Anda di halaman 1dari 78

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Probiotik merupakan organisme hidup yang mampu memberikan efek yang menguntungkan kesehatan hostnya apabila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup (FAO/WHO, 2001; FAO/WHO, 2002; ISAPP, 2009) dengan memperbaiki keseimbangan mikroflora intestinal pada saat masuk dalam saluran pencernaan (Shitandi et al., 2007; Dommels et al., 2009; Weichselbaum, 2009). Probiotik umumnya dari golongan bakteri asam laktat (BAL), khususnya genus Lactobacillus dan Bifidobacterium yang merupakan bagian dari flora

normal pada saluran pencernaan manusia (Sujaya et al. 2008b). Lactobacillus merupakan probiotik yang dapat memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan seperti penanggulangan diare (Salazar et al., 2007; Pant et al., 2007 ; Tabbers dan Benninga, 2007; Collado et al., 2009 ), menstimulasi sistem

kekebalan (immune) tubuh (Isolauri et al., 2001 ; Isolauri dan Salminen, 2008), menurunkan kadar kolesterol (Pereira et al., 2003; Yulinery et al., 2006; Belviso et al., 2009; Lee et al., 2010), pencegahan kanker kolon dan usus (Brady et al., 2000; Pato, 2003; Liong, 2008), dan penanggulangan dermatitis atopik pada anakanak (Betsi et al., 2008; Torii et al., 2010). Menurut Food and Agriculture Organization/World Health Organization (FAO/WHO) (2001), idealnya strain probiotik seharusnya tidak hanya mampu bertahan melewati saluran pencernaan tetapi juga memiliki kemampuan untuk

berkembang biak dalam saluran pencernaan, tahan terhadap cairan lambung dan cairan empedu dalam jalur makanan yang memungkinkan untuk bertahan hidup melintasi saluran pencernaan dan terkena paparan empedu. Selain itu probiotik juga harus mampu menempel pada sel epitel usus manusia, mampu membentuk kolonisasi pada saluran pencernaan, mampu menghasilkan zat anti mikroba (bakteriosin), dan memberikan pengaruh yang menguntungkan kesehatan manusia. Syarat lainnya adalah tidak bersifat patogen dan aman jika dikonsumsi. Strain probiotik juga harus tahan dan tetap hidup selama proses pengolahan makanan dan penyimpanan, mudah diaplikasikan pada produk makanan, dan tahan terhadap proses psikokimia pada makanan (Prado et al., 2008). Lactobacillus rhamnosus SKG34 yang diisolasi dari susu kuda Sumbawa sangat berpotensi dikembangkan sebagai probiotik. Lactobacillus rhamnosus SKG34 memiliki daya hambat yang besar terhadap pertumbuhan bakteri patogen. (Sujaya et al. 2008b). Uji in vitro L. rhamnosus SKG34 mampu melewati simulasi kondisi lambung dengan pH 3 dan 4, tidak mengubah asam kolat primer (kolat) menjadi asam kolat skunder (deoksikolat), serta dapat menghidrolisis garam empedu (Sujaya et al., 2008a). Pengujian secara in vivo terhadap L. rhamnosus SKG34 perlu dilakukan untuk menindaklanjuti hasil penelitian secara in vitro yang sudah dilaksanakan, untuk mengetahui populasi L. rhamnosus SKG34 pada sekum dan pengaruhnya terhadap kadar kolesterol serum darah dengan menggunakan hewan coba tikus tutih (R. norvegicus), sebelum L. rhamnosus SKG34 dikembangkan dan dikomersialkan sebagai probiotik.

1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah populasi L. rhamnosus SKG34 pada sekum tikus putih (R. norvegicus) 2. Bagaimanakah pengaruh pemberian L. rhamnosus SKG34 terhadap kadar kolesterol serum darah tikus putih (R. norvegicus) 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui populasi L. rhamnosus SKG34 pada sekum tikus putih (R. norvegicus) 2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian L. rhamnosus SKG34 terhadap kadar kolesterol darah tikus putih (R. norvegicus) 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi tentang populasi sekum tikus putih (R. norvegicus) 2. Memberikan informasi pengaruh pemberian L. rhamnosus SKG34 L. rhamnosus SKG34 pada

terhadap kadar kolesterol pada darah tikus putih (R. norvegicus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Probiotik Lilly dan Stillwell memperkenalkan istilah "probiotik" pada tahun 1965 untuk nama bahan yang dihasilkan oleh mikroba yang mendorong pertumbuhan mikroba lain (FAO/WHO, 2001). Probiotik merupakan organisme hidup yang mampu memberikan efek yang menguntungkan kesehatan hostnya apabila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup (FAO/WHO, 2001; FAO/WHO, 2002; ISAPP, 2009) dengan memperbaiki keseimbangan mikroflora intestinal pada saat masuk dalam saluran pencernaan (Shitandi et al., 2007; Dommels et al., 2009; Weichselbaum, 2009). Probiotik telah banyak dimanfaatkan untuk penanggulangan penyakit gastroenteritis seperti diare (Salazar et al., 2007; Pant et al., 2007 ; Tabbers dan Benninga, 2007; Collado et al., 2009 ), menstimulasi sistem kekebalan (immune) tubuh (Isolauri et al., 2001 ; Isolauri dan Salminen, 2008), menurunkan kadar kolesterol (Pereira et al., 2003; Yulinery et al., 2006; Belviso et al., 2009; Lee et al., 2010), pencegahan kanker kolon dan usus (Brady et al., 2000; Pato, 2003; Liong, 2008), penanggulangan dermatitis atopik pada anak-anak (Betsi et al., 2008; Torii et al., 2010), menanggulangi penyakit irritable bowel syndrome

(Malinen et al., 2010; Lyra et al., 2010), penatalaksanaan alergi (Vanderhoof, 2008), pencegahan dan penanganan penyakit infeksi (Wolvers et al., 2010). Probiotik dapat memproduksi bakteriosin untuk melawan pathogen yang bersifat selektif hanya terhadap beberapa strain patogen. Probiotik juga

memproduksi asam laktat, asam asetat, hidrogen peroksida, laktoperoksidase, lipopolisakarida, dan beberapa antimikrobial lainnya. Probiotik juga

menghasilkan sejumlah nutrisi penting dalam sistem imun dan metabolisme host, seperti vitamin B (Asam Pantotenat), pyridoksin, niasin, asam folat, kobalamin, dan biotin serta antioksidan penting seperti vitamin K (Adams, 2009). Manfaat probiotik bagi kesehatan tubuh dapat melalui 3 (tiga) mekanisme fungsi: (1) fungsi protektif, yaitu kemampuannya untuk menghambat patogen dalam saluran pencernaan. Terbentuknya kolonisasi probiotik dalam saluran

pencernaan, mengakibatkan kompetisi nutrisi dan lokasi adhesi (penempelan) antara probiotik dan bakteri lain, khususnya patogen. Pertumbuhan probiotik juga akan menghasilkan berbagai komponen anti bakteri (asam organik, hidrogen peroksida, dan bakteriosin yang mampu menekan pertumbuhan patogen) (Rahayu, 2008; Collado et al., 2009) ; (2) fungsi sistem imun tubuh, yaitu dengan peningkatan sistem imun tubuh melalui kemampuan probiotik untuk menginduksi pembentukan IgA, aktivasi makrofag, modulasi profil sitokin, serta menginduksi hyporesponsiveness terhadap antigen yang berasal dari pangan.; (3) fungsi metabolit probiotik yaitu metabolit yang dihasilkan oleh probiotik, termasuk kemampuan probiotik mendegradasi laktosa di dalam produk susu terfermentasi sehingga dapat dimanfaatkan oleh penderita lactose intolerance (Rahayu, 2008). Efek probiotik terhadap kesehatan dan mekanismenya dalam tubuh disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Efek probiotik terhadap kesehatan dan mekanismenya dalam tubuh Manfaat
1.Membantu pencernaan

Fungsi

Mekanismenya

a.Irritable bowel syndrome, mengurangi - Perubahan populasi atau aktivitas gejala saluran cerna (konstipasi, diare dari mikroflora usus non patogenik, flatulensi, kram, nafas yang berbau penyebab dari gangguan pencernaan) b. Intoleran terhadap laktosa - Pemindahan mikroba laktase ke usus halus 2. Sebagai a. Alergi (eksema atopik, alergi terhadap - Translokasi, efek barrier pertahanan susu, rematik artritis) tubuh b. Kariogenik - Perubahan populasi, aktivitas mikroflora oral atau yang menempel pada gigi c.Karsinogenik, mutagenik, tumor - Penyerapan mutagen, merangsang sistem imun, penghambatan produksi karsinogen oleh mikroflora usus d. Diare karena penggunaan antibiotika, Kompetisi pengeluaran, diare yang disebabkan oleh translokasi/efek barrier, Rotavirus, Kolitis yang disebabkan meningkatkan respon imun oleh C. difficile, diare nosokomial e. Peradangan usus, Kolitis ulserasi, - Penurunan regulasi respon imun Penyakit Crohns f. Pertumbuhan bakteri usus yang Aktivitas antimikroba, berlebihan pengeluaran kompetisi g. Imunomodulasi (status imun, respon - Interaksi dengan sel imun untuk vaksin) meningkatkan aktivitas pagositosis dari sel darah putih, meningkatkan IgA setelah kontak dengan antigen. Meningkatkan proliferasi lekosit intra epitel, regulasi Th1/Th2, induksi sitosis sitokin h. Vaginosis, infeksi saluran kemih - Aktivitas antipatogenik, pengeluran kompetisi 3. Manfaat a. Menurunkan kolesterol darah - Dekonjugasi garam empedu yang lain b. Endotoksemia dengan sirosis Penghambatan produksi endotoksin oleh mikroflora usus c. Hipertensi - Unsur seluler atau peptida yang berasal dari aktivitas fermentasi sebagai penghambatan ACE (Angiotensin Converting Enzyme) d. Batu ginjal - Perubahan pencernaan yang mempengaruhi pemecahan oksalat
Sumber : Sanders (2003) dalam Toma dan Pokrotnieks (2006)

Konsumsi probiotik biasanya diaplikasikan pada pembuatan produk pangan olahan seperti; yogurt, keju, minuman penyegar, es krim, yakult, permen dan yogurt beku (Senok, 2009; Granato et al., 2010). Jumlah minimal strain probiotik yang ada dalam produk makanan adalah sebesar 106 CFU/g atau jumlah strain probiotik yang harus dikonsumsi setiap hari sekitar 108 CFU/g, dengan tujuan untuk mengimbangi kemungkinan penurunan jumlah bakteri probiotik pada saat berada dalam jalur pencernaan (Shah, 2007). Beberapa jenis bakteri probiotik yang sering digunakan dalam industri makanan seperti : Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus casei, Lactobacillus johnsonii, Lactobacillus rhamnosus, Lactobacillus thermophilus, Lactobacillus reuteri, Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus, Bifidobacterium bifidum, Bifidobacterium longum, Bifidobacterium brevis, Bifidobacterium infantis, Bifidobacterium animalis (Granato et al., 2010), Enterococcus faecalis, Enterococcus faecium, Sporolactobacillus inulinus (Holzapfel dan Schillinger, 2002), Lactobacillus delbrueckii ssp. bulgaricus, dan Streptococcus

thermophilus (Senok, 2009). Mikroba yang sering digunakan sebagai probiotik dapat dilihat pada Tabel 2.2. Aspek keamanan dan fungsional menjadi pertimbangan utama dalam proses seleksi mikroba probiotik. Aspek keamanan seperti : menyehatkan saluran pencernaan), bersifat non patogen, dan tahan terhadap antibiotik. Aspek

fungsional seperti kemampuan hidup dan tahan dalam saluran pencernaan,dapat diaplikasikan pada dunia industri, dan tidak menimbulkan aroma yang menyimpang pada makanan (Saarela et al., 2000; Prodo et al., 2008).

Tabel 2.1. Mikroba yang sering digunakan sebagai Probiotik BAL Bifidobacterium Bifidobacterium adolescentis Bifidobacterium animalis Bifidobacterium bifidum Selain spesies Spesies BAL yang BAL lain Enterococcus Bacillus cereus faecalis var. toyoi Enterococcus faecium Lactococcus lactis Escherichia strain nissle coli

Lactobacillus Lactobacillus acidophilus Lactobacillus casei Lactobacillus amylovorus

Propionibacterium freudenreichii Saccharomyces cerevisiae

Lactobacillus Bifidobacterium delbrueckii subsp breve bulgaricus Lactobacillus gallinarum Lactobacillus gasseri Lactobacillus johnsonii Lactobacillus paracasei Lactobacillus plantarum Lactobacillus reuteri Lactobacillus rhamnosus
Sumber : Holzapfel et al. (2001).

Leuconostoc mesenteroides

Bifidobacterium infantis Bifidobacterium lactis Bifidobacterium longum

Pediococcus acidilactici Steptococcus thermophilus Sporolactobacillus inulinus

Saccharomyces boulardii

Menurut Food and Agriculture Organization/World Health Organization (FAO/WHO) (2001), mikroba probiotik, seharusnya tidak hanya mampu

bertahan melewati saluran pencernaan tetapi juga memiliki kemampuan untuk

berkembang biak dalam usus. Ini berarti mikroba probiotik harus tahan terhadap cairan lambung dan dapat tumbuh dalam cairan empedu yang terdapat dalam saluran pencernaan, atau dikonsumsi dalam jalur makanan yang memungkinkan untuk bertahan hidup melintasi saluran pencernaan dan terkena paparan empedu. Selain itu probiotik juga harus mampu menempel pada permukaan enterosit, mampu membentuk kolonisasi pada saluran pencernaan, mampu menghasilkan zat anti mikroba (bakteriosin), dapat berkembang biak dengan baik, dan memberikan pengaruh yang menguntungkan kesehatan manusia. Hal yang penting lainnya adalah tidak bersifat patogen dan aman jika dikonsumsi. Strain probiotik juga harus tahan dan tetap hidup selama proses pengolahan makanan dan penyimpanan, mudah diaplikasikan pada produk makanan, dan tahan terhadap proses psikokimia pada makanan (Prado et al., 2008). 2.2 Kolesterol Kolesterol merupakan produk khas hasil metabolisme hewan. Oleh karena itu kolesterol terdapat dalam makanan yang berasal dari hewan seperti kuning telur, daging, hati, dan otak (Murray et al., 2003). Kolesterol banyak terdapat pada membran sel. Kolesterol berwarna putih dan bersifat larut dalam air (Hofmann, 2004). Kolesterol merupakan prekursor senyawa steroid lainnya

dalam tubuh, seperti: kortikosteroid, hormon seks, asam empedu dan vitamin D (Murray et al., 2003), hormon adrenokortikoid, progesteron, esterogen, dan

testosteron (Hirakawa, 2005). Sebagian besar kolesterol dibentuk di hati, walaupun semua sel mampu memproduksi kolesterol (Hirakawa, 2005). Hati mensintesis sekitar 20 %

10

kolesterol dalam tubuh. Total produksi kolesterol termasuk yang diserap dari makanan dan hasil sintesa dalam tubuh kira-kira 1 g/hari. Jumlah kolesterol yang direkomendasikan sekitar 300 mg/hari. (Gropper et al., 2005). Orang dewasa normal, mensintesa kolesterol sekitar 1g/hari, dan mengkonsumsinya sekitar 0,3 g/hari. Kadar kolesterol dalam tubuh sekitar 150-200 mg/dl, yang digunakan untuk mengatur sintesa de novo. Kecepatan sintesa kolesterol tergantung pada intake kolesterol dari makanan (King, 2010). Kolesterol dalam makanan diserap dari usus bersama lipid lainnya, termasuk kolesterol yang disintesis dalam usus, diinkorporasikan ke dalam kilomikron dan Very Low Density Lipoprotein (VLDL). Sebanyak 80-90% kolesterol yang diserap, diesterifikasikan dengan asam lemak rantai panjang dalam getah bening (Murray et al., 2003). Potter (2007) menyatakan bahwa kolesterol dari makanan sebesar 335 mg/hari masuk ke saluran pencernaan dalam bentuk kilomikron. Selanjutnya masuk ke hati dan mengalami sintesa sebanyak 800 mg/hari. Kilomikron yang masuk ke hati disintesa menjadi HDL dan VLDL. Very Low Density Lipoprotein selanjutnya diubah menjadi LDL, dan bersama dengan HDL masuk ke jaringan periperal, kulit, dan kelenjar endokrin. Diagram peredaran kolesterol dalam tubuh disajikan pada Gambar 2.1.

11

KOLESTEROL
Jaringan Periperal

Kolesterol makanan (335mg/hari

Sintesa Kolesterol (800mg/hari)


VLDL

Makanan

Saluran Pencernaan

Kulit
Kilomikron

Sterol Kulit (85mg/hari)

Hati
HDL

LDL

Kelenjar Endokrin

Hormon Steroid (50mg/hari)

Kolesterol Empedu (600mg/har i)

Asam Empedu (400mg/hari) Feses

Gambar 2.1. Peredaran kolesterol dalam tubuh (Potter, 2007).

Kolesterol dalam tubuh diserap dalam bentuk asam kolat di hati yang dikonjugasikan dengan bahan lain membentuk garam empedu. Garam empedu membantu pencernaan dan penyerapan lemak (Hofmann, 2004; Hirakawa, 2005). Kolesterol dari makanan dan hasil sintesa digunakan dalam pembentukan membran dan sintesa hormon steroid dan asam empedu. Sebagaian besar jumlah kolesterol digunakan dalam proses sintesis asam empedu (King, 2010). Berdasarkan kerapatannya (densitas), kolesterol dapat di bedakan menjadi: kilomikron, Very Low Density Lipoprotein (VLDL), Low Density Lipoprotein (LDL), High Density Lipoprotein (HDL). Dari keempat jenis lipoprotein tersebut, LDL memiliki kadar kolesterol yang paling tinggi, sedangkan kadar protein

12

tertinggi terdapat pada HDL (Gropper et al., 2005; Hirakawa, 2005). Selain itu ada juga Intermediate Density Lipoprotein (IDL), yang memiliki densitas antara VLDL dan LDL. Kilomikron merupakan lipoprotein pertama yang dibentuk dari konsumsi lemak. Selain kilomikron, lipoprotein lainnya merupakan hasil sintesa lemak dalam tubuh (Gropper et al., 2005). Kolesterol diedarkan ke seluruh sel oleh LDL dan HDL (Hirakawa, 2005). Low Density Lipoprotein merupakan komponen lipoprotein yang terbesar membawa kolesterol (60% total serum kolesterol), ke jaringan tubuh, yang digunakan untuk pembentukan membran atau dimetabolisme menjadi hormon steroid. High Density Lipoprotein memiliki peran yang bertentangan dengan

LDL, yaitu mengangkut kolesterol dan lipoprotein lainnya yang sudah terakumulasi dari sel dan mengembalikan kolesterol ke hati untuk selanjutnya diekskresikan dalam empedu (Gropper et al., 2005). Jumlah LDL yang berlebihan dapat menyebabkan penyumbatan arteri dan meningkatkan resiko penyakit jantung dan stroke. Sebaliknya konsentrasi HDL yang tinggi dalam darah dapat menurunkan resiko penyakit jantung. Penyakit jantung koroner dan stroke merupakan penyebab utama kematian dan kejadian cacat di seluruh dunia. Tingginya kandungan total kolesterol darah sangat berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit jantung koroner. Kadar LDL diatas 100 mg/dl dan kadar HDL dibawah 40 mg/dl dapat meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular (Hirakawa, 2005; Baigent dan Clarke, 2008). Beberapa strain BAL mampu memetabolisme kolesterol dari makanan dalam usus halus sehingga tidak diserap oleh tubuh. Lactobacillus sp F2.13,

13

strain endogen Indonesia mampu menurunkan kadar kolesterol total sebesar 33% (Nursini, 2010). Bifidobacterium infantis 17930, memiliki kemampuan

dekonjugasi garam empedu paling tinggi dan aktivitas Bile salt hydrolase (BSH) lebih baik (Liong dan Shah, 2005). Mekanisme penurunan kolesterol oleh aktivitas BAL disebabkan oleh enzim BSH yang mendekonjugasi garam empedu, dimana glisin atau taurin dipisahkan dari steroid, sehingga menghasilkan garam empedu bebas atau terdekonjugasi. Enzim BSH menghasilkan garam empedu terdekonjugasi dalam bentuk asam kolat bebas yang kurang diserap oleh usus halus. Dengan demikian garam empedu yang kembali ke hati selama sirkulasi enterohepatik menjadi berkurang, sehingga total kolesterol dalam tubuh menjadi berkurang. Beberapa jenis BAL memiliki dinding sel yang mampu mengikat kolesterol dalam usus halus sebelum kolesterol diserap oleh tubuh (Surono, 2004; Ooi dan Liong, 2010). Enzim BSH akan memberikan keuntungan khusus bagi strain bakteri probiotik yang tumbuh pada lingkungan yang penuh persaingan dalam saluran pencernaan dengan memberikan daya tahan yang lebih baik terhadap garam empedu, serta membantu dalam menurunkan kadar kolesterol darah (Begley et al., 2006; Noriega et al., 2006; Patel et al., 2010). Bile salt hydrolase dimiliki oleh beberapa strain bakteri saluran pencernaan seperti: Lactobacillus, Enterococcus, Bifidobacterium, Clostridium, Peptostreptococcus, dan Bacteroides (Ooi dan Liong, 2010)

14

2.3 Empedu Pembentukan empedu sangat penting dalam pencernaan dan penyerapan lemak, ekskresi xenobiotik larut lemak dan racun dalam tubuh, dan keseimbangan kadar kolesterol. Garam empedu secara alamiah bersifat amphipilik karena memiliki gugus polar dan non polar. Gugus polar memiliki permukaan yang bersifat hidrofilik yang mengandung gugus hidroksil dan gugus karbonil, sedangkan gugus non polar bersifat hidropobik (Salen dan Batta, 2004). Cairan empedu merupakan gabungan antara asam empedu dan garam empedu. Bilirubin tetrapyrrole (berwarna coklat), merupakan komponen pemberi warna terbesar pada empedu dan merupakan produk akhir dari metabolisme heme. Apabila bilirubin mengalami oksidasi akan berubah menjadi biliverdin (berwarna hijau) (Bijl et al., 2009). Garam empedu bersama pospolipid dan kolesterol merupakan cairan organik terbesar dalam empedu dan merupakan kunci kekuatan dalam pembentukan empedu pada saat di sekresikan ke canalikuli empedu melewati membran apikal hepatosit (Beuers dan Pusl, 2004) Komponen utama asam empedu dalam empedu manusia yaitu asam xenodeoksikolat (45%) dan asam kolat (31%). Sebelum sebagian besar garam empedu disekresikan ke lumen canalikuli, terlebih dulu terjadi konjugasi dengan ikatan amida pada terminal gugus karboksil dengan asam amino glisin dan taurin. Reaksi konjugasi ini menghasilkan glycoconjugates dan tauroconjugates. Sebanyak 95% dari total garam empedu yang disintesa di hati diserap oleh usus distal dan dikembalikan lagi ke hati. Proses sekresi dari hati ke gallbladder,

15

kemudian ke usus, dan akhirnya diserap kembali disebut siklus enterohepatik. Jumlah total garam empedu yang mengalami siklus berulang-ulang melalui siklus enterohepatik sekitar 3,5 g. Jumlah tersebut bersirkulasi dua kali per makan dan 68 kali per hari. Apabila empedu tidak ada di usus, maka hapir 50% lemak yang dimakan akan keluar melalui feses (Ganong, 2002; King, 2010). Siklus

enterohepatik garam empedu dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Kandung kemih

Sistem portal

Garis yang tidak terputus yang masuk ke dalam sistem portal merupakan garam empedu yang berasal dari hati, sedangkan garis terputus-putus menunjukkan garam empedu yang terbentuk akibat aktivitas bakteri

Gambar 2.2. Siklus enterohepatik garam empedu (Ganong, 2002) Produk akhir dari penggunaan kolesterol adalah asam empedu. Sintesa asam empedu merupakan mekanisme utama untuk mengeluarkan kelebihan kolesterol. Ekskresi kolesterol dalam bentuk asam empedu tidak cukup untuk mengimbangi kelebihan intake kolesterol dari makanan. Walaupun sintesa asam empedu merupakan jalan untuk proses katabolisme kolesterol, campuran terlarut antara kolesterol dari makanan, lemak, dan zat gizi essensial juga penting untuk memperlancar transportnya ke hati. Proses sintesa asam empedu membutuhkan

16

kerja 17 enzim dan berlangsung di beberapa bagian intraseluler termasuk sitosol, retikulum endoplasma, mittokondria, dan peroxisom (King, 2010). 2.4 Bakteri Asam Laktat Mikroba yang terdapat di dalam saluran pencernaan sangat kompleks dan merupakan komunitas yang dinamis. Total mikroba yang terdapat di saluran pencernaan diperkirakan mencapai 1012 sel setiap gram isi dengan total sekitar 1015 yang terdiri dari lebih 1000 spesies, atau diperkirakan sekitar 3000-4000 spesies. Berat mikroorganime ini mencapai 1,5 kg di dalam tubuh dan menyumbang 60% berat feses (Rahayu, 2008). Bakteri asam laktat merupakan famili yang bersifat heterogenus, gram positif, anaerob, tidak berspora, dan merupakan bakteri yang tahan terhadap asam. Bakteri asam laktat dapat memfermentasi berbagai jenis zat gizi baik secara homofermentatif maupun heterofermentatif terutama menghasilkan asam laktat, selain itu juga dapat mengasilkan asam asetat, asam format, etanol, dan CO2. Bakteri asam laktat tidak hanya dapat mengubah rasa makanan menjadi asam dalam waktu singkat, tetapi juga akan merubah flavor, tekstur, dan kandungan zat gizi makanan tersebut. Bakteri asam laktat secara alami ditemukan pada tanaman, daging, susu dan hasil olahannya, dan hasil fermentasi serealia, dan sudah lama digunakan dalam industri makanan dalam skala besar atau industri rumah tangga, serta makanan hasil fermentasi. Bakteri asam laktat digunakan sebagai starter untuk fermentasi sayur atau daging (Liu Klaenhammer et al., 2005). et al., 2005;

17

Bakteri asam laktat

termasuk golongan bakteri mikroaerofilik, yang

memfermentasi heksosa menghasilkan asam laktat. Bakteri asam laktat yang banyak digunakan dalam dunia industri adalah spesies Lactococcus,

Enterococcus, Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Leuconostoc, dan Lactobacillus (Makarova et al., 2006 ; O'Sullivan et al., 2009). Spesies BAL dalam memetabolisme hexosa dapat melalui dua proses fermentasi, yaitu homofermentatif, dimana BAL hanya menghasilkan asam laktat, dan

heterofermentatif, dimana selain menghasilkan asam laktat menghasilkan CO2, asam asetat, dan etanol (Makarova et al., 2006).

BAL juga

Bakteri asam laktat juga dapat menghasilkan peptida antimikroba seperti bakteriosin, sebagai contoh adalah L. salivarius UCC118, yang sangat efektif untuk menekan pertumbuhan L. monocytogenes. Beberapa spesies yang biasa

ditemukan pada saluran pencernaan manusia dan hewan, kadang-kadang juga dapat menimbulkan penyakit. Penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi BAL patogen seperti; infeksi saluran kencing, bakterimia, endokarditis, divertikulatis, dan meningitis (O'Sullivan et al., 2009). 2.5 Lactobacillus Genus Lactobacillus terdiri atas banyak kelompok termasuk beberapa spesies yang digunakan untuk fermentasi dan pengawetan makanan. Beberapa Lactobacillus merupakan probiotik, yang dapat memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan hostnya (Claesson et al., 2007). Lactobacillus di tubuh manusia biasanya ditemukan pada vagina dan saluran pencernaan, dimana bisanya bersimbiosis menjadi bagian kecil dari mikroflora usus. Asam laktat

18

yang dihasilkan membuat lingkungan menjadi asam, yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri berbahaya (Wikipedia, 2010). Lactobacillus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang termasuk dalam kelompok (BAL). Lactobacillus memiliki karakter tergantung spesies seperti obligat/fakultatif, homo/heterofermentatif dalam perannya

mengubah susu menjadi asam dan sering dimanfaatkan untuk membuat produk olahan terfermentasi seperti keju, yogurt, dan susu terfermentasi lainnya. Lactobacillus merupakan kelompok bakteri heterogenus yang terdiri atas 135 spesies dan 27 subspesies (Bernardeau et al., 2008). Lactobacillus diisolasi dari isi perut orang sehat, pertama kali pada tahun 1983, pada saat itu menunjukkan ketahanan yang luar biasa terhadap asam kuat yang biasa terdapat pada saluran pencernaan. Lactobacillus dapat menurunkan kolesterol dan memberikan efek hipokolesterolemia (Lye et al., 2010). Lactobacillus sp. Dad 13 yang diisolasi dari dadih terbukti ampuh menurunkan kolesterol (Rusfidra, 2006). Lactobacillus rhamnosus akan memberikan pengaruh yang menguntungkan pada saluran pencernaan, sangat berperan dalam peningkatan sistem imun, terutama dalam melawan patogen yang ada dalam saluran pencernaan dan saluran kencing (Adams, 2009). Antarini (2010) menyatakan bahwa pada produk susu terfermentasi pertumbuhan L. rhamnosus SKG34 sebesar 2,5 x 108 sampai 7,6 x 109 cfu/ml, serta peningkatan protein terlarut 0,046% - 0,084%, peningkatan asam amino bebas seperti asam aspartat, asam glutamat, serin, histidin, glisin, treonin, alanin, tirosin, metionin, isoleusin, leusin, dan lisin.

19

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Probiotik merupakan organisme hidup yang mampu memberikan efek yang menguntungkan kesehatan hostnya apabila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup (FAO/WHO, 2001; FAO/WHO, 2002; ISAPP, 2009) dengan memperbaiki keseimbangan mikroflora intestinal pada saat masuk dalam saluran pencernaan (Shitandi et al., 2007; Dommels et al., 2009; Weichselbaum, 2009). Bakteri asam laktat termasuk golongan bakteri mikroaerofilik, gram

positif yang memfermentasi heksosa menghasilkan asam laktat. Bakteri yang termasuk BAL, sering digunakan dalam dunia industri (Makarova et al., 2006). Beberapa jenis BAL seperti L. rhamnosus ATCC 53013 dan L. acidophilus NCFM, merupakan bakteri probiotik (O'Sullivan et al., 2009). Sujaya et al. (2008b) menyatakan bahwa bakteri probiotik yang banyak beredar di pasaran umumnya dari golongan BAL. Adanya klaim menyehatkan, telah memicu perburuan strain BAL dari berbagai sumber alami, seperti saluran pencernaan, susu manusia dan hewan serta makanan terfermentasi tradisional. Beberapa aspek seperti keamanan, fungsional, dan karakterisasi teknologi menjadi pertimbangan utama dalam proses seleksi mikroba probiotik. Aspek keamanan termasuk spesifikasi seperti : kemurniannya (menyehatkan saluran pencernaan), bersifat non patogenik, dan tahan terhadap antibiotik. Aspek fungsional seperti kemampuan hidup dan tahan dalam saluran pencernaan,

imunomodulation, bersifat antagonis, dan tidak mengalami mutasi (Saarela et al.,

20

2000). Strain probiotik juga harus tahan dan tetap hidup selama proses pengolahan makanan dan penyimpanan, mudah diaplikasikan pada produk makanan, dan tahan terhadap proses psikokimia pada makanan (Prado et al., 2008). FAO/WHO (2002) menyatakan bahwa sebelum dapat dinyatakan sebagai bakteri probiotik, kandidat probiotik harus melewati uji in vitro dan uji in vivo. Uji in vitro meliputi uji ketahanan pada saluran cerna termasuk resistensi terhadap asam lambung dan asam empedu, uji aktivitas antimikrobial, uji adhesif pada sel eritrosit, uji aktivitas enzim bile salt hydrolase, dan kemampuan untuk menurunkan jumlah bakteri patogen. Uji-uji tersebut dilakukan untuk

menghindari terjadinya efek negatif akibat mengkonsumsi probiotik. Lactobacillus rhamnosus SKG34 yang diisolasi dari susu kuda Sumbawa, merupakan kandidat probiotik lokal Indonesia yang sangat berpotensi untuk

dikembangkan sebagai probiotik. Lactobacillus rhamnosus SKG34 telah melewati uji in vitro diantaranya, memiliki daya hambat yang besar terhadap pertumbuhan bakteri pathogen (Sujaya et al., 2008b), mampu melewati simulasi kondisi lambung, dengan pH 3 dan 4 tidak mengubah asam kolat primer (kolat) menjadi asam kolat skunder (deoksikolat), serta mampu menghidrolisis garam empedu Sujaya et al. (2008a) Saat ini perlu dilakukan uji lanjutan untuk mengetahui populasi L. rhamnosus SKG34 pada sekum tikus putih (R. norvegicus) dan kemampuannya untuk menurunkan kadar kolesterol darah tikus putih (R. norvegicus). Diagram kerangka konsep penelitian disajikan pada Gambar 3.1.

21

Kandidat probiotik Lactobacillus rhamnosus SKG34

Uji in vitro : A. Ketahanan pada saluran cerna Resistensi asam lambung Resistensi asam empedu B. Aktivitas antimikrobial C. Adhesif pada sel eritrosit D. Bile salt hydrolase E. dan lain sebagainya

Uji in vivo : A. Ketahanan pada saluran cerna Populasi pada sekum B. Efek fungsional : Kadar kolesterol Sistem imun Alergi Konstipasi Kanker kolon dan lain sebagainya

Probiotik potensial Lactobacillus rhamnosus SKG34 Gambar 3.1. Kerangka konsep pengembangan probiotik L .rhamnosus SKG34

Keterangan : Tulisan tebal dan digarisbawahi merupkan variable yang diteliti

Parameter yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu : 1. Populasi L. rhamnosus SKG34 pada sekum tikus putih (R. norvegicus) 2. Kemampuan L. rhamnosus SKG34 menurunkan kadar kolesterol darah tikus putih (R. norvegicus)

22

3.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini yaitu : 1. Lactobacillus rhamnosus SKG34 dapat bertahan dan melewati tikus putih (R.

percernaan bagian atas dan ditemukan pada sekum norvegicus).

2. Lactobacillus rhamnosus SKG34 berpengaruh terhadap kadar kolesterol darah tikus putih (R. norvegicus).

23

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium untuk menghitung

populasi L. rhamnosus SKG34 pada sekum dan mengukur kadar kolesterol darah tikus putih (R. norvegicus). Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua perlakuan, yaitu kontrol dan perlakuan pemberian L. rhamnosus SKG34. Setiap perlakuan diulang 6 kali. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di UPT Laboratorium Biosain dan

Bioteknologi Universitas Udayana. Penelitian ini berlangsung selama 5 bulan dari bulan Maret Juli 2011. 4.3 Alat Penelitian Jenis peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain: a. Pemeliharaan hewan coba (tikus putih) Alat yang dipergunakan adalah: kandang, timbangan, selop tangan, masker, sonde, keranjang, kawat, tempat makan dan minum, dan sekam padi (Lampiran 8). b. Penyegaran materi hidup, penghitungan koloni bakteri dan pembuatan suspensi bakteri Alat yang digunakan adalah: tabung reaksi (iwaki-pyrex), Erlenmeyer (iwakipyrex), gelas beaker (iwaki-pyrex), gelas ukur (iwaki-pyrex), magnetic stirrer,

24

stirer bar (iwaki BS-38), cawan petri (iwaki-pyrex), batang kaca bengkok, kaca objek, cover glass, tabung eppendorf 1,5 ml, timbangan (Shimadzu AUX 220), autoklaf (all American model no. 1925), kompor (Rinai, RI 522 C), luminar air flow cabinet (ESCO), inkubator (Memmert), mikroskop (Olympus), jarum ose, pipetman (Gilson) ukuran 1000 l, 200 l, tips biru, kuning (porex bio product), sentrifugasi (Hitachi), vortex (Labinco), kulkas (Toshiba), frezzer -20o C, chamber anaerobic (Oxoid), dan kertas tissue. c. Pengukuran pH Alat yang digunakan adalah: pH meter (TOA ion meter IM 40S), tabung reaksi (iwaki-pyrex), vortex (Labinco), dan kertas tissue. d. Pengujian RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan PCR (Polymerase Chain Reaction) sel lisat hasil isolasi. Alat yang digunakan adalah: tabung eppendorf 1,5 ml, microtube 100 l (Treff), pipetman (Gilson) ukuran 20 l, 200 l, tips biru, kuning, kristal (porex bio product), sentrifuge (Hitachi), vortex (Labinco), freezer -20o C, microwave (Samsung), mesin PCR (Invinegen), mesin elektroforesis set (Cosmo bio), UV transluminator (Edvotek model TM-10), selop tangan, dan kertas tissue. e. Pengukuran kadar kolesterol Alat yang digunakan adalah: tabung reaksi (iwaki-pyrex), sentrifuge, spektrofotometer (Genesys 20 model 4001/4), dan kertas tissue.

25

4.4 Bahan Penelitian Jenis bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain: a. Pemeliharaan tikus Bahan yang diperlukan adalah: jagung, kacang hijau, telur, dan air. Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih (R. norvegicus) jantan yang berumur 5 minggu dengan bobot 40-50 gram yang diperoleh dari tempat penangkaran di Jalan Ceningan Sari, Gang Anyar Sari, Sesetan, Denpasar (Bapak Minggu). b. Penyegaran materi hidup, penghitungan koloni bakteri, dan pembuatan suspensi bakteri Bahan yang digunakan adalah: materi hidup L. rhamnosus SKG34

(UNUDCC), media de Man Rogosa Sharpe broth (MRS) broth (Pronadisa) media MRS agar (Pronadisa), anaerob agar (Pronadisa), Bromo cresol purple (BCP), gliserol (Pronadisa), anaerob gas generating kit (oxoid), gram stein (Bio analitika), hydrogen peroksida (H2O2) (Reidel-de Haen), NaCl (Merck), alkohol 70% (Brataco chemical), dan aquades. c. Pengukuran pH Bahan yang digunakan adalah: buffer pH 4 dan 7, aquades, dan kertas tissue. d. Pengujian RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) sel lisat hasil isolasi Bahan yang digunakan adalah: agarose (Pronadisa), PCR mix (Intron), primer M 13F dengan urutan basa (sequences) 5-CGA CGT TGT AAA ACG ACG GCC AGT-3, deionize water, DNA, Tris Acetic EDTA (TAE) 1X, loading

26

buffer, ethidium bromide (Bio rad), kit isoplant II (isoplant code no. 31004151, Nippon Gene, Toyama, Japan), dan kertas tissue e. Pengujian PCR sel lisat hasil isolasi Bahan yang digunakan 0,2 mM dNTPs, 1 X PCR Buffer 10 X, 0,6 mM MgCl2, 0,9 U AmpliTaq, primer spesifik Lactobacillus rhamnosus; Lu5 F (5-CTA GCG GGT GCG ACT TTG TT-3) dan Rhall R (5-GCG ATG CGA ATT TCT ATT ATT-3), masing-masing 10 pmol, deionize water, DNA, TAE 1X, loading buffer, ethidium bromide (Bio rad), DNA marker (Amresco, Solon, Ohio), dan kertas tissue. Tabel 3.1 Primer yang dipergunakan dalam penelitian Primer M 13 LU5 RhaII Sequence (5-3) CGACGTTGTAAAACGACGGCCAGT CTAGCGGGTGCGACTTTG TT GCGATGCGAATTTCTATTATT Sumber Pustaka Vassart, et al., 1987 Song et al., 2000 Song et al., 2000

f. Pengukuran kadar kolesterol Bahan yang digunakan adalah: kit kolesterol (Analyticon 200 mg/dl) aquades, dan kertas tissue. 4.5 Penyegaran Materi Hidup Stok isolat L. rhamnosus SKG34 yang disimpan dalam gliserol 30% pada suhu -20o C, diambil sebanyak satu loop ose dan diinokulasikan dalam tabung reaksi yang berisi 5 ml media MRS broth. Tabung reaksi diinkubasi pada suasana aerob selama 24 jam pada suhu 37o C. Hasil positif ditunjukkan dengan

27

timbulnya kekeruhan pada tabung reaksi. Selanjutnya dilakukan uji konfirmasi untuk memastikan bahwa isolat tidak mengalami perubahan. Uji ini diantaranya: uji gas, katalase, pengecatan gram, dan morfologi. Bila tidak terjadi perubahan, maka hasil positif ini (kultur) akan dipergunakan untuk tahap pengujian selanjutnya (Portugal et al., 2006). 4.5.1 Uji Gas Uji produksi gas dilakukan untuk mengetahui BAL bersifat

homofermentatif atau heterofermentatif. Uji gas dilakukan dengan mencelupkan ose dalam keadaan panas ke dalam kultur BAL yang telah tumbuh pada media MRS broth. Kultur BAL bersifat heterofermentatif jika pada saat ose panas dicelupkan terbentuk buih seperti soda yang dikocok. 4.5.2 Uji Katalase Pengujian katalase dilakukan dengan meneteskan larutan H2O2 3% di atas gelas objek, selanjutnya satu loop ose isolat BAL yang diuji diambil dan dimasukkan ke dalam larutan H2O2 3% yang ada di gelas objek. Hasil positif dinyatakan dengan adanya gelembung-gelembung gas, sedangkan apabila tidak terbentuk gelembung-gelembung gas dinyatakan negatif (Lay, 1994). 4.5.3 Uji Morfologi dan Pewarnaan Gram Pewarnaan gram dilakukan dengan membuat preparat ulas pada gelas objek. Gelas objek dibersihkan dengan kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol. Tabung reaksi berisi isolat BAL divortek, diambil satu loop ose, kemudian diusapkan pada bagian tengah gelas objek. Preparat difiksasi diatas api untuk membunuh dan melekatkan bakteri pada gerlas objek. Setelah kering diberi

28

larutan kristal violet (sebagai zat warna) selama satu menit, kemudian dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya diberi larutan lugol (mordan), selama satu menit, dicuci dengan air mengalir. Preparat kemudian diberi larutan pemucat (aseton alkohol) selama 5-10 detik, kemudian dibilas lagi dengan air mengalir. Setelah itu preparat diberi larutan safranin selama 15 detik, dicuci dengan air mengalir, kemudian dikeringkan dengan cara difiksasi di atas api. Uji morfologi dilakukan dengan pengamatan dengan mikroskop cahaya pada pembesaran 100 kali. Hasil pengamatan berupa morfologi sel dan perbedaan warna, dimana warna ungu kebiruan menunjukkan bakteri bersifat Gram positif, sedangkan warna merah atau merah muda menunjukkan bakteri bersifat gram negatif (Lay, 1994). 4.6 Perlakuan pada Tikus Putih (R. norvegicus) 4.6.1 Tahap aklimatisasi tikus putih (R. norvegicus) Pada penelitian ini akan dipergunakan 20 ekor Tikus Putih (R. norvegicus) jantan yang berumur 5 minggu dengan bobot 40-50 gram yang diperoleh dari tempat penangkaran di Jalan Ceningan Sari, Gang Anyar Sari, Sesetan, Denpasar (Bapak Minggu). Sebelum diberikan perlakuan, hewan percobaan diaklimatisasi selama 19 hari, yang meliputi; kandang, umur, diet, dan bobot tubuh. Pada tahap aklimatisasi ini, tikus diberikan makanan standar berupa campuran jagung giling, kecambah kacang hijau, minyak dari lemak babi dan kuning telur (50:30:10:10). Tikus diberi tanda dengan cat kuku pada bagian kuku kaki belakang, ekor dan telinga. Tikus ditempatkan pada kandang yang terbuat dari bak plastik dengan ukuran 50 cm x 30 cm x 10 cm. Bak diisi dengan penutup kawat dan pada dasar bak diisi dengan sekam padi sebagai penyerap urin dan kotoran tikus seperti

29

terlihat pada Lampiran 8 (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Bagan penelitian dengan hewan coba tikus putih dapat dilihat pada Gambar 4.1.
19 hari 21 hari

Pemberian diet hiperkolesterol

Pemberian L. rhamnosus SKG34

Pembedahan tikus

Gambar 4.1. Bagan penelitian dengan hewan coba tikus putih 4.6.2 Persiapan suspensi bakteri L. rhamnosus SKG34 Biakan yang telah tumbuh pada media MRS broth (sub bab 4.5), divortex (untuk mendapatkan biakan yang homogen), kemudian diambil sebanyak 1 ml dengan pipet mikro, dimasukkan ke dalam eppendorf dan disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 7 menit untuk memisahkan massa sel dengan supernatan. Supernatan dibuang dan massa sel yang diperoleh dicuci sebanyak 2 kali dengan larutan salin (NaCL 0,85%) untuk menghilangkan sisa-sisa media. Pencucian dilakukan dengan menambahkan 1 ml salin pada massa sel, divortex hingga homogen, disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 7 menit. Pada tahap akhir, massa sel dilarutkan dengan 1 ml salin, sehingga diperoleh konsentrasi suspensi kurang lebih 108 cfu/ml (Sujaya, 2009 dalam Nursini, 2010). 4.6.3 Perlakuan in vivo pada tikus putih (R. norvegicus) Suspensi bakteri L. rhamnosus SKG34 yang diperoleh (anak sub bab 4.6.2), diberikan pada tikus putih dengan metode oral gavage, yaitu dengan cara memberikan suspensi masing-masing sebanyak 0,5 ml ( 9,2 x108 sel/ml) kepada 10 ekor tikus putih dengan metode sonde. Sebagai kontrol 10 ekor tikus lainnya diberikan salin. Perlakuan ini dilakukan selama 3 minggu dengan frekuensi

30

pemberian sekali dalam sehari (pada jam 13.00 13.30 WITA).

Perlakuan

diberikan setelah pemberian makan pada tikus putih. Setiap hari selama perlakuan, berat makanan yang diberikan dan pertambahan berat badan tikus selalu di timbang (Sujaya, 2009 dalam Nursini, 2010). 4.6.4 Pengukuran pH sekum Isi sekum diukur pHnya menggunakan pH meter (TOA ion meter IM 40S) yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan pH 7. Isi sekum yang telah diencerkan sebanyak 1 kali (1:1), kemudian dihomogenkan dengan divortex. Selanjutnya pH isi sekum diukur dengan mencelupkan elektroda pH meter ke dalam sampel dan hasilnya dicatat. 4.6.5 Penghitungan populasi bakteri Setelah 3 minggu perlakuan, tikus putih yang diambil sekumnya dibius dengan kloroform 10%, dibedah dan diambil bagian sekumnya. Sekum yang diperoleh diletakkan pada cawan petri steril, kemudian isinya dikeluarkan dan ditampung dalam tabung steril dan ditambahkan larutan fisiologis (NaCl 0,85%) sesuai dengan berat isi sekum (pengenceran 1:1) dan dihomogenkan. Selanjutnya 0,5 ml suspensi isi sekum dimasukkan ke dalam tabung pengencer yang berisi 4,5 ml salin sehingga diperoleh pengenceran 10-1, divortex hingga homogen, kemudian diencerkan lagi sampai diperoleh pengenceran 10-7. Untuk penentuan total BAL digunakan metode permukaan. Sebanyak 0,1 ml sampel yang telah diencerkan (pengenceran 10-3 10-5) disebar pada permukaan media MRS agar yang telah ditambahkan dengan Bromo Cresol Purple (BCP), kemudian diinkubasi secara anaerob selama 48 jam pada suhu 37o C. Metode yang sama

31

dilakukan untuk penghitungan total bakteri anaerob, penanaman dilakukan pada media anaerob agar (pengenceran 10-4 10-7) dan diinkubasi secara anaerob dengan menggunakan anaerobic gas pouch dalam anaerobic chamber (Lampiran 10). Setelah diinkubasi selama 48 jam, dilakukan penghitungan jumlah koloni yang tumbuh. Total populasi bakteri diperoleh dengan mengalikan jumlah koloni yang tumbuh dengan faktor pengencernya dikalikan 10 (Fardiaz, 1993). 4.6.6 Analisis kolesterol darah tikus putih (R. norvegicus) Kadar kolesterol total pada serum tikus putih diukur dengan metode enzimatik Cholesterol Oxidase Phenol Aminoantipyrin (CHOD-PAP) yang dikembangkan oleh Roche Diagnostic, Germany (Analyticon 200 mg/dl) dan diukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 510 nm. Sampel darah tikus diambil pada awal penelitian, setelah masa aklimatisasi, dan setelah perlakuan pemberian L. rhamnosus SKG34. Darah

diambil dari medial canthus sinus orbitalis menggunakan mikrohematokrit atau tabung kalpiler, ditampung dalam tabung eppendorf. Sampel kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 7000 rpm selama 10 menit, sehingga serumnya terpisah dari sel darahnya. Selanjutnya serum darah dipindahkan ke tabung eppendorf baru dan disimpan pada suhu -20o C, untuk selanjutnya dianalisis (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Langkah-langkah dalam pengukuran kolesterol : a. Larutan standar kolesterol 50 mg/dl Dipipet sebanyak 50 l standar kolesterol dengan pipet mikro ke dalam eppendorf, kemudian ditambahkan 150 l aquadest steril untuk mendapatkan

32

konsentrasi larutan baku 50 mg/dl. Larutan baku tersebut dipipet sebanyak 10 l kemudian ditambahkan 1000 l reagen kit CHOD-PAP kolesterol.

Selanjutnya larutan tersebut diinkubasi pada suhu 37o C selama 10 menit. Tahap selanjutnya adalah pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 510 nm. b. Larutan standar kolesterol 100 mg/dl Dipipet sebanyak 100 l standar kolesterol dengan pipet mikro ke dalam eppendorf, kemudian ditambahkan 100 l aquadest steril untuk mendapatkan konsentrasi larutan baku 100 mg/dl. Larutan baku tersebut dipipet sebanyak 10 l kemudian ditambahkan 1000 l reagen kit CHOD-PAP kolesterol. Selanjutnya larutan tersebut diinkubasi pada suhu 37o C selama 10 menit. Tahap selanjutnya adalah pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 510 nm. c. Larutan standar kolesterol 150 mg/dl Dipipet sebanyak 150 l standar kolesterol dengan pipet mikro ke dalam eppendorf, kemudian ditambahkan 50 l aquadest steril untuk mendapatkan konsentrasi larutan baku 150 mg/dl. Larutan baku tersebut dipipet sebanyak 10 l kemudian ditambahkan 1000 l reagen kit CHOD-PAP kolesterol. Selanjutnya larutan tersebut diinkubasi pada suhu 37o C selama 10 menit. Tahap selanjutnya adalah pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 510 nm.

33

d. Larutan standar kolesterol 200 mg/dl Dipipet sebanyak 10 l standar kolesterol dengan pipet mikro ke dalam eppendorf, kemudian ditambahkan 1000 l reagen kit CHOD-PAP kolesterol untuk mendapatkan konsentrasi larutan baku 200 mg/dl. Selanjutnya larutan tersebut diinkubasi pada suhu 37o C selama 10 menit. Tahap selanjutnya adalah pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 510 nm. e. Larutan blanko Sebanyak 10 l aquadest steril dipipet dengan pipet mikro kemudian ditambahkan 1000 l reagen kit CHOD-PAP kolesterol. Selanjutnya larutan tersebut diinkubasi pada suhu 37o C selama 10 menit. Tahap selanjutnya adalah pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 510 nm. f. Larutan sampel Dipipet sebanyak 10 l serum dengan pipet mikro kemudian ditambahkan 1000 l reagen kit CHOD-PAP kolesterol. Selanjutnya larutan tersebut

diinkubasi pada suhu 37o C selama 10 menit. Tahap selanjutnya pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 510 nm. Nilai absorban yang muncul dicatat dan konsentrasi kolesterol total dihitung dengan cara membagi nilai absorban sampel dengan nilai absorban blanko dan dikalikan dengan absorban standar kolesterol.

34

4.7 Analisis Populasi L. rhamnosus SKG34 4.7.1 Isolasi genomik DNA Isolasi genomik DNA BAL menggunakan kit isoplant II. Diambil 1 ml kultur yang telah tumbuh pada 5 ml MRS broth (sub bab 4.5), kemudian disentrifugasi pada 5000 rpm selama 7 menit untuk mendapatkan massa sel. Massa sel yang diperoleh dicuci dengan air steril sebanyak 2 kali untuk menghilangkan sisa media. Massa sel yang telah dicuci divortex, ditambahkan dengan 300 l solution I, divortex selama 1-3 detik, ditambahkan 150 l solution II dan divortex selama 5-6 detik. Selanjutnya adalah penambahan solution IIIA dan IIIB masing-masing sebanyak 75 l dan divortex selama 1-2 detik kemudian diletakkan di atas es selama 15 menit. Selanjutnya campuran disentrifugasi pada 15.000 rpm selama 30 menit pada suhu 4o C. Sebanyak 200-400 l cairan DNA yang telah terpisah diambil dan ditambahkan etanol 99% sebanyak 2 2,5 kali cairan DNA, kemudian disentrifugasi pada 15.000 rpm selama 30 menit pada suhu 4o C, sehingga diperoleh DNA pellet dan ditambahkan 100 l alkohol 70% kemudian disentrifugasi pada 15.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4o C. Langkah selanjutnya adalah DNA pellet dievavorasi dan ditambahkan 20-25 l TE pH 7,5 dan divortex. Selanjutnya dilektroforesis untuk memastikan berhasil tidaknya isolasi DNA. 4.7.2 RAPD DNA L. rhamnosus SKG34 Tahapan RAPD dilakukan mengacu pada prosedur Ivanova et al. (2008). Campuran reaksi RAPD merupakan campuran pada total volume 12,5 l dengan komposisi 6,25 l Master Mix Solution Intron Biotechnology, 1,00 l primer

35

M13F dengan urutan basa (sequences) 5-CGA CGT TGT AAA ACG ACG GCC AGT-3, 4,25 l air steril , dan 1,00 l DNA sehingga total volume reaksi 12,5 l. Aplifikasi dilakukan pada mesin Infinigen Thermocycler, dengan kondisi satu siklustahap pre denaturasi pada 95o C selama 5 menit, diikuti dengan 40 siklus tahap denaturasi pada 95o C selama 20 detik, tahap annealing pada 40o C selama 2 menit, dan tahap ekstensi 72o C selama 30 detik, serta tahap akhir yaitu elongasi tambahan pada 72o C selama 5 menit. Setelah reaksi selesai, sampel dikeluarkan dari mesin dan dielektroforesis. 4.7.3 RAPD koloni biakan yang diisolasi dari sekum tikus Koloni tunggal terpisah yang telah tumbuh pada cawan petri setelah diinkubasi (hasil pengerjaan anak sub bab 4.6.5) yang telah dibuat stock culture pada MRS agar, selanjutnya dibiakkan dalam MRS broth sebanyak 10 koloni untuk setiap perlakuan dan kontrol, diinkubasi secara aerob selama 24-48 jam pada suhu 37o C. Koloni yang tumbuh ditandai dengan terjadinya kekeruhan, selanjutnya 1 ml dan ditampung pada eppendorf kemudian disentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 7 menit. Selanjutnya supernatant dibuang dan massa sel dicuci dengan air steril sebanyak 2 kali untuk menghilangkan sisa media. Selanjutnya massa sel ditambahkan 200 l air steril dan dihomogenkan, kemudian dilakukan pemanasan pada suhu 100o C selama 10 menit dan perlakuan pada suhu rendah (-20o C) selama 20 menit. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 2 kali untuk melisiskan dinding sel dan mengeluarkan DNA bakteri. Selanjutnya dilakukan RAPD dengan kondisi yang sama dengan anak sub bab 4.7.2. Setelah reaksi selesai, 5 l sampel diambil untuk dielektroforesis (Sujaya et al., 2005).

36

4.7.4 Elektroforesis Elektroforesis menggunakan 1,5% agarose. Sebanyak 1,5 g agarose disuspensikan dalam 98,5 ml buffer TAE IX dan dipanaskan dalam microwave sampai larut sempurna. Selanjutnya agarose ini distirer sambil menunggu sampai suhunya 50o C untuk dituang pada cetakan yang sudah dilengkapi sisir (comb) untuk membuat sumur (well), tebal gel 2/3 dari cetakan dan ditunggu sampai gel padat. Setelah padat, gel agarose dimasukkan ke dalam chamber elektroforesis yang telah diisi buffer TAE IX, dengan tinggi permukaan larutan buffer 2-3 mm di atas agar. Selanjutnya setiap suspensi DNA hasil RAPD dipipet sebanyak 3 l dan ditambahkan 1 l loading buffer 6X yang diteteskan pada parafin film, kemudian dihomogenkan dengan pipet berulang kali. Sampel-sampel DNA yang telah homogen dimasukkan secara vertikal ke dalam sumur-sumur gel. Pada gel elektroforesis ini, dimasukkan juga DNA ladder pada salah satu sumur gel untuk menentukan panjang pita yang terbentuk. Elektroforesis dilakukan selama 40 menit pada tegangan 100 volt. Visualisasi hasil elektroforesis dapat dilihat dengan UV Transluminator setelah gel terendam dalam larutan ethidium bromide (5 g/100 ml air steril) (staining) selama 10 menit dan direndam dalam aquadest selama 2 menit (distaining) untuk mencuci kelebihan ethidium bromide. Dokumentasi pola band dilakukan dengan mengambil gambar menggunakan kamera digital Panasonic DMC-FS15 (Sujaya et al., 2005). 4.7.5. Pengamatan mikroskopis pada konsorsium bakteri sekum tikus putih Konsorsium bakteri yang tumbuh pada media MRS agar, dikerok denganose kemudian ditumbuhkan pada media MRS broth dan diinkubasi dalam

37

lingkunagan anaerob selama 48 jam. Pewarnaan gram dilakukan dengan membuat preparat ulas pada gelas objek. Gelas objek dibersihkan dengan kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol. Tabung reaksi berisi isolat BAL divortek, diambil satu loop ose, kemudian diusapkan pada bagian tengah gelas objek. Preparat difiksasi diatas api untuk membunuh dan melekatkan bakteri pada gerlas objek. Setelah kering diberi larutan kristal violet (sebagai zat warna) selama satu menit,

kemudian dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya diberi larutan lugol (mordan), selama satu menit, dicuci dengan air mengalir. Preparat kemudian diberi larutan pemucat (aseton alkohol) selama 5-10 detik, kemudian dibilas lagi dengan air mengalir. Setelah itu preparat diberi larutan safranin selama 15 detik, dicuci dengan air mengalir, kemudian dikeringkan dengan cara difiksasi di atas api. Uji morfologi dilakukan dengan pengamatan dengan mikroskop cahaya pada pembesaran 100 kali. Hasil pengamatan berupa morfologi sel dan perbedaan warna, dimana warna ungu kebiruan menunjukkan bakteri bersifat Gram positif, sedangkan warna merah atau merah muda menunjukkan bakteri bersifat gram negatif (Lay, 1994). 4.7.6 PCR menggunakan primer spesifik L. rhamnosus konsorsium bakteri sekum tikus putih Sebanyak 1 l lisat sel di pergunakan sebagai sumber DNA dalam reaksi PCR dengan mempergunakan primer spesifik L. rhamnosus. Reaksi campuran PCR dengan volume total 12,5 l yang mengandung; 0,2 mM dNTPs, 1 X PCR Buffer 10 X, 0,6 mM MgCl2, 0,9 U AmpliTaq, primer spesifik L. rhamnosus; Lu5 F dan Rhall R, masing-masing 10 pmol. Reaksi amplifikasi dilakukan

38

sebagai berikut: satu siklus pada suhu 95o C selama 5 menit, diikuti dengan 35 kali siklus pada 95 o C selama 30 detik, 57 o C selama 40 detik, dan 72 o C selama 30 detik. Pada tahap akhir ditambahkan satu siklus pada suhu 72
o

C selama 5

menit. Produk PCR selanjutnya dielektroforesis dengan menggunakan agarosa 2% dengan TAE buffer 1 X. selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan EtBr, kemudian produk PCR divisualisasikan pada transluminator dengan sinar UV dan difoto (Aryantini, 2008). 4.8 Penyajian dan Analisis Data Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan gambar. Data populasi L. rhamnosus SKG34 dalam saluran pencernaan, total BAL, total bakteri anaerob, dan pH dianalisis secara deskriptif. Data hasil kadar kolesterol darah dianalisis menggunakan Uji Hipotesis Beda Rataan untuk dua populasi yang saling bebas (T-test Independent) (Steel dan Torrie, 1993).

39

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1. Kolonisasi Lactobacillus rhamnosus SKG34 pada Saluran Pencernaan Tikus Putih (Rattus norvegicus) Pengujian secara in vivo bertujuan untuk mengetahui kemampuan suatu strain untuk dikembangkan sebagai probiotik yang potensial. Pengujian in vivo dapat menjelaskan kemampuan suatu strain yang dianggap potensial sebagai probiotik, mampu untuk melewati barrier saluran pencernaan bagian atas, mampu mencapai usus dalam keadaan hidup dan dalam jumlah yang ditetapkan, mampu berkolonisasi di usus, dan mampu memberikan efek yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme yang terdapat dalam usus. Hasil RAPD koloni Lactobacillus rhamnosus SKG34 pada sekum tikus dapat dilihat pada Gambar 5.1. Berdasarkan hasil deteksi L. rhamnosus SKG34 dari 10 koloni BAL yang diambil secara acak pada MRS agar tidak ditemukan adanya DNA yang menggambarkan koloni L. rhamnosus SKG34. Akan tetapi berdasarkan pengecatan Gram yang dilakukan terhadap kultur sekum tikus putih yang diberikan L. rhamnosus SKG34 yang dibiakkan pada media MRS agar menunjukkan adanya morfologi sel yang menyerupai L. rhamnosus SKG34, seperti terlihat pada Gambar 5.2. Hasil pengecatan gram yang dilakukan terhadap kultur sekum tikus putih yang tidaki diberikan L. rhamnosus SKG34 yang dibiakkan pada media MRS agar tidak ditemukan adanya koloni BAL yang morfologinya mirip dengan morfologi L. rhamnosus SKG34, seperti terlihat pada Gambar 5.3.

M K 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

M K 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 M K 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

3000 bp

1500 bp 1000 bp

1500 bp 1000 bp 500 bp

500 bp

M K 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 M K 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50

M K 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60

3000 bp

1500 bp 1000 bp

1500 bp 1000 bp 500 bp

500 bp

Gambar 5.1. RAPD koloni BAL pada sekum tikus yang diberikan Lactobacillus rhamnosus SKG 34 yang diambil secara acak pada MRS agar. . M, Marker 100 bp; K, Kontrol positif ( L. rhamnosus SKG34); 1-10, kultur BAL P1; 11-30, kultur BAL P2; 21-30, kultur BAL P6; 31-40, kultur BAL P7; 41-50 kultur BAL P9; dan 51-60 kultur BAL P10. tanda panah menunjukkan panjang pita (bp)

40

Hasil RAPD koloni BAL pada sekum tikus perlakuan, dari 10 koloni BAL yang diambil secara acak pada MRS agar tidak ditemukan adanya DNA yang menggambarkan koloni L. rhamnosus SKG34 (tidak ditemukan pola band yang sama dengan pola band pada lajur K

5 Gambar 5.2. Cat Gram konsorsium bakteri pada sekum tikus perlakuan yang ditumbuhkan pada MRS broth. 1-6, tikus perlakuan; 7, Lactobacillus rhamnosus SKG 34; bar 10 m dengan pembesaran 1000 kali Pada sekum tikus perlakuan ditemukan adanya morfologi sel yang menyerupai L. rhamnosus SKG 34 (panel 7) , yang ditunjukkan oleh tanda panah merah ( )

41

Gambar 5.3. Cat Gram konsorsium bakteri pada sekum tikus kontrol yang ditumbuhkan pada MRS broth. 1-6, tikus kontrol; 7, Lactobacillus rhamnosus SKG 34; bar 10 m dengan pembesaran 1000 kali

Pada sekum tikus kontrol tidak ditemukan morfologi sel yang menyerupai Lactobacillus rhamnosus SKG 34 (panel 7) 42

43

Berdasarkan data Gambar 5.2 dan 5.3,, selanjutnya dilakukan PCR kultur sekum tikus putih dengan menggunakan primer spesifik Lactobacillus rhamnosus. Hasil PCR kultur sekum tikus putih yang diberikan L. rhamnosus SKG34 dan yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34 dapat dilihat pada Gambar 5.4. Hasil PCR menggunakan primer spesifik L. rhamnosus menunjukkan bahwa dalam sekum tikus putih yang diberikan L. rhamnosus SKG34 dapat dideteksi adanya DNA L. rhamnosus yang diduga merupakan koloni L. rhamnosus SKG34, sedangkan pada sekum tikus putih yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34, tidak ditemukan adanya DNA L. rhamnosus.

M 1 3000 bp 1000 bp 500 bp

3 4

6 7 8

9 10 11 12 13

110 bp

Gambar 5.4. PCR bakteri sekum perlakuan dan kontrol yang ditumbuhkan pada MRS agar dengan primer spesifik Lactobacillus rhamnosus. M, Marker 100 bp; 1, Kontrol positif (L. rhamnosus SKG34); 2-7, Tikus perlakuan; 8-13, Tikus kontrol; Tanda panah menunjukkan panjang pita (bp) Hasil PCR menggunakan primer spesifik L.rhamnosus, menunjukkan bahwa pada sekum tikus perlakuan yang diberikan L. rhamnosus SKG34 (2-7) dapat dideteksi DNA yang diduga merupakan koloni L. rhamnosus SKG34 (ditunjukkan oleh pita yang terbentuk pada lajur 2-7 sama dengan pita yang terbentuk pada lajur 1), sedangkan pada sekumtikus kontrol (8-12) tidak terdeteksi adanya DNA L. rhamnosus SKG34 (tidak terbentuk pita sama sekali)

44

5.2 Populasi Bakteri Asam Laktat dan Bakteri Anaerobpada Sekum Tikus Putih (R. Norvegicus) Pemberian Lactobacillus rhamnosus SKG34 sebanyak 108 sel/ ml selama 3 (tiga) minggu berpengaruh terhadap populasi BAL dan total bakteri anaerobyang tumbuh dalam sekum tikus. Populasi BAL pada sekum tikus yang diberikan L. rhamnosus SKG34 sebanyak 4,1 x 107 cfu/g, sedangkan populasi BAL pada sekum tikus yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34 sebanyak 1,1 x 107 cfu /g (Lampiran 2). Populasi bakteri anaerobpada sekum tikus yang diberikan L. rhamnosus SKG34 sebanyak 8,3 x 107 cfu /g, sedangkan populasi bakteri anaerobpada sekum tikus yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34 sebanyak 3,7 x 109 cfu /g (Lampiran 3). Pada Gambar 5.5 dapat dilihat pemberian L. rhamnosus SKG34 mampu mengurangi pertumbuhan bakteri anaerob.
1,E+10 3,7E+09 8,3E+07 1,1E+07

Populasi BAL dan Bakteri Anaerob pada Sekum (cfu/g)

1,E+09 1,E+08 1,E+07 1,E+06 1,E+05 1,E+04 1,E+03 1,E+02 1,E+01 1,E+00 4,1E+07

Bakteri anaerob BAL

Kontrol

Perlakuan

Gambar 5.5. Grafik populasi BAL dan bakteri anaerobpada sekum tikus yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34 (Kontrol) dan yang diberikan L. rhamnosus SKG34 (Perlakuan)

45

5.3 Kadar kolesterol serum darah tikus putih (Rattus norvegicus) Pengukuran kadar kolesterol serum tikus dilakukan dengan membuat kurva standar terlebih dahulu. Hasil penghitungan regresis standar Lampiran 4) menunjukkan bahwa (P<0,01) dengan koefisien regresi a = 0,005 dan b =0,001, serta galat perhitungan sebesar 0,016878. Besar pengaruh yang diberikan standar terhadap nilai absorbansi ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi (r2), yaitu 0,978 artinya bahwa 97,8% nilai absorbansi dipengaruhi oleh standar, sisanya 2,2% dipengaruhi oleh faktor lain. Berdasarkan perhitungan regresi standar kolesterol, selanjutnya dilakukan penghitungan kadar kolesterol serum darah tikus dengan persamaan Y = a + bx, dengan ketentuan Y merupakan nilai absorbansi serum darah tikus, a besarnya 0,005, b sebesar 0,001, dan x adalah nilai kolesterol serum darah tikus (Lampiran 5dan 6). Sebelum dilkukan uji beda rataan untuk du populasi saling bebas (Independent T-Test), dilakukan uji normalitas untuk mengetahui pola sebaran data dengan menggunakan program SPSS 13 Kolmogorove smirnov.

46

0.350 0.325 0.300 0.275 0.250 0.225 0.200 0.175 0.150 0.125 0.100

absorbansi serum

P Mean St Dev N

= 0,147 = 206,50 = 62,069 = 12

R Sq Linear = 1

125

150

175

200

225

250

275

300

325

kadar kolesterol akhir (mg/dl)

Gambar 5.6. Grafik uji kenormalan kadar kolesterol serum darah tikus putih (Rattus norvegicus)

Berdasarkan grafik pengujian (Gambar 5.6) tersebut diperoleh (P = 0,147) berarti P > 0,01, sehingga dapat dikatakan bahwa data yang dianalisis memenuhi asumsi yaitu data menyebar secara normal (lampiran 7). Selanjutnya dilakukan uji beda rataan untuk dua populasi saling bebas (T-Test Independent)

(Lampiran 8). Pada uji ini masing-masing menggunakan enam ekor tikus kontrol dan enam ekor tikus perlakuan. Pemberian L. rhamnosus SKG34 secara in vivo memberikan pengaruh yang nyata (P < 0,05) terhadap penurunan kadar kolesterol serum darah tikus pada keadaan hiperkolesterolemia, sebesar 28,5% dibandingkan dengan serum darah tikus yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34.

47

300 Kadar Kolesterol Serum Darah Tikus (mg/dL) 249,33 250 200 150 100 50 0 sebelum pemberian diet hiperkolesterol setelah pemberian diet hiperkolesterol setelah pemberian L. rhamnosus SKG34 128,50 131,67 234,17 240,83 a 172,17 b Kontrol Perlakuan

Gambar 5.7. Grafik perubahan kadar kolesterol serum darah tikus yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34 (Kontrol) dan yang diberikan L. rhamnosus SKG34 (Perlakuan); huruf a dan huruf b menyatakan berbeda nyata (P 0,05) Dari gambar di atas dapat dilihat terjadi penurunan kadar kolesterol serum darah tikus perlakuan yang signifikan dibandingkan dengan tikus kontrol yang mengalami peningkatan kadar kolesterol serum darah.
120 Berat Badan Tikus (gram 100 80 60 40 20 00 sebelum pemberian diet hiperkolesterol setelah pemberian diet hiperkolesterol setelah pemberian L. rhamnosus SKG34 53,1 48,2 72,0 62,6 Kontrol Perlakuan 112,4 97,8

Gambar 5.8. Grafik perubahan berat badan tikus yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34 (Kontrol) dan yang diberikan L. rhamnosus SKG34 (Perlakuan)

48

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa selama pemeliharaan terjadi peningkatan berat badan yang hampir sama baik pada tikus kontrol maupun tikus perlakuan. Pemberian L. rhamnosus SKG34 pada tikus perlakuan tidak mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan tikus putih.

6,66 6,64 Nilai pH Isi Sekum Tikus Putih 6,62 6,60 6,58 6,56 6,54 6,52 6,50

6,65

Kontrol 6,55 Perlakuan

Kontrol

Perlakuan

Gambar 5.9. Nilai rata-rata pH isi sekum tikus putih (n = 6) Pemberian L. rhamnosus SKG34 pada tikus menyebabkan terjadinya penurunan pH sekum tikus. Hal ini dapat dilihat dari nilai pH sekum tikus yang diberikan L. rhamnosus SKG34 sebesar 6,55 dibandingkan dengan pH sekum tikus yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34 sebesar 6,65.

49

BAB VI PEMBAHASAN

6.1. Kolonisasi L.rhamnosus SKG34 pada Saluran Pencernaan Tikus Putih (R. norvegicus) Kolonisasi L. rhamnosus SKG34 pada sekum tikus putih, dideteksi dengan melakukan RAPD. Koloni BAL sekum yang ditumbuhkan pada media MRS agar dipilih secara acak. Berdasarkan hasil deteksi L. rhamnosus SKG34 pada sekum tikus putih setelah perlakuan in vivo, tidak ditemukan adanya DNA L. rhamnosus SKG34 pada sekum tikus putih dari 10 koloni yang diambil secara acak. Akan tetapi berdasarkan hasil PCR menggunakan primer spesifik L. rhamnosus, menunjukkan bahwa dalam sekum tikus perlakuan dapat dideteksi adanya DNA L. rhamnosus. Hal ini menunjukkan L. rhamnosus SKG34 memang ada pada sekum tikus putih, tetapi dalam populasi yang belum bias ditentukan secara pasti. Koloni L. rhamnosus SKG34 pada sekum tikus putih tidak dapat dideteksi dengan RAPD disebabkan karena L. rhamnosus SKG34 bukan merupakan strain yang berasal dari saluran pencernaan sehingga kemungkinan besar L. rhamnosus SKG34 kurang tahan terhadap kondisi lingkungan pada saluran pencernaan tikus, tidak dapat beradhesi pada dinding saluran pencernaan, tidak mampu berkolonisasi pada saluran pencernaan, dan L. rhamnosus SKG34 kurang dapat berkompetisi dengan bakteri endogen yang terdapat pada saluran pencernaan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suryadarma (2008), yang menyatakan bahwa L. rhamnosus SKG34 kurang dapat bersaing atau berkompetisi dengan bakteri

50

endogen saluran pencernaan, karena memiliki daya adhesi yang rendah pada enterosit, yang disebabkan karena L. rhamnosus SKG34 tidak memiliki molekul adhesin yang dapat mendeteksi reseptor pada permukaan enterosit yang memungkinkan bakteri untuk dapat melekat dan membentuk kolonisasi pada permukaan enterosit. Mikroba yang terdapat di dalam saluran pencernaan sangat kompleks dan merupakan komunitas yang dinamis dan terjadi persaingan hidup di antara komunitas tersebut. Menurut Rahayu (2008), total mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan diperkirakan mencapai 1012 sel setiap gram isi perut yang terdiri atas lebih dari 1000 spesies, atau diperkirakan sekitar 3000-4000 spesies. Beberapa genus bakteri yang hidup di saluran pencernaan antara lain : Lactobacillus, Enterococcus, Streptococcus, Bacteroides, Staphylococcus, Clostridium, Viellonella, Eubacterium, Enterobacteria, Peptococci,

Desulfovibrios, Actinomyces, Fusobacteria, Bifidobacterium, Ruminococcus, Peptostreptococcus, Propionibacterium, Escherichia, dan Methanobrevibacter (Young dan Huffman, 2003; Ridlon, et al., 2006; Vernazza, et al., 2006). Hasil pengecatan Gram yang dilakukan untuk melihat secara morfologi keberadaan L. rhamnosus SKG34 yang ditumbuhkan pada media MRS agar, menunjukkan adanya morfologi pertumbuhan koloni BAL positif berbentuk batang yang mirip dengan morfologi L. rhamnosus SKG34 (Gambar 5.2). Berdasarkan hasil ini, maka untuk lebih menegaskan keberadaan L. rhamnosus SKG34 pada sekum tikus putih dilakukan pengujian lanjutan dengan PCR dengan menggunakan primer spesifik L. rhamnosus.

51

Hasil PCR menggunakan primer spesifik L. rhamnosus (Gambar 5.4), menunjukkan bahwa dalam sekum tikus putih yang diberikan L. rhamnosus SKG34 dapat dideteksi adanya DNA L. rhamnosus, sedangkan pada sekum tikus putih yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34, tidak ditemukan adanya DNA L. rhamnosus. Dari hasil penelusuran pustaka, tidak ada yang menyatakan L. rhamnosus dapat diisolasi dari saluran pencernaan tikus. Wood dan Holzapfel (1995) menyatakan bahwa L. rhamnosus umumnya diisolasi dari susu dan hasil olahannya, manusia, limbah, dan bahan-bahan medis. Hal ini menunjukkan DNA yang terdeteksi pada hasil PCR spesifik merupakan DNA L. rhamnosus SKG34 yang terdapat pada sekum tikus putih yang diberikan L. rhamnosus SKG34, tetapi populasinya belum bisa ditentukan secara pasti. 6.2 Populasi Bakteri Asam Laktat dan Bakteri Anaerob pada Sekum Tikus Putih (R. norvegicus) Populasi BAL pada tikus yang diberikan L. rhamnosus SKG34 lebih tinggi jika dibandingkan dengan tikus yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34. Hal ini diduga disebabkan oleh keberadaan L. rhamnosus SKG34 yang mampu menciptakan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan BAL lainnya dalam saluran pencernaan. Sehubungan dengan hal ini Vernazza et al. (2006) menyatakan bahwa, keberadaan BAL sebagai probiotik di dalam saluran pencernaan dapat menstimulasi populasi BAL lainnya dalam saluran pencernaan. Hal ini disebabkan karena bakteri probiotik dapat memodifikasi lingkungan mikroekosistem usus dengan memproduksi asam laktat, sehingga dapat menurunkan pH. Penurunan pH akan mengakibatkan pertumbuhan BAL dalam

52

saluran pencernaan akan mengalami peningkatan. Hal ini juga didukung oleh hasil pengecatan Gram yang dilakukan untuk mengetahui morfologi sel yang tumbuh pada sekum tikus putih (Gambar 5.2), dimana didominasi oleh pertumbuhan sel gram positif berbentuk batang. Setelah dilakukan pengujian dengan metode PCR dengan menggunakan primer spesifik L. rhamnosus untuk memastikan keberadaan L. rhamnosus SKG34, diperoleh hasil bahwa pada sekum tikus perlakuan memang terdeteksi adanya DNA L. rhamnosus. Populasi bakteri anaerob pada sekum tikus yang diberikan L. rhamnosus SKG34 mengalami penurunan dibandingkan dengan populasi bakteri anaerob pada sekum tikus yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34. Populasi bakteri anaerob pada sekum tikus yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34 sebanyak 3,7 x 109 cfu/g, sedangkan populasi bakteri anaerob pada sekum tikus yang diberikan L. rhamnosus SKG34 sebanyak 8,3 x 107 cfu/g, Hal ini menunjukkan pemberian L. rhamnosus SKG34 pada tikus perlakuan dapat menurunkan populasi bakteri anaerob. Penurunan pupulasi ini disebabkan karena L. rhamnosus SKG34 memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Menurut Sujaya et al. (2008b), L. rhamnosus SKG34 memiliki daya hambat yang luas terhadap pertumbuhan bakteri patogen (Eschericia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella thypimurium, dan Shigella flexneri) dengan diameter zone hambat sebesar 0,8 1,2 cm. Selain itu penurunan populasi bakteri anaerob pada tikus yang diberikan L. rhamnosus SKG34, disebabkan oleh terjadinya penurunan pH. Penurunan pH akan meningkatkan populasi BAL yang dapat menekan pertumbuhan bakteri

53

anaerob, selain itu penurunan pH juga dapat mengurangi populasi bakteri patogen yang tidak tahan terhadap pH yang rendah (Vernazza et al., 2006). Bakteri anaerob yang tumbuh di dalam saluran pencernaan terdiri atas bakteri yang menguntungkan kesehatan (Bifidobacterium, Eubacterium, dan Lactobacillus) dan bakteri yang dapat membahayakan kesehatan. Bakteri yang membahayakan kesehatan, antara lain: Clostridia, Veillonella, Staphylococci, Proteus, P. aeruginosa, Bacteroides, Eubacteria, Fusubacteria, E. coli, dan Enterobacteria (Bourliux et al., 2003). Vernazza et al. (2006) menyatakan bahwa, dominasi bakteri E coli dan Clostridium dapat meningkatkan pengaruh patogenik, seperti terjadinya diare akut dan proses pembusukan dalam saluran pencernaan. Keberadaan BAL dalam saluran pencernaan dapat memodulasi saluran pencernaan menjadi lebih stabil, mencegah pertumbuhan bakteri patogen, dan meningkatkan sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit (Vaughan et al., 2002). 6.3. Pengaruh Pemberian L. rhamnosus SKG34 terhadap Kadar Kolesterol Serum Darah Tikus Putih (R. norvegicus) Pada Gambar 5.7 dapat dilihat kadar kolesterol serum darah tikus yang diberikan L. rhamnosus SKG34 mengalami penurunan yang signifikan,

dibandingkan dengan tikus kontrol yang mengalami peningkatan kadar kolesterol serum darah. Pemberian L. rhamnosus SKG34 selama tiga minggu mampu menurunkan kadar kolesterol serum darah tikus sebesar 28,5 %. Akan tetapi pemberian L. rhamnosus SKG34 pada tikus perlakuan tidak mampu menurunkan berat badan tikus putih. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Hardiningsih dan Nurhidayat (2006), yang menyatakan bahwa pemberian

54

Lactobacillus tidak dapat menurunkan pertambahan berat badan tikus putih wistar yang diberikan diet tinggi kolesterol. Pemberian Lactobacillus untuk menurunkan kadar kolesterol dapat melalui beberapa mekanisme. Menurut Lee, et al. (2009), terdapat beberapa mekanisme penurunan kolesterol oleh aktivitas BAL. Mekanisme pertama yaitu produk hasil fermentasi oleh BAL menghambat sintesa kolesterol sehingga menurunkan produksi kolesterol. Mekanisme kedua adalah melalui pembuangan garam empedu melalui feses, dimana garam empedu yang terdekonjugasi tidak diserap oleh usus, dan lebih mudah terbuang dari saluran pencernaan dibandingkan dengan garam empedu yang terkonjugasi. Hal ini mengakibatkan semakin banyak kolesterol yang dibutuhkan untuk mensintesis garam empedu lagi sehingga akan menurunkan kadar kolesterol. Mekanisme ketiga adalah

kemampuan BAL untuk mengikat kolesterol sehingga mencegah penyerapan kolesterol kembali ke hati (Lee, et al., 2009). Beberapa jenis BAL memiliki dinding sel yang mampu mengikat kolesterol dalam usus halus sebelum kolesterol diserap oleh oleh tubuh (Usman dan Hasono, 1999; Surono, 2004). Mekanisme penurunan kolesterol oleh aktivitas BAL disebabkan oleh enzim Bile salt hydrolase (BSH) yang mendekonjugasi garam empedu, dimana glisin atau taurin dipisahkan dari steroid, sehingga menghasilkan garam empedu bebas atau terdekonjugasi. Enzim BSH menghasilkan garam empedu terdekonjugasi dalam bentuk asam kolat bebas yang kurang diserap oleh usus halus. Dengan demikian garam empedu yang kembali ke hati selama sirkulasi enterohepatik menjadi berkurang, sehingga total kolesterol dalam tubuh menjadi berkurang. Bile salt

55

hydrolase dimiliki oleh beberapa strain bakteri saluran pencernaan seperti: Lactobacillus, Enterococcus, Bifidobacterium, Clostridium, Peptostreptococcus, dan Bacteroides (Surono, 2004; Ooi dan Liong, 2010). Penurunan kadar kolesterol serum darah tikus yang diberikan L. rhamnosus SKG34, diduga karena adanya pengaruh produk hasil fermentasi oleh BAL dalam sekum tikus. Hasil fermentasi oleh BAL dalam saluran pencernaan dapat menurunkan pH, yang dapat mengakibatkan terjadinya pengendapan garam empedu dalam saluran pencernaan, sehingga sulit untuk diserap kembali dalam siklus enterohepatik dan akan ikut terbuang bersama feses. Hal ini mengakibatkan semakin banyak kolesterol yang dibutuhkan untuk mensintesis garam empedu, lagi sehingga akan menurunkan kadar kolesterol (Yulinery et al., 2006; Lee et al., 2009). Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil dengan pemberian L. rhamnosus SKG34 dapat menurunkan pH sekum dari 6,65 menjadi 6,55 (Gambar5.9). Apabila penurunan nilai pH ini dihubungkan dengan populasi BAL pada sekum (Gambar 5.5) dan data perubahan kadar kolesterol serum darah tikus putih (Gambar 5.7), menunjukkan tikus yang diberikan L. rhamnosus SKG34 mengalami peningkatan populasi BAL, memiliki pH yang lebih rendah, dan mengakibatkan penurunan kadar kolesterol yang signifikan, dibandingkan dengan tikus yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34. Jadi peningkatan populasi BAL akan menurunkan pH pada saluran pencernaan yang diduga bisa mengakibatkan terjadinya pengendapan garam empedu, sehingga akan menurunkan kadar kolesterol serum darah tikus yang diberikan L. rhamnosus SKG34.

56

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan 1. Populasi L. rhamnosus SKG34 dalam saluran pencernaan tikus putih (R. norvegicus), tidak bisa ditentukan secara pasti, tetapi keberadaannya dapat diduga dengan PCR spesifik L. rhamnosus, setalah pemberian L. rhamnosus SKG34 sebanyak 108 sel/ hari selam 3 (tiga) minggu. 2. Pemberian L. rhamnosus SKG34 sebanyak 108 sel/ hari selam 3 (tiga) minggu berpengaruh terhadap populasi BAL dan total bakteri anaerobyang tumbuh dalam saluran pencernaan tikus putih (R. norvegicus). Populasi BAL pada sekum tikus yang diberikan L. rhamnosus SKG34 sebanyak 4,1 x 107 cfu/g, sedangkan populasi BAL pada sekum tikus yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34 sebanyak 1,1 x 107 cfu /g. Populasi bakteri anaerobpada sekum tikus yang diberikan L. rhamnosus SKG34 sebanyak 8,3 x 107 cfu /g, sedangkan populasi bakteri anaerobpada sekum tikus yang tidak diberikan L. rhamnosus SKG34 sebanyak 3,7 x 109 cfu /g 3. Pemberian L. rhamnosus SKG34 sebanyak 108 sel/ hari selam 3 (tiga) minggu berpengaruh terhadap kadar kolesterol serum darah tikus putih (R. norvegicus), dimana terjadi penurunan kadar kolesterol serum darah yang signifikan sebesar 28,5%.

57

7.2. Saran 1. untuk meningkatkan jumlah L. rhamnosus SKG34 yang mampu melewati saluran pencernaan bagian atas dan mampu untuk berkompetisi pada saluran pencernaan, perlu perlindungan yang lebih baik terhadap L. rhamnosus SKG34 sebelum diadministrasikan secara oral gavage dengan teknik mikroenkapsulasi. 2. untyuk pengembangan L. rhamnosus SKG34 sebagai probiotik yang potensial, perlu dilakukan pengujian secara in vivo tentang efek fungsional pemberian L. rhamnosus SKG34 untuk mencegah alergi, mencegah konstipasi, dan meningkatkan sisten imun.

58

DAFTAR PUSTAKA

Adams, C. 2009. Probiotics - Protection Against Infection: Using Nature's Tiny Warriors To Stem Infection. Available at: http://probiotic.org/ lactobacillus-rhamnosus.htm. Opened : Nopember 24, 2010 Ajmal, S. and N. Ahmed. 2009. Probiotic potential of lactobacillus strains in human infections. African Journal of Microbiology Research. 3(12):851855 Antarini, A. A. N. 2010. Populasi Lactobacillus rhamnosus SKG34 dalam susu terfermentasi selama penyimpanan. Tesis S2 Program Studi Bioteknologi Pertanian, Universitas Udayana. Tidak dipublikasikan. Aryantini, N P. D. 2008. Identifikasi Bifidobacterium Isolat Feses Bayi yang Berpotensi Dikembangkan sebagai Probiotik Isolat Lokal Asli Indonesia. Skripsi S1 Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Udayana. Tidak dipublikasikan. Baigent, C. and R. Clarke, 2008. Cholesterol and Lipids. International Encyclopedia of Public Health, Pages 693-704, Elsevier Inc, USA Begley, M., C. Hill, and C. G. M. Gahan. 2006. Bile Salt Hydrolase Activity in Probiotics. Appl. Environ. Microbiol. 72 (3):1729-1738. Belviso, S., M. Giordano, P. Dolci and G. Zeppa. 2009. In vitro cholesterollowering activity of Lactobacillus plantarum and Lactobacillus paracasei strains isolated from the Italian Castelmagno PDO cheese. Dairy Sci. Technol. 89 : 169-176 Bernardeau, M., J. P. Vernoux, S. H. Dubernet, and M. Guguen. 2008. Safety assessment of dairy microorganisms: The Lactobacillus genus. International Journal of Food Microbiology 126 : 278-285. Betsi G. I., E. Papadavid and M.E. Falagas. 2008. Probiotics for the Treatment or Prevention of Atopic Dermatitis: A Review of the Evidence From Randomized Controlled Trials. Am. J. Clin. Dermatol. 9(2) : 93 - 103. Beuers, U. and T. Pusl. 2004. Bile Salts and their Metabolism. Encyclopedia of Biological Chemistry, Pages 159-163, Elsevier Inc, USA Bijl, N., A. v.d. Velde, and A. K. Groen. 2009. Bile Acids and Their Role in Cholesterol Homeostasis. Biomedical and Life Sciences -Cellular Lipid Metabolism, Pages : 107-129

59

Bourlioux, P., B. Koletzko, P. Guarner, and V. Braesco. 2003. The intestine and its microflora are partners for the protection of the host. Am. J. Clin. Nutr. 78(4): 675-683 Brady, L.J., D.D. Gallaher and F.F. Busta. 2000. The Role of Probiotic Cultures in the Prevention of Colon Cancer. J. Nutr. 130 : 410-414. Claesson, M. J., D. V. Sinderen, and P. W. O'Toole. 2007. The genus Lactobacillus a genomic basis for understanding its diversity. FEMS Microbiol. Lett. 269: 22-28 Collado, M. C., E. Isolauri, S. Salmien, and Y. Sanz. 2009. The impact of probiotic on gut health. Curr Drug Metab. 10(1):68-78. Dommels, Y.E.M., R.A. Kemperman, Y.E.M.P. Zebregs, and R.B. Draaisma. 2009. Survival of Lactobacillus reuteri DSM 17938 and Lactobacilus rhamnosus GG in the Human gastrointestinal Tract with Daily Consumption of a Low-Fat Probiotic Spread. Appl. Environ. Microbiol. 75 (19) : 6198-204. FAO/WHO. 2001. Joint FAO/WHO Expert Consultation on Evaluation of Health and Nutritional Properties of Probiotics in Food Including Powder Milk with Live Lactic Acid Bacteria. Amerian Crdoba Park Hotel, Crdoba, Argentina. FAO/WHO. 2002. Joint FAO/WHO Working Group Report on Drafting Guidelines for the Evaluation of Probiotics in Food. London. Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ganong, W.F. 2002. Buku Ajar Fifiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Granato, D., G. F. Branco, A. G. Cruz, J. D. A. F. Faria, and N. P. Shah. 2010. Probiotic Dairy Products as Functional Foods. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety 9: 455470. Gropper, S.S., J. L. Smith, and J. L. Groff. 2005. Advenced Nutrition and Human Metabolism. 4th ed. Wadsworth. USA Hardiningsih, R. dan N. Nurhidayat. 2006. Pengaruh Pemberian Pakan Hiperkolesterolemia terhadap Bobot Badan Tikus Putih Wistar yang Diberi Bakteri Asam Laktat. Biodiversitas. 7(2): 127-130 Hirakawa, B. 2005. Cholesterol. Encyclopedia of Toxicology (Second Edition), Pages 586-587, Elsevier Inc, USA

60

Hofmann, A.F. 2004. Bile Composition. Encyclopedia of Gastroenterology, Pages 176-184, Elsevier Inc, USA Holzapfel, W. H., P. Haberer, R. Geisen, J. Bjrkroth, and U. Schillinger. 2001. Taxonomy and important features of probiotic microorganisms in food and nutrition. Am. J. Clin. Nutr. 73(2): 365-373 Holzapfel, W. H. and U. Schillinger. 2002. Introduction to pre- and probiotics. Food Res. Int. 35: 109-116 ISAPP. 2009. Clarification of the Definition of a Probiotic. Available at; www.isapp.net. Opened : Nopember 21, 2010. Isolauri, E, Y. Stas, P. Kankaanp, H. Arvilommi and S. Salminen. 2001. Probiotics: effects on immunity. Am. J. Clin. Nutr. 73 (2) : 444 450. Isolauri, E. and S. Salminen. 2008. Probiotics: Use in Allergic Disorders: a Nutrition, Allergy, Mucosal Immunology, and Intestinal Microbiota (NAMI) Research Group Report. J. Clin. Gastroenterol. 42 (2) : 91 96. Ivanova, P., S. Peykov, A. Dimitrova, and S.G. Dimov. 2008. Molecular typing by genus-specific PCR and RAPD profiling of diverse Lactobacillus delbrueckii strain isolate from cow, sheep and buffalo youghurts. Biotechnology & Biotechnological Equipment 22: 748-753. King, M. W. 2010. Cholesterol and bile synthesis and metabolism. The Medical Biochemistry . Available at: http://themedicalbiochemistrypage.org/ cholesterol.html. Opened at Nopember 26, 2010. Klaenhammer, T. R., R. Barrangou, B. L. Buck, M. A. Azcarate-Peril, and E. Altermann. 2005. Genomic features of lactic acid bacteria effecting bioprocessing and health. FEMS Microbiol. Rev. 29: 393409. Lay, B.W. 1994. Analisis Mikrobiologi di Laboratorium. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada Lee, D.K., S. Jang, E.H. Baek, M.J. Kim, K.S. Lee, H.S. Shin, M.J. Chung, J.E. Kim, K.O. Lee, and N.J. Ha. 2009. Lactic acid bacteria affect serum cholesterol levels, harmful fecal enzyme activity, and fecal water content. Lipids in Health and Disease. 8:21 Lee, J., Y. Kim, H. S. Yun, J. G. Kim, S. Oh, and S. H. Kim. 2010. Genetic and Proteomic Analysis of Factors Affecting Serum Cholesterol Reduction by Lactobacillus acidophilus A4. Appl. Environ. Microbiol. 76(14): 4829-4835.

61

Liong, M. T. and N. P. Shah. 2005. Bile salt deconjugation and BSH activity of five bifidobacterial strains and their cholesterol co-precipitating properties. Food Res. Int. 38: 135-142. Liong, M.T. 2008. Roles of Probiotics and Prebiotics in Colon Cancer Prevention: Postulated Mechanisms and In-vivo Evidence. Int. J. Mol. Sci. 9(5) : 854863. Liu, M., F. H. J. v. Enckevort, and R. J. Siezen. 2005. Genome update: lactic acid bacteria genome sequencing is booming. MicrobioL. 151: 3811-3814 Lye, H.S., G. R. R. Ali, and M. T. Liong. 2010. Mechanisms of cholesterol removal by lactobacilli under conditions that mimic the human gastrointestinal tract. Int. Dairy J. 20: 169-175 Lyra, A., L. K. Krogius, J. Nikkil, E. Malinen, K. Kajander,K. Kurikka, R. Korpela, and A. Palva. 2010. Effect of a multispecies probiotic supplement on quantity of irritable bowel syndrome-related intestinal microbial phylotypes. BMC Gastroenterol. 10:1-10 Makarova, K., A. Slesarev, Y. Wolf, A. Sorokin, B. Mirkin, E. Koonin, A. Pavlov, N. Pavlova, V. Karamychev, N. Polouchine, V. Shakhova, I. Grigoriev, Y. Lou, D. Rohksar, S. Lucas, K. Huang, D. M. Goodstein, T. Hawkins, V. Plengvidhya, D. Welker, J. Hughes, Y. Goh, A. Benson, K. Baldwin, J.-H. Lee, I. Daz-Muiz, B. Dosti, V. Smeianov, W. Wechter, R. Barabote, G. Lorca, E. Altermann, R. Barrangou, B. Ganesan, Y. Xie, H. Rawsthorne, D. Tamir, C. Parker, F. Breidt, J. Broadbent, R. Hutkins, D. O'Sullivan, J. Steele, G. Unlu, M. Saier, T. Klaenhammer, P. Richardson, S. Kozyavkin, B. Weimer, and D. Mills. 2006. Comparative genomics of the lactic acid bacteria. Proc. Natl. Acad. Sci. U S A. 103(42): 1561115616. Malinen, E., L. K. Krogius, A. Lyra, J. Nikkil, A. Jskelinen, T. Rinttil, T. S. Vilpponen, A.J. von Wright, and A. Palva. 2010. Association of symptoms with gastrointestinal microbiota in irritable bowel syndrome. World J. Gastroenterol. 16(36):4532-4540 Murray, R. K., D. K. Granner, P. A. Mayes, and V. W. Rodwell. 2003. Biokimia Harper. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Ed.25 Noriega, L., I. Cuevas, A. Margolles, and C. G. de los Reyes-Gaviln. 2006. Deconjugation and bile salts hydrolase activity by Bifidobacterium strains with acquired resistance to bile. Int. Dairy J. 16: 850-855.

62

Nursini, N. W. 2010. Kolonisasi Lactobacillus sp. F2.13 dalam Saluran Pencernaan dan Pengaruhnya terhadap Kadar Kolesterol Tikus Putih (Rattus norvegicus). Tesis S2 Program Studi Bioteknologi Pertanian, Universitas Udayana. Tidak dipublikasikan. Ooi, L.G. and M. T. Liong. 2010. Cholesterol-Lowering Effects of Probiotics and Prebiotics: A Review of in Vivo and in Vitro. Int. J. Mol. Sci. 11(6): 24992522. O'Sullivan, O., J. O'Callaghan, A. S. Vegas, O. McAuliffe, L. Slattery, P. Kaleta, M. Callanan, G. F. Fitzgerald, R. P. Ross, and T. Beresford. 2009. Comparative genomics of lactic acid bacteria reveals a nichespecific gene set. BMC Microbiol. 9: 1471-2180 Pant. N., H. Marcotte, H. Brssow, L. Svensson and L. Hammarstrm. 2007. Effective Prophylaxis Against Rotavirus Diarrhea Using a Combination of Lactobacillus rhamnosus GG and Antibodies. BMC Microbiol. 7 (86): 2180 2187. Patel, A. K., R. R. Singhania, A. Pandey, and S. B. Chincholkar. 2010. Probiotic Bile Salt Hydrolase: Current Developments and Perspectives. Applied Bioche. and Biotechnol. 162(1): 166-168 Pato,U. 2003. Potensi Bakteri Asam Laktat yang diisolasi dari Dadih untuk Menurunkan Resiko Penyakit Kanker. Jurnal Natur Indonesia 5(2): 162166. Pereira, D. I. A., A. L. McCartney, and G.R. Gibson. 2003. An In Vitro Study of the probiotic Potential of a Bile-Salt-Hydrolyzing Lactobacillus fermentum Strain, and Determination of Its Cholesterol-Lowering Properties. Appl. Environ. Microbiol. 69 (8):4743-4752. Portugal, L.R., J.L. Goncalves, L.R. Fernandes, H.P.S. Silva, R.M.E. Arantes, J.R. Nicoli, L.Q. Veira, and J.I.A. Retes. 2006. Effect of Lactobacillus delbrueckii on cholesterol metabolism in germ free mice and on antherogenesis in apoliprotein E knock out mice. Brazilizn Journal of Medical and Biological Research 39:629-935. Potter, B. 2007. Liver-Cholesterol and Bile Formation. xPharm: The Comprehensive Pharmacology Reference. Pages 1-10 Prado, F. C., J. L. Parada, A. Pandey, and C. R. Soccol. 2008. Trends in non-dairy probiotic beverages. Food Res. Int. 41: 111-123

63

Rahayu, E. S. 2008. Probiotic for Digestive Health. Food Review-Referensi industri dan teknologi pangan Indonesia. Available at: http://www.food review.biz/login/preview.php?view&id=55932. Opened: Nopember 25, 2010 Ridlon, J. M., D-J. Kang, and P. B. Hylemon. 2006. Bile salt bio-transformations by human intestinal bacteria. J. Lipid Res. 47: 241259. Rusfidra, A. 2006. Dadih / dadiah, Susu Kerbau Fermentasi Mampu Menurunkan Kolesterol. Cimbuak - Forum Silaturahmi dan Komunikasi Masyarakat Minangkabau. Available at: http://www.cimbuak.net. Opened: November 21, 2010 Saarela, M., G. Mogensen, R. Fondn , J. Mtt, and T.Mattila-Sandholm. 2000. Probiotic bacteria: safety, functional and technological properties. J. Biotechnol. 84(3):197-215. Salazar-Lindo, E., D. Figueroa-Quintanilla, M. I. Caciano, V. Reto-Valiente, G. Chauviere, and P. Colin. 2007. Effectiveness and Safety of Lactobacillus LB in the Treatment of Mild Acute Diarrhea in Children. J. Ped. Gastroenterol. Nutr. 44:571-576. Salen, G. and A. K. Batta. 2004. Bile Formation. Encyclopedia of Gastroenterology, Pages 192-200, Elsevier Inc, USA Senok, A. C. 2009. Probiotics in the Arabian Gulf Region. Food & Nutrition Researc. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC 2651754/pdf/FNR-53-1842.pdf. Opened: November 29, 2010 Shah, N. P. 2007. Functional cultures and health benefits. Int. Dairy J. 17:12621277, Elsevier Inc, USA Shitandi, A., M. Alfred, and M. Symon. 2007. Probiotic characteristic of lactococcus strain from local fermented Amaranthus hybrydus and Solanum nigrum. African Crop Science Confrence Proceedings 8:18091812. Smith, J. B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Song Yu-li, N. Kato, C-X. Liu, Y. Matsumiya, H. Kato, and K. Watanabe. 2000. Rapid identification of 11 human intestinal Lactobacillus species by multiplex PCR assay using group an species primers derived from the 16S-23S rRNA iuntergenic spacer region and its flanking 23S rRNA. FEMS Microbiol. Lett. 187: 167-173

64

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah Bambang Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sujaya, I N., N.M.U. Dwipayanti, N.L.P. Suariani, N.P. Widarini, K.A. Nocianitri dan N.W. Nursini. 2008a. Potensi Lactobacillus spp. Isolat Susu Kuda Sumbawa sebagai Probiotik. J. Vet. 9 (1) : 33 40. Sujaya, I N., Y. Ramona, N.P. Widarini, N.P. Suariani, N.M.U. Dwipayanti, K.A. Nocianitri dan N.W. Nursini. 2008b. Isolasi dan Karakteristik Bakteri Asam Laktat dari Susu Kuda Sumbawa. J. Vet. 9 (2) : 52 59. Sujaya, I N., Y. Ramona, N.S. Antara, dan N.W. Nursini. 2005. Manual kerja teknik dasar biologi molekuler. UPT Laboratorium Terpadu Biosain dan Bioteknologi. Universitas Udayana. Surono, I.S. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. Yayasan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (YAPMMI). Jakarta. Suryadarma, A.K. 2008. Uji Adhesi Lactobacillus spp. Pada Enterosit Mencit (Mus musculus L.) secara In Vitro untuk Pengembangan Probiotik. Skripsi S1 Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana. Tidak dipublikasikan. Tabbers, M.M. and M.A. Benninga. 2007. Administration of Probiotic Lactobacilli to Children With Gastrointestinal Problems : There is Still Little Evidence. Ned. Tijdschr. Geneeskd. 151 (40) : 2198 2202 Toma, M.M. and J. Pokrotnieks. 2006. Probiotics as Functional Food : Microbiological and Medical Aspects. Acta Universitatis Latviensis. 710: 117 129. Torii, S., A. Torii, K. Itoh, A. Urisu, A.Terada, T. Fujisawa, K. Yamada, H. Suzuki, Y. Ishida, F. Nakamura, H. Kanzato, D. Sawada, A. Nonaka, M. Hatanaka, and S. Fujiwara. 2010. Effects of Oral Administration of Lactobacillus acidophilus L-92 on the Symptoms and Serum Markers of Atopic Dermatitis in Children. Int. Arch. Allergy Immunol. 154(3): 236-245. Usman and A. Hosono. 1999. Bile Tolerance, Taurocholate Deconjugation, and Binding of Cholesterol by Lactobacillus gasseri Strains. J. Dairy Sci. 82 (2): 243-248. Vanderhoof, J.A. 2008. Probiotics in Allergy Management. J. Ped. Gastroenterol. Nutr. 47:38-40

65

Vassart, G., M. Georges, R. Mosieur, H. Brocas, A.S. Lequarre, and D. Christophe. 1987. A sequence in M13 phage detects hypervariable minisatellites in human and animal DNA. Sci. 235(4789): 683-684 Vaughan, E.E., M.C. de Vries, E.G. Zoetendal, K. Ben-Amor, A.D.L. Akkermans, and W. M. de Vos. 2002. The Intestinal LABs. Antonie Van Leeuwenhoek. 82(1-4):341-352. Vernazza, C.L., B.A. Rabiu, and G.R. Gibson. 2006. Human Colonic Microbiology and the Role of Dietary Intervention: Introduction to Prebiotics. Prebiotics: Development and Application. John Wiley & Sons, Ltd Weichselbaum, E. 2009. Probiotics and health: a review of the evidence. Nutrition Bulletin. 34:340373 Wikipedia. 2010. Lactobacillus. Available at: http://en.wikipedia.org/wiki/ Lactobacillus. Opened: Desember 1, 2010. Wood, B.J.B. and W.H. Holzapfel. 1995. The Genera of Lactic Acid Bacteria. Volume 2. Blackie Academic and Profesional, Tokyo. Wolvers, D., J. M. Antonie, E. Myllyluoma, J. Schrezenmeir, H. Szajewska, and G. T. Rijkers. 2010. Guidance for Substantiating the Evidence for Beneficial Effects of Probiotics: Prevention and Management of Infections by Probiotics. J. Nutr. 140(3):698-712 Yulinery, T., E. Yulianto dan N. Nurhidayat. 2006. Uji Fisiologis Probiotik Lactobacillus sp Mar 8 yang telah Dienkapsulasi Dengan Menggunakan Spray Dryer Untuk Menurunkan Kolesterol. Biodiversitas 7 (2) : 118 122. Young, R.J. and S. Huffman. 2003. Probiotic use in children. J. Pediatr Health Care. 17: 277-283.

66

Lampiran 1. Perubahan Berat Badan Tikus Kontrol (K) dan Tikus Perlakuan (P) (dalam gram) KODE Pemeliharaan hari ke K1 K2 K6 K7 K8 K10 P1 P2 P6 P7 P9 P10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 3/26/11 3/27/11 3/28/11 3/29/11 3/30/11 3/31/11 4/1/11 4/2/11 4/3/11 4/4/11 4/5/11 4/6/11 4/7/11 4/8/11 4/9/11 4/10/11 4/11/11 4/12/11 4/13/11 66.7 66.9 70.8 72.6 72.2 76.5 78.9 80.8 83.3 84.5 84.1 88.4 86.9 88.0 85.2 88.1 85.9 87.7 87.9 49.5 48.1 49.6 49.6 49.6 51.1 53.3 53.7 55.7 57.0 57.5 58.3 59.1 60.2 59.6 61.4 64.6 63.2 64.7 65.9 64.3 69.2 71.8 72.5 76.6 78.0 81.4 84.6 85.9 87.1 91.2 92.4 94.7 97.0 99.3 99.8 103.5 105.8 106.9 110.9 111.2 72.5 71.8 72.6 72.2 75.3 80.2 80.8 80.1 85.2 84.6 84.2 85.4 87.5 89.7 87.8 91.7 91.9 90.5 90.1 92.0 96.3 98.4 100.6 102.5 106.4 107.0 112.1 115.5 118.4 122.9 124.0 120.6 123.9 128.2 129.7 129.5 131.4 133.5 133.3 132.1 131.2 48.4 47.4 48.9 44.0 45.9 48.2 50.5 50.6 51.8 54.8 54.8 54.1 55.3 57.0 56.6 57.5 59 60.2 60.7 61.2 63.2 68.7 68.4 73.8 77.7 74.4 77.0 82.6 85.4 86.7 90.1 89.7 92.0 95.0 95.5 93.6 92.2 93.1 91.0 89.9 87.4 43.9 44.0 43.8 44.8 45.9 48.0 50.7 51.3 52.4 52.6 54.1 54.4 56.7 55.5 54.3 56.4 58 57.0 57.5 58.3 59.0 60.0 62.1 66.3 67.6 67.2 69.6 69.5 72.4 73.2 71.2 69.4 72.9 74.5 80.5 76.8 77.1 79.1 79.0 79.7 81.5 47.2 46.5 45.2 50.0 50.7 52.7 57.6 57.4 60.7 60.8 62.4 63.6 66.0 66.6 66.3 67.6 68.8 70.8 70.8 71.6 74.8 76.5 77.5 79.2 82.4 85.0 88.4 92.9 94.8 99.6 103.2 104.0 108.1 112.2 111.9 112.4 114.9 117.7 120.2 119.7 119.7 53.5 54.7 56.9 56.7 57.5 59.1 57.1 60.4 59.5 61.0 62.3 63.3 63.8 64.4 64.1 63.6 65 66.8 66.1 66.1 68.3 70.5 67.2 70.6 73.0 74.7 74.7 76.6 78.4 81.0 84.3 86.2 86.4 89.1 90.2 92.3 89.6 89.8 90.6 93.9 88.8 42.8 41.2 43.7 46.6 44.3 48.1 47.1 50.1 51.4 52.4 54.2 55.5 57.8 58.4 55.2 56.4 57 57.1 58.7 59.9 60.8 65.6 65.0 67.5 70.5 73.2 72.2 74.8 75.1 78.8 81.2 85.3 82.5 86.2 85.4 85.8 86.8 87.4 86.8 87.4 87.7 62.9 61.4 61.4 61.5 64.4 65.6 66.9 68.2 69.1 69.5 70.1 72.8 73.3 72.2 69.6 70.6 70.8 71.4 72.0 77.6 74.1 83.0 88.0 93.8 96.6 99.8 102.3 104.1 106.7 107.5 108.7 110.9 110.0 111.3 111.1 112.1 114.1 110.6 113.7 114.7 114.7 46.0 44.4 43.5 42.0 43.3 43.5 47.5 48.0 50.5 51.8 52.0 53.3 55.5 55.6 56.8 58.1 59 59.5 61.5 61.1 63.0 66.6 68.5 71.7 74.9 78.0 78.9 75.9 78.8 80.4 82.5 84.4 84.4 85.5 87.1 87.9 89.9 84.6 90.0 87.5 90.1 40.4 41.2 42.9 43.2 45.1 46.2 47.6 48.5 48.8 50.9 50.6 51.8 54.8 52.6 51.8 53.4 53.9 55.3 56.1 54.8 57.7 60.6 64.0 67.5 70.5 71.7 74.2 81.3 83.7 85.9 88.7 91.5 92.8 95.5 99.3 100.9 105.4 104.1 107.1 106.8 104.8 51.7 50.8 50.4 50.5 51.9 52.1 54.4 56.7 57.1 58.4 58.4 60.3 61.7 61.9 60.4 61.5 61.3 62.5 61.3 64.6 66.0 72.6 76.1 79.9 83.1 84.9 87.3 89.8 93.3 95.6 97.1 98.3 97.2 99.2 100.7 99.5 100.6 99.8 100.4 100.1 100.7

rata-rata
4/14/11 88.6 4/15/11 88.1 4/16/11 93.7 4/17/11 94.8 4/18/11 99.7 4/19/11 102.9 4/20/11 103.0 4/21/11 108.6 4/22/11 112.2 4/23/11 115.2 4/24/11 118.3 4/25/11 120.6 4/26/11 124.3 4/27/11 126.0 4/28/11 131.4 4/29/11 137.3 4/30/11 135.4 5/1/11 137.8 5/2/11 139.7 5/3/11 139.9 5/4/11 143.4 5/5/11 143.1

72,0

62,6

rata-rata 112,4 97,8 Hari ke-1 -19 pemberian diet hiperkolesterol; hari ke-20 41 pemberian diet hiperkolesterol dan Lactobacillus rhamnosus SKG34

67

Lampiran 2. Total Bakteri Asam Laktat (BAL) pada Tikus Kontrol (K) danTikus Perlakuan (P) Jumlah Koloni Berat Sekum Sampel pH Total BAL (cfu/g) (g) 10-3 10-4 10-5 K1 K2 K6 K7 K8 K10 rata-rata P1 P2 P6 P7 P9 P10 rata-rata 1.1 1.6 2.2 0.8 1.3 1.3 2.3 1.8 1.9 1.8 1.9 1.6 6.64 6.65 6.70 6.68 6.59 6.62 6.65 6.47 6.63 6.58 6.69 6.54 6.41 6.55 608 TBUD 1592 736 1248 154 118 394 768 165 108 111 23 18 146 31 50 51 328 TBUD 400 208 TBUD 296 136 124 168 15 TBUD 65 19 64 22 10 19 9 1,36 x 107 1,24 x 107 1,68x 107 2,08 x 106 (1,9 x 107) 2,96 x 106 1,11 x 107 1,18 x 107 3,94 x 107 1,46 x 108 2,375 x 107 1,08 x 107 1,11 x 107 4,05 x 107

68

Lampiran 3. Total Bakteri Anaerob pada Tikus Kontrol (K) dan Tikus Perlakuan (P) Berat Sekum (g) 2.3 1.8 1.9 1.8 1.9 1.6 1.1 1.6 2.2 0.8 1.3 1.3 Jumlah Koloni pH 6.64 6.65 6.70 6.68 6.59 6.62 6.65 6.47 6.63 6.58 6.69 6.41 6.55 272 182 872 166 368 28 TBUD 140 57 221 76 149 253 113 52 112 34 10 -4

Sampel K1 K2 K6 K7 K8 K10 rata-rata P1 P2 P6 P7 P9 P10 rata-rata

10

-5

10

-6

10

-7

Total Bakteri Anaerob (cfu/g) 1,87 x 109 (2,4 x 109) 5,6 x 109 3,72 x 109 7,1 x 109 1,5 x 109 3,70 x 109 2,72 x 107 1,82 x 107 1,4 x 108 1,66 x 107 2,21 x 108 7,6 x 107 8,32 x 107

TBUD 1072 TBUD 228 1040 1128

187 TBUD 1664 372 TBUD 150

66 24 56 2288 71 TBUD

6.54 TBUD

69

Lampiran 4. Analisis Statistik Kurva Standar Kolesterol

Regression Variables Entered/Removed(b) Variables Entered Variables Removed standar(a) a All requested variables entered. b Dependent Variable: absorbansi Model 1 Model Summary R R Square Adjusted R Square .989(a) .978 .977 a Predictors: (Constant), standar Model 1 Coefficients(a) Unstandardized Standardized Model Coefficients Coefficients B Std. Error Beta 1. (Constant) standar .005 .008 .001 .000 .989 a Dependent Variable: absorbansi Correlations standar standar Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N 1 15 .995(**) .000 15 absorban .995(**) .000 15 1 15 Method . Enter

Std. Error of the Estimate .016878

t .609 24.241

Sig. .553 .000

absorban

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


Kurva Standar Kolesterol
0.400

0.350

0.300

0.250

absorbansi

0.200

0.150

0.100

0.050 R Sq Linear = 0.978 0.000

50

100 standar

150

200

70

Lampiran 5. Contoh Cara Perhitungan Kadar Kolesterol Serum Darah Tikus Putih Rumus: Y=a+bX Keterangan: Y adalah nilai taksiran untuk variabel tak bebas (absorbansi) X adalah nilai variabel bebas a dan b adalah koefisien regresi Diketahui : Y = 0,196 a = 0,005 b = 0,001 Y=a+bX 0,196 = 0,005 + 0,001 X 0,196 0,005 = 0,001 X 0,191 = 0,001 X X = 191 Jadi kadar kolesterol serum darah tikus putih adalah 191 mg/dL

71

Lampiran 6. Nilai Absorbansi dan Kolesterol Serum Darah Tikus Absorbansi ( 510 nm) Kadar Kolesterol (mg/dL) KODE Awal Tengah Akhir Awal Tengah Akhir K1 0.111 0.377 0.194 106 372 189 K2 0.148 0.217 0.284 143 212 279 K6 0.115 0.272 0.172 110 267 167 K7 0.136 0.148 0.18 131 143 175 K8 0.13 0.205 0.331 125 200 326 K10 0.18 0.216 0.314 175 211 309 rata-rata 0.137 0.239 0.246 131.67 234.17 240.83 P1 0.17 0.299 0.196 165 294 191 P2 0.107 0.265 0.181 102 260 176 P6 0.152 0.211 0.18 147 206 175 P7 0.115 0.237 0.199 110 232 194 P9 0.115 0.202 0.139 110 197 134 P10 0.142 0.312 0.168 137 307 163 rata-rata 0.134 0.254 0.177 128.50 249.33 172.17

72

Lampiran 7. Analisis Statistik Uji Sebaran Data Kolesterol


0.350 0.325 0.300 0.275 0.250 0.225 0.200 0.175 0.150 0.125 0.100

absorbansi serum

P Mean St Dev N

= 0,147 = 206,50 = 62,069 = 12

R Sq Linear = 1

125

150

175

200

225

250

275

300

325

kadar kolesterol akhir

(mg/dl)

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test kadar kolesterol awal 12 130.0833 24.01310 .215 .215 -.121 .745 .635 kadar kolesterol tengah 12 241.7500 61.51441 .186 .186 -.150 .643 .802 kadar kolesterol akhir 12 206.5000 62.06229 .330 .330 -.158 1.142 .147

N Normal Parameters(a,b) Most Extreme Differences Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a Test distribution is Normal. b Calculated from data. Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative

73

Lampiran 8. Analisis Statistik Kadar Kolesterol Serum Darah Tikus Putih


T-Test Group Statistics Std. Deviation 25.21640 25.03398 78.20848 45.50018 71.87327 21.88531 Std. Error Mean 10.29455 10.22008 31.92848 18.57537 29.34214 8.93464

kontrol perlakuan kadar kolesterol awal kadar kolesterol tengah kadar kolesterol akhir 1.00 2.00 1.00 2.00 1.00 2.00

N 6 6 6 6 6 6 Independent Samples Test

Mean 131.6667 128.5000 234.1667 249.3333 240.8333 172.1667

Levene's Test for Equality of Variances F Sig. t df

t-test for Equality of Means Sig. (2tailed) Mean Differe nce Std. Error Differenc e 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -29.155 35.488

kadar Equal kolesterol variances .159 .698 .218 10 awal assumed Equal variances .218 9.999 not assumed kadar Equal kolesterol variances .852 .378 -.411 10 tengah assumed Equal variances -.411 8.037 not assumed kadar Equal kolesterol variances 30.361 .000 2.239 10 akhir assumed Equal variances 2.239 5.919 not assumed

.832

3.166

14.50613

.832

3.166

14.50613

-29.155

35.488

.690

-15.166

36.93876

-97.471

67.138

.692

-15.166

36.93876

-100.279

69.946

.049

68.666

30.67228

.32456

137.008

.067

68.666

30.67228

-6.634

143.967

74

75

76

Lampiran 12. Pembuatan Media

77

1. Media MRS Broth Ditimbang sebanyak 52 gram media MRS broth, kemudian dilarutkan dalam 1000 ml aquades dan dihomogenkan, selanjutnya media dimasukkan masing-masing 5 ml ke dalam tabung reaksi dan disterilisasi. 2. Media MRS Agar Ditimbang sebanyak 62 gram media MRS agar, kemudian dilarutkan dalam 1000 ml aquades dan dihomogenkan, kemudian ditambahkan larutan Bromo Cresol Purple (BCP) sebanyak 60 ppm (sampai berwarna ungu) sebagai indikator pH (apabila ditumbuhi BAL media akan berwarna kuning). Selanjunya media disterilisasi pada suhu 121o C, tekanan 1 atm, selama 15 menit. Setelah suhu media 50o C, kemudian dituang pada cawan petri yang telah steril di dalam luminar air flow dan dibiarkan memadat. 3. Media Anaerobic Agar Ditimbang sebanyak 51 gram media anaerobic agar, kemudian dilarutkan dalam 1000 ml aquades dan dihomogenkan. Selanjutnya media disterilisasi, kemudian dituang ke dalam cawan petri dan dibiarkan memadat. 4. Larutan Fisiologis (Saline 0,85% NaCl) Ditimbang 0,85 gram NaCl, kemudian dilarutkan dalam 100 ml aquades dan dihomogenkan, selanjutnya larutan disterilisasi . larutan ini dapat dipergunakan sebagai pengencer dan pencuci sel bakteri.

78

5. Larutan TAE 1 X Diambil 1 ml larutan TAE 50 X, kemudian ditambahkan 49 ml aquades steril, dihomogenkan dan disimpan di kulkas sebelum digunakan 6. Media Agarose 1,5 % Ditimbang 1,5 gram agarose, dilarutkan dengan 100 ml larutan TAE 1X dan dihomogenkan. Selanjutnya dipanaskan pada microwave sampai agarose terlarut sempurna (warna larutan jernih), kemudian didinginkan sampai suhu 50o C, selanjunya dituang ke cetakan yang sudah berisi comb untuk membuat sumur dan dibiarkan memadat. 7. Larutan Ethidium Bromide (EtBr) Diambil 5 ml EtBr, kemudian dilarutkan dalam 100 ml aquades steril dan dihomogenkan 8. Pengencer Anaerob Ditimbang 1,8 g KH2PO4, 2,4 g K2HPO4, 0,5 g L-cystein, 0,2 g Tween 80, dan 0,4 g agar, kemudian dilarutkan dengan 400 ml aquades dan dihomogenkan.

Anda mungkin juga menyukai