Anda di halaman 1dari 85

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Rencana pembangunan kampus UIN II yang akan direalisasikan pada
beberapa tahun mendatang di daerah Batu Kecamatan Junrejo Malang
mengharuskan pihak UIN untuk menata lahan agar sumber daya lahan yang ada
dapat dimanfaatkan secara optimal. Penataan lahan ini tidak lepas dari perubahan
bentuk lahan yang membutuhkan eksplorasi dangkal. Eksplorasi dangkal yang
dilakukan akan memberikan informasi tentang tanah, yang meliputi lapisan tanah,
struktur tanah, sifat tanah, kedalaman batuan dasar, kestabilan tanah, serta gejala-
gejala gerakan tanah.
Kurangnya pengetahuan manusia sering membuat manusia ceroboh dalam
mengambil keputusan. Contohnya untuk membuat sebuah bangunan, banyak
orang yang tidak tahu struktur tanah yang dibuat lahan bangunan memiliki
struktur yang kokoh atau tidak, orang sering tidak memperdulikan hal itu sehingga
banyak bangunan yang retak bahkan tidak sedikit bangunan yang runtuh terkena
bencana longsor. Itu disebabkan karena struktur tanah yang ditempati kurang baik
sehingga tidak kuat menahan banjir yang akhirnya bangunan roboh.
Bencana geologi seperti longsor merupakan bencana yang terjadi akibat
proses geologi yang terjadi secara alamiah yang siklus kejadiannya mulai dari
skala beberapa tahun hingga beberapa ratus tahun bahkan jutaan tahun. Klasifikasi
2
bencana geologi meliputi gempabumi, gelombang tsunami, letusan gunung api,
gerakan massa tanah dan batuan atau longsor serta banjir (Karnawati, 2009).
Bencana geologi seperti gempabumi, gelombang tsunami, letusan gunung
api merupakan bencana murni yang disebabkan oleh proses geologi, sehingga
tidak dapat dicegah. Sebaliknya bencana geologi yang berupa gerakan massa
tanah dan batuan atau longsor serta banjir sering terjadi tidak hanya akibat kondisi
geologinya yang rawan, tetapi juga sering dipicu oleh aktivitas manusia. Hal ini
sebagaimana telah disinggung dalam al-Quran:
> !..> .,.., .. _. !.l. ,ls !,.l> .. _. ..>
>,.l .. _. !..> , _ .. _. !.s !. _l
< `.lL,l _>.l .l `.. _.lL, _
Artinya:
Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, Maka di
antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di
antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara
mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang
Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan
tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (QS. al-Ankabut [29]:
40).
Dari ayat yang disebut di atas Allah sengaja menjelaskan kepada manusia
bahwa segala perbuatan yang telah mereka lakukan sekecil apapun itu nantinya
akan mendapatkan balasan yang sebesar/sebanding dengan perbuatannya baik di
dunia maupun di akhirat. Adapun balasan atas perbuatan mereka di dunia adalah
tidak lain berupa musibah seperti bencana alam disamping bencana-bencana
lainnya. Dan sesungguhnya segala musibah yang manusia alami sebenarnya
3
karena ulah manusia sendirilah yang tidak mau menjaga kelestarian ekologi bumi
dan seisinya.
Ayat yang telah disebutkan di atas jika dikaji ulang dan dihubungkan
dengan energi yang ada pada alam ini, dimana hukum I Newton tentang kekekalan
energi yang menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan dan juga tidak dapat
dimusnahkan tapi hanya dapat dikonversi menjadi bentuk energi yang lain, dan
juga hukum II Newton tentang gaya aksi dan reaksi dimana setiap aksi dengan
suatu energi tertentu pasti akan mendapatkan reaksi sebesar energi aksi tadi.
Katakanlah energi positif adalah energi kebaikan dan energi negatif adalah yang
sebaliknya, maka dapatlah dikatakan bahwa apabila manusia baik secara sengaja
ataupun tidak telah mengirimkan energi negatif pada alam yaitu seperti
perilakunya yang kurang bisa menghargai alam, maka alampun akan kembali
memberikan energi negatif kepada manusia yang bersangkutan yang mungkin
dalam bentuk energi yang sama atau berbeda.
Sebenarnya tanpa disadari sinyal-sinyal atau gelombang-gelombang energi
yang dikirimkan ke alam ini akan memvibrasi dan megirimkan sinyal balik
kepada orang yang bersangkutan dengan sinyal yang serupa, maksudnya adalah
bahwa alam ini sebenarnya mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan
kita, bahkan dengan energi kita. Apabila alam diberikan energi positif maka alam
akan menanggapinya dengan memberikan kembali energi positif, begitu pula
sebaliknya. Dan itulah mungkin yang dimaksud Allah dengan wa laakin kaanuu
anfusahum yadzlimuun, yang artinya tetapi merekalah yang menganiaya diri
mereka sendiri, waAllahu alam.
4
Dalam al-Quran Allah juga telah berfirman yang tertulis dalam surat al-
Anbiya ayat ke 105:
.1l !.,. _ ,l _. .-, _ _ !., _:!,s
_>l..l _
Artinya:
Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauh
Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh (al-
Anbiya: 105).
Dari ayat di atas tersebut telah jelas bahwa hanya manusia shalih-lah yaitu
manusia yang selalu mengerjakan amal kebaikan, yang mampu mengemban misi
kekhalifahan di muka bumi ini sampai waktu yang telah ditentukan. Karena
manusia seperti itulah yang akan menjaga keadaan alam ini tetap berada dalam
keseimbangan sebagaimana awalnya Allah menciptakan, dan tentunya mereka
tidak akan pernah melakukan kerusakan di muka bumi ini yang bisa menimbulkan
kerugian dan bencana bagi manusia dan lingkungan sekitarnya, dan contohnya
dalam hal ini adalah bencana longsor yang sering terjadi karena ulah dan
perbuatan manusia.
Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng
lebih besar dari pada gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh
kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi
oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan. Faktor-faktor
penyebab tanah longsor antara lain hujan, lereng yang terjal, tanah yang kurang
padat dan tebal, batuan yang kurang kuat, jenis tata lahan, getaran, susut muka air
danau atau bendungan, adanya beban tambahan, pengikisan atau erosi, adanya
5
material timbunan pada tebing, bekas longsoran lama, adanya bidang
diskontinuitas (bidang yang tidak sinambung), penggundulan hutan, daerah
pembuangan sampah dan sebagainya.
Sebagaimana diketahui bahwa daerah kawasan pembangunan kampus II
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim dan sekitarnya adalah daerah
dengan keadaan geologi berupa daerah lereng vulkanik dari Gunung Panderman,
yang mana mempunyai kemungkinan untuk terjadinya bencana longsor dan
sebagainya. Bencana ini dapat sangat merugikan kampus jika dampaknya merusak
bangunan kampus atau kawasan yang sangat vital. Bencana ini mungkin saja
terjadi mengingat longsor juga merupakan jenis bencana yang dipicu oleh aktifitas
manusia yang dewasa ini kurang sadar akan lingkungan.
Oleh karena itu perlu adanya tindakan preventif untuk menghindari
kerugian-kerugian yang tidak diinginkan dengan berbagai macam cara, salah
satunya yaitu dengan mencari daerah-daerah yang rawan terhadap longsor dan
memperhitungkan untuk membuat bangunan penahan, jangkar (anchor) dan
pilling untuk bangunan yang akan didirikan, sekaligus juga perlu untuk
meminimalisir efek dari longsor yang mungkin terjadi di daerah sekitar lahan
yang akan dibangun nantinya.
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Prihananto Setiadji pada tahun
2009 yang berjudul analisis longsoran batu dengan metode proyeksi stereografi,
menghasilkan penafsiran yang cukup baik terhadap mekanisme longsoran yang
diperlihatkan dalam bentuk model longsoran di tiga lokasi penelitian, dan juga
6
dapat mengidentifikasi karakteristik massa batuan yang efektif menyebabkan
longsor.
Penelitian tentang analisis penyebab longsor di kawasan perbukitan
Malang Selatan kecamatan pagak oleh Wulandari D. Nurrohmah pada tahun 2009
didapatkan kesimpulan bahwa dangkal tidaknya bentukan bidang gelincir tanah
berbanding lurus dengan letak dan kedalaman lapisan semi kedap yang ditemukan
pada penampang longsor, dan semakin dalam bidang gelincir tanah maka volume
longsor yang ditimbulkan semakin besar.
Penelitian juga telah dilakukan Arifah Rahmawati pada tahun 2009 tentang
pendugaan bidang gelincir tanah longsor dengan metode tahanan jenis konfigurasi
schlumberger studi kasus daerah Karangsambung dan sekitarnya kabupaten
Kebumen, didapatkan kesimpulan pada penampang Karangsambung I dan
Karangsambung II terdapat bidang gelincir dengan zona kerentanan gerakan tanah
rendah, dan pada penampang Karangsambung III terdapat bidang gelincir yang
berpotensi terjadinya tanah longsor dengan zona kerentanan gerakan tanah tinggi.
Pada penelitian ini digunakan metode geolistrik untuk menentukan bidang
gelincir yang diduga sebagai penyebab terjadinya tanah longsor ditinjau dari nilai
resistivitas pada tiap lapisan serta untuk mengetahui struktur dan pelapisan tanah
bawah permukaan di daerah penelitian. Informasi tentang struktur dan pelapisan
tanah tersebut digunakan untuk mengetahui batas-batas kelabilan tanah yang dapat
menjadi acuan dalam pengembangan wilayah di daerah tersebut dan sekitarnya.
Oleh karena itu untuk mengetahui struktur dan pelapisan tanah di lokasi tersebut
7
dilakukan penelitian dengan aplikasi geolistrik metode tahanan jenis konfigurasi
wenner.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka dalam skripsi ini penulis
mengambil judul PENDUGAAN BIDANG GELINCIR TANAH LONGSOR
BERDASARKAN SIFAT KELISTRIKAN BUMI DENGAN APLIKASI
GEOLISTRIK METODE TAHANAN JENIS (Studi Kasus Daerah Lereng
Kampus II UIN Maulana Malik Ibrahim Kecamatan Junrejo, Batu-Malang).
1.2 Rumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah dan terfokus maka perlu adanya rumusan
masalah berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas. Maka
rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pola resistivitas tanah, susunan, dan kedalaman lapisan tanah
di daerah kampus II UIN Maliki Kecamatan Junrejo Batu Malang yang
diduga terdapat bidang gelincir tanah longsor, dengan aplikasi geolistrik
metode tahanan jenis konfigurasi wenner?
2. Pada penampang/lapisan berapakah terdapat bidang gelincir tanah longsor
di daerah penelitian?
3. Bagaimana mitigasi terhadap daerah yang rawan longsor sehingga tidak
menimbulkan bahaya bagi manusia dan lingkungan sekitarnya?
8
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pola resistivitas tanah, susunan, dan kedalaman lapisan
tanah di daerah sekitar kampus II UIN Maulana Malik Ibrahim Kecamatan
Junrejo Batu Malang yang diduga terdapat bidang gelincir tanah longsor,
dengan aplikasi geolistrik metode tahanan jenis konfigurasi wenner
2. Untuk mengetahui pada penampang/lapisan berapa terdapat bidang
gelincir tanah longsor di daerah penelitian
3. Untuk mengetahui mitigasi bencana terhadap daerah yang rawan longsor
sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi manusia dan lingkungan
sekitarnya
1.4 Batasan Masalah
Pada penelitian ini ada beberapa batasan masalah, diantaranya:
1. Data yang digunakan adalah data primer dari akuisisi data menggunakan
instrumen Geolistrik merek Oyo type McOhm-El model-2219d
2. Program yang digunakan dalam prosesing data adalah Res2Dinv dan
IPI2Win
3. Daerah penelitian adalah daerah lereng kampus II UIN Maulana Malik
Ibrahim yang terletak di Desa Tlekung Kecamatan Junrejo, Batu-Malang.
9
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat-manfaat yang bisa diambil dalam penelitian ini
diantaranya:
1. Sebagai bahan acuan bagi pihak kampus UIN Maulanan Malik Ibrahim
Malang untuk pembangunan kampus II
2. Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa dan semua pihak yang
membutuhkan kajian tentang longsor untuk kawasan tanah kampus II UIN
di daerah Batu
3. Meningkatkan pengembangan laboratorium Geofisika UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang
4. Memberi informasi bagi masyarakat khususnya masyarakat di daerah
junrejo dan sekitarnya dalam pengembangan wilayah.
1.6 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika pada Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, batasan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II KAJIAN TEORI
Bab ini menjelaskan tentang teori-teori yang berhubungan dengan
permasalahan yang diambil.
10
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menjelaskan tentang metode yang digunakan dalam penelitian
tentang analisis bidang gelincir tanah longsor menggunakan aplikasi
geolistrik metode tahanan jenis di lokasi rencana kampus II UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang yang terletak di Desa Tlekung
Kecamatan Junrejo, Batu. Menjelaskan waktu dan tempat penelitian,
proses akuisisi data, analisa dan interpretasi data.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini membahas tentang hasil pengolahan data dari software
Res2Dinv untuk penampang resistivitas dua dimensi, software
IPI2Win untuk menampilkan kurva matching beserta kedalaman dan
ketebalan lapisan. Menjelaskan interpretasi data berdasarkan hasil
yang diperoleh sehingga dapat diketahui lapisan yang merupakan
bidang gelincir.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran dari
penulis yang dapat bemanfaat bagi berbagai pihak.
11
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Struktur Pelapisan Bumi
Pelapisan di dalam tubuh bumi merupakan lapisan yang diskontinu (tidak
serba sama). Bagian demi bagian bumi membentuk suatu lapisan-lapisan dengan
sifat dan ketebalan yang berbeda-beda. Pembagian lapisan bumi mulai dari bagian
luar ke arah dalam, terdiri atas: Litosfer yang bersifat keras padat (rigid solid)
yang meliputi kerak samudera (oceanic crust) dan kerak benua (continental crust),
asteonosfer yang juga disebut mantel bersifat lunak (capable of flow), dan inti
bumi atau barisfer yang bersifat cair pijar mengandung gas (latent magmatic)
(Plummer, 2005: 13).
Dalam al-Quran Allah SWT telah berfirman:
_ _ _L ,.>.. _
Artinya:
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan. (QS. al-Rad
[13]: 4).
Dari ayat di atas dapat ditafsirkan bahwa di bumi kita ini mempunyai bagian-
bagian atau lapisan-lapisan (Djajadi, 2008: 99).
12
Gambar 2.1 Susunan lapisan bumi (Plummer, 2005: 13)
Masing masing lapisan bumi memiliki ketebalan yang berbeda-beda.
Berdasarkan penelitian dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu pengetahuan,
para ahli menyusun lapisan bumi ke dalam tiga bagian utama yaitu:
1. Kerak Bumi (Crust)
Kerak bumi berada pada lapisan paling atas permukaan bumi dengan
tebal rata-rata 7-50 km. Tebal lapisan kerak bumi tidak sama di setiap tempat.
Secara garis besar di atas benua (continental crust) tebalnya sekitar 20-50 km,
sedangkan di bawah dasar laut (ocean crust) hanya berkisar 10-12 km.
2. Mantel bumi (Mantel)
Lapisan ini menempati bagian sebelah bawah dari kerak bumi. Dibagi
menjadi tiga bagian yaitu: Litosfer, Astenosfer, dan Mesosfer.
13
3. Inti Bumi (Core)
Merupakan lapisan yang paling dalam, dibedakan menjadi dua bagian
yaitu: inti bagian luar dan inti bagian dalam. Inti bagian luar diduga berwujud
cair sedang inti bagian dalam diduga berwujud padat.
2.2 Tanah
Tanah sangat penting dalam kehidupan manusia, tanah mempunyai
beberapa definisi, dalam keteknikan tanah diartikan sebagai semua bahan lepas
yang berada di atas batuan dasar. Tanah merupakan hasil akhir dari proses
pelapukan. Penghancuran batuan secara fisika dan kimia merupakan proses
pelapukan. Tanah mengandung bahan organik bercampur dengan komponen
mineral.
Lapisan tanah berkembang dari bawah ke atas, tahapannya merupakan
lapisan-lapisan sub horizontal yang merupakan derajat pelapukan. Setiap lapisan
mempunyai sifat fisik, kimia dan biologi yang berbeda. Lapisan tanah berbeda
dengan lapisan sedimen karena tanah berada tidak jauh dari tempat terjadinya,
sedangkan sedimen sudah tertransportasi oleh angin, air atau gletser dan
diendapkan kembali (Plummer, 2005: 119).
2.2.1 Tekstur tanah
Batuan dan mineral yang mengalami pelapukan baik secara fisik maupun
kimia menghasilkan partikel dengan berbagai macam ukuran, yaitu batu, kerikil,
pasir, lempung, dan tanah liat. Yang tergolong material tanah adalah partikel yang
mempunyai diameter lebih kecil dari dua milimeter, atau lebih kecil dari kerikil.
14
Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif dari berbagai golongan besar
partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan antara fraksi-
fraksi liat, lempung dan pasir.
2.2.2 Struktur Tanah
Struktur tanah merupakan gumpalan-gumpalan kecil dari tanah, akibat
melekatnya butir-butir tanah satu sama lain. Satu unit struktur tersebut disebut ped
(terbentuk karena proses alami). Dengan tersusunnya partikel-partikel atau fraksi-
fraksi (liat, lempung, dan pasir) tanah primer, terdapat ruang kosong atau pori-pori
diantaranya. Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori-pori kasar dan pori-
pori halus. Pori-pori kasar berisi udara atau air gravitasi (air yang mudah hilang
karena gaya gravitasi), sedangkan pori-pori halus berisi air kapiler atau udara.
2.3 Zona Labil
Zona labil merupakan suatu wilayah yang menunjukkan daerah itu
mempunyai kondisi tanah yang terus bergeser, pergeseran tanah ini dapat terjadi
karena longsor, peretakan tanah atau bisa juga daerah itu dilalui patahan bumi.
Daerah yang rentan terhadap geseran tanah adalah daerah dekat atau sepanjang
patahan, kawasan pemukiman (built-up areas), bendungan dan jembatan, jaringan
jalan raya dan kereta api, tanah pertanian, dan sistem alur sungai. Daerah-daerah
lingkungan endapan sungai, bekas pantai/zona pantai, tanah urugan dan bekas
danau atau rawa merupakan daerah-daerah yang rentan terhadap kedua peristiwa
alam tersebut. Akibat dari dua peristiwa alam tersebut dapat merusakkan atau
15
menghancurkan bangunan, meratakan bendungan, sistem irigasi, jaringan jalan,
hilangnya tanah pertanian, memutuskan hubungan permukiman, dan lain-lain.
Geseran tanah yang sering terjadi adalah tanah longsor yang merupakan
proses perpindahan massa tanah secara alami dari tempat yang tinggi ke tempat
yang lebih rendah. Longsoran umumnya terjadi jika tanah sudah tidak mampu
menahan berat lapisan tanah di atasnya karena ada penambahan beban pada
permukaan lereng dan berkurangnya daya ikat antar butiran tanah akibat tidak ada
pohon keras (berakar tunggang). Faktor pemicu utama kelongsoran tanah adalah
air hujan. Tanah longsor banyak terjadi di perbukitan dengan ciri-ciri: kecuraman
lereng lebih dari 30 derajat, curah hujan tinggi, terdapat lapisan tebal (lebih dari
dua meter) menumpang di atas tanah atau batuan yang lebih keras, tanah lereng
terbuka yang dimanfaatkan sebagai pemukiman, ladang, sawah atau kolam.
Dengan demikian, air hujan leluasa menggerus tanah dan masuk ke dalam
tanah. Juga diperburuk dengan jenis tanaman di permukaan lereng yang
kebanyakan berakar serabut dan hanya bisa mengikat tanah tidak terlalu dalam
sehingga tidak mampu menahan gerakan tanah. Daerah dengan ciri seperti itu
merupakan daerah rawan longsor. Jika suatu daerah termasuk kategori rawan
longsor, kejadian longsor sering diawali dengan hujan lebat terus-menerus selama
lima jam atau lebih atau hujan tidak lebat tetapi terus-menerus hingga beberapa
hari, tanah retak di atas lereng yang selalu bertambah lebar dari waktu ke waktu,
pepohonan di lereng terlihat miring ke arah lembah, banyak terdapat rembesan air
pada tebing atau kaki tebing, terutama pada batas antara tanah dan batuan di
bawahnya.
16
Selain merupakan daerah rawan longsor kawasan zona labil biasanya
merupakan daerah yang dilalui oleh patahan bumi, daerah ini sangat labil karena
kondisi tanah yang ada di sana terus bergerak, hal ini dipengaruhi oleh gerakan
lempeng-lempeng bumi secara konvergen atau saling bertumbukan. Pergerakan
kulit bumi yang berupa lempeng-lempeng tektonik itu muncul dalam wujud
gelombang yang disebut gempa. Pergerakan lempeng tektonik menciptakan
kondisi terjepit atau terkunci dimana terjadi penimbunan energi dengan suatu
jangka waktu tertentu yang untuk selanjutnya dilepaskan dalam bentuk gelombang
gempa, energi gelombang gempabumi akan dikonsentrasikan dan difokuskan jika
gelombang gempabumi melintas di jalur patahan, goncangan dari gempabumi ini
dapat menggeser posisi tanah baik ke arah lateral atau horizontal dan dapat pula
pada arah vertikal sehingga terjadi amblesan di sekitar patahan itu. Sebagaimana
Allah SWT berfirman:
_. _!,>' !',.> :..l> _> .. . ,!>.l __...
Artinya:
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka Dia tetap di tempatnya,
padahal ia berjalan sebagai jalannya awan.... (QS. al-Namlu [27]: 88).
2.4 Tanah Longsor
Longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Proses
terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke
17
dalam tanah akan menambah bobot tanah, jika air tersebut menembus sampai
tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin
dan tanah yang mengalami pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng
dan keluar lereng.
2.4.1 Faktor Penyebab Tanah Longsor
Adapun faktor penyebab longsoran dapat dibedakan menjadi penyebab
yang berupa faktor pengontrol gangguan kestabilan lereng dan proses pemicu
longsoran (Prih, 2007: 2).
2.4.1.1 Faktor Pengontrol Gangguan Kestabilan Lereng
Adapun gangguan kestabilan lereng ini dikontrol oleh:
1. Penggundulan hutan, tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang
relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang
2. Kondisi morfologi terutama kemiringan lereng, karena lereng yang terjal akan
memperbesar gaya pendorong, lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan
air sungai, mata air, air laut dan angin
3. Kondisi batuan ataupun tanah penyusun lereng, batuan endapan gunung api
dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir dan
lempung umumnya kurang kuat, batuan tersebut akan mudah menjadi tanah
bila mengalami pelapukan. Jenis tanah yang kurang padat seperti tanah
lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 meter dan dengan
sudut lereng yang cukup tinggi memiliki potensi untuk terjadinya tanah
longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap
18
pergerakan tanah karena menjadi lembek saat terkena air dan pecah ketika
hawa terlalu panas.
4. Kondisi hidrologi atau tata air pada lereng. Akan tetapi, meskipun suatu
lereng rentan atau berpotensi untuk longsor, karena kondisi kemiringan
lereng, batuan atau tanah dan tata airnya, namun lereng tersebut belum akan
longsor atau terganggu kestabilannya tanpa dipicu oleh proses pemicu.
2.4.1.2 Proses Pemicu Longsoran
Pada dasarnya proses pemicu terjadinya longsoran dapat berupa:
a. Kondisi morfologi (sudut lereng, relief dan sebagainya)
b. Kondisi geologi seperti:
1) Jenis batuan tanah
2) Karakteristik keteknikan batuan atau tanah
3) Proses pelapukan
4) Bidang-bidang diskontinuitas (perlapisan, kekar dan sebagainya)
5) Permeabilitas batuan atau tanah
6) Kegempaan, vulkanisme dan sebagainya
Getaran pada lereng akibat gempabumi ataupun ledakan, penggalian,
getaran alat atau kendaraan. Gempabumi pada tanah pasir dengan kandungan air
banyak sering mengakibatkan liquefaction (tanah kehilangan kekuatan geser dan
daya dukung, yang diiringi dengan penggenangan tanah oleh air dari bawah
tanah).
c. Klimatologi (curah hujan dan sebagainya)
19
Peningkatan kandungan air dalam lereng, sehingga terjadi akumulasi air
yang merenggangkan ikatan antar butir tanah dan akhirnya mendorong butir-butir
tanah untuk longsor. Peningkatan kandungan air ini sering disebabkan oleh air
hujan, air kolam atau selokan yang bocor atau air sawah yang meresap ke dalam
lereng.
d. Kondisi lingkungan atau tata guna lahan (hidrologi, vegetasi dan sebagainya)
e. Aktifitas manusia
1) Penggemburan tanah (pertanian atau perladangan)
2) Irigasi dan lain-lain
3) Pemotongan kaki lereng secara sembarangan yang mengakibatkan lereng
kehilangan gaya penyangga
4) Peningkatan beban yang melampaui daya dukung tanah atau kuat geser
tanah. Beban yang berlebihan ini dapat berupa beban bangunan ataupun
pohon-pohon yang terlalu rimbun dan rapat yang ditanam pada lereng
lebih curam dari 40 (Prih, 2007: 28-29).
Dan adapun strategi serta upaya penanggulangan bencana longsor
diantaranya:
1. Hindari daerah rawan bencana untuk pembangunan pemukiman dan
fasilitas utama lainnya
2. Mengurangi tingkat keterjalan lereng
3. Meningkatkan atau memperbaiki dan memelihara drainase baik air
permukaan maupun air tanah. Fungsi drainase adalah untuk menjauhkan
air dari lereng dan menghindari air meresap ke dalam lereng atau
20
menguras air dari dalam lereng ke luar lereng. Jadi drainase harus dijaga
agar tidak sampai tersumbat atau meresapkan air ke dalam tanah
4. Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan pilling
5. Terasering dengan sistem drainase yang tepat (drainase pada teras-teras
dijaga jangan sampai menjadi jalan meresapnya air ke dalam tanah)
6. Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam dan jarak
tanam yang tepat (khusus untuk lereng curam, dengan kemiringan lebih
dari 40 atau sekitar 80% sebaiknya tanaman tidak terlalu rapat serta
diseling-selingi dengan tanaman yang lebih pendek dan ringan, dan di
bagian dasar ditanam rumput)
7. Mendirikan bangunan dengan fondasi yang kuat
8. Melakukan pemadatan tanah disekitar perumahan
9. Pengenalan daerah rawan longsor
10. Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock fall)
11. Penutupan rekahan di atas lereng untuk mencegah air masuk secara cepat
ke dalam tanah
12. Fondasi tiang pancang sangat disarankan untuk menghindari bahaya
liquefaction (infeksi cairan)
13. Utilitas yang ada di dalam tanah harus bersifat fleksibel
14. Dalam beberapa kasus relokasi sangat disarankan (Prih, 2007: 28).
21
2.4.2 Jenis-jenis Longsoran
2.4.2.1 Berdasarkan Tipe Perpindahan
Berdasarkan tipe perpindahan dan jenis materialnya maka longsoran dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu: (Thompson & Turk: 227)
a. Fall (Jatuhan/Translasi)
Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada
bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Jenis longsoran ini
paling banyak di Indonesia.
Gambar 2.2 Longsoran translasi (Prih, 2007: 27)
b. Topple (Gulingan/rotasi)
Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk cekung. Jenis longsorang ini paling banyak di Indonesia.
22
Gambar 2.3 Longsoran rotasi (Thompson dan Turk: 227)
c. Slide (Gelinciran)
Gelinciran adalah perpidahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir
berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.
Gambar 2.4 Longsoran blok (Prih, 2007: 27)
d. Spread (Penjalaran)
Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain
bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas sebagai akibat dari pengikisan tanah
atau batuan di bawahnya. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga
23
menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat
menyebabkan kerusakan parah.
Gambar 2.5 Runtuhan batu (Thompson dan Turk: 227)
e. Flow (Aliran)
Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh
air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air
dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu
mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter
seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat
menelan korban cukup banyak.
Gambar 2.6 Aliran material (Prih, 2007: 27)
24
Selain menghanyutkan tanah, longsoran ini juga akan melarutkan logam-
logam atau material yang ada di gunung. Hal ini sebagaimana disinggung dalam
al-Quran:
_. _. ,!..l ,!. l!. ,: !>.1, _..>! `_,.l ., !,, !..
.`, ,ls _ !.l ,!-., ,l> _... ., .`.. ,l. ,. < _>l
_L.,l !.! .,l >., ,!`> !. !. _., _!.l >., _ _
,l. ,. < _!.. _
Artinya:
Allah telah menurunkan air hujan dari langit, Maka mengalirlah air di lembah-
lembah menurut ukurannya, Maka arus itu membawa buih yang mengambang.
dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan
atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah
membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu,
akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; Adapun yang memberi
manfaat kepada manusia, Maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan (QS. al-Rad [13]: 17).
Dan jika ayat di atas dibaca dan direnungkan maka dapat disimpulkan
bahwa tidak ada penyimpangan antara al-Quran dengan sains, karena keduanya
memang berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah SWT. Dalam ayat ini juga
dijelaskan bagaimana sebenarnya orang-orang yang benar dan orang-orang yang
bathil. Allah memberikan perumpamaan orang-orang yang benar sebagai logam
yang keberadaannya dapat memberikan manfaat dan maslahat bagi orang lain dan
sekitarnya, sedangkan orang-orang bathil diumpamakan sebagai buih yang
walaupun kelihatannya banyak, akan tetapi tidak dapat memberi manfaat dan pada
akhirnya hilang begitu saja, sehingga dapat diartikan bahwa keberadaan mereka
sebenarnya tidaklah ada karena tidak memberi manfaat.
25
f. Rayapan Tanah
Selain itu ada juga jenis longsor yang berupa rayapan tanah. Rayapan
tanah ini adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa
butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali.
Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-
tiang telepon, pohon dan rumah miring ke bawah (Prih, dkk, 2007: 27).
Gambar 2.7 Rayapan tanah (Thompson dan Turk: 227)
2.4.2.2 Berdasarkan Jenis Materialnya
Berdasarkan jenis materialnya maka longsoran dapat diklasifikasikan
menjadi:
a. Batuan:
1. Rock fall
2. Rock topple
3. Rock slide
4. Rock spread
5. Rock flow
26
b. Tanah
1. Predominantly coarse (sebagian besar kasar)
a) Debris fall
b) Debris topple
c) Debris slide
d) Debris spread
e) Debris flow
2. Predominantly fine (sebagian besar halus)
a) Earth fall
b) Earth topple
c) Earth slide
d) Earth spread
e) Earth flow
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat klasifikasi longsoran berdasarkan tipe
pergerakan dan jenis materialnya pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi Longsor
Jenis Material
Tipe Pergerakan Tanah
Batuan Predominantly Predominantly
Coarse Fine
Jatuhan (Fall) Rock fall Debris fall Earth fall
Gulingan (Toplle) Rock topple Debris topple Earth topple
Gelinciran (Slide) Rock slide Debris slide Earth spread
Pancaran (Spread) Rock spread Debris spread Earth spread
Aliran (Flow) Rock flow Debris flow Earth flow
27
2.5 Geolistrik
Penyelidikan geolistrik dilakukan atas dasar sifat fisika batuan terhadap
arus listrik, dimana setiap batuan yang berbeda akan mempunyai harga tahanan
jenis yang berbeda pula. Hal ini tergantung pada beberapa faktor, diantaranya
umur batuan, kandungan elektrolit, kepadatan batuan, jumlah mineral yang
dikandungnya, porositas, permeabilitas dan sebagainya.
Geolistrik merupakan salah satu metode dalam geofisika yang mempelajari
sifat aliran listrik di dalam bumi dengan cara mengalirkan arus listrik DC (Direct
Current) yang mempunyai tegangan tinggi ke dalam tanah. Injeksi arus listrik ini
menggunakan dua buah elektroda arus A dan B yang ditancapkan ke dalam tanah
dengan jarak tertentu. Semakin panjang jarak AB akan menyebabkan aliran arus
listrik bisa menembus lapisan batuan lebih dalam. Sedangkan dua elektroda
potensial yang berada di dalam konfigurasi digunakan untuk mengukur beda
potensialnya.
Dengan adanya aliran arus listrik tersebut akan menimbulkan tegangan
listrik di dalam tanah. Tegangan listrik yang ada di permukaan tanah diukur
dengan menggunakan multimeter yang terhubung melalui dua buah elektroda
tegangan M dan N dimana jaraknya lebih pendek dari pada jarak elektroda AB.
Ketika jarak elektroda AB diubah menjadi lebih besar maka akan menyebabkan
tegangan listrik yang terjadi pada elektroda MN ikut berubah sesuai dengan
informasi jenis batuan yang ikut terinjeksi arus listrik pada kedalaman yang lebih
dalam.
28
Asumsinya bahwa kedalaman lapisan batuan yang bisa ditembus oleh arus
listrik ini sama dengan separuh dari jarak AB atau lebih dikenal dengan AB/2,
sehingga dapat diperkirakan pengaruh dari injeksi aliran arus listrik ini akan
berbentuk setengah bola dengan jari-jari bola AB/2.
Dari hasil pengukuran arus dan beda potensial untuk setiap jarak elektroda
tertentu, dapat ditentukan variasi harga hambatan jenis masing-masing lapisan di
bawah titik ukur. Pendeteksian diatas permukaan meliputi pengukuran medan
potensial, arus dan elektromagnetik yang terjadi secara alamiah maupun akibat
penginjeksian arus ke dalam bumi. Dalam penelitian ini dikhususkan pada metode
geolistrik tahanan jenis.
Umumnya, metode resistivitas ini hanya baik untuk eksplorasi dangkal,
yaitu sekitar 100 meter. Jika kedalaman lapisan lebih dari harga tersebut,
informasi yang diperoleh kurang akurat, hal ini disebabkan karena melemahnya
arus listrik untuk jarak bentang yang semakin besar. Karena itu, metode ini jarang
digunakan untuk eksplorasi dalam. Sebagai contoh eksplorasi minyak. Metode
resistivitas lebih banyak digunakan dalam bidang enginering geology (seperti
penentuan kedalaman batuan dasar), pencarian reservoir air, pendeteksian intrusi
air laut, dan pencarian ladang geotermal.
2.5.1 Sifat Listrik Batuan
Aliran arus listrik di dalam batuan dan mineral dapat digolongkan menjadi
tiga macam, yaitu konduksi secara elektronik, konduksi secara elektrolit, dan
konduksi secara dielektrik, besarnya dipengaruhi oleh porositas batuan dan juga
29
dipengaruhi oleh jumlah air yang terperangkap dalam pori-pori batuan (Telford,
1990: 445-447).
1. Konduksi Secara Elektronik
Konduksi ini terjadi jika batuan atau mineral mempunyai banyak elektron
bebas sehingga arus listrik dialirkan dalam batuan atau mineral oleh elektron-
elektron bebas tersebut. Aliran listrik ini juga dipengaruhi oleh sifat atau
karakteristik masing-masing batuan yang dilewatinya. Salah satu sifat atau
karakteristik batuan tersebut adalah resistivitas (tahanan jenis). Resistivitas adalah
karakteristik bahan yang menunjukkan kemampuan bahan tersebut untuk
menghantarkan arus listrik. Semakin besar nilai resistivitas suatu bahan maka
semakin sulit bahan tersebut menghantarkan arus listrik. Begitu pula sebaliknya
apabila nilai resistivitasnya rendah maka akan semakin mudah bahan tersebut
menghantarkan arus listrik. Resistivitas (hambatan jenis) mempunyai pengertian
yang berbeda dengan resistansi (hambatan), dimana resistansi tidak hanya
tergantung pada bahan tetapi juga bergantung pada faktor geometri atau bentuk
bahan tersebut. Sedangkan resistivitas tidak bergantung pada faktor geometri.
Gambar 2.8 Silinder Konduktor
Jika ditinjau silinder konduktor dengan panjang L, luas penampang A, dan
resistansi R, maka dapat dirumuskan:
30
A
L
R = (2.1)
Dimana adalah resistivitas (m), L adalah panjang silinder konduktor
(m), A adalah luas penampang silinder konduktor (m), dan R adalah resistansi
().
Sedangkan menurut hukum Ohm, resistansi R dirumuskan:
I
V
R = (2.2)
Dimana R adalah resistansi (ohm), V adalah beda potensial (volt), I adalah
kuat arus (ampere).
Dari kedua rumus tersebut didapatkan nilai resistivitas () sebesar
IL
VA
= (2.3)
Banyak orang sering menggunakan sifat konduktifitas () batuan yang
merupakan kebalikan dari resistivitas () dengan satuan mhos/m.
E
J
V
L
A
I
VA
IL
=
|

'

'

= = =

1
(2.4)
Dimana J adalah rapat arus (ampere/m
2
) dan E adalah medan listrik
(volt/m) (Sulistyowati,2009: 17).
2. Konduksi secara elektrolit
Sebagian besar batuan merupakan konduktor yang buruk dan memiliki
resistivitas yang sangat tinggi. Batuan biasanya bersifat porus dan memiliki pori-
pori yang terisi oleh fluida, terutama air. Batuan-batuan tersebut menjadi
konduktor elektrolit, dimana konduksi arus listrik dibawa oleh ion-ion elektrolitik
31
dalam air. Konduktivitas dan resistivitas batuan porus bergantung pada volume
dan susunan pori-porinya. Konduktivitas akan semakin besar jika kandungan air
dalam batuan bertambah banyak, dan sebaliknya resistivitas akan semakin besar
jika kandungan air dalam batuan berkurang.
Menurut persamaan Archie:
w
n m
e
S a

= (2.5)
Dimana
e
adalah resistivitas batuan (ohmmeter), adalah porositas, S
adalah fraksi pori-pori yang berisi air, dan
w
adalah resistivitas air, sedangkan a,
m, dan n adalah konstanta, m disebut juga faktor sementasi. Schlumberger
menyarankan n = 2, untuk nilai n yang sama (Rahmawati, 2009: 11).
3. Konduksi Secara Dielektrik
Konduksi pada batuan atau mineral bersifat dielektrik terhadap aliran
listrik, artinya batuan atau mineral tersebut mempunyai elektron bebas sedikit,
bahkan tidak ada sama sekali. Tetapi karena adanya pengaruh medan listrik dari
luar maka elektron dalam bahan berpindah dan berkumpul terpisah dari inti,
sehingga terjadi polarisasi. Peristiwa ini tergantung pada konduksi dielektrik
masing-masing batuan yang bersangkutan (Sulistyowati, 2009: 17).
2.5.2 Aliran Listrik di Dalam Bumi
2.5.2.1 Elektrode Berarus Tunggal di dalam Bumi
Sebuah elektroda berdimensi kecil diinjeksikan dalam medium homogen
isotropik. Lintasan arus mengalir melalui elektrode lain, biasanya terdapat pada
permukaan, tetapi dalam kasus lain pengaruh ini tidaklah sangat berarti (Telford,
1990: 633-637).
32
Dalam sistem simetri, potensial adalah fungsi r, dimana r adalah jarak dari
elektrode pertama. Berdasarkan persamaan Laplace pada koordinat bola,
dinyatakan
0
2
2
2
2
=
|

'

+ = V
dr
dV
r dr
V d
V (2.6)
Dengan mengalikan persamaan di atas dengan r
2
dan mengintegralkannya,
maka diperoleh
2
r
A
dr
dV
= (2.7)
Dan diintegralkan lagi diperoleh
B
r
A
V + = (2.8)
Dimana A dan B adalah konstan, jika V=0 ketika r , maka diperoleh
B=0. Arus mengalir secara radial keluar ke semua arah dari titik elektroda. Arus
total yang melintas pada permukaan bola diberikan oleh persamaan
A
dr
dV
r J r I 4 4 4
2 2
= = = (2.9)
Dari persamaan V j V = dan
dr
dV
=
2
r
A
diperoleh

4
I
A = Maka
r
I
V
1
4
|

'

atau
I
V
r 4 = (2.10)
Pada bidang equipotensial, disetiap ortogonal pada garis aliran arus, akan
menjadi permukaan bola dengan r = konstan. Diilustrasikan pada gambar di
bawah ini:
33
Gambar 2.9 Titik permukaan sumber arus yang terinjeksi pada tanah homogen
(Telford, 1990: 523)
2.5.2.2 Elektrode Berarus Tunggal di Permukaan Bumi
Jika titik elektroda yang didalamnya mengalir I ampere yang diletakkan
pada permukaan medium homogen isotropik dan jika udara di atas memiliki
konduktivitas 0 (nol), maka sistem tiga titik yang digunakan dalam tampilan
resistivitas permukaan. Selanjutnya elektroda arus kembali pada jarak yang besar.
Kondisi batas yang agak berbeda dari kasus terdahulu, walaupun B=0 sama
dengan sebelumnya saat V=0 r = dalam penambahannya 0 =
dz
dV
pada z=0
(saat
udara
=0) (Telford, 1990: 633-637).
0
2
= =
c
c
|

'

c
c
=
|

'

c
c
=
c
c
r
Az
z
r
r
A
r r
A
z z
V
saat z=o (2.11)
mengingat bahwa
2 2 2 2
z y x r + + =
34
Pada semua arus yang mengalir melalui permukaan setengah bola pada
medium yang lebih rendah, atau

2
I
A =
sehingga ditulis
r
I
V
1
2
|

'

atau
I
V
r 2 = .
Potensial yang sama pada permukaan setengah bola di dalam tanah dapat
ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar 2.10 Sumber titik arus pada permukaan sebuah medium homogen
(Telford, 1990: 524)
2.5.2.3 Dua Arus Elektroda di Permukaan Bumi
Saat jarak di antara dua arus elektroda terbatas, seperti pada gambar di
bawah ini, potensial yang dekat pada titik permukaan akan dipengaruhi oleh
kedua arus elektroda tersebut
35
Gambar 2.11 Dua elektroda arus dan dua elektroda potensial pada permukaan
tanah homogen isotropik pada resisitivitas (Telford, 1990: 524)
Sama dengan sebelumnya, potensial yang disebabkan C1 pada P1 adalah
1
1
1
r
A
V = dimana

2
1
I
A =
Sama halnya potensial yang disebabkan C2 pada p1 adalah
2
2
2
r
A
V = dimana
1 2
2
A
I
A = =

, (2.13)
(karena arus pada dua elektrode sama dan berlawanan arah) sehingga diperoleh
|
|

'

= +
2 1
2 1
1 1
2 r r
I
V V

(2.14)
Setelah diketahui potensial elektrode yang kedua pada P2 sehingga dapat
mengukur perbedaan potensial antara P1 dan P2 maka akan terjadi

|
|

'

|
|

'

= A
4 3 2 1
1 1 1 1
2 r r r r
I
V

(2.15)
Hubungan yang tersusun pada empat elektroda yang menyebar secara
normal digunakan dalam resisitivitas medan gaya. Pada konfigurasi ini garis aliran
arus dan bidang equipotensial yang berubah bentuk disebabkan oleh dekatnya
elektroda arus yang kedua C2. Potensial yang sama diperoleh melalui hubungan
36
tan
1 1
2 1
kons
r r
=
2
2 1
2
2
2
1
4 0 cos 2 L R R R R = + (2.16)
Ditunjukkan pada gambar di bawah ini dengan garis arus orthogonal.
Perubahan bentuk dari equipotensial terbukti dalam wilayah diantara arus
elektroda.
Gambar 2.12 Perubahan bentuk pada bidang equipotensial dan garis aliran arus
untuk dua titik sumber arus pada permukaan tanah homogen a) sisi
horizontal b) sisi vertikal c) menempatkan variasi potensial pada
permukaan sepanjang garis lurus yang melewati titik sumber
(Telford, 1990: 525)
2.5.3 Resistivitas Batuan
Dari semua sifat fisika batuan dan mineral, resistivitas memperlihatkan
nilai yang sangat variatif. Pada mineral-mineral logam, harganya berkisar pada
10
5
m, batuan seperti gabbro dengan harga berkisar pada 10
7
m. Begitu juga
pada batuan-batuan lain, dengan komposisi yang bermacam-macam akan
37
menghasilkan range resistivitas yang bervariasi pula. Sehingga range resistivitas
maksimum yang mungkin adalah dari 1,6 x 10
8
(perak asli) hingga 10
16
m
(belerang murni) (Sulistyowati, 2009: 20).
Konduktor biasanya didefinisikan sebagai bahan yang memiliki resistivitas
kurang dari 10
-5
m, sedangkan isolator memiliki resistivitas lebih dari 10
7
m.
Dan di antara keduanya adalah bahan semikonduktor. Di dalam konduktor berisi
banyak elektron bebas dengan mobilitas yang sangat tinggi. Sedangkan pada
semikonduktor, jumlah elektron bebasnya lebih sedikit. Isolator dicirikan oleh
ikatan ionik sehingga elektron-elektron valensi tidak bebas bergerak (Telford,
1990).
Secara umum batuan dan mineral dapat dikelompokkan menjadi tiga
berdasarkan nilai hambatan jenisnya yaitu:
1. Konduktor baik, yaitu dengan nilai resistivitas antara 10
-8
< < 1 m
2. Konduktor pertengahan, yaitu dengan nilai resistivitas antara 1 < < 10
7
m
3. Isolator, yaitu dengan nilai resistivitas antara > 10
7
m (Telford, 1982:
42).
Resisitivitas tiap material di bumi mempunyai interval nilai yang berbeda,
di bawah ini ditunjukkan tabel variasi resistivitas dari material batuan atau mineral
di bumi:
38
Tabel 2.2 Variasi resistivitas batuan dan material bumi
No. Bahan Resistivitas (cm)
1 Udara (di muka bumi) 2 x 10 - 5 x 10
2 Air
Destilasi 2 x 10
Permukaan 3 x 10 - 10
Tambang 4 x 10 - 6 x 10
4
Laut 21
3 Tembaga
Murni 1.7 x 10
-6
Bijih 0.1
4 Besi
Murni 10
-5
Meteorit 3 x 10
-4
5 Mineral
Kalsit 5.5 x 10
15
Galena 0.001 - 0.25
Magnetik 0.008 - 0.5
Pirit 0.002 9
Kwarsa 4 x 10
12
Batu garam 10
4
- 10
7
Belerang 10
14
- 10
17
6 Batuan
Granit 5 x 10
5
- 10
9
Gabro 10
5
- 10
8
Gneis 2 x 10
7
- 10
9
Skis 10
3
- 3 x 10
9
Batu gamping 6 x 10
3
- 3 x 10
5
Batu pasir 10
2
- 10
5
Serpih 2 x 10
3
- 10
5
Lempung dan tanah 1 x 10
2
- 10
6
(Telford 1982: 453)
39
Tabel 2.3. Nilai resistivitas batuan
No. Jenis Material Resistivitas (m)
1 Air Permukaan 80 200
2 Air Tanah 30 100
3 Lapisan Silt-Lempung 10 200
4 Lapisan pasir 100 600
5 Lapisan pasir dan kerikil 100 1000
6 Batu Lumpur 20 200
7 Batu Pasir 50 500
8 Konglomerat 100 500
9 Tufa 20 200
10 Kelompok Andesit 100 2000
11 Kelompok Granit 1000 10000
12 Kelompok Chart, Slate 200 2000
(Suyono, 1999)
Tabel 2.4. Nilai resistivitas batuan
No. Jenis Batuan Resistivitas
(Ohmmeter)
1 Gambut dan lempung 8 50
2 Lempung pasiran dan lapisan kerikil 40 250
3 Pasir dan kerikil jenuh 40 100
4 Pasir dan kerikil kering 100 3000
5 Batu lempung, napal dan serpih 8 100
6 Batu pasir dan batu kapur 100 4000
(Verhoef, 1994)
40
Tabel 2.5 Resistivitas batuan beku dan batuan metamorf
No. Batuan Resistivitas (m)
1 Granit 3 x 10
2
10
6
2 Granit porphyry 4.5 x 10
3
(basah) 1.3 x 10
6
(kering)
3 Feldspar porphyry 4 x 10
3
(basah)
4 Albit 3x10
2
(basah) - 3.3 x 10
3
(kering)
5 syenite 10
2
-10
6
6 Diorit 10
4
-10
5
7 Diorite porphyry 1.9 x 10
3
(basah) 2.8 x 10
4
(kering)
8 Porphyrite 10 -5 x10
4
(basah) 3.3 x 10
3
(kering)
9 carbonatized porphyry 2.5x10
3
(basah) - 6 x 10
4
(kering)
10 Quartz porphyry 3x10
2
- 3x10
5
11 Quartz Diorite 2 x 10
4
- 2x 10
6
(basah) - 1.8x 10
5
(kering)
12 Porphyry (variasi) 60 x 10
4
13 Dacite 2 x 10
4
(basah)
14 Andesit 4.5 x 10
4
(basah) 1.7 x 10
2
(kering)
15 Diabase porphyry 10
3
(basah) - 1.7x 10
5
(kering)
16 Diabase (variasi) 20-5 x 10
7
17 Lava 10
2
- 5 x 10
4
18 Gabbro 10
3
-10
6
19 Bassalt 10 1.3 x 10
7
20 Olivine norite 10
3
-6x10
4
(basah)
21 peridotite 3x10
3
(basah) - 6.5x10
3
(kering)
22 Hornsfels 8x 10
3
(basah) 6x10
7
(kering)
23 Schist 20 - 10
4
24 Tults 2 x 10
3
(basah) - 10
5
(kering)
25 Grafit Schists 10 - 10
2
26 Slate (variasi) 6 x 10
2
4 x10
7
27 Gneiss (variasi) 6.8 x 10
4
(basah) - 3 x 10
6
(kering)
28 Marmer 10
2
- 2.5 x 10
8
(kering)
29 Skarn 2.5 x 10
2
(basah) - 2.5 x 10
8
(kering)
30 kwarsit (variasi) 10 2 x 10
8
(Telford, 1990)
41
Tabel 2.6 Resistivitas batuan sedimen
No. Batuan Resistivitas (m)
1 Serpihan gabungan (Consolidated shales) 20 2 x 10
3
2 Argilites 10 8 x 10
2
3 Konglomerat 2 x 10
3
10
4
4 Batu gamping 50 10
7
5 Dolomit 3.5 x 10
2
5 x 10
3
6 lempung basah tidak gabungan 20
7 Marls 3 -70
8 Lempung 1 100
9 Alluvium dan pasir 10 800
10 Oil sands 4 800
(Telford, 1990)
2.5.4 Geolistrik Metode Tahanan Jenis
Instrumen geolistrik merupakan alat yang dapat diterapkan untuk beberapa
metode geofisika, dimana prinsip kerja metode tersebut adalah mendapatkan
aliran listrik di dalam bumi dan cara mendeteksinya di permukaan bumi.
Metode tahanan jenis adalah salah satu dari kelompok metode geolistrik
yang digunakan untuk mempelajari keadaan bawah permukaan dengan cara
mempelajari sifat aliran listrik di dalam batuan di bawah permukaan bumi. Dalam
kajian ini meliputi besaran medan potensial, medan elektromagnetik yang
diakibatkan oleh aliran arus listrik secara alamiah (pasif) ataupun secara buatan
(aktif).
Beberapa metode yang termasuk dalam metode geolistrik ini diantaranya
metode tahanan jenis, metode tahanan jenis head on, metode self potential,
42
polarisasi terimbas, EM VLF, magnetotelluric, arus telluric, dan elektromagnetik
(Santoso, 2002: 111).
Geolistrik metode tahanan jenis adalah metode yang paling sering
digunakan dari sekian banyak metode yang ada. Metode ini pada prinsipnya
bekerja dengan menginjeksikan arus listrik ke dalam bumi melalui dua elektrode
arus sehingga menimbulkan beda potensial. Dan beda potensial yang terjadi
diukur melalui dua buah elektroda potensial. Hasil pengukuran arus dan beda
potensial untuk setiap jarak elektroda yang berbeda dapat digunakan untuk
menurunkan variasi harga tahanan jenis lapisan di bawah titik ukur. Metode ini
lebih efektif dan cocok digunakan untuk eksplorasi yang sifatnya dangkal, jarang
memberikan informasi lapisan di kedalaman lebih dari 1000 kaki, sehingga
metode ini jarang digunakan untuk eksplorasi minyak tetapi lebih banyak
digunakan dalam bidang engineering geology seperti penentuan kedalaman
basement (batuan dasar), pencarian reservoir (tandon) air, dan eksplorasi
geotermal (panas bumi) (Wahyudi, 2001: 147).
Pendugaan geolistrik merupakan salah satu cara penelitian dari permukaan
tanah untuk mengetahui lapisan-lapisan batuan. Model pendugaan ini
menggunakan prinsip bahwa lapisan batuan atau material mempunyai tahanan
yang bervariasi, yang disebut dengan tahanan jenis (resistivity atau ). Besarnya
resistivitas diukur dengan mengalirkan arus listrik ke dalam bumi dan
memperlakukan lapisan batuan sebagai media penghantar arus. Setiap material
atau batuan mempunyai kisaran resistivitas yang berbeda dengan material lain.
Struktur geologi, litologi (jenis batuan) dan topografi (kemiringan lereng), penting
43
untuk mempelajari kondisi daerah survey. Kemiringan (topografi) lereng akan
mempengaruhi bidang gelincir yang menyebabkan tanah longsor. Pendugaan
resistivitas batuan melalui teknik geolistrik, dapat dipakai sebagai dasar analisis
adanya bidang gelincir.
Berdasarkan letak (konfigurasi) elektroda-elektroda arus dan potensialnya,
dikenal beberapa jenis metode geolistrik tahanan jenis, antara lain metode
schlumberger, metode wenner dan metode dipole (Wahyudi, 2001: 150).
2.5.4.1 Konfigurasi Elektrode Metode Dipole-dipole
Konfigurasi dipole-dipole menggunakan empat buah elektroda yang terdiri
dari dua elektroda potensial dan dua elektroda arus. Elektroda arus ditempatkan di
urutan pertama kemudian dilanjutkan dengan elektroda potensial. Jarak AB dan
MN sebesar a sedangkan elektroda arus dan elektroda potensial dipisahkan oleh
jarak na dimana n merupakan faktor kali pemindahan elektroda potensial. Dengan
susunan konfigurasi tersebut maka didapatkan nilai faktor geometris sebesar
, ), ) 2 1 + + n n an , dan resistivitas semu:
, ), )
I
V
n n an 2 1 + + = (2.17)
(Tim penyusun, 2008: 37).
Gambar 2.13 Konfigurasi Dipole-dipole
44
2.5.4.2 Konfigurasi Elektrode Metode Schlumberger
Konfigurasi Schlumberger merupakan konfigurasi yang tersusun atas dua
elektroda arus dan dua elektroda potensial. Elektrode arus diletakkan di bagian
luar dan elektoda potensial diletakkan di bagian dalam, dan dengan jarak antar
elektroda sebesar a. Pada konfigurasi ini nilai elektroda potensial MN < nilai
elektroda arus AB. Pengukuran dilakukan dengan memindahkan elektroda arus ke
arah luar. Metode ini tidak membutuhkan bentangan yang luas dan digunakan
untuk pengambilan data sounding. Jarak antara elektroda AM dan NB sama (AM
= NB), sedangkan untuk jarak MN tetap. Faktor geometris untuk konfigurasi
Schlumberger sebesar
, )
a
a b b +
(2.18)
dan besar resistivitas semunya adalah
a
a b b
I
V ) ( +
= (2.19)
Gambar 2.14 Konfigurasi Schlumberger (Milsom, 2002: 199)
Persamaan resistivitas metode schlumberger yaitu:
I
V
K
A
=
45
dengan
, )
) ( 2
2 2
4 4
l L l
I L
K
+

=

(2.20)
Gambar 2.15 Susunan elektoda konfigurasi schlumberger
Pada konfigurasi Schlumberger secara prinsip adalah mengubah jarak
elektroda arusnya. Namun semakin jauh elektroda arus dari elektroda potensialnya
maka potensial yang akan diterima oleh elektroda arus akan mengecil. Dengan hal
ini maka dapat dilakukan penjagaan sensitifitas pengukuran. Modifikasi tersebut
dilakukan dengan memperluas elektroda potensialnya. Dampak perubahan
tersebut hanya berpengaruh terhadap kurva perhitungan yang akan overlap.
Namun ini tidak akan berpengaruh terhadap kehomogenan dari resistivitas
materialnya (Milsom, 2002: 109-110).
2.5.4.3 Konfigurasi Elektrode Metode Pole-dipole
Konfigurasi pole-dipole merupakan konfigurasi yang tersusun dari satu
elektroda arus dan dua elektroda potensial. Jarak antara elektroda arus dan
elektroda potensial terdekat sebesar na atau b sedangkan besar jarak antara
46
elektroda potensial sebesar a. Seperti halnya konfigurasi dipole-dipole, dalam
pengukuran resistivitas hanya memindahkan elektroda potensial, dan akan
memberikan faktor n dari pemindahannya. Dari susunan tersebut maka didapatkan
faktor geometri sebesar
, )
b
b a +
2
dan resitivitas semu
, )
I
V
b
b a +
= 2
(2.21)
Gambar 2.16 Konfigurasi Pole-dipole (Milsom, 2002: 199)
2.5.4.4 Konfigurasi Elektrode Metode Wenner
Konfigurasi Wenner merupakan konfigurasi yang membutuhkkan tempat
yang sangat luas. Konfigurasi ini tersusun atas dua elektroda arus dan dua
elektroda potensial. Elektroda potensial ditempatkan pada bagian dalam dan
elektroda arus pada bagian luar, dengan jarak antar elektroda sebesar a.
Pengukuran dilakukan dengan memindahkan semua elektroda secara bersamaan
ke arah luar dengan jarak a selalu sama (AM = MN = AB). Konfigurasi ini
digunakan dalam pengambilan data secara lateral atau mapping. Faktor geometris
K untuk konfigurasi ini sebesar a 2 , sehingga besar resistivitas semu adalah:
47
|

'

=
I
V
a 2 (2.22)
(Tim Penyusun, 2008: 36)
Gambar 2.17 Konfigurasi Wenner
2.5.4.5 Resistivitas Semu
Dalam eksplorasi geolistrik, untuk mengukur resistivitas di lapangan
digunakan persamaan
|

'
A
=
I
V
a 2 (2.23)
atau
|

'
A
=
I
V
b
s
2
2

(2.24)
yang diturunkan dari arus listrik pada medium homogen setengah tak berhingga.
Karena jarak elektroda jauh lebih kecil dari pada jejari bumi, maka bumi dapat
dianggap sebagai medium setengah tak berhingga. Akan tetapi karena sifat bumi
yang pada umumnya berlapis (terutama di dekat permukaan) perandaian bahwa
mediumnya adalah homogen tidak terpenuhi.
Oleh karena itu resistivitas yang diperoleh dengan menggunakan
persamaan 2.23 atau 2.24 bukan merupakan resistivitas yang sebenarnya.
48
Biasanya resistivitas yang terukur tersebut dikenal sebagai resistivitas semu atau
apparent resistivity, yang biasa dituliskan dengan simbol
as
.
Resistivitas semu yang dihasilkan oleh setiap konfigurasi akan berbeda
walaupun jarak antar elektrodanya sama. Maka akan dikenal
aw
yaitu resitivitas
semu untuk konfigurasi Wenner dan
as
yaitu resistivitas semu untuk konfigurasi
Schlumberger. Pada umumnya
aw as
= .
Untuk medium berlapis, harga resistivitas semu ini akan merupakan fungsi
jarak bentangan (jarak antar elektroda arus). Untuk jarak antar elektroda arus kecil
akan memberikan
a
yang harganya mendekati batuan di dekat permukaan.
Sedang untuk jarak bentangan yang besar,
a
yang diperoleh akan mewakili
harga batuan yang lebih dalam (Wahyudi, 2001: 152).
2.6 Keadaan Geologi Daerah Penelitian
Menurut Badri dalam tulisannya Pemetaan Tematik Geologi Lingkungan
Kabupaten Malang, Jawa Timur menyebutkan terdapat empat keadaan
kemiringan dan bahayanya yaitu:
1. Perbukitan landai (sudut kemiringan antara 5 - 15), Potensi bahaya
lingkungan beraspek geologi berupa longsoran setempat dan kemungkinan
amblesan. Arahan penggunaan lahannya terutama untuk kawasan
perlindungan kars, resapan air tanah dan penambangan terbatas yang perlu
dikaji lebih rinci.
49
2. Perbukitan agak terjal (sudut kemiringan antara 15 - 25), Potensi bahaya
lingkungan berupa longsoran setempat. Arahan penggunaan lahannya
terutama untuk pemukiman pedesaan, sebagian untuk resapan air tanah,
perkebunan dan tanaman tahunan untuk pencegah erosi dan longsor.
3. Perbukitan terjal (sudut kemiringan lebih dari 25), Potensi bahaya
lingkungan berupa pengaruh gunung api aktif (Semeru), banjir lahar dan
gempa. Arahan penggunaan lahannya terutama untuk kawasan penambangan,
tanaman tahunan untuk pencegah erosi dan longsor.
4. Lereng vulkanik (sudut kemiringan lebih dari 30), Potensi bahaya
lingkungan berupa adanya pengaruh gunung api aktif (G. Semeru dan G.
Arjuno), banjir lahar, gempa vulkanik dan longsoran. Arahan penggunaan
lahannya terutama untuk kawasan lindung air tanah pada lereng bagian atas
dan kawasan penyangga (pada bagian lereng bawah) dan kemungkinan untuk
setempat untuk Tempat Pembuangan Akhir (sampah).
Untuk kasus daerah penelitian, sudut kemiringannya adalah antara 15 -
25, yaitu perbukitan agak terjal dimana potensi bahayanya adalah berupa
longsoran setempat atau longsoran lokal. Geologi lingkungan perbukitan agak
terjal dengan lereng 15 25, utamanya dibentuk oleh pasir gampingan, lempung
dan napal. Potensi air tanahnya sedangtinggi dengan potensi bahan galian berupa
kaolin dan zeolit. Potensi bahaya lingkungan beraspek geologi adalah berupa
longsoran setempat. Arahan penggunaan lahannya terutama untuk pemukiman
pedesaan, sebagian untuk resapan air tanah, perkebunan dan tanaman tahunan
untuk pencegah erosi serta longsor.
50
Keadaan geologi daerah penelitian pada umumnya juga dipengaruhi oleh
aktifitas gunung Panderman di bagian barat dan gunung Arjuna di bagian utara.
Menurut Alwin Darmawan dalam Pemetaan Geologi Teknik Malang dan
Sekitarnya, Jawa Timur:
1. Batuan Gunung api Penanggungan (Qv-n) dan Batuan Gunung api
Panderman (Qv-p) di permukaan didominasi oleh sebaran breksi gunung api,
lava dan breksi tufaan dengan sisipan tufa dan aglomerat. Breksi gunung api
umumnya melapuk menengah-ringan, berwarna kelabu kehitaman, berbutir
pasir kasar-kerakal, terdiri dari komponen batuan andesitik yang cukup segar,
batu apung, kaca gunung api, menyudut tanggung-membundar tanggung,
kemas terbuka, massa dasar tufa pasiran berbutir kasar, kurang padu dan
mudah hancur. Lava, umumnya melapuk ringan, berwarna coklat kelabu,
bersusunan andesit berkomposisi felspar, piroksin, kaca dan mineral hitam,
bervesikuler, berstruktur aliran, setempat terbreksikan dan terkekarkan serta
agak keras. Breksi tufaan; umumnya melapuk menengah-tinggi, putih
keabuan, berbutir pasir kasar-kerakal, terdiri dari komponen batuan andesitik,
batu apung dan kaca gunung api. Tufa, umumnya melapuk menengah-tinggi,
putih kecoklatan, berbutir pasir halus-lapili, berkomponen pecahan batuan,
batu apung, kaca gunung api, kurang padu dan mudah hancur. Aglomerat,
umumnya melapuk menengah-tinggi, kelabu kecoklatan, berbutir pasir sangat
kasar-kerakal, membundar tanggung, berkomponen pecahan batuan dan kaca
gunung api, dalam massa dasar tufa pasiran, kurang padu, mudah hancur.
Hasil uji kuat tekan di lapangan memakai Schmidt Hammer (UCS lapangan)
51
pada beberapa lokasi berturut-turut 450 -650 kg/cm
2
(breksi gunung api), dan
700 - 900 kg/cm
2
(lava). Secara umum formasi ini mempunyai tingkat
kekuatan tanah dan batuan yang tinggi. Tanah pelapukan dari breksi gunung
api dan breksi tufaan, pada umumnya lanau pasiran berkerikil, setempat
lempung pasiran, coklat kemerahan, plastisitas sedang-tinggi, lunak-teguh, Di
beberapa tempat nilai penetrometer saku 2,25 - 3,00 kg/cm
2
; tebal lapisan
tanah 0,50 - 1,50 m.
2. Batuan Gunung api Arjuna Gunung Welirang (Qvaw), di permukaan
didominasi oleh sebaran breksi gunung api, lava dan breksi tufaan dan tufa.
Breksi gunung api, umumnya melapuk menengah ringan, kelabu kecoklatan,
berbutir pasir kasar-kerakal, menyudut-membundar tanggung, berkomponen
sebagian besar andesit, basal, batu apung, dan kaca gunung api, kemas
terbuka, massa dasar tufa pasiran, agak padu, sebagian mudah hancur. Lava,
umumnya melapuk ringan, sebagian berselingan dengan breksi gunung api,
kelabu kehitaman, bersusunan andesit-basal, berkomposisi felspar, piroksin,
mineral terang dan mineral hitam, setempat porfiritik, bervesikuler,
terkekarkan, keras, di bagian lereng barat gunung Arjuna - gunung Welirang,
sebagian melapuk tinggi, akibat terkena proses alterasi hidrotermal, sifat fisik
mudah hancur atau rapuh dan berwarna putih kuning keabuan. Breksi tufaan,
umumnya melapuk menengah-tinggi, coklat keabuan, berbutir pasir kasar-
kerakal, menyudut tanggung, komponen yang berukuran kerakal tersebar
merata, jenis komponen andesit, basal, batu apung, kaca gunung api, kurang
padu, mudah lepas, masa dasar tufa pasiran, struktur berlapis bersusun dan
52
setempat silang siur. Hasil uji kuat tekan di lapangan memakai Schmidt
Hammer (UCS lapangan ) pada beberapa lokasi berturut-turut 400 - 650
kg/cm
2
(breksi gunung api) dan 750 - 975 kg/cm (lava). Secara umum formasi
ini mempunyai tingkat kekuatan tanah dan batuan menengah - tinggi. Tanah
pelapukan dari batuan breksi gunung api dan lava berupa lanau pasiran,
sebagian berupa pasir halus, tanah berwarna abu-abu kecoklatan, lunak -
teguh (urai - agak padat untuk pasir) dengan tebal lapisan tanah 0,50 - 2,00 m
dan tanah pelapukan breksi tufaan berupa lanau pasiran, coklat kemerahan,
agak teguh, plastisitas sedang - tinggi dengan tebal lapisan 1,00 - 2,00 m di
beberapa tempat nilai penetrometer saku (qu) 2,25 - 3,50 kg/cm
2
.
53
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian tentang pendugaan bidang gelincir tanah longsor dengan
menggunakan instrumen geolistrik metode tahanan jenis konfigurasi wenner ini
dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2010 di tanah untuk rencana kampus II UIN
Maulana Malik Ibrahim Kecamatan Junrejo Desa Tlekung Batu-Malang.
3.2 Peralatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan peralatan sebagai berikut:
1. Resistivity meter merek Oyo type McOhm-El model-2219d 1 unit
2. Elektroda arus 2 unit
3. Elektroda potensial 2 unit
4. Kabel arus 2 roll
5. Kabel potensial 2 roll
6. GPS (Global Positioning System) 1 unit
7. Meteran (100 meter) 1 roll
8. Penjepit buaya 4 buah
9. Accu (5 Ampere/12 volt) 1 unit
10. Palu geologi untuk menancapkan elektroda 3 buah
11. Alat Tulis Dan Clipboard 1 set
54
12. Personal Computer dengan Windows Operating System
13. Microsoft Office Excel
14. Software program Res2Dinv
15. Software program IPI2Win
Gambar 3.1 Alat resistivitymeter merek Oyo dari depan
3.3 Metode Pengumpulan Data
Ada beberapa teknik pengumpulan data yang harus dilakukan pada
penelitian ini agar didapatkan data dan informasi yang objektif dan sesuai dengan
teori yang ada. Metode pengambilan data yang akan dilakukan diantaranya:
3.3.1 Data Primer
Diperoleh dari pengamatan dan survei dan pengukuran di lapangan pada
daerah penelitian yaitu daerah lereng kampus II UIN Maulana Malik Ibrahim,
Kecamatan Junrejo, Batu-Malang. Survei dan pengukuran dilakukan dengan
menggunakan instrumen geolistrik (resisitivity meter) dengan konfigurasi wenner.
55
3.3.2 Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari literatur-literatur dan publikasi ilmiah serta
data-data lainnya yang mendukung dan berhubungan dengan materi skripsi.
3.4 Desain Penelitian
Pada penelitian ini, susunan alat penelitian yang akan digunakan tampak
pada skema berikut ini:
Gambar 3.2 Skema susunan peralatan geolistrik metode tahanan jenis konfigurasi
Wenner
3.5 Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Pada penelitian ini digunakan konfigurasi elektroda wenner. Konfigurasi
ini tersusun atas dua elektroda arus dan dua elektroda potensial. Elektroda
potensial ditempatkan pada bagian dalam dan elektroda arus diletakkan pada
bagian luar, dengan jarak antar elektroda masing-masing sebesar a. Pengukuran
dilakukan dengan memindahkan semua elektroda secara bersamaan dan searah
dengan jarak a selalu sama (AM = MN = AB). Pemilihan konfigurasi ini
didasarkan pada prinsip kemudahan baik dalam pengambilan dan pengolahan data
56
maupun dalam analisisnya. Faktor koreksi geometris K untuk konfigurasi ini
sebesar a 2 , sehingga besar resistivitas semu adalah
|

'

=
I
V
a 2 (2.22)
(Tim penyusun, 2008: 36)
Gambar 3.3 Konfigurasi Wenner
Data yang diperlukan untuk pengukuran resisitivitas bidang gelincir
meliputi:
1. Jarak antar dua elektroda arus (AB) dalam meter
2. Jarak antara dua elektoda potensial (MN) dalam meter
3. Arus listrik (I) yang diinjeksikan ke dalam tanah dalam Ampere
4. Beda potensial ( V A ) antara kedua elektroda potensial dalam Volt
5. Self Potential (SP) dalam Volt
6. Hambatan (R) dalam Ohm
7. Dari dua data AB dan MN tersebut akan diperoleh harga faktor koreksi
geometri (K) dan dapat diturunkan nilai tahanan jenis atau resistivitas ()
dalam ohm meter.
57
Akuisisi data dilakukan pada dua lintasan dengan bentangan masing-
masing 300 meter. Pada pengukuran yang dilakukan diperoleh 64 data pada tiap-
tiap lintasan.
3.6 Metode Analisis dan Interpretasi Data
Analisis data dilakukan dengan perangkat lunak (software) yaitu dengan
menggunakan program Res2Dinv dan IPI2Win. Dari pengolahan data resistivitas
dengan menggunakan program Res2Dinv akan diperoleh analisa dua dimensi
yang diwujudkan dengan gambar penampang dua dimensi yang berupa kedalaman
dan nilai resistivitas pada tiap lapisan, sedangkan dari IPI2Win akan diperoleh
grafik satu dimensi yang menampilkan kurva matching dan tabel nilai resistivitas
dan kedalaman beserta ketebalan tiap lapisan.
58
3.7 Skema Kerja Geolistrik Konfigurasi Wenner
Adapun flowchart rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 3.4 Flowchart penelitian dengan aplikasi geolistrik metode tahanan
jenis konfigurasi wenner
Mulai
Masalah
Studi Literatur
Peta dan Lokasi
Penelitian
Penentuan lokasi pengukuran pada peta lokasi penelitian
Akuisisi data dengan Resistivitymeter konfigurasi wenner
Pengolahan data menggunakan software IPI2Win dan Res2Dinv
Interpretasi data
Pembahasan dan Kesimpulan
Selesai
Disesuaikan dengan keadaan
geologi daerah sekitar
59
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian di kampus II UIN Maulana Malik Ibrahim kecamatan
Junrejo, Batu Malang menggunakan instrumen geolistrik metode tahanan jenis
dengan konfigurasi Wenner. Terdiri dari dua lintasan dengan bentangan masing-
masing 300 meter dan 64 tembakan. Data-data tersebut memiliki jarak bentangan
elektroda paling pendek 10 meter dan paling panjang 100 meter. Kemudian data
hasil pengukuran (nilai resistivitas) diolah menggunakan software IPI2Win untuk
analisa satu dimensi yang menampilkan kurva matching dan tabel nilai resistivitas
beserta kedalaman dan ketebalan tiap lapisan, software Res2Dinv untuk analisa
dua dimensi yang diwujudkan dengan gambar penampang dua dimensi yang
berupa kedalaman dan nilai resistivitasnya, dan untuk menampilkan profile
ketinggian daerah penelitian menggunakan microsoft office excel. Adapun data-
data hasil pengukuran di lapangan bisa dilihat pada lampiran I dan lampiran II.
Data hasil pengukuran pada alat meliputi arus yang mengalir I (miliampere),
tegangan V (milivolt), hambatan R (ohm), dan self potensial SP (milivolt) yang
kemudian diubah ke dalam satuan SI.
Dalam pengukuran yang dilakukan, keadaan alam dan cuaca
mempengaruhi proses serta hasil pengukuran. Keadaan alam menentukan arah
bentangan yang mungkin dilakukan pada saat pengukuran berlangsung. Sementara
kondisi cuaca dapat berpengaruh pada tingkat kebasahan/kelembaban tanah
60
sehingga berpotensi mengubah distribusi arus listrik pada saat pengukuran.
Permukaan tanah yang basah/lembab akan menjadi penghantar listrik (konduktor)
yang baik sehingga arus listrik akan banyak terdistribusi di permukaan dan kurang
terdistribusi pada kedalaman yang jauh. Permukaan yang terlalu basah juga akan
memperbesar konduktivitas batuan penghantar di permukaan sehingga berdampak
pada membesarnya arus yang terukur hingga melampaui kemampuan
maksimumnya.
4.2 Kondisi Geologi
Untuk kondisi geologi daerah penelitian banyak dipengaruhi oleh aktifitas
Gunung api Penanggungan (Qv-n) dan Gunung api Panderman (Qv-p) di sebelah
barat, dan kemungkinan kecil juga dipengaruhi oleh aktifitas Gunung api Arjuna
dan Gunung Welirang (Qvaw) di sebelah utara yang mana di permukaan
didominasi oleh sebaran breksi gunung api, lava dan breksi tufaan dengan sisipan
tufa dan aglomerat. Breksi gunung api umumnya bersifat melapuk menengah-
ringan, dengan warna kelabu kehitaman, berbutir pasir kasar-kerakal, terdiri dari
komponen batuan andesitik yang cukup segar, batu apung, kaca gunung api,
menyudut tanggung - membundar tanggung, kemas terbuka, massa dasar tufa
pasiran berbutir kasar, kurang padu dan mudah hancur. Lava umumnya melapuk
ringan, berwarna coklat kelabu, bersusunan andesit berkomposisi felspar,
piroksin, kaca dan mineral hitam, bervesikuler, berstruktur aliran, setempat
terbreksikan dan terkekarkan, dan dengan struktur agak keras. Breksi tufaan
umumnya melapuk menengah-tinggi, berwarna putih keabuan, berbutir pasir
61
kasar-kerakal, terdiri dari komponen batuan andesitik, batu apung dan kaca
gunung api. Tufa umumnya melapuk menengah-tinggi, berwarna putih
kecoklatan, berbutir pasir halus-lapili, berkomponen pecahan batuan, batu apung,
kaca gunung api, struktur batu kurang padu dan mudah hancur. Aglomerat
umumnya melapuk menengah-tinggi, berwarna kelabu kecoklatan, berbutir pasir
sangat kasar-kerakal, bentuk membundar tanggung, berkomponen pecahan batuan
dan kaca gunung api, dalam massa dasar tufa pasiran, struktur kurang padu dan
mudah hancur (Darmawan).
Gambar 4.1 Peta Daerah Penelitian Kampus II UIN Maliki Malang Desa
Junrejo, Batu
62
4.3 Analisis dan Interpretasi Data
4.3.1 Lintasan Pertama
Pada lintasan pertama secara astronomis terletak pada 112, 32 34 BT dan
07, 55 7,9 LS sampai 112, 30 07 BT dan 07, 55 15,5 LS, tepatnya berada di
sebelah barat pintu gerbang masuk kandang, dengan panjang lintasan sepanjang
300 meter, spasi terkecil 10 meter dan spasi terbesar 100 meter dengan
menggunakan konfigurasi wenner.
Berdasarkan hasil nilai resistivitas dari lintasan yang membentang dari
selatan ke utara dapat diketahui informasi lapisan dan jenis batuannya. Interpretasi
litologi satu dimensi yang diberikan oleh IPI2Win dengan nilai error 9,8 % berupa
kurva matching dan tabel resistivitas, kedalaman dan ketebalan tiap lapisannya
bisa dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 4.2 Kurva matching, tabel resistivitas , kedalaman d dan ketebalan h
pada lintasan I dari hasil program IPI2Win
63
Susunan tahanan jenis pada lintasan pertama diperkirakan mempunyai
lima susunan lapisan batuan, diuraikan dari lapisan atas ke bawah yaitu sebagai
berikut:
a. Lapisan ke-1, mempunyai nilai tahanan jenis 10,5 ohm-meter, dengan
kedalaman 0 - 2,5 meter, ketebalan 2,5 meter, ditafsirkan sebagai batu pasir
agak kasar.
b. Lapisan ke-2, mempunyai nilai tahanan jenis 21,7 ohm-meter, dengan
kedalaman 2,5 -16,2 meter, ketebalan 13,7 meter, ditafsirkan sebagai batu
pasir yang keras.
c. Lapisan ke-3, mempunyai nilai tahanan jenis 110 ohm-meter, dengan
kedalaman 16,2-40,2 meter, ketebalan 24 meter, ditafsirkan sebagai batu
pasir tuffaan kasar.
d. Lapisan ke-4, mempunyai nilai tahanan jenis 48 ohm-meter, dengan
kedalaman 40,2 - 48,2 meter, ketebalan 6 meter, ditafsirkan merupakan
lapisan kerikil.
e. Lapisan ke-5, mempunyai nilai tahanan jenis 8472 ohm-meter, dengan
kedalaman lebih dari 48,2 meter, ditafsirkan sebagai batu pasir breksi padu.
Untuk penampang dua dimensinya diperoleh dari program Res2Dinv yang
memberikan informasi tentang penyebaran batuan yang diimplementasikan
dengan nilai-nilai resistivitas dan kedalamannya.
64
Gambar 4.3 Penampang resistivitas dua dimensi pada lintasan I dari program
Res2Dinv
Berdasarkan peta penampang resistivitas pada Gambar 4.3 di atas, susunan
tahanan jenis pada lintasan pertama diperkirakan mempunyai lima lapisan batuan,
diuraikan dari lapisan atas ke bawah yaitu sebagai berikut: lapisan pertama,
mempunyai nilai tahanan jenis 16,4 - 20 ohm-meter (dengan warna kuning pada
Gambar 4.3), dengan kedalaman 0 - 13,5 meter, ditafsirkan sebagai batu pasir
agak kasar (sesuai dengan dasar teori pada Tabel 2.2 yaitu pada resistivitas batu
pasir sebesar 10
2
- 10
5
ohm-cm). Lapisan kedua, mempunyai nilai tahanan jenis
65
antara 21 - 41,5 ohm-meter (dengan warna cokelat dan orange), dengan
kedalaman sekitar 13,5 19,9 meter, ditafsirkan sebagai batu pasir yang keras
(sesuai dengan dasar teori pada Tabel 2.2 yaitu pada resistivitas batu pasir sebesar
10
2
- 10
5
ohm-cm). Lapisan ketiga, mempunyai nilai tahanan jenis antara 105 -
110 ohm-meter (dengan warna ungu muda dan ungu tua), dengan kedalaman
sekitar 19,9 34,6 meter, ditafsirkan sebagai batu pasir tuffaan kasar (sesuai
dengan dasar teori pada Tabel 2.3 yaitu pada resistivitas tufa sebesar 20 - 200
ohm-meter). Lapisan keempat, mempunyai nilai tahanan jenis antara 41,5 - 50
ohm-meter (berwarna merah), dengan kedalaman 34,6 43,8 meter, ditafsirkan
merupakan lapisan kerikil jenuh (sesuai dengan dasar teori pada Tabel 2.4 yaitu
pada resistivitas pasir dan kerikil jenuh sebesar 40 100 ohm-meter). Dan lapisan
kelima, mempunyai nilai tahanan jenis di atas 105 ohm-meter (berwarna ungu
tua), dengan kedalaman lebih dari 43 meter, ditafsirkan sebagai batu pasir breksi
padu (sesuai dengan dasar teori pada Tabel 2.2 yaitu pada resistivitas batu pasir
sebesar 10
2
- 10
5
ohm-cm).
Dari gambar penampang resistivitas pada lintasan pertama ini dengan
kemiringan 15 derajat tidak ditemukan bidang gelinciran. Akan tetapi terdapat
anomali yang menarik berupa nilai resitivitas yang sangat rendah yaitu sebesar
0,15 ohm-meter yang menurut penafsiran penulis adalah berupa logam, karena
semakin rendah harga resitivitas suatu material dikarenakan nilai konduktifitasnya
tinggi. Untuk nilai konduktifitas yang tinggi tidak lain merupakan logam yang
mungkin bisa berupa besi, tembaga, atau mineral pirit dan lain sebagainya. Logam
tersebut berada di jalan depan pintu gerbang masuk kandang dengan kedalaman
66
12 sampai 20 meter dibawah permukaan. Bisa dilihat pada gambar di atas hasil
dari program Res2Dinv berwarna biru dengan kedalaman sekitar 16 25 meter.
Jika dilihat dari kondisi geologi daerah penelitian memang tidak terdapat mineral
logam di daerah tersebut, sehingga menurut penulis logam tersebut berasal dari
sisa pembangunan yang tertimbun, atau karena kebetulan tempat pengukuran
dekat dengan pintu gerbang dengan bahan besi maka mungkin juga logam tersebut
adalah kaki dari pintu gerbang itu sendiri.
Untuk grafik ketinggian yang memperlihatkan ketinggian maksimum dan
minimum lokasi penelitian pada lintasan I dapat dilihat pada gambar grafik
menggunakan microsoft office excel sebagai berikut:
Gambar 4.4 Profile ketinggian pada lintasan I
67
4.3.2 Lintasan Kedua
Pada lintasan kedua berada di sebelah barat jurang/tebing dengan
kedalamannya kurang lebih 40 meter. Secara astronomis lintasan kedua terletak
pada 112, 32 42,3 BT dan 07, 55 14,1 LS sampai 112, 32 42 BT dan 07, 55
05,4 LS dan dengan jarak/panjang lintasan 300 meter. Spasi terkecil sebesar 10
meter dan spasi terbesarnya sepanjang 100 meter dengan menggunakan
konfigurasi wenner.
Berdasarkan hasil nilai resistivitas dari lintasan yang membentang dari
selatan agak serong ke utara dapat diketahui informasi lapisan dan jenis
batuannya. Interpretasi litologi satu dimensi yang diberikan oleh hasil program
IPI2Win dengan nilai error sebesar 8,85 % berupa kurva matching dan tabel
resistivitas, kedalaman dan ketebalan tiap lapisannya bisa dilihat pada gambar
berikut:
68
Gambar 4.5 Kurva matching dan tabel nilai resistivitas , kedalaman d dan
ketebalan h pada lintasan II dari hasil program IPI2Win
Susunan tahanan jenis pada lintasan kedua juga diperkirakan mempunyai
lima susunan lapisan batuan, diuraikan dari lapisan atas ke bawah sebagai berikut:
a. Lapisan ke-1, mempunyai nilai tahanan jenis 10,7 ohm-meter, dengan
kedalaman 0 - 2,67 meter, ketebalan 2,67 meter, ditafsirkan sebagai batu pasir
agak kasar.
b. Lapisan ke-2, mempunyai nilai tahanan jenis 27,9 ohm-meter, dengan
kedalaman 2,67 - 14 meter, ketebalan 11,4 meter, ditafsirkan sebagai batu
pasir yang keras.
c. Lapisan ke-3, mempunyai nilai tahanan jenis 47,4 ohm-meter, dengan
kedalaman 14 - 16,7 meter, ketebalan 2,7 meter, ditafsirkan sebagai batu
lempung pasiran.
69
d. Lapisan ke-4, mempunyai nilai tahanan jenis 312 ohm-meter, dengan
kedalaman 16,7 -31,1 meter, ketebalan 14,4 meter, ditafsirkan sebagai lapisan
pasir breksil.
e. Lapisan ke-5, mempunyai nilai tahanan jenis 794 ohm-meter, dengan
kedalaman lebih dari 31,1 meter, ditafsirkan sebagai batu pasir breksi padu.
Pendugaan bidang gelincir dengan metode geolistrik dapat digunakan
untuk menentukan kedalaman bidang gelincir. Harga resistivitas tanah atau batuan
yang longsor dan batuan yang berada dibawah bidang gelincir pada umumnya
mempunyai perbedaan yang mencolok. Pada Gambar 4.5 di atas memperlihatkan
gambaran pendugaan arah bidang gelincir. Harga resitivitas dari bidang gelincir
adalah 47,8 ohm meter dengan kedalaman 14 meter hingga 16,7 meter dan
ketebalan 2,7 meter diperkirakan merupakan lapisan lempung yang merupakan
lapisan kedap air.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dari penampang dua dimensi yang
memberikan informasi tentang bidang gelinciran dan penyebaran batuan yang
diimplementasikan dengan nilai-nilai resistivitas dan kedalamannya yang
diperoleh dari software program Res2Dinv.
70
Gambar 4.6 Penampang resistivitas dua dimensi pada lintasan II dari program
Res2Dinv
Gambar 4.7 Penampang resistivitas dua dimensi dari software program
Res2Dinv (lapisan hijau muda sampai hijau muda diindikasikan
sebagai bidang gelincir)
71
Berdasarkan hasil nilai resistivitas dari lintasan yang membentang dari
selatan agak serong ke utara dapat diketahui informasi lapisan dan dugaan jenis
batuannya. Dari susunan tahanan jenis pada lintasan II juga diperkirakan
mempunyai lima susunan lapisan batuan, diuraikan dari lapisan atas ke bawah
sebagai berikut: lapisan kesatu, mempunyai nilai tahanan jenis 8,68 ohm-meter
(dengan warna biru tua pada Gambar 4.7), dan dengan kedalaman 13,5 meter,
ditafsirkan sebagai batu pasir agak kasar (sesuai dengan tabel nilai resistivitas
pada Tabel.2.2 yaitu resistivitas batu pasir sebesar 10 10
3
ohm-meter). Lapisan
kedua, mempunyai nilai tahanan jenis 38,1 ohm-meter (dengan warna biru), dan
dengan kedalaman 19,9 meter, ditafsirkan sebagai batu pasir yang keras (sesuai
dengan tabel nilai resistivitas pada Tabel.2.2 yaitu resistivitas batu pasir sebesar
10 10
3
ohm-meter). Lapisan ketiga, mempunyai nilai tahanan jenis 79,8 ohm-
meter (dengan warna hijau muda dan hijau tua), dan dengan kedalaman 14 - 16,7
meter, ditafsirkan sebagai batu lempung pasiran (sesuai dengan Tabel 2.4 nilai
resistivitas lempung pasiran sebesar 40 250 ohm-meter ). Lapisan keempat,
mempunyai nilai tahanan jenis 312 ohm-meter (dengan warna orange), dan
dengan kedalaman 16,7 - 31,1 meter, ditafsirkan sebagai lapisan pasir breksil
(sesuai dengan dasar teori pada Tabel 2.2 yaitu pada resistivitas batu pasir sebesar
10 10
3
ohm-m). Dan lapisan kelima, mempunyai nilai tahanan jenis 350 - 734
ohm-meter (dengan warna merah), dan dengan kedalaman lebih dari 34,6 meter,
ditafsirkan sebagai batu pasir breksi padu (sesuai dengan Tabel 2.2 yaitu pada
resistivitas batu pasir sebesar 10 10
3
ohm-m).
72
Pendugaan bidang gelincir dengan metode geolstrik dapat digunakan
untuk menentukan kedalaman bidang gelincir. Harga resistivitas tanah atau batuan
yang longsor dan batuan yang berada dibawah bidang gelincir pada umumnya
mempunyai perbedaan yang mencolok. Pada gambar 4.5 di atas memperlihatkan
gambaran pendugaan arah bidang gelincir. Harga resitivitas dari bidang gelincir
adalah 79,8 ohm meter dengan kedalaman 14 meter sampai 16,7 meter dan
ketebalan 2,7 meter diperkirakan merupakan lapisan lempung.
Pada umumnya bidang gelincir berupa lumpur karena kecepatan longsoran
dan kerusakan yang terjadi tergantung pada homogenitas tanah lempungnya dan
kandungan lapisan tanah yang lolos air dan biasanya gerakan tanah terjadi pada
daerah sekitar kontak ketidakselarasan antara satuan batu lempung dengan
sisipan-sisipan batu pasir.
Potensi kerawanan bencana longsor di daerah penelitian sangat rendah.
Maksudnya sangat rendah disini yaitu zona yang sangat jarang atau hampir tidak
pernah terjadi gerakan tanah baik gerakan tanah lama maupun yang baru serta
kalau dilihat dari kemiringan wilayahnya yang tidak terlalu terjal (sekitar 15
derajat). Meskipun demikian di daerah penelitian terdapat wilayah-wilayah yang
bisa dikatakan rawan terhadap longsor terutama yang berada di dekat tebing atau
jurang. Dan meskipun longsor terjadi tergantung pada kondisi fisik dan
keteknikan batuan akan tetapi banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi,
seperti vegetasi penutup lahan yang kurang, dan curah hujan yang banyak
sehingga di dekat tebing terjadi banyak erosi. Mungkin untuk saat ini kondisi
gerakan tanah di daerah tersebut sangat stabil, tetapi tidak menutup kemungkinan
73
pada saat selesai pembangunan kestabilannya tidak seperti sekarang, apalagi
ditambah dengan beban-beban yang berat berupa gedung-gedung yang besar dan
vegetasi penutupnya juga diganti dengan gedung-gedung dan jalan-jalan aspal
sehingga keadaan tanah akan menjadi tidak stabil lagi atau tidak sestabil sekarang.
Oleh sebab itu perlu adanya tindakan preventif atau mitigasi sebelum dan sesudah
pembangunan kampus II UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang tujuannya
agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan nantinya salah satunya adalah bencana
longsor.
Dan tindakan preventif atau mitigasi untuk menghindari longsor tersebut
salah satunya yaitu dengan mengurangi tingkat keterjalan lereng, melakukan
pemadatan tanah, melakukan penutupan rekahan di atas lereng untuk mencegah
air masuk secara cepat ke dalam tanah. Disamping itu juga harus dilakukan
penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam dan jarak tanam
yang tepat. Dan apabila daerah lereng tersebut dijadikan area bangunan maka
selain mendirikan bangunan dengan fondasi yang kuat juga sebaiknya dibuat
bangunan penahan, dan fondasi tiang pancang sangat disarankan untuk
menghindari adanya bahaya infeksi cairan (liquifaction).
Untuk grafik ketinggian yang memperlihatkan ketinggian maksimum dan
minimum lokasi penelitian pada lintasan II dapat dilihat pada gambar grafik
menggunakan microsoft office excel sebagai berikut:
74
Gambar 4.8 Profile ketinggian pada lintasan II
4.4 Analisis Longsor Berdasarkan al-Quran
4.4.1 Menembus bumi
Bumi merupakan salah satu planet yang berada di jagat raya ini. Dalam
beberapa aspek bumi mempunyai kelebihan dari planet-planet lain yang ada di
galaksi bimasakti kita ini, yaitu bumi dapat ditinggali manusia dan makhluk hidup
lainnya. Itu kenapa Allah menyuruh kita untuk senantiasa memikirkan penciptaan
bumi dalam ayat di bawah ini:
`L., _|| _, , 1l> _ _|| ,!,.l , -' _ _||
_!,>' , ,.. _ _|| _ , >L. _
Artinya:
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan.
Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. al-Ghasiyah [88]: 17-
20).
Bumi dan isinya diciptakan Allah dengan hak. Lebih lanjut, kaum muslim
juga meyakini bahwa semua ciptaan tersebut dipahami dan dikelola manusia
75
dalam rangka mengemban dan merealisasikan misi kekhalifahannya di muka bumi
ini. Maka tanpa pemahaman yang memadai manusia akan mudah terperosok
dalam tindakan yang dapat merusak kesetimbangan bumi dan alam secara
keseluruhan.
:-.., _>' _. | .-L.`. ... _. !L ,...l _
..! _... | _.Ll., __
Artinya:
Hai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru
langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan
kekuatan (QS al-Rahman [55]: 33).
Kekuatan berupa ilmu pengetahuan dalam hal ini adalah kuncinya.
Mengarungi langit dan menjelajahi bumi sangat mungkin dilakukan asal
mempunyai pengetahuan yang memadai. Dan menjaga kondisi alam agar tidak
menyebabkan banjir dan longsor sebenarnya sangat bisa dilakukan apabila kita
mempunyai kemampuan ilmu pengetahuan yang cukup. Karena Alllah SWT
sendiri telah mengizinkan kita untuk menembus dan menggali kandungan bumi
maupun langit untuk merealisasikan peran kekhalifahan di muka bumi ini.
4.4.2 Bumi menjadi tidak seimbang
Sebenarnya alam sendiri, termasuk dalam hal ini bumi telah didesain oleh
Allah mempunyai kondisi keseimbangan yang sempurna. Ada clossed circuit
mechanism yang mempertahankan bumi selalu dalam kondisi terbaiknya untuk
menopang berlangsungnya kehidupan di dalamnya (Mustofa, 2009:177).
76
Ambil saja contoh mekanisme perubahan mineral batuan yang berawal
dari endapan sedimen yang kemudian membeku menjadi batuan sedimen, setelah
beberapa lama berubah menjadi batuan metamorf dan dengan tekanan yang tinggi
kemudian menjadi batuan beku, jika keadaan memungkinkan maka batuan beku
yang keluar dari gunung api akan melapuk dan akhirnya kembali lagi menjadi
endapan sedimen. Dan semua ini sangat bermanfaat bagi bumi untuk menjaga
keseimbangan geologi bumi.
_ _l> _,. ,... !!,L !. _. _l> _..-l _. ,'.. _>!
.,l _> _. _. L _ . _> .,l _,. `l1., ,,l| .,l !..l>
> ,.> _
Artinya:
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak
melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.
Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu
dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam
keadaan payah (QS. al-Mulk [67]: 3-4).
Ayat ini diawali dengan pernyataan bahwa Allah telah menciptakan tujuh
langit berlapis-lapis, kemudian diikuti dengan penegasan bahwa tidak ada
ketidaksetimbangan pada ciptaanNya. Termasuk bumi juga dijadikan dalam
keadaan setimbang antara bagian demi bagian. Satu contoh pada bumi terdapat
gunung yang membuat lapisan kerak bumi stabil dan relatif diam, walaupun
sebenarnya di bawah lapisan kerak bumi merupakaan liquid yang terus bergerak
dan mengalir dan dapat membawa lempeng-lempeng benua bergerak hingga
saling bertumbukan jika tidak ada gunung.
77
Akan tetapi tidak banyak berbeda dengan manusia, ibarat orang sudah tua
yang sering sakit-sakitan, bumi yang kita diami ini semakin lama juga semakin
lemah, rapuh dan memprihatinkan. Telah banyak gejala yang menunjukkan akan
hal ini, misalnya saja bencana banjir yang sudah tidak asing lagi di negara kita,
musibah longsor dimana-mana dan sebagainya. Gejala-gejala tersebut merupakan
tanda-tanda bahwa bumi kita sudah tidak seimbang lagi.
Semua itu tidak lain adalah karena perbuatan manusia itu sendiri. Karena
pada dasarnya awalnya bumi ini dalam keadaan seimbang sebagaimana telah
difirmankan Allah SWT pada ayat yang telah disebutkan di atas.
Lantas perbuatan seperti apa dari manusia yang membuat bumi menjadi
tidak seimbang lagi. Banyak contohnya, pertambangan logam atau gas alam dan
sebagainya pada perut bumi, revolusi industri, dan perusakan hutan secara besar-
besaran yang terjadi di berbagai belahan bumi. Penebangan dan eksploitasi hutan
secara sembarangan adalah perilaku tidak bertanggung jawab manusia dimana
berawal dari itu saja dampaknya sudah merambat kemana-mana. Karena tidak ada
lagi akar pepohonan yang mampu menyerap sekian banyak air hujan yang jatuh
ke permukaan bumi maka timbullah banjir, apabila daerah kebetulan adalah lereng
dan dengan kondisi hujan yang lama maka tidak lama lagi menyusullah longsor.
Allah telah melarang perbuatan yang dapat menjadikan mudlarat bagi
kehidupan manusia dan makhluk yang lain, seperti dijelaskan dalam ayat berikut:
.>,. _!.l `>,!,: .-. _ _ _..`. __
Artinya:
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan (QS. as-Syuara [26]:
183).
78
Perilaku manusia yang seperti ini pada dasarnya tidak lain disebabkan
karena menurunnya akhlak manusia itu sendiri. Akhlak merupakan kunci
kesuksesan manusia atau sekelompok manusia dalam mencapai kesuksesan yang
sesungguhnya. Semua berangkat dari kematangan akhlak yang dalam istilah
ilmiahnya kita kenal dengan kecerdasan emosional (Emotional Quotient) dan
kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient), bukan hanya sekedar kecerdasan
intelejensi (Intellegence Quotient) semata.
4.4.3 Manusia Sebagai Khalifah
Perilaku pengrusakan yang dilakukan manusia di zaman sekarang ini
sudah kian menjadi-jadi, padahal tujuan utama penciptaan manusia di muka bumi
ini adalah tidak lain adalah sebagai khalifah, yang seharusnya mempunyai akhlak
yang tinggi, akhlakul karimah, sebagaimana telah difirmankan Allah dalam al-
Quran:
!.| ..`.l> .l!> _: __
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan akhlak yang tinggi yaitu
selalu mengingatkan kepada negeri akhirat (QS. Shaad [38]: 46).
Rasulullah sallallaahu alaihi wa sallam menyampaikan kepada kita,
bahwa tidaklah beliau diutus ke muka bumi kecuali untuk memperbaiki akhlak
manusia. Dan memang keutamaan Nabi kita adalah kemuliaan akhlaknya.
Sehingga dalam al-Quran Allah-pun memuji-muji beliau beberapa kali.
,.| _l-l _l> ,Ls _
79
Artinya:
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. al-
Qalam [68]: 4).
Berbeda dengan nabi-nabi terdahulu yang mempunyai kelebihan ilmu
pengetahuan yang tinggi, seperti Daud, Sulaiman, Musa dan Isa, Allah
memberikan risalah kenabian kepada Muhammad sallallaahu alaihi wa sallam
sebagai nabi dengan kelebihan akhlak tinggi, berbudi pekerti mulia serta penuh
kasih sayang kepada umat manusia. Menginginkan semua manusia selamat
dengan cara beriman dan taat kepada Allah SWT. Itulah nabi penutup (khitam al-
anbiyaa) seluruh rangkaian risalah kenabian.
Maka agama nabi Ibrahim yang dimulai dari keilmuan yang tinggi,
kemudian disempurnakan dengan akhlak dan budi pekerti yang mulia oleh nabi
Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam. Dan sejak itulah Islam berkembang
pesat dan tersebar ke seluruh penjuru dunia. Maka dari sejarah itu kita dapat
mengambil pelajaran bahwa akhlak adalah kunci utama dari kesuksesan yang
sesungguhnya (Mustofa, 2009: 185-186).
4.4.4 Perumpamaan Longsor dengan Neraka Jahannamdalam Al-Quran
_. . ...,., _ls _1. _. < . ,> _. _. ...,., _ls
!: .``> !> !.! ., _ !. ,.> < _. 1l _,.l.Ll _
Artinya:
Maka Apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa
kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang
mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh
bersama-sama dengan Dia ke dalam neraka Jahannam. dan Allah tidak
memberikan petunjuk kepada orang- orang yang dzalim (QS. at-Taubah [9]:
109).
80
Allah berfirman, tidak sama antara orang-orang yang membangun masjid
atas dasar takwa dan keridhaan kepada Allah, dengan orang yang membangun
mesjid dengan tujuan untuk ke-mudharat-an, kekafiran dan memecah-belah
orang-orang yang beriman, serta tempat untuk mengintai dan memerangi Allah
dan RasulNya sejak awal. Sebenarnya orang-orang itu mendirikan bangunan di
tepi jalan yang runtuh: Fii naari jahannama, wa Allaahu laa yahdzii al-qauma al-
dzaalimiin Lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam
neraka jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang
yang dhalim. Maksudnya Allah tidak akan memperbaiki perbuatan orang-orang
yang suka berbuat kerusakan (Ghaffar, 2007: 208).
Setelah menjelaskan dan membandingkan antara dua jenis bangunan yang
keduanya dinamai mesjid, dan membandingkan motivasi pembangunannya serta
para jamaahnya, kemudian dikemukakan perbandingan menyangkut kesudahan
kedua bangunan itu, berdasarkan nilai fondasinya. Dengan menggunakan redaksi
yang berbentuk pertanyaan dengan tujuan mengecam, ayat ini menyatakan: Maka
apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya yakni mesjidnya maupun
aktifitasnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaanNya itu, seperti
membangun mesjid Quba atau mesjid Nabawi atau melakukan aktifias
pembangunan, yang bagaikan mendirikan bangunan di atas fondasi sebuah
gunung yang kokoh, apakah mereka yang baik ataukah orang-orang yang
mendirikan bangunannya atas dasar maksiat dan kedurhakaan kepada Allah,
bagaikan membangun di tepi jurang yang retak, yang fondasinya retak lalu hancur
diterpa hujan dan dibawa arus, yakni bangunannya itu jatuh menimpanya dan
81
bersama-sama dengannya terjerumus ke dalam neraka jahannam? Maka tentulah
yang pertama yang baik karena yang pertama menerima baik dan secara tulus
petunjuk Allah SWT. Sehingga mereka diberi kemudahan oleh-Nya dengan cara
memberi mereka kemampuan untuk mengamalkan segala petunjuk-Nya (Shihab,
2002: 680-681).
82
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian menggunakan instrumen geolistrik (resistivitymeter) dengan
konfigurasi wenner untuk menginterpretasikan kondisi bawah permukaan untuk
mencari bidang gelincir di daerah penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada lintasan pertama dengan letak astronomi 12, 32 42,3 BT dan 07, 55
14,1 LS sampai dengan 112, 32 42 BT dan 07, 55 05,4 LS diperkirakan
mempunyai lima lapisan batuan, lapisan yang diketahui dari atas ke bawah
yaitu ditafsirkan sebagai batu pasir agak kasar pada kedalaman hingga 2,5
meter, batu pasir keras pada kedalaman hingga 16,2 meter, batu pasir tufaan
kasar pada kedalaman hingga 40,2 meter, lapisan kerikil pada kedalaman
hingga 48,2 meter dan batu pasir breksil padu pada kedalaman lebih dari 48,2
meter. Pada lintasan I ini tidak ditemukan adanya bidang gelincir.
2. Sedangkan pada lintasan kedua yang terletak pada 112, 32 34 BT dan 07, 55
7,9 LS sampai 112, 30 07 BT dan 07, 55 15,5 LS yang merupakan daerah
jurang atau tebing dengan kemiringan 20 dan kedalaman jurang 40 meter
terdapat bidang gelincir pada lapisan batuan yang ketiga yang memungkinkan
terjadinya longsoran lokal, diperkirakan mempunyai lima susunan lapisan
batuan, dari lapisan atas ke bawah ditafsirkan sebagai batu pasir agak kasar
pada kedalaman hingga 2,67 meter, batu pasir yang keras pada kedalaman
83
hingga 14 meter, batu lempung pasiran pada kedalaman hingga 16,7 meter,
dimana lapisan ketiga inilah yang diindikasikan sebagai bidang gelincir, pasir
breksil pada kedalaman hingga 31,1 meter, dan pada lapisan terakhir adalah
batu pasir breksil padu pada kedalaman lebih dari 31,1 meter.
3. Untuk menghindari terjadinya longsor maka sebaiknya dilakukan tindakan
preventif dengan melakukan strategi serta upaya penanggulanagn bencana
yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan di atas maka perlu
dilakukan:
1. Penelitian pada daerah yang sama dengan menggunakan konfigurasi yang
berbeda sebagai perbandingan atas hasil yang telah diperoleh
2. Tindakan preventif dalam pelestarian lingkungan untuk mencegah terjadinya
longsoran mengingat kejadian longsor sangat dipengaruhi dan dipicu oleh
aktifitas manusia.
84
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, Patrick L. 2004. Natural Disasters. edisi IV. New York: McGraw-Hill
Companies
Al-Quran
Anonimous. Metode Geolistrik Polarisasi Terimbas (Induced Polarization).
http://www.gecis.indonetwork.co.id (diakses pada tanggal 8 Mei 2010)
Anonimous. Metode Geolistrik Tahanan Jenis.
http://www.gecis.indonetwork.co.id (diakses pada tanggal 8 Mei 2010)
Anonimus. Klasifikasi dan Faktor Penyebab Bencana Longsor.
http://www.gecis.indonetwork.co.id (diakses pada tanggal 8 Mei 2010)
Badri, Jurnal. Pemetaan Tematik Geologi Lingkungan Kabupaten Malang Jawa
Timur
Carlson, Plummer McGeary. 2005. Physical Geology. Edisi X. New York:
McGraw-Hill Companies
Darmawan, Alwin. Jurnal. Pemetaan geologi Teknik Malang dan Sekitarnya di
Jawa Timur
Dyayadi, 2008. Alam Semesta Bertawaf. Yogyakarta: Lingkaran
Graha, Doddy Setia. 1987. Batuan dan Mineral. Bandung: Nova
Ghoffar, M. Abdul. 2007. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Pustaka Imam Syafii
Harjadi, Prih, dkk. 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya
Mitigasinya di Indonesia. Edisi II. Jakarta: Direktorat Mitigasi Lakhar
Bakornas PB
IDEP. Tanah Longsor. 2007. Edisi II. Bali: IDEP
http://www.gecis.indonetwork.co.id (diunduh pada tanggal 8 Mei 2010)
Karnawati. D. 2005. Manajemen Prabencana Geology Relatif Lemah.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/16/bincang01.html (diunduh
pada tanggal 20 Desember 2009)
Milsom, Jhon. 2003. Field Geophysics (the Geological Field Guide Series). edisi
III. London: John Willey & Sons Ltd
85
Montgomery W, Carla. 2006. Environtmental Geology. edisi ke-7. New York:
McGraw-Hill Companies
Mustofa, Agus. 2009. Menuai Bencana. Surabaya: Padma Press
Noor, Djauhari. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Priono, Sugeng dan Nurrahmah, Wulandari D. 2009. Jurnal. Analisis Penyebab
Longsor di Kawasan Perbukitan Malang Selatan, Kecamatan Pagak.
Universitas Brawijaya
Purwanto, Agus. 2008. Ayat-Ayat Semesta. Bandung: Mizan
Rahmawati, Arifah. 2009. Pendugaan Bidang Gelincir Tanah Longsor
Berdasarkan Sifat Kelistrikan Bumi dengan Aplikasi Geolistrik Metode
Tahanan Jenis Konfigurasi Schlumberger. Tugas akhir Tidak Diterbitkan.
Semarang: Universitas Negeri Semarang
Santoso, Djoko. 2002. Pengantar Teknik Geofisika. Bandung: Departement
Teknik Geofisika ITB
Shihab, M. Quraish. 2003. Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Quran), Jakarta: Lentera Hati
Setiadji, Prihananto. 2009. Analisis Longsoran Batu Dengan Metode Proyeksi
Stereografi. Tugas akhir Tidak Diterbitkan. Papua: Universitas Cendrawasih
Papua
Strahler, Alan. N., Strahler, Arthur. 2005. Introducing Physical Geography. Edisi
III, New York: John Willey & Sons, Inc
Sulistyowati, 2009. Penentuan Letak dan Kedalaman Akuifer Air Tanah dengan
Geolistrik Metode Tahanan Jenis. Tugas akhir Tidak Diterbitkan.
Semarang: Universitas Negeri Semarang
Telford, W.M., L.P., Geldart. R.E. Sheriff dan D.A. Keys, 1982. Applied
Geophysic. London: Cambridge University Press.
Tim Penyusun. 2008. Buku Panduan Workshop Geofisika. Malang: Universitas
Brawijaya
Thompson & Turk. Introduction to Physical Geology. tanpa penerbit
Verhoef, P. N. W, 1994. Geologi Untuk Teknik Sipil. Edisi III. Jakarta: Erlangga
Wahyudi. 2001. Panduan Workshop Eksplorasi Geofisika. Yogyakarta: UGM,
tidak dipublikasikan

Anda mungkin juga menyukai