil Obat Tradisional menurut peraturan ini adalah industri obat tradisional dengan total asset tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), tidak termasuk harga tanah dan bangunan. Obat tradisional yang diproduksi untuk tujuan diedarkan baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri terlebih dahulu harus didaftarkan sebagai persetujuan menteri kecuali untuk obat tradisional hasil produksi: Industri Kecil Obat Tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan parem Usaha jamu racikan Usaha jamu gendong

Yang dimaksud dengan Usaha Jamu Racikan adalah usaha peracikan, pencampuran, dan atau pengolahan obat tradisional dalam bentuk rajangan, serbuk, cairan, pilis, tapel atau parem dengan skala kecil, dijual di satu tempat tanpa penandaan dan atau merk dagang. Sedangkan Usaha Jamu Gendong adalah usaha peracikan, pencampuran, pengolahan dan pengedaran obat tradisional dalam bentuk cairan, pitis, tapel atau parem, tanpa penandaan dan atau merk dagang serta dijajakan untuk langsung digunakan (Menkes, 1990) Dalam mendirikan suatu industri obat tradisional memerlukan izin Menteri Kesehatan, sedangkan untuk usaha jamu racikan dan jamu gendon, tidak diperlukan izin Menteri Kesehatan dalam pendiriannya. Usaha lndustri Obat Tradisional/Industri Kecil Obat Tradisional wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Dilakukan oleh Badan Hukum berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi; Dilakukan oleh Perorangan warganegara Indonesia atau Badan Hukum berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi 2) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak 3) Harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan tidak mencemari lingkungan. 4) Usaha lndustri Obat Tradisional harus mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya seorang Apoteker warga negara Indonesia sebagai penanggung jawab teknis

5) Wajib mengikuti Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) (Menkes, 1990) Pengadaan obat tradisonal oleh industri obat tradisional kepada masyarakat haruslah memenuhi persyaratan yang diwajibkan oleh pemerintah serta telah memiliki izin edar sebagaimana diharuskan dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.41.1384 yang berbunyi sebagai berikut: 1) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang dibuat dan atau diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar dari Kepala Badan. 2) Untuk memperoleh izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan pendaftaran Untuk dapat memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal diatas maka obat tradisional, harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a) menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan / khasiat; b) dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik yang berlaku; c) penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka secara tepat, rasional dan aman sesuai dengan hasil evaluasi dalam rangka pendaftaran.

2.2. Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Apoteker dalam Industri Obat Tradisional Menurut Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB) Industri obat tradisional harus membuat obat tradisional sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. CPOTB adalah suatu pedoman yang menjelaskan cara memproduksi obat tradisional agar didapat produk yang aman dengan sifat dan mutu yang dihasilkan sesuai dengan yang dikehendaki. Produk bermutu adalah produk yg memenuhi spesifikasi, identitas dan karakteristik yg telah ditetapkan. Produk yang aman adalah produk yang tidak mengandung bahan-bahan yg dapat membahayakan kesehatan /keselamatan manusia seperti menimbulkan penyakit atau keracunan. Ruang lingkup: personalia, bangunan, peralatan,

sanitasi dan hygiene, pengolahan dan pengemasan, pengawasan mutu, inspeksi diri, dokumentasi dan penanganan terhadap hasil pengamatan produk di peredaran (BPOM RI, 2011). Dalam CPOTB dipersyaratkan untuk personalia yaitu Kepala bagian Produksi adalah seorang yang terkualifikasi dan lebih diutamakan seorang apoteker . Kepala bagian Produksi ini diberi kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam produksi obat tradisional, termasuk: a. memastikan bahwa obat tradisional diproduksi dan disimpan sesuai prosedur agar memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan; b. memberikan persetujuan petunjuk kerja yang terkait dengan produksi dan memastikan bahwa petunjuk kerja diterapkan secara tepat; c. memastikan bahwa catatan produksi telah dievaluasi dan ditandatangani oleh kepala bagian Produksi sebelum diserahkan kepada kepala bagian Manajemen Mutu (pemastian mutu); d. memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian Produksi; e. memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan; dan f. memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan. Selain sebagai Kepala bagian Produksi, dalam industri obat tradisional seoarang apoteker juga diutamakan sebagai Kepala bagian Pengawasan Mutu dan Kepala bagian Manajemen Mutu. Kepala bagian Pengawasan Mutu hendaklah diberi kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam Pengawasan Mutu, termasuk: a. menyetujui atau menolak bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan dan produk jadi; b. memastikan bahwa seluruh pengujian yang diperlukan telah dilaksanakan; c. memberi persetujuan terhadap spesifikasi, petunjuk kerja pengambilan contoh, metode pengujian dan prosedur pengawasan mutu lain; d. memberi persetujuan dan memantau semua kontrak analisis; e. memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian Pengawasan Mutu; f. memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan; dan g. memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan.

Sedangkan sebagai Kepala bagian Manajemen Mutu memiliki kewenangan dan tanggung jawab penuh untuk melaksanakan tugas yang berhubungan dengan Sistem Mutu/ Pemastian Mutu, termasuk: a. memastikan penerapan (dan, bila diperlukan, membentuk) Sistem Mutu; b. ikut serta dalam atau memprakarsai pembentukan manual mutu perusahaan; c. memprakarsai dan mengawasi audit internal atau inspeksi diri berkala; d. melakukan pengawasan terhadap fungsi bagian Pengawasan Mutu; e. memprakarsai dan berpartisipasi dalam pelaksanaan audit eksternal (audit terhadap pemasok); f. memprakarsai dan berpartisipasi dalam program validasi; g. memastikan pemenuhan persyaratan teknik atau peraturan otoritas pengawasan obat tradisional yang berkaitan dengan mutu produk jadi; h. mengevaluasi/mengkaji catatan bets; dan i. meluluskan atau menolak produk jadi untuk penjualan dengan mempertimbangkan semua faktor terkait. (BPOM RI, 2011) Seluruh Apoteker dalam industri obat tradisional baik sebagai Kepala Bagian Produksi, Kepala Bagian Pengawasan Mutu maupun Kepala Bagian Manajemen Mutu memiliki Tupoksi utama yakni mengawal proses produksi obat tradisional pada industri obat tradisional agar produk obat tradisional yang dihasilkan efektif, aman, dan berkhasiat bagi masyarakat. Adapun alur produksi obat tradisional dapat digambarkam sebagai berikut:

Gambar 2.4 Skema Produksi Obat Tradisional (BPOM RI, 2011)

3.2

Penyimpangan Oleh Apoteker di Industri Obat Tradisional Dalam industri obat tradisional, penyimpangan-penyimpangan hukum pekerjaan

kefarmasian tidak dapat dihindari.

A. Kasus Pelanggaran oleh Apoteker di Industri Obat Tradisional Sebuah pabrik obat tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah memproduksi OT mengandung BKO secara tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi OT TIE dan mengandung BKO tersebut didesain seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua). Hasil pengujian PPOMN terhadap barang bukti yang ditemukan menunjukkan bahwa adanya BKO dalam produk IOT yang diedarkan oleh pabrik tersebut (Arianto, 2012).

B. Permasalahan

Pemberkasan kasus tersebut dilakukan oleh Penyidik POLDA Semarang dengan menggunakan Saksi Ahli dari Badan POM RI Dari hasil pemeriksaan terhadap Tersangka mendapatkan bukti bahwa (Arianto, 2012): 1. Tersangka mencampur BKO ke dalam produk OT agar lebih manjur. 2. Tersangka mencampur sendiri BKO tersebut ke dalam produk OT yang sedang dibuat 3. Tersangka mengetahui bahwa perbuatannya mencampur BKO ke dalam produk OT adalah melanggar Undang-Undang 4. Sumber BKO adalah Sunarko rekan kerjasama usaha produk OT, yang juga merupakan pemodal perusahaan tersebut dengan modal 50%:50% 5. Perusahaan yang dimiliki oleh Tersangka dan SUNARKO tidak memiliki nama dan izin karena berada di bawah Koperasi Aneka Sari.

C. Kajian Pelanggaran Etika Oleh Apoteker Berdasarkan bukti yang diperoleh tersebut, Pelanggaran-pelanggaran yang terkait mengenai proses produksi sediaan farmasi khususnya untuk IOT pada kasus diatas jika dikaitkan dengan undang-undang yang berhubungan pekerjaan kefarmasiaan maka analisis hukun pelanggaran yang terjadi sebagai berikut: 1) Persyaratan usaha industri obat tradisional dan usaha industri kecil obat tradisional (SK MENKES NO. 246/MENKES/SK/ V/1990 tentang izin usaha industri obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional tercantum, pada kasus tersebut yang dilanggar adalah : Pasal 3 1. Obat tradisional yang diproduksi, diedarkan diwilayah Indonesia maupun dieksport terlebih dahulu harus didaftarkan sebagai persetujuan menteri 2. Dikecualikan dari ketentuan ayat 1 adalah obat tradisional hasil poduksi: a. Industri kecil obat tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan parem. b. Usaha jamu racikan c. Usaha jamu gendong Analisis hukum :

Melihat dari pasal diatas, kasus ini jelas melanggar pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 dimana pabrik tersebut tidak mempunyai izin dan mendaftarkan produk IOT hasil olahannya pada menteri kesehatan sedangkan pabrik tersebut memproduksi jamu yang tidak seperti dicantumkan pada ayat 2, dalam artian perusahan tersebut memproduksi OT dalam skala besar untuk diperdagangkan Pasal 6 1. Usaha industri obat tradisional wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Dilakukan oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi. b. Memiliki nomor pokok wajib pajak. Analisis hukum : Analisis pada pasal 6 menurut SK MENKES NO. 246/MENKES/SK/ V/1990 maka dapat disimpulkan bahwa pabrik obat tersebut tidak mendaftarkan usaha miliknya ke negara sehingga tidak memiliki NPWP dan merupakan suatu pabrik yang tidak memiliki badan hukum. Pasal 7 Industri obat tradisional harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan tidak mencemari lingkungan Analisis hukum: Melihat dari kasus diatas, sangat jelas melanggar pasal 7 karena industri obat tradisional ini ruang produksinya berada di bawah tanah dan sangat jauh dari standar ruang produksi yang seharusnya (menurut SOP). Pasal 8 Usaha industri obat tradisional harus mempekerjakan secara tetap sekurangkurangnya seorang apoteker warga negara indonesia sebagai penanggung jawab teknis Analisis hukum : Suatu industri obat tradisional wajib memiliki minimal seorang apoteker dalam mengelola suatu produksi yang berhubungan dengan obat tradisional. Ditinjau dari kasus di atas, kasus tersebut sangat jelas melangga pasal 8 dikarenakan tidak adanya apoteker sebagai penanggung jawab teknis. Pasal 9

1. Industri obat tradisional dan industri kecil obat tradisional wajib mengikuti pedoman cara pembuatan obat tradisioanl yang baik (CPOTB). 2. Pemenuhan persyaratan dimaksud ayat 1 dinyatakan oleh petugas yang berwenang melalui pemeriksaan setempat. Analisis hukum: Pabrik X di atas melakukan produksi di dalam bunker (ruang bawah tanah) dengan pencahayaan yang kurang; sanitasi yang kurang bagus; peralatan yang tidak di standarisasi dan divalidasi (standar SOP); hasil produksi yang tidak sesuai dengan pedoman CPOTB. Pasal 23 Untuk pendaftaran obat tradisional dimaksud dalam pasal 3 obat tradisional harus memenuhi persyaratan: a) Secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusia b) Bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi persyaratan yang ditetapkan c) Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai obat d) Tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotik. Analisis kasus : Dalam kasus di atas, pabrik X memproduksi obat tradisional dengan campuran BKO yang menyebabkan OT tersebut menjadi lebih manjur namun tidak diketahui efek

sampingnya yang akan membahayakan konsumen. Namun jika melihat kasus di atas, maka obat tradisional hasil produksi pabrik X yang mengandung bahan kimia obat melanggar pasal tersbut di atas.

2) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka hukum yang dilanggar oleh pabrik X tersebut antara lain: Pasal 4a Hak konsumen adalah : Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Analisis hukum :

Pabrik X dengan jelas melanggar hak konsumen sebagaimana yang tercantum pada Pasal 4a di mana pabrik ini memproduksi obat tradisional bercampur bahan kimia obat yang dapat membahayakan keselamatan konsumen.

3) Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian Bagian Ketiga mengenai pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi (Anonim, 2009) Pasal 7 (1) Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung jawab. Pasal 9 (2) Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurangkurangnya 1 (satu) orang apoteker sebagai penanggung jawab Analisis hukum: Dalam kasus tersebut di atas, pabrik obat tradisional tersebut tidak mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 apoteker sebagai penanggung jawab produksi. Hal ini menyebabkan produksi tersebut tidak memenuhi persyaratan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik). Sehingga pabrik tersebut melanggar PP 51/2009 Pasal 7 (1) dan Pasal 9 (2).

4) Persyaratan

usaha

industri

obat

tradisional

dan usaha

industri

kecil

obat

tradisional (PERMENKES NO. 006 tahun 2012) tentang izin usaha industri obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional tercantum, pada kasus tersebut yang dilanggar adalah : Pasal 3 ayat 2 IOT yang melakukan kegiatan proses pembuatan obat tradisional untuk sebagian tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus mendapat persetujuan dari Kepala Badan. Pasal 4 (1) IOT dan IEBA hanya dapat diselenggarakan oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi. Pasal 6

1) Setiap industri dan usaha di bidang obat tradisional wajib memiliki izin dari Menteri. 2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk usaha jamu gendong dan usaha jamu racikan. 3) Selain wajib memiliki izin, industri dan usaha obat tradisional wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. Analisi hukum Telah dijelaskan bahwa pabrik X tersebut telah melanggar perizinan IOT yang melingkupi izin usaha, dan pekerjaan kefarmasian. Dimana pada kasus tersebut pemilik pabrik X tidak memperkerjakan sekurang-kurangnya 1 apoteker sebagai penanggung jawab dalam industri IOT sehingga dapat membahayakan konsumen.

D. Kesimpulan Kasus Pada Penyimpangan oleh Apoteker di Industri Obat Tradisional Dari contoh kasus dan analisis hukum kasus diatas ,dapat ditarik kesimpulan bahwa penyimpangan-penyimpangan di industri IOT akan tetap terus berlanjut jika pemerintah tidak tegas dalam mengambil tindakan terhadap oknum-oknum nakal yang melakukan pelanggaran tersebut. Penyimpangan ini juga dapat terjadi karena dipengaruhi oleh faktor individu yang kurang berdedikasi, tidak jujur dan tidak bertanggung jawab dalam memproduksi OT. Jika seorang pemilik IOT memperkerjakan farmasis dan apoteker yang bekerja dan bertanggung jawab atas IOT tersebut serta melakukan pekerjaan dengan dilandasi hukum yang berlaku maka tidak akan ada pihak yang dirugikan baik dari segi produsen maupun konsumen.

DUA

2.1 KASUS PENYIMPANGAN DALAM BIDANG PRODUKSI (OBAT TRADISIONAL) A. Peran Apoteker Dalam Pengadaan Obat Tradisional

SEDIAN FARMASI

Apoteker sebagai tenaga kefarmasian berperan penting dalam upaya penyelenggaraan kesehatan dimana salah satunya adalah untuk menjamin pengadaan obat tradisional yang aman, bermutu, dan berkhasiat bagi masyarakat. Berdasarkan Pasal 6 Ayat 2 PP No 51 Tahun 2009 disebutkan bahwa pengadaan sediaan farmasi dengan obat tradisional termasuk didalamnya adalah kewajiban dari apoteker. Peran apoteker dalam industri obat tradisional diperjelas dalam 34 Ayat 1 PerMenKes No 006 Tahun 2012 yakni sebagai penanggung jawab termasuk didalamnya bertanggung jawab terhadap pengadaan obat tradisional dan bahan bakunya baik impor maupun lokal. Apoteker yang bekerja dalam industri obat tradisional harus memenuhi persyaratan diantaranya: 1) Memiliki Surat Izin Kerja (SIK) 2) Memperoleh pelatihan yang sesuai 3) Memiliki pengalaman praktis yang memadai dalam bidang obat tradisional dan keterampilan manajerial sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tugas secara profesional. (BPOM RI, 2011; Presiden RI b, 2009) Apoteker yang bekerja di industri obat tradisional dituntut memiliki kompetensi sebagai berikut: 1) Mampu melaksanakan fungsi pengajuan permohonan impor bahan obat tradisional, obat tradisional impor serta pendaftaran obat tradisional,. 2) Mampu melaksanakan Good Inventory Practices 3) Mampu mengembangkan formula obat tradisional, pilot plant dan up scaling. 4) Mampu mengembangkan spesifikasi, metode analisis dan prosedur pengujian untuk bahan awal, produk jadi dan kemasan. 5) Mampu melaksanakan Good Manufacturing Practices. 6) Mampu mengendalikan teknis operasi dan proses manufaktur obat tradisional. 7) Mampu melaksanakan Good Laboratory Practices / analisis kontrol untuk pengawasan mutu obat tradisional.

8) Mampu melaksanakan pengemasan produk. 9) Mampu merancang dan melakukan uji stabilitas / kadaluwarsa. 10) Mampu untuk melaksanakan pengujian yang sesuai untuk perbaikan mutu produk. 11) Mampu berpartisipasi dalam pelaksanaan validasi proses. 12) Mampu menjamin keselamatan kerja. 13) Mampu melaksanakan promosi dan penyampaian informasi obat kepada tenaga profesional kesehatan lainnya.

Dalam kaitannya dengan tahap pengadaan, maka apoteker dalam industri obat tradisional berperan sebagai Kepala bagian Pengawasan Mutu dan Kepala bagian Manajemen Mutu. Kepala bagian Pengawasan Mutu memiliki kewenangan penuh dalam Pengawasan Mutu, termasuk: h. menyetujui atau menolak bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan dan produk jadi; i. memastikan bahwa seluruh pengujian yang diperlukan telah dilaksanakan; j. memberi persetujuan terhadap spesifikasi, petunjuk kerja pengambilan contoh, metode pengujian dan prosedur pengawasan mutu lain; k. memberi persetujuan dan memantau semua kontrak analisis; l. memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian Pengawasan Mutu; m. memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan; dan n. memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di

departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan. Sedangkan sebagai Kepala bagian Manajemen Mutu memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugas yang berhubungan dengan Sistem Mutu/ Pemastian Mutu, termasuk: j. memastikan penerapan (dan, bila diperlukan, membentuk) Sistem Mutu; k. ikut serta dalam atau memprakarsai pembentukan manual mutu perusahaan; l. memprakarsai dan mengawasi audit internal atau inspeksi diri berkala; m. melakukan pengawasan terhadap fungsi bagian Pengawasan Mutu; n. memprakarsai dan berpartisipasi dalam pelaksanaan audit eksternal (audit terhadap pemasok);

o. memprakarsai dan berpartisipasi dalam program validasi; (BPOM, 2011) Apoteker dalam industri obat tradisional memiliki tugas spesifik yang berkaitan dengan pengadaan obat tradisional diantaranya: 1) Melakukan seleksi obat tradisional yang akan diadakan 2) Mendata jumlah bahan baku maupun obat tradisional yang akan diadakan 3) Memilih supplier yang akan digunakan 4) Melakukan pemesanan bahan baku obat tradisional baik lokal maupun impor 5) Membuat aturan kontrak dengan supplier 6) Melakukan monitoring terhadap status order bahan baku atau obat tradisional impor 7) Melakukan pengambilan sampel sesuai dengan prosedur yang telah disetujui. 8) Melakukan penempelan label status bahan awal. 9) Menetapkan kualitas bahan mentah tanaman obat tradisional, bahan mentah obat tradisional dan obat tradisional dengan metode yang telah divalidasi 10) Melakukan pencatatan hasil pengujian dan mencakup sekurang-kurangnya data berikut: a. nama bahan atau produk, dan bentuk sediaan jika ada; b. nomor bets, produsen dan/atau pemasok jika ada; c. referensi ke spesifikasi yang relevan dan prosedur pengujian; d. hasil uji, termasuk observasi dan kalkulasi dan referensi ke sertifikat analisis; e. tanggal pengujian; f. paraf analis yang melakukan pengujian; g. paraf orang yang melakukan verifikasi pengujian dan kalkulasi, jika ada; h. pernyataan yang jelas tentang pelulusan atau penolakan atau status lain, tanggal dan tanda tangan dari personil penanggung jawab. (BPOM, 2011)

B. Peran Ilmu Farmasi Dalam Pengadaan Obat Tradisional Ilmu farmasi sangat berperan dalam pengadaan obat tradisional untuk menjamin bahwa obat tradisional aman, bermutu, dan berkhasiat bagi masyarakat. Penerapan ilmu farmasi terkait

pengadaan obat tradisional dapat dilakukan pada proses pengawasan mutu di laboratorium Quality Contol serta bagian pembelian (purchasing).

Laboratorium Quality Control (QC) Pada laboratorium QC dilakukan pengujian-pengujian terhadap bahan baku simplisia dengan

tujuan standarisasi bahan baku untuk pembuatan obat tradisional. Dalam proses standarisasi bahan baku, diperlukan ekstrak dari simplisia. Dalam memperoleh ekstraksi yang baik harus diperhatikan parameter-parameter sebagai berikut: 1. Parameter Nonspesifik a. Parameter susut pengeringan b. Parameter bobot jenis c. Kadar air d. Kadar abu e. Sisa pelarut f. Residu pestisida g. Cemaran logam berat h. Cemaran mikroba 2. Parameter Spesifik a. Identitas b. Organoleptis c. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu 3. Kandungan Kimia Ekstrak a. Pola kromatogram b. Kadar total golongan kandungan kimia (Depkes RI, 1980) Adapun ilmu-ilmu farmasi yang dapat diterapkan dalam penilaian dan pengujian parameterparameter tersebut adalah sebagai berikut:

1) Farmakognosi dan Fitokimia a. Parameter susut pengeringan

Adalah pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105oC selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai prosen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organik menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan udara terbuka. Tujuannya adalah untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (DepKes RI, 1995). b. Parameter bobot jenis Adalah masa per satuan volume pada suhu kamar tertentu (25oC) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Tujuannya untuk memberikan batasan tentang besarnya masa per satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (DepKes RI, 1995). c. Kadar abu Bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga menyisakan unsur mineral dan anorganik. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbantuk ekstrak. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. Perhitungan penetapan Kadar abu, Kadar abu yang tidak larut dalam asam, Kadar abu yang larut dalam air, Kadar sari yang larut dalam etanol, Kadar sari yang larut dalam air didasarkan pada simplisia yang belum dikeringkan secara khusus (Depkes RI, 1980). Prosedur: Kadar abu Ditimbang 2 g ekstrak dengan seksama ke dalam krus yang telah ditara, dipijarkan perlahan lahan. Kemudian suhu di naikkan secara bertahap hingga 600 + 25C sampai bebas karbon, selanjutnya didinginkan dalam desikator, serta timbang berat abu. Kadar abu dihitung dalam persen terhadap berat sampel awal (Depkes RI, 1980). Kadar abu yang tidak larut dalam asam Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml asam klorida encer P selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan, disaring melalui kertas

saring bebas abu, dicuci dengan air panas, disaring dan ditimbang, ditentukan kadar abu yang tidak larut asam dalam persen terhadap berat sampel awal (Depkes RI, 1980). Untuk masing-masing simplisia memiliki persyaratan nilai yang berbeda-beda. Contohnya persyaratan pada Agerati Radix dimana kadar abu tidak lebih dari 6%, kadar abu yang tidak larut dalam asam tidak lebih dari 1,5%, kadar sari yang larut dalam air tidak kurang dari 10%, kadar sari yang larut dalam etanol tidak kurang dari 1%. d. Organoleptis Pemeriksaan organoleptis dilakukan dengan menggunakan indera manusia yang mencakup warna, rasa, dan bau dari simplisia. Contoh: Pemeriksaan organoleptis untuk Agerati radix yang merupakan akar Ageratum conyzoides adalah bau agak langu; rasa agak kelat (Depkes RI, 1980). e. Identitas (Makroskopik, Mikroskopik, dan Reaksi Warna) Peneriksaan makroskopik dilakukan dengan memeriksa bentuk serta ciri-ciri luar dari simplisia. Contoh: Pemeriksaan makroskopik untuk Agerati radix adalah akar sebagian besar terdiri dari cabang akar, dan serabut akar, permukaan luar berwarna coklat kelabu sampai coklat kehijauan; akar tunggal berbentuk silindrik, lurus atau agak terpilin; serabut akar berbentuk benang halus, agak berkelok-kelok; panjang sampai lebih kurang 8 cm, garis tengah 3 mm sampai 5 mm. Bekas pahatan tidak rata, warna keputih-putihan (Depkes RI, 1980). Pemeriksaan mikroskopik dilakukan untuk melihat ciri-ciri anatomi histologi dengan pengamatan melintang simplisia atau bagian simplisia dan terhadap fragmen pengenal serbuk simplisia. Contoh: Pemeriksaan mikroskopik untuk Agerati radix adalah pada sayatan akar, tampak jaringan gabus terdiri dari beberapa lapis sel berbentuk poligonal, dinding tebal berlapis-lapis. Parenkim korteks terdiri dari beberapa lapis sel, besar, dinding tipis, berisi butir pati, diantaranya terdapat sel sekresi besar dan sel batu kecil dinding tebal bernoktah. Parenkim floem terdiri dari beberapa lapis sel, bentuk bundar, dinding tipis. Di bawah parenkim terdapat floem. Xilem terdiri dari trakea dan parenkim xilem, dinding tebal berlignin; diantaranya terdapat serabut xilem. Jari-jari

teras terdiri dari beberapa lapis sel. Serbuk berwarna coklat kelabu sampai coklat kehijauan. Fragmen pengenal adalah fragmen jaringan gabus, fragmen parenkim floem, bentuk memanjang, dinding tipis, berisi butir pati, fragmen jari-jari empulur dengan sel sklerenkim, panjang, dinding tebal, lumen besar, fragmen trakea dengan penebalan noktah seperti jala (Depkes RI, 1980). Reaksi warna dilakukan terhadap hasil penyarian zat berkhasiat, terhadap hasil mikrosublimasi atau langsung terhadap irisan atau serbuk simplisia. Contoh: Reaksi warna pada Agerati Radix salah satunya adalah dengan meneteskan 5 tetes asam sulfat P pada 2 mg serbuk akar. Hasil positif ditandai dengan adanya warna coklat ungu (Depkes RI, 1980). 2) Kimia Analisis a. Kadar air Pengukuran kandungan air yang berada didalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi atau gravimetrik. Tujuannya untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air didalam bahan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (DepKes RI, 1995). b. Sisa pelarut Menentukan kandungan sisa pelarut tertentu (yang memang ditambahkan) yang secara umum dengan kromatografi gas. Untuk ekstrak cair berarti kandungan pelarutnya, misalnya kadar alkohol. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk ekstrak cair menunjukkan jumlah pelarut (alkohol) sesuai dengan yang ditetapkan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (Depkes RI, 1980). c. Cemaran logam berat Menentukan kandungan logam berat secara spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (DepKes RI, 1995). f. Residu pestisida Menentukan kandungan sisa pestisida yang mungkin saja pernah ditambahkan atau mengkontaminasi pada bahan simplisia pembuat ekstrak. Tujuannya untuk memberikan jaminan

bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (DepKes RI, 1995). g. Identitas (Identifikasi dengan KLT) Identifikasi dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dilakukan dengan melihat nilai hRf/Rf sampel beserta larutan pembandingnya serta warna bercak pada sinar biasa (dengan atau tanpa pereaksi) dan sinar UV (dengan atau tanpa pereaksi) (DepKes RI, 1980; DepKes RI, 2008). h. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu Kadar senyawa yang larut dalam air. Sejumlah 5 g ekstrak disari selama 24 jam dengan 100 ml air-kloroform LP, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam, saring. Diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap, residu dipanaskan pada suhu 105C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air terhadap berat ekstrak awal (Depkes RI, 1980). Kadar senyawa yang larut dalam etanol. Sejumlah 5 g ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml etanol 95% menggunakan labu bersumbat sambil berkali kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring cepat dengan menghindari penguapan etanol, kemudian diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap yang telah ditara, residu dipanaskan pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam etanol terhadap berat ekstrak awal (Depkes RI, 1980). i. Pola kromatogram Ekstrak ditimbang, diektraksi dengan pelarut dan cara tertentu, kemudian dilakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Tujuannya adalah memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatografi (KLT, KCKT, KG) (Stahl, 1969; Hendrajaya dan Kesuma, 2003). j. Kadar total golongan kandungan kimia Dengan penerapan metode spektrofotometri, titrimetri, volumetrik, gravimetrik atau lainnya. Dapat ditetapkan kadar golongan kandungan kimia. Metode harus sudah teruji validitasnya,

terutama selektivitas dan batas linieritas. Ada beberapa golongan kandungan kimia yang dapat dikembangkan dan ditetapkan metodenya, yaitu golongan: minyak atsiri, steroid, tannin, flavonoid, triterpenoid (saponin), alkaloid, antrakinon (Soetarno dan Soediro, 1997; Depkes RI, 2000). Tujuannya adalah untuk memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis. k. Kadar kandungan kimia tertentu Dengan tersedianya suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identis atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tertentu. Instrument yang dapat digunakan adalah Densitometer, Kromatografi Gas, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau instrument lain yang sesuai. Metode penetapan kadar harus diuji dahulu validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas, linieritas, ketelitian, ketepatan dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga

bertanggungjawab pada efek farmakologi. Contohnya adalah penetapan kadar andrografolid dalam ekstrak sambiloto secara HPLC atau penetapan kadar pinostorbin dalam ekstrak temu kunci secara densitometri. 3) Mikrobiologi Cemaran mikroba Menentukan adanya mikroba yang patogen secara analisis mikrobiologis. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba non patogen melabihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (DepKes RI, 1995).

Pembelian (Purchasing) Bagian pembelian melayani pembelian bahan baku dan bahan kemas yang dibutuhkan baik

untuk proses produksi, proses penelitian dan pengembangan produk, maupun untuk pengujianpengujian yang dilakukan QC. Adapun ilmu farmasi yang diperlukan adalah: Manajemen Farmasi

Manajemen adalah suatu proses kegiatan yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan dengan menggunakan ilmu dan seni demi tujuan organisasi (Seto dkk, 2008). Peran manajamen farmasi dalam pengadaan di industri obat tradisional antara lain: 1. Pencatatan jumlah penerimaan, pengeluaran, dan jumlah bahan yang tersisa sebagai pedoman untuk pengadaan dan pembelian selanjutnya. 2. Perencanaan waktu tunggu bahan baku maupun obat tradisional impor sehingga kelancaran aktifitas industri obat tradisional tetap terjaga 3. Pembuatan kartu stok produk 4. Perencanaan desain dan tata ruang gudang penyimpanan bahan baku maupun obat tradisional 5. Pengelolaan Kas: sumber dan penggunaan kas 6. Analisa biaya dan kesempatan (peluang) pada pasar obat tradisional (Seto dkk, 2008)

C. Beberapa Dasar Hukum Dan Aspek Legal Pengadaan Obat Tradisional 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Dasar Negara Indonesia disusun untuk menciptakan suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Salah satu upaya pemerintah dalam memajukan kesejahteraan umum adalah dengan menjamin hak asasi termasuk kesehatan penduduknya. Kesehatan penduduk Indonesia dijamin oleh Negara seperti yang tercantum dalam pasal 28H Ayat 1 yaitu Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan tersebut, Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (Pasal 34 Ayat 3 UUD 1945).

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perwujudan pembangunan kesehatan tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (Presiden RI a, 2009). Pembangunan kesehatan dapat diwujudkan dengan upaya-upaya penyelenggaraan kesehatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 48 Ayat 1 UU No 36 Tahun 2009 dimana salah satu upayanya adalah pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi. Sediaan farmasi yang dimaksudkan adalah mencakup obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika (Presiden RI a, 2009). Obat tradisional merupakan salah satu sediaan farmasi yang penggunaannya di masyarakat cenderung mengalami peningkatan (MenKes, 2007). Obat tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UU No 39 Tahun 2009 adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Presiden RI a, 2009). Obat tradisional (sediaan farmasi) yang beredar harus aman, berkhasiat/ bermanfaat, bermutu, dan terjangkau (Pasal 98 Ayat 1 UU No 36 Tahun 2009). Untuk menjamin keamanan, khasiat, dan mutunya maka dalam Pasal 98 Ayat 2 UU No 36 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat. Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan Pemerintah berkewajiban untuk membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedarannnya (Pasal 98 Ayat 3 dan 4 UU No 36 Tahun 2009) (Presiden RI a, 2009). Pengadaan obat tradisional yang aman, berkhasiat, dan bermutu tidak bisa dilepaskan dari bahan baku yang digunakan. Ketersediaan bahan baku yang memadai sebagai sumber obat

tradisional diperlukan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi obat tradisional di masyarakat. Maka untuk menjamin ketersediaan bahan baku obat tradisional, dalam Pasal 100 Ayat 1 UU No 36 Tahun 2009 disebutkan bahwa sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya. Selain ketersediaan sumber, sediaan farmasi yang berupa obat tradisional harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan (Pasal 105 Ayat 2 UU No 36 Tahun 2009) (Presiden RI a, 2009). UU No 36 Tahun 2009 juga mengatur tentang praktek kefarmasian dalam Pasal 108 Ayat 1 dimana praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Presiden RI a, 2009).

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian PP No 51 Tahun 2009 memuat tentang ketentuan-ketentuan terkait dengan pekerjaan kefarmasian. Salah satu tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian yang disebutkan pada Pasal 4 (a) adalah memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi (Presiden RI b, 2009). Pengadaan Sediaan Farmasi, termasuk obat tradisional di dalamnya, merupakan salah satu bidang dari pekerjaan kefarmasian (Pasal 5 (a) PP No 51 Tahun 2009). Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan sediaan farmasi lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 6 Ayat 1 PP No 51 Tahun 2009 dimana pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan pada fasilitas produksi, fasilitas distribusi atau penyaluran dan fasilitas pelayanan sediaan farmasi. Pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 Ayat 1 PP No 51 Tahun 2009 harus dilakukan oleh Tenaga kefarmasian (Pasal 6 Ayat 2 PP No 51 Tahun 2009). Tenaga Kefarmasian yang dimaksud adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian (Presiden RI b, 2009).

4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tahun 2012 Tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional Pengadaan sediaan farmasi termasuk obat tradisonal salah satunya dilakukan pada fasilitas produksi. Fasilitas produksi obat tradisional diatur dalam PerMenKes No 006 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional. Menurut Pasal 2 PerMenKes No 006 Tahun 2012 disebutkan bahwa fasilitas produksi obat tradisional mencakup industri maupun usaha obat tradisional dimana industri terdiri dari Industri Obat Tradisional (IOT) dan Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) sedangkan usaha obat tradisional terdiri dari Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT), Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT), Usaha Jamu Racikan, dan Usaha Jamu Gendong (MenKes RI, 2012). Dalam persyaratan perizinan maupun penyelenggaraannya, setiap IOT dan IEBA wajib memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Apoteker Warga Negara Indonesia sebagai Penanggung Jawab (Pasal 12 dan Pasal 34 Ayat 1 PerMenKes No 006 Tahun 2012). Sedangkan untuk setiap UKOT wajib memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Tenaga Teknis Kefarmasian Warga Negara Indonesia sebagai Penanggung Jawab yang memiliki sertifikat pelatihan CPOTB (Pasal 22 dan Pasal 34 Ayat 2 PerMenKes No 006 Tahun 2012) (MenKes RI, 2012). Dengan adanya persyaratan bahwa apoteker sebagai penanggung jawab pada IOT dan IEBA maka apoeteker pulalah yang bertanggung jawab terhadap pengadaan obat tradisional termasuk bahan baku baik lokal maupun impor. Pengadaan bahan baku yang bermutu menentukan kualitas obat tradisional yang dihasilkan. Untuk memperoleh suatu bahan baku yang bermutu dalam produksi obat tradisional diperlukan tenaga kefarmasian yang memiliki keahlian dan kewenangan. Dalam hal ini yang berkompeten dalam menentukan spesifikasi bahan baku yang baik adalah apoteker.

5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 104/MenKes/SK/IV/79; Nomor 86/MenKes/SK/III/79; Nomor 11/MenKes/SK/I/81; Nomor

213/MenKes/SK/III/1989; Nomor 719/MenKes/SK/VII/1995 Tentang Pengesahan Buku Materia Medika Indonesia Jilid I VI Pengadaan obat tradisional tidak lepas dari ketersediaan bahan baku yang memenuhi persyaratan. Persyaratan simplisia yang digunakan untuk bahan baku obat tradisional harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan pada Materia Medika Indonesia. Simplisia ialah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang dikeringkan (Depkes RI, 1980). Suatu simplisia tidak dapat dinyatakan bermutu Materia Medika Indonesia (MMI) jika tidakmemenuhi syarat baku bagi simplisia yang bersangkutan. Syarat baku yang tertera dalam MMI berlaku untuk simplisia yang akan dipergunakan untuk keperluan pengobatan, tetapi tidak berlaku bagi bahan yang dipergunakan lain yang dijual dengan nama yang sama. Adapun persyaratan simplisia yang dipersyaratkan antara lain: 1. Bebas dari serangga, fragmen hewan atau kotoran hewan 2. Tidak boleh menyimpang bau dan warnanya 3. Tidak boleh mengandung lendir dan cendawan atau menunjukkan tanda-tanda pengotor lain 4. Tidak boleh mengandung bahan lain yang beracun atau berbahaya 5. Wadah dan bungkus Wadah atau bungkus tidak boleh mempengaruhi bahan yang disimpan di dalamnya baik secara kimia maupun secara fisika yang dapat mengakibatkan perubahan potensi, mutu, dan kemurnian. Jika pengaruh itu tidak dapat dihindarkan, maka perubahan yang terjadi tidak boleh sedemikian besar sehingga menyebabkan bahan yang disimpan tidak memenuhi syarat baku. 6. Pengemasan 7. Penyimpanan Simplisia disimpan di tempat terlindung dari sinar matahari dan pada suhu kamar. 8. Kadar abu 9. Kadar abu yang tidak larut dalam asam 10. Kadar abu yang larut dalam air 11. Kadar sari yang larut dalam etanol 12. Kadar sari yang larut dalam air

13. Pengawetan Simplisia nabati boleh diawetkan dengan penambahan kloroform, karbon tetraklorida, etilenoksida atau bahan pengawet lain yang cocok, yang mudah menguap dan tidak meninggalkan sisa. 14. Mikroskopik 15. Reaksi identifikasi (DepKes RI, 1980). Untuk persyaratan Kadar abu, Kadar abu yang tidak larut dalam asam, Kadar abu yang larut dalam air, Kadar sari yang larut dalam etanol, Kadar sari yang larut dalam air, mikroskopik, dan reaksi identifikasi disesuaikan dengan monografi masing-masing simplisia (Depkes RI, 1980).

6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 261/MenKes/SK/IV/2009 Tentang Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama Persyaratan simplisia yang digunakan untuk bahan baku obat tradisional selain diatur dalam Materia Medika Indonesia juga dicantumkan dalam Farmakope Herbal Indonesia Edisi I tahun 2008 yang meliputi: 1. Pemerian 2. Mikroskopis 3. Pola kromatografi 4. Susut pengeringan 5. Abu total 6. Abu tidak larut asam 7. Sari larut air 8. Sari larut etanol 9. Kandungan kimia simplisia (DepKes RI, 2008)

7. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.42.2996 Tentang Pengawasan Pemasukan Obat Tradisional

Banyaknya permintaan obat tradisional dewasa ini membuat pemerintah mengatur kebijakan dengan mengizinkan impor obat tradisional. Untuk mencegah peredaran obat tradisional impor yang tidak memiliki izin edar maka BPOM RI mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No HK.00.05.42.2996 tentang Pengawasan Pemasukan Obat Tradisional. Obat tradisional impor yang dimaksudkan adalah obat tradisional yang dibuat oleh industri di luar negeri yang dimasukkan dan diedarkan di wilayah Indonesia (Pasal 1 Peraturan Kepala BPOM RI No HK.00.05.42.2996) (BPOM RI, 2008). Dalam Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Kepala BPOM RI No HK.00.05.42.2996 disebutkan bahwa yang berhak memasukkan obat tradisional impor ke dalam wilayah Indonesia adalah importir, distributor, industri obat tradisional dan atau industri farmasi yang memiliki izin impor sesuai peraturan perundang-undangan, yang diberi kuasa oleh produsen di negara asal. Mengingat apoteker sebagai penanggung jawab pada industri obat tradisional maka pengadaan obat tradisional impor merupakan salah satu tanggung jawab pekerjaannya. Obat tradisional yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan adalah obat tradisional yang telah memiliki izin edar (Pasal 2 Ayat 2 Peraturan Kepala BPOM RI No HK.00.05.42.2996) (BPOM RI, 2008).

8. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.1.42.0115 Tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Baku Obat Tradisional Selain obat-obat tradisional impor, Indonesia juga mengimpor bahan baku obat tradisional dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena permintaan obat tradisional lokal yang semakin meningkat sehingga produksi bahan baku lokal tidak mencukupi peningkatan permintaan tersebut. Untuk melindungi masyarakat dari penggunaan obat tradisional yang mengandung bahan baku yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan khasiat yang dapat merugikan dan atau membahayakan kesehatan serta mencegah penyalahgunaan distribusi bahan baku obat tradisional maka BPOM RI mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No HK.00.05.1.42.0115 Tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Baku Obat Tradisional (BPOM, 2009). Industri obat tradisional yang telah memiliki izin untuk mengimpor dapat melaksanakan pemasukan bahan baku obat tradisional (Pasal 3 Peraturan Kepala BPOM RI No HK.00.05.1.42.0115). Apoteker penanggung jawab industri obat tradisional yang akan

melakukan impor bahan baku obat tradisional mengajukan surat permohonan tertulis kepada Kepala BPOM untuk mendapatkan persetujuan pemasukan (Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Kepala BPOM RI No HK.00.05.1.42.0115). Jenis bahan baku obat tradisional yang wajib mendapat persetujuan pemasukan tercantum pada Lampiran Peraturan Peraturan Kepala BPOM RI No HK.00.05.1.42.0115 (BPOM, 2009).

D. Uraian Kasus Kasus 1 Sebuah pabrik obat tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah memproduksi OT mengandung BKO secara tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi OT dan mengandung BKO tersebut didesain seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua). Pengujian dilakukan oleh PPOMN (Pusat Pengkajian Obat dan Makanan Nasional) terhadap barang bukti yang ditemukan. Pemberkasan kasus tersebut dilakukan oleh Penyidik POLDA Semarang dengan menggunakan Saksi Ahli dari Badan POM RI Dari hasil pemeriksaan terhadap Tersangka : 1. Tersangka mencampur BKO ke dalam produk OT agar lebih manjur. 2. Tersangka mencampur sendiri BKO tersebut ke dalam produk OT yang sedang dibuat. 3. Tersangka mengetahui bahwa perbuatannya mencampur BKO ke dalam produk OT adalah melanggar Undang Undang. 4. Sumber BKO adalah SUNARKO Rekan kerjasama usaha produk OT, yang juga merupakan pemodal perusahaan tersebut dengan modal 50%:50%. 5. Perusahaan yang dimiliki oleh Tersangka dan SUNARKO tidak memiliki nama dan izin karena berada di bawah Koperasi Aneka Sari. (Kurniawan, 2012)

Pembahasan Kasus Kajian Pelanggaran Etika Dan Undang-Undang Pelanggaran-pelanggaran yang terkait mengenai proses produksi sediaan farmasi adalah:

1. Persyaratan usaha industri obat tradisional dan usaha industri kecil obat tradisional (SK NOMOR 007 TAHUN 2012 TENTANG REGISTRASI OBAT TRADISIONAL. Pasal 2

1. Obat tradisional yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar. 2. Izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepala Badan. 3. Pemberian izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui mekanisme registrasi sesuai dengan tatalaksana yang ditetapkan. Pasal 4 Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terhadap: a. Obat tradisional yang dibuat oleh usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong; b. simplisia dan sediaan galenik untuk keperluan industri dan keperluan layanan pengobatan tradisional; c. obat tradisional yang digunakan untuk penelitian, sampel untuk registrasi dan pameran dalam jumlah terbatas dan tidak diperjualbelikan. Melihat dari pasal diatas, kasus ini jelas melanggar pasal 3 ayat 1, 2 dan ayat 3 dimana pabrik tersebut tidak mempunyai izin dan mendaftarkan pada menteri kesehatan sedangkan pabrik tersebut memproduksi jamu yang tidak seperti dicantumkan pada pasal 4.

Pasal 7 1. Obat tradisional dilarang mengandung: a. Etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan pengenceran; b. bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat; c. narkotika atau psikotropika; dan/atau

d. bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan. 2. Bahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan. Dalam kasus di atas, pabrik X memproduksi obat tradisional dengan campuran bahan kimia obat yang memiliki khasiat obat, dimana obat tradisional yang seharusnya memiliki efek samping yang lebih ringan dibandingkan obat sintetik. Namun jika melihat kasus di atas, maka obat tradisional hasil produksi pabrik X yang mengandung bahan kimia obat melanggar pasal 7 ayat 1 sesuai peraturan diatas.

2. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4a Hak konsumen adalah : Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Pabrik X dengan jelas melanggar hak konsumen sebagaimana yang tercantum pada Pasal 4a di mana pabrik ini memproduksi obat tradisional bercampur bahan kimia obat yang dapat membahayakan keselamatan konsumen.

3. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian Bagian Ketiga mengenai pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi Pasal 7 (1) Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung jawab Pasal 9 (2) Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang apoteker sebagai penanggung jawab Dalam kasus tersebut di atas, pabrik obat tradisional tersebut tidak mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 apoteker sebagai penanggung jawab produksi. Hal ini menyebabkan produksi tersebut tidak memenuhi persyaratan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik). Sehingga pabrik tersebut melanggar PP 51/2009 Pasal 7 (1) dan Pasal 9 (2).

4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tahun 2012 Tentang Industri Dan Usaha Obat Tradisional Pasal 35 1. Pembuatan obat tradisional wajib memenuhi pedoman CPOTB yang ditetapkan oleh Menteri. 2. Ketentuan mengenai penerapan CPOTB dalam pembuatan obat tradisional ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan.

Pabrik X di atas melakukan produksi di dalam bunker (ruang bawah tanah) dengan pencahayaan yang kurang; sanitasi yang kurang bagus; peralatan yang tidak di standarisasi dan divalidasi (standar SOP); hasil produksi yang tidak sesuai dengan pedoman CPOTB, sehingga pabrik tersebut melanggar pasal diatas.

Kasus 2 Badan POM mengumumkan 5 merek obat tradisional impor, 14 obat tradisional lokal, 2

suplemen makanan lokal dan 1 suplemen makanan impor ditarik dari peredaran karena mengandung bahan kimia obat Sildenafil Sitrat atau Tadalafil. Yang cukup mengejutkan, diantara ke 21merek tersebut ada obat yang diproduksi oleh perusahaan farmasi papan atas. Daftar 21 item produk yang ditarik : 1. Blue Moon 2. Caligula kapsul 3. Cobra -X kapsul 4. Hwang Di Shen 5. Lak Gao 69 6. Lavaria 7. Maca Gold 8. Manovel 9. Okura 10. Otot Madu 11. Rama Stamin 12. Sanomale 13. Sari madu kapsul 14. Stanson 15. Sunny Zang Wang Xiong Ying Dan Pil 16. Sunny Zang Wang Xiong Ying kapsul 17. Teraza 18. Top one kapsul 19. Tripoten 20. Urat perkasa kapsul

21. Zu-Mex

Pembahasan Kasus Proses produksi dan pengendalian mutu obat di industri farmasi adalah tanggungjawab

apoteker. Apoteker bertanggungjawab penuh terhadap kualitas obat yang dihasilkan oleh sebuah industri. Pencampuran bahan kimia berkhasiat obat diluar komponen yang disetujui Badan POM dalam proses registrasi adalah pelanggaran berat. Sesuai aturan dalam CPOB setiap proses produksi obat harus disertai batch record (catatan pengolahan batch). Catatan ini memuat semua bahan baku, bahan pembantu dan bahan pengemas beserta jumlahnya, jalannya proses produksi, dan hal-hal lain yang terkait dengan proses produksi. Bila di kemudian hari ditemukan masalah maka dengan batch record penyebab masalah akan mudah ditelusuri. Dalam kasus tersebut apoteker yang bertanggung jawab terhadap proses produksi dan pengendalian mutu telah melanggar beberapa ketentuan yaitu : 1. Sumpah Apoteker 2. Kode Etik Apoteker : a. Bab I kewajiban umum pasal 3 yaitu Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesi sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu

mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dan melaksanakan kewajibannya. b. Bab I kewajiban umum pasal 5 yaitu Di dalam menjalankan tugasnya seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian. c. Bab II kewajiban apoteker terhadap pasien pasal 9 yaitu Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan

masyarakat.menghormati hak azasi pasien dan melindungi mahluk hidup insani. 3. PP No 72 Tahun 1998 (72/1998) Bab II pasal 2 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi & Alat Kesehatan : Sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat sesuai dengan persyaratan dalam buku Farmakope atau buku standar lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.

Dalam kasus tersebut ada 3 kemungkinan penyebabnya. Pertama apoteker penanggungjawab tahu dan menyetujui tindakan tidak bertanggungjawab tersebut. Kedua apoteker tahu tetapi tidak kuasa menolak karena mendapat tekanan dari atasan. Ketiga apoteker sama sekali tidak tahu, meskipun berdasarkan CPOB telah ditetapkan bahwa dalam setiap kegiatan harus ada protap tetapi dalam pelaksanaannya terjadi manipulasi oleh pihak lain. Tapi apapun alasannya, apoteker tetap harus bertanggungjawab karena penambahan bahan kimia lain menyebabkan spesifikasi produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan. Tetapi dalam kasus tersebut perlu dilakukan investigasi untuk mengetahui apoteker dipaksa terlibat atau apoteker dibuat tidak tahu. Apabila apoteker terlibat maka jelas ini adalah sebuah konspirasi. Kalau apoteker dipaksa terlibat maka ini adalah ketidakmampuan yang bersangkutan untuk menjunjung tinggi otonomi profesionalnya. Jika apoteker dibuat tidak tahu maka yang bersangkutan teledor dan patut dipertanyakan kompetensinya.

Anda mungkin juga menyukai