Anda di halaman 1dari 33

BAB I PENDAHULUAN

Nyeri merupakan Perasaan tidak nyaman, baik ringan maupun berat.yang hanya dapat dirasakan oleh individu tersebut tanpa dapat dirasakan oleh orang lain, mencakup pola fikir, aktifitas seseorang secara langsung, dan perubahan hidup seseorang. Nyeri merupakan tanda dan gejala penting yang dapat menunjukkan telah terjadinya gangguan fisiologikal. Menurut IASP 1979 (International Association for the Study of Pain) nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan , dari definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri bersifat subyektif dimana individu mempelajari apa itu nyeri, melalui pengalaman yang langsung berhubungan dengan luka (injuri), yang dimulai dari awal masa kehidupannya. Tujuan dari manajemen nyeri pascaoperasi adalah untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efeksamping seminimal mungkin.Pereda nyeri pascaoperasi dan hal ini haruslah dapat mencerminkan dicapai tersebut dengan dapat

kebutuhanmasing-masing mempertimbangkan

pasien

berbagai

macamfaktor.Faktor-faktor

dirangkum sebagai faktor klinis, patient-related factors,dan faktor lokal. Pada analisa akhir, ditemukan bahwa penentu utama kecukupan dari peredanyeri pascaoperasi adalah persepsi pasien itu sendiri terhadap rasa sakit. Efektivitas dari pereda rasa nyeri pascaoperasi adalah sangat penting untuk menjadipertimbangan bagi siapa saja yang sedang mengobati pasien yang menjalani operasi. Hal iniawalnya harus dicapai karena alasan kemanusiaan, tapi kemudian ditemukan bahwa denganadanya manajemen nyeri pascaoperasi yang baik, maka keadaan fisiologis pasien pun akanmenjadi lebih baik. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan membantu penyembuhanpascaoperasi secara

lebih signifikan sehingga pasien dapat pulang lebih cepat, tetapi jugadapat mengurangi onset terjadinya chronic pain syndrome.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Nyeri Nyeri merupakan Perasaan tidak nyaman, baik ringan maupun berat.yang hanya dapat dirasakan oleh individu tersebut tanpa dapat dirasakan oleh orang lain, mencakup pola fikir, aktifitas seseorang secara langsung, dan perubahan hidup seseorang. Nyeri merupakan tanda dan gejala penting yang dapat menunjukkan telah terjadinya gangguan fisiologikal. Menurut beberapa tokoh atau sumber :

IASP 1979 (International Association for the Study of Pain) nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan , dari definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri bersifat subyektif dimana individu mempelajari apa itu nyeri, melalui pengalaman yang langsung

berhubungan dengan luka (injuri), yang dimulai dari awal masa kehidupannya.

Pada tahun 1999, the Veterans Health Administration mengeluarkan kebijakan untuk memasukan nyeri sebagai tanda vital ke lima, jadi perawat tidak hanya mengkaji suhu tubuh, nadi, tekanan darah dan respirasi tetapi juga harus mengkaji tentang nyeri.

Sternbach (1968) mengatakan nyeri sebagai konsep yang abstrak yang merujuk kepada sensasi pribadi tentang sakit, suatu stimulus berbahaya yang menggambarkan akan terjadinya kerusakan jaringan, suatu pola respon untuk melindungi organisme dari bahaya.

McCaffery (1979) mengatakan nyeri sebagai penjelasan pribadi tentang nyeri ketika dia mengatakan tentang nyeri apapun yang dikatakan tentang nyeri dan ada dimanapun ketika dia mengatakan hal itu ada .

Tamsuri (2007) Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya

2.2 Tipe Nyeri

Pada tahun 1986, the National Institutes of Health Consensus Conference on Pain mengkategorisasikan nyeri menjadi tiga tipe yaitu Nyeri akut merupakan hasil dari injuri akut, penyakit atau pembedahan, Nyeri kronik non keganasan dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang dalam masa penyembuhan atau tidak progresif dan Nyeri kronik keganasan adalah nyeri yang dihubungkan dengan kanker atau proses penyakit lain yang progresif. A. Nyeri Akut Nyeri akut didefinisikan apakah itu disebabkan oleh stimulus noksius karena cedera, proses penyakit atau fungsi abnormal otot atau visceral. Hampir selalu karena nosisepsi. Nyeri nosisepsi berfungsi mendeteksi lokalisasi dan membatasi kerusakan jaringan. Empat proses fisiologi yang terlibat : transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.

Nyeri tipe ini biasanya berkaitan dengan stress neuroendokrin yang seimbang dengan intensitasnya. Bentuk paling sering yaitu paska trauma, paska bedah dan nyeri obstetri. Begitu juga yang berkaitan dengan penyakit medis akut seperti infark miokard, pankreatitis, dan batu ginjal. Kebanyakan nyeri akut akan sembuh dengan sendirinya atau berkurang dengan terapi dalam beberapa hari atau minggu. Ketika nyeri gagal untuk disembuhkan karena sesuatu hal baik itu penyembuhan yang abnormal atau terapi tidak proporsional atau terapi tidak adekuat, maka akan menjadi nyeri kronis. Dua tipe nyeri akut (somatis dan visceral) dibedakan berdasarkan asal dan bentuk nyeri. 1. Nyeri Somatis Lebih jauh lagi nyeri somatis diklasifikasikan sebagai superfisial atau dalam. Nyeri somatic superficial berdasarkan input nosisepsi yang timbul dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri ini digambarkan dapat dilokalisir, tajam atau rasa terbakar. Nyeri somatic dalam berasal dari otot, tendon, sendi

tulang, bertolak belakang dengan nyeri somatic superficial, nyeri ini terasa tumpul, dan sulit dilokalisir. Nyeri somatik berasal dari dari otot-otot, urat daging, sambungan-sambungan, atau tulang-tulang. Berlawanan dengan nyeri somatik dangkal, itu biasanya mempunyai suatu ciri tumpul, sakit berulang dan lebih sukar dilokalisir. Satu ciri tambahan adalah bahwa/karena kedua-duanya intensitas dan jangka waktu stimulus mempengaruhi derajat tingkat lokalisasi. Sebagai contoh, nyeri yang mengikuti trauma kecil singkat kepada sendi siku itu dilokalisir kepada siku saja, akan tetapi nyeri parah, berat atau trauma sering kali menyebabkan nyeri dalam keseluruhan lengan tangan.

2. Nyeri mendalam (Visceral) Wujud yang mendalam dari nyeri yang akut adalah karena proses penyakit atau fungsi tidak biasa dari suatu organ/ bagian badan yang internal. (misalnya, selaput dada dinding badan, selaput jantung, atau selaput perut). Empat subtipe digambarkan: (1) benar melokalisir nyeri mendalam, (2) melokalisir nyeri dinding badan, (3) menunjuk nyeri mendalam, dan (4) menunjuk nyeri dinding badan. Nyeri mendalam benar adalah tumpul, menyebar, dan biasanya kearah garis tengah. Itu sering dihubungkan dengan aktivitas parasimpatis atau simpatis tidak biasa yang menyebabkan mual, muntah, berkeringat, dan perubahan di dalam tekanan darah dan laju denyut jantung. Nyeri dinding badan adalah pada umumnya tajam/jelas dan sering juga menggambarkan sebagai suatu rangkaian sensasi yang dilokalisir kepada bidang di sekitar organ/ bagian badan atau menunjuk suatu lokasi yang jauh (tabel 182). Peristiwa dari nyeri dinding badan atau mendalam menunjuk bagian yang berkaitan dengan kulit diakibatkan oleh pola-pola dari pengembangan embriologi dan migrasi jaringan, dan pemusatan dari aferen somatik dan mendalam masuk ke dalam sistem saraf pusat. Jadi, Dengan demikian, nyeri berhubungan dengan proses-proses penyakit yang disertai selaput perut atau selaput dada sering menjalar ke leher dan bahu, sedangkan nyeri

yang mempengaruhi permukaan diafragma biasanya menjalar ke dada atau dinding perut atas. Table 182. Pola nyeri alih Lokasi Diafragma Paru-paru Jantung Aorta Esofagus Pankreas and Lien Dermatom kulit C4 T2T6 T1T4 T1L2 T3T8 T5T10

Perut, hati dan kandung empedu T6T9 Kelenjar Adrenal Usus halus Usus besar Ginjal, Ovarium, Testis Ureter Uterus Kandung kemih & Prostat Urethra and rectum T8L1 T9T11 T10L1 T10L1 T10T12 T11L2 S2S4 S2S4

Nyeri Kronis

Nyeri kronis digambarkan sebagai nyeri yang tetap berlangsung di luar waktu yang umum sepanjang satu penyakit yang akut atau setelah suatu waktu yang layak untuk menyembuhkan untuk terjadi, periode ini dapat bertukar-tukar dari 1 sampai 6 bulan. Nyeri kronis bisa nociceptive, saraf, atau keduanya. Suatu mekanisme atau faktor lingkungan psikologis adalah bahwa yang menjadi pembeda sering memainkan suatu peran yang utama. Pasien-pasien dengan nyeri yang kronis sering kali sudah tidak adanya respon neuroendokrin atau respon yang sangat menurun dan mempunyai gangguan-gangguan tidur dan afektif (suasana hati). Nyeri saraf adalah secara sederhana sawan dan tajam, mempunyai suatu mutu yang nyata, dan dihubungkan dengan hyperpathia. Ketika ini juga dihubungkan dengan hilangnya masukan yang berhubungan dengan perasaan (misalnya, pemotongan) ke dalam sistem saraf pusat, itu disebut "deafferentation nyeri." Ketika sistim yang simpatis memainkan suatu peran yang utama, itu sering disebut "dengan penuh simpati memelihara; memelihara nyeri." Bentuk yang paling umum dari nyeri yang kronis termasuk gangguan

muskuloskeletal, gangguan organ dalam kronis, lesi saraf perifer, atau nyeri ganglia dorsal (nyeri paska herpes), lesi pada sistem saraf pusat (stroke, luka jaringan saraf dalam tulang punggung, dan sklerosis multipel), dan nyeri kanker metastase. Beberapa klinisi menggunakan istilah "nyeri kronis ringan" ketika nyeri bukan diakibatkan oleh kanker. Ini adalah untuk menakut-nakuti, karena nyeri tidak pernah ringan dipandang dari segi pasien, dengan mengabaikan penyebabnya.

2.3 Fisiologis Nyeri Anatomi &Ilmu faal Nosiseptif

Jalur Nyeri Untuk menyederhanakan sebagai ilustrasi, nyeri disalurkan sepanjang tiga jalan kecil neuron yang memancarkan stimuli dari saraf perifer ke korteks otak besar (Gambar 181). Neuron-neuron aferen utama ditempatkan di dalam ganglia akar dorsal, yang terletak di foramina tulang punggung pada masing-masing tingkatan jaringan saraf dalam tulang punggung. Masing-masing neuron mempunyai suatu akson yang terbagi dalam dua cabang, mengirimkan satu akhir kepada jaringan-jaringan yang dipersarafi dan yang lain ke dalam dorsal horn

medula spinalis . Di dalam dorsal horn, sinapsis-sinapsis neuron aferen yang utama dengan suatu neuron yang urutan ke dua akson-akson melewati midline dan naik di dalam bidang kontralateral spinothalamik untuk menjangkau talamus. Ke Dua Sinapsis neuron-neuron order (pesanan di dalam nucleus yang thalamic dengan neuron-neuron yang urutan ketiga, yang pada gilirannya mengirimkan proyeksi-proyeksi melalui kapsule dan korona radiata yang internal kepada girus postsentral dari korteks otak besar (Gambar 182). Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu : a. Reseptor A delta Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organorgan viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory) Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007). Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri. Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang

memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)

2.4 Respon Terhadap Nyeri nyeri menyebabkan respons fisiologis dan psikologis pada pasien, yang menentukan hasil akhir postoperatif. Hal tersebut menjadi alasan pengurangan nyeri yang adekuat dapat memberikan hasil akhir perioperatif yang lebih baik.

Respons fisiologis nyeri akut yang berat menghasilkan peningkatan tonus simpatetik yang bermanifes pada peningkatan denyut jantung, tekanan darah, kardiak output, resistensi vaskuler koroner dan sistemik. Efek kardiovaskular yang merugikan ini dapat diperkecil dengan anastesi epidural yang cukup tinggi untuk menghambat serat simpatetik jantung (T1 sampai T5). Analgesia perioperatif yang efektif juga bermaksud untuk melindungi kardiovaskuler. Nyeri yang berkaitan dengan bedah thoraks dan abdomen dapat menyebabkan disfungsi pernapasan postoperatif yang signifikan. Nyeri menyebabkan

peningkatan tonus otot di sekitar lokasi cedera. "Bebatan otot" ini, bersamaan dengan penurunan volunter otot pernapasan, menyebabkan penurunan volume paru (tidal volume, kapasitas vital dan kapasitas residual fungsional), kempisnya paru setempat (atelektasis) dan penurunan ventilasi alveolarm yang

mengakibatkan hipoksemia dan hiperkapnia. Perubahan pernapasan ini juga menghasilkan penurunan kemampuan untuk batuk, retensi sekresi dan peningkatan resiko infeksi di dada. Pengurangan nyeri perioperatif yang adekuat, diiringi latihan pernapasan, dapat mencegah efek pernapasan yang merugikan ini. Peningkatan aktivitas simpatetik yang berkaitan dengan nyeri juga menghasilkan penurunan motilitas gastrointestinal (stasis lambung dan ileus paralitik),

peningkatan sekresi intestinal dan peningkatan tonus sfingter otot polos. Perlanjutan anastesi epidural dengan anastesi lokal untuk beberapa hari dalam periode postoperatif membantu tidak hanya meningkatkan motilitas

gastrointestinal melalui efek langsung blokade epidural, tapi juga memperkecil kebutuhan opioid (dan efek merugikan yang berkaitan dengan motilitas gastrointestinal). Nyeri dapat menyebabkan peningkatan motilitas uretra dan kandung kemih dan mengakibatkan kesulitan berkemih. Perubahan neuroendokrin dan metabolik yang mencetuskan respons sres terhadap operasu menghasilkan peningkatan tingkat katabolik yang menyebabkan penurunan berat dan keseimbangan nitrogen negatif. Pemeliharaan anastesi epidural dengan anastesi lokal selama 48 hingga 72 jam dalam periode postoperatif memiliki efek terhadap efek metabolik ini. Efek yang bermanfaat dalam operasi mencakup abdomen bagian bawah dan anggota gerak bawah (sebagai perbandingan dengan abdomen bagian atas dan thoraks akbibat kesulitan dalam menghambat impuls nosiseptif di kasus yang tadi).

Respons psikologis nyeri postoperatif akut menyebabkan ketakutan dan kecemasan dalam pasien rawat inap. Jika tidak ditemani, ia dapat berkembang menjadi kemarahan, kebencian dan permusuhan kepada personik medis yang bertanggung jawab terhadap pengurangan nyeri. Gangguan tidur dapat meningkatkan perasaan ini, pasien dapat jatuh ke dalam depresi dan perasaan tidak tertolong, perhatian yang adekuat terhadap pereda nyeri dapat membantu memberikan perasaan sehat yang merupakan pengaruh positif pada hasil akhir postoperatif.

2.5 Faktor yang mempengaruhi respon nyeri a. Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung

memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan. b. Jenis kelamin Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri). c. Kultur Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. d. Makna nyeri Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya. e. Perhatian Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Teknik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri. f. Anxietas Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. g. Pengalaman masa lalu Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. h. Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. i. Support keluarga dan sosial Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan 2.6 Penilaian Intensitas Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut : 1. Skala intensitas nyeri deskritif

2. Skala identitas nyeri numerik

3. Skala analog visual

4.

Skala nyeri menurut Bourbanis

Keterangan : 0 :Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik. 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat

mengikuti perintah dengan baik. 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi nyeri, tidak dapat posisi nafas panjang dan masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan. Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992). Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat

mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

2.7 Tata Laksana Nyeri Pasca Bedah Dalam mengatasi nyeri, terdapat berbagai cara yang berkembang di masyarakat yang umumnya cara ini diturunkan dari generasi ke generasi. Sehingga dibutuhkan multidisiplin ilmu dalam mengatasi nyeri. Nyeri bersifat subjektif

sehingga untuk mengatasinya, seorang dokter perlu melakukan pendekatan khusus.1 Tata laksana nyeri pasca operasi yang terbaik dimulai pada saat pre operasi. Beberapa studi menyatakan bahwa teknik anestesia juga dapat mengurangi respon stres neuroendokrin terhadap pembedahan dan nyeri.6 Nyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang, dan ringan. Untuk meredam nyeri berat pasca bedah pada analgesia regional, diberikan obat golongan opioid bolus dan selanjutnya titrasi per infus. Pasien dewasa sering ditambahkan morfin 0,05-0,10 mg saat memasukan anastetik lokal ke ruang subaraknoid atau morfin 2-5 mg ke ruang epidural. Tindakan ini sangat bermanfaat karena dapat membebaskan nyeri pasca bedah sekitar 10-16 jam. Setelah itu nyeri yang timbul biasanya bersifat sedang atau ringan dan jarang diperlukan tambahan opioid dan kalaupun perlu cukup diberikan analgetik golongan AINS (Anti Inflamasi Non Steroid) misalnya ketorolak 10-30 mg i.v atau i.m.2 Biasanya digunakan analgetik golongan opioid untuk nyeri hebat dan anti inflamasi non steroid (NSAID) untuk nyeri sedang atau ringan. Metode yang digunakan untuk menghilangkan nyeri umunya dengan cara sistemis (oral, rectal, transdermal, subliungal, subkutan, intramuskular, intravena, atau per infus). Cara yang sering digunalan dan paling digemari ialah intramuskular opioid.3 Metode regional misalnya dengan epidural opioid (untuk dewasa morfin 16 mg, petidin 20-60mg, fentanil 25-100 g). Kadang-kadang digunakan metoda infiltrasi pada luka operasi sebelum pembedahan selesai misalnya pada sirkumsisi atau pada luka apendektomi.3 Opioid lain seperti petidin dan fentanyl jarang digunakan intradural atau epidural, karena efeknya lebih pendek sekitar 3-6 jam. Efek samping opioid intratekal atau epidural ialah gatal daerah muka, dan pada manula depresi napas belakangan setelah 10-24 jam. Gatal di muka dan depresi napas dapat dihilangkan dengan nalokson. Opioid intratekal atau epidural tidak dianjurkan pada manula kecuali mendapatkan pengawasan ketat.2

Untuk mencegah timbulnya nyeri pasca bedah baik di rumah sakit ataupun di rumah pasien, diperlukan pendekatan multifaktorial. Misalnya saat pembedahan dengan anestesia umum dikombinasikan dengan anestetik lokal kerja panjang (bupivakain), menggunakan opioid kuat (fentanyl, sufentanyl) dan pasca bedah menggunakan analgetik kuat non opioid (ketorolak).4 Pemilihan obat analgesik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : pasien, teknik operasi, pengaturan perawatan pasien.6

Klasifikasi analgetika : 1. Opioid a. Mekanisme kerja

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbik, talamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu di substantia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.3 Reseptor opioid diidentifikasikan menjadi 5 golongan3 : Reseptor (mu) : o o -1 : analgesia supraspinal, sedasi -2 : analgesia spinal, depresi nafas, eforia, ketergantungan

fisik, kekakuan otot. Reseptor (delta) : analgesia spinal, epileptogen Reseptor (kappa) o o o -1 : analgesia spinal -2 : tak diketahui -3 : analgesia supraspinal

Reseptor (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung

Reseptor (epsilon) : respon hormonal

Pada sistem supraspinal tempat kerja opioid adalah di reseptor substansia grisea, yaitu di periakuaduktus dan perivebtrikular. Sedangkan pada sistem spinal tempat kerjanya di substansia gelatinosakorda spinalis. Morfin (agonis) terutama bekerja di reseptor dan sisanya di reseptor .3 Opioid digolongkan menjadi3: Agonis Mengaktifkan reseptor Contoh : morfin, papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin. Antagonis

Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor. Contoh : nalokson, naltrekson Agonis-antagonis

Pentasosin, nalbufin, butarfanol, buprenorfin

b.

Klasfikasi opioid

Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin), tetapi penggolongan ini kurang populer. Penggolongan lain menjadi natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin,

dihidromorfin/morfinon, derivat tebain), dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil, dan remifentanil).3 i. Morfin Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan lebih menguntungkan. Dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Terhadap sistem saraf pusat mempunyai 2 sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesi, sedasi, perubahan emosi,

hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif refleks spinal, konvulsi, dan sekresi hormon antidiuretik (ADH). Sirkulasi darah otak sebenarnya secara langsung tidak terganggu, tetapi kalau terjadi depresi napas, dan hiperkapnia baru terjadi peningkatan aliran darah otak dan peningkatan tekanan intrakranial. Terhadap sistem jantung-sirkulasi dosis besar merangsang vagus dan berakibat bradikardi, walaupun tidak mendepresi miokardium. Dosis terapetik pada dewasa sehat normal tidur terlentang hampir tidak menganggu sistem jantung-sirkulasi. Morfin menyebabkan hipotensi ortostatik. Terhadap sistem respirasi harus hati-hati, karena morfin dapat melepaskan histamin, sehingga dapat menyebabkan konstriksi bronkus. Oleh sebab itu dikontraindikasikan pada kasus asma dan bronkitis kronis. Terhadap sistem saluran cerna, morfin menyebabkan kejang otot usus, sehingga terjadi konstipasi. Kejang sfingter Oddi pada empedu menyebabkan kolik, sehingga tidak dianjurkan pada gangguan empedu. Kolik empedu menyerupai serangan jantung, sehingga untuk

membedakannya diberikan antagonis opioid. Terhadap sistem ekskresi ginjal, morfin dapat menyebabkan kejang sfingter buli-buli yang berakibat retensio urin.

Adiksi dan toleransi

Toleransi morfin ditandai oleh peningkatan dosis pada penggunaan obat secara berulang untuk mendapatkan efek klinis yang sama seperti sebelumya. Toleransi morfin hanya pada efek depresinya dan tidak pada efek stimulasinya. Toleransi ini dapat kembali normal setelah pasien puasa morfin selama 1-2 minggu. Adiksi morfin ialah keadaan ketergantungan fisik dan psikis yang ditandai oleh sindroma menarik diri (withdrawal syndrome) yang terdiri dari ketakutan, kegelisahan, lakrimasi, rinorea, berkeringat,

mual muntah, diare, menguap terus-menerus, bulu roma berdiri, midriasis, hipertensi, takikardi, kejang perut, dan nyeri otot.

Efek samping

Jarang dijumpai alergi morfin. Gejala seperti morfin kadang ditemukan di tempat suntikan berupa bentol kecil dan gatal. Mual muntah sering dijumpai. Pruritus sering dijumpai pada pemberian morfin secara epidural dan intratekal, tetapi prupitus ini dapat segera dihilangkan dengan nalokson, tanpa menghilangkan efek analgesinya.

Ambilan, distribusi, dan eliminasi]

Morfin dapat diberikan secara subkutan, intramuskular, intravena, epidural, atau intratekal. Waktu paruh absorbsi kira-kira 30 menit setelah suntikan subkutan dan 8 menit setelah intramuskular. Sepertiga morfin yang diabsorbsi akan berikatan dengan albumin plasma. Sebagian morfin akan dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepar dan metabolitnya akan dikeluarkan oleh urin 90% dan feses 10%.

Penggunaan dalam anastesia dan analgesia

Morfin masih populer sampai sekarang. Pada premedikasi sering dikombinasikan dengan atropin dan fenotiasin (largaktil). Pada pemeliharaan anastesia umum di kamar bedah sering digunakan sebagai tambahan analgesiadan diberikan secara intravena. Untuk digunakan sebagai obat utama anestesia harus diberikan bensodiapzepin atau fenotiasin atau anastetik inhalasi volatil dosis rendah. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang ialah 0,1-0,2 mg/kgBB. Subkutan, intramuskular, dan dapat

diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dewasa 1-2 mg i.v dan dapat diulang sesuai yang diperlukan. Untuk mengurangi nyeri dewasa pasca bedah atau nyeri persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-0,2 mg intratekal. Dan dapat diulang antara 6-12 jam.

ii. Petidin Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekatui sama. Perbedaan dengan morfin sebagai berikut : 1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut dalam air. 2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat, dan asam normeperidinat. Normeperidinat ialah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin. 3. Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan, dan takikardia. 4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan 5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg/iv pada dewasa. Morfin tidak. 6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB (morfin 10x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena iritasi. Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kgBB.

iii. Fentanil Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100x morfin. Lebih larut dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitratif hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya. Dimetatabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasidan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi napasnya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 13g/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk paska bedah. Dosis besar 50-150 g/kgBB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Efek tak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, renin, aldostreol, dan kortisol.

iv. Sufentanil Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat dari fentanil. Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya 0,1-0,3 mg/kgBB.3

v. Alfentanil Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya sangat besar. Mula kerjanya cepat. Dosis analgesi 10-20g/kgBB.3

vi. Tramadol Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan kelemahan analgesinya 10-20% dibanding morfin.

Tramadol dapat diberikan secara oral, i.m, atau i.v dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400mg per hari.3

Oral Opioids.6 Opioid HalfLife (h) 3 23 13 Onset Duration Relative (h) (h) Potency 0.25 34 1.0 0.3 0.5 0.5 1.0 23 36 20 Initial Dose (mg) 3060 24 57.5 Dosing Interval (h) 4

Codeine

Hydromorphone (Dilaudid) Hydrocodone1 (Oxycontin) Oxycodone2

0.6

4 46

23

0.5

36 68 46 36

510

6 68 68

Levorphanol (Levo- 1216 12 Dromoran) Methadone (Dolophine) Propoxyphene (Darvon)3 1530 0.5 1.0 612 12

0.4

20

30

100

Tramadol (Ultram) Morphine solution4 (Roxanol)

67 24

12

36

30 1

50 10

46 34

0.51 4

Morphine controlled-release4 (MS Contin)

24

812

15

812

1 2 3 4

juga mengandung acetaminophen (Vicodin, others). megandung acetaminphen (Percocet) atau aspirin (Percodan). mengandung acetaminophen (Darvocet). Digunakan untuk nyeri pada cancer.

c. i.

Antagonis Nalokson

Nalokson ialah antagonis murni opioid dan bekerja pada reseptor mu, delta, kappa dan sigma. Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapat morfin akan terlihat laju napas meningkat, kantuk menghilang, pupil mata dilatasi, tekanan darah kalau sebelumnya rendah akan meningkat.3 Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir pembedahan dengan dosis dicicil 1-2 g/kgBB intravena dan dapat diulangi tiap 3-5 menit, sampai ventilasi dianggap baik. Dosis lebih dari 0,2 mg jarang digunakan. Dosis intramuskular 2x dosis intravena. Pada keracunan dosis nalokson dapat diberikan per infus dosis 3-10 g/kgBB.3 Untuk depresi napas neonatus yang ibunya mendapat opioid berikan nalokson 10g/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit. Biasanya 1 ampul nalokson 0,4mg diencerkan sampai 10ml, sehingga tiap ml mengandung 0,04mg.3

ii.

Naltrekson

Naltrekson merupakan antagonis opioid kerja panjang yang biasanya diberikan per oral, pada pasien dengan ketergantungan opioid. Waktu paruh plasma 8-12 jam. Pemberian per oral dapat bertahan sampai 24 jam. Naltrekson per oral 5 atau 10 mg dapat mengurangi pruritus, mual muntah pada analgesia epidural saat persalinan, tanpa menghilangkan efek analgesinya.3

2.

Non Opioid

Banyak obat memiliki sifat analgetik yang tidak berkaitan dengan reseptor opioid, misalnya asetaminofen dan NSAID (Non Steroidal Anti Inflamotory drug). Golongan obat analgetik non opioid dianggap kurang meyakinkan untuk mengurangi rasa nyeri paska bedah, kecuali kalau sifat nyeri pasca bedah tersebut nyeri ringan atau nyeri sedang. Golongan obat analgetik non opioid ini digunakan sebagai tambahan penggunaan opioid dosis rendah untuk menghindari efek samping opioid yang berupa depresi napas. Golongan analgetik non opioid selain bersifat anti inflamasi, juga bersifat analgesik, anti piretik, dan anti pembekuan darah.5 Kerja obat ini menghambat aktivitas enzim siklo oksigenasi, sehingga terjadi penghambatan sintetis prostaglandin perifer. Prostaglandin dihasilkan oleh fosfolipid dari dinding sel yang rusak akibat trauma bedah. Prostaglandin sendiri secara langsung tidak menyebabkan nyeri, tetapi menurunkan respon terhadap inflamasi, sehingga mengurangi rasa perifer.5

Klasifikasi analgetik non opioid

Pirazolon

Oksikam

Dipiron

Piroksikam
Asam karboksilat

Salisilat

Asam propiona t
Ibuprofen Naproksen Ketoprofen Asam Indolasetat Asam asetat

Asam antranila t
Asam mefenamat Floktaferin Asam fenilasetat

Asam asetil salisilat dflunisal

Asam pirolasetat

Indometasin

Ketorolak

diklofenak

a. i.

NSAID dibagi menjadi beberapa golongan, antara lain5 : Asam asetil salisilat

Asam asetil salisilat (aspirin) digunakan untuk mengurangi nyeri ringan atau sedang dan biasanya dikombinasikan dengan analgetik lain untuk 3-4 hari. Aspirin lebih bersifat antipiretik. Dosis oral tablet 250-500mg/8-12 jam.

ii.

Indometasin

Indometasin (confortid) 25mg/8-12 jam bermanfaat untuk mengobati arthritis.

iii.

Diklofenak (Voltaren) : 50-100mg/8-12 jam : 75mg

Dosis dewasa; Oral Suntikan

Suppositoria : 50-100mg/12 jam

iv.

Ketorolak

Ketorolak (toradol) dapat diberikan secara oral, i.m atau i.v. tidak dianjurkan untuk intratekal atau epidural.setelah suntikna i.m atau i.v efek analgesinya dicapai dalam 30 menit,maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan penggunaannya dibatasi untuk 5 hari. Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan. Untuk pesien normal dosis sehari dibatasi maksimal 90mg dan untuk berat 50kg, manula atau gangguan faal ginjal dibatasi maksimal 60mg. Sifat analgetik ketorolak setara dengan opioid, yaitu 30mg ketorolak sama dengan 12mg morfin sama dengan 100mg petidin, sedangkan sifat anti piretik dan anti inflamasinya rendah. ketorolak dapat digunakan secara bersamaan dengan opioid. Cara kerja ketorolak ialah meghambat sintesis prostaglandin perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di sistem saraf pusat. Seperti NSAID lain tidak dianjurkan digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan, wanita sedang menyusui, usia lanjut, anak usia 4 tahun, gangguan perdarahan, dan bedah tonsilektomi.

v.

Ketoprofen

Ketoprofen (profenid) dapat diberikan secara oral kapsul atau tablet 100200mg setiap hari, per rectal 1-2 suppositoria setiap hari, suntikan i.m 100300mg per hari atau i.v per infus dihabiskan dalam 20menit.

vi.

Piroksikam

Piroksikam (Feldane) dapat diberikan secara oral kapsul, tablet, plas, suppositoria, atau ampul 10-20mg.

vii.

Tenoksikam

Tenoksikam (tilcotil) biasanya diberikan secara suntikan i.m, i.v ampul 20mg setiap hari yang dilanjutkan dengan oral. Hasil metabolisme dibuang lewat ginjal dan sebagian lewat empedu.

viii.

Meloksikam

Meloksikam (movicox) adalah inhibitor selektif cock-2 dengan efektifitas sebanding dengan diklofenak (voltaren) atau piroksikam (veldane) dalam mengurangi rasa nyeri, tetapi dengan efek samping minimal. Dosis per hari 1 tablet 7,5mg atau 15mg.

ix.

Acetaminofen

Acetaminofen (paracetamol, panadol) tak punya sifat antiinflamasi dan sifat inhibitor terhadap sintesis prostaglandin sangat lemah, karena itu tak digolongkan sebagain NSAID. Biasanya untuk nyeri ringan dan

dikombinasikan dengan analgetik lain. Dosis oral 500-1000mg per 4-6 jam Dosis maksimal 40000 mg per hari Dosis toksis dapat menyebabkan nekrosis hati, karena ia dirusak oleh enzim microsomal hati. acetaminofen lebih disukai dibanding aspirin, karena efek samping terhadap lambung dan gangguan pembekuan darah minimal. Selected Oral Nonopioid Analgesics.6 Analgesic HalfLife (h) Onset Dose (h) (mg) Dosing Interval (h) Maximum Daily Dosage (mg)

Salicylates Acetylsalicylic acid (aspirin) Diflunisal (Dolobid) 23 812 812 0.5 1.0 12 12 500 1000 500 1000 500 4 812 36006000

1500 20003000

Choline magnesium

12

trisalicylate (Trilisate) p-Aminophenols Acetaminophen (Tylenol, others) 14 0.5

1000

500 1000

12004000

Proprionic acids Ibuprofen (Motrin, others) Naproxen (Naprosyn) 1.82.5 0.5 1215 400 250 500 275 550 46 3200

1 12

12 68

1500

Naproxen sodium (Anaprox) Indoles

13

1375

Indomethacin (Indocin) 4 Ketorolac (Toradol) COX-2 Inhibitors Celecoxib (Celebrex) 11 46

0.5 0.51

2550 812 10 46

150200 40

100 200

12

400

b.

Efek Samping Golongan NSAID5 i. Gangguan sistem saluran cerna

Lambung merasa nyeri, panas, kembung, mual muntah, konstipasi, diare, dispepsia, perdarahan tukak lambung, ulserasi mukosa lambung, dan perforasi. ii. 1. 2. Hipersentitifitas kulit Ringan : gatal, pruritus, erupsi, ultikaria. Berat : sindroma steven Jhonson, sindroma LYILL (jarang) iii. Gangguan fungsi ginjal.

Terjadi penurunan aliran darah ginjal, penurunan laju filtrasi glomerulus, retensi natrium, hiperkalemia, peningkatan ureum, kreatinin, pre renal azotemia, nekrosis papil ginjal, nefritis, sindroma nefrotik. iv. Gangguan fungsi Hepar Peningkatan kaadar SGOT, SGPT, Gamma-globulin, bilirubin, ikterus, hepatoseluler. v. Gangguan sistem darah. Terjadi trombositopenia, leukemia, anemia aplastik. vi. Gangguan kardiovaskuler Akibat retensi air dapat menyebabkan edema, hipertensi dan gagal jantung vii. viii. Gangguan respirasi berupa tonus otot bronkus meningkat, asma Keamanannya bom terbukti pada wanita hamil, wanita menyusui, proses persalinan, anak kecil, dan manula.

BAB IV PENUTUP

Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu kerusakan atau gangguan organ tubuh. Menurut International Association for

Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Manajemen nyeri pascaoperasi haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari perawatan yang lebih cepat. Dalam menangani nyeri pascaoperasi, dapat digunakan obat-obatan seperti opioid, OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk mencapai hasil yang lebih sempurna. Karena kebutuhan masing-masing individu adalah berbeda-beda, maka penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan sebagai metode yang paling efektif dan menguntungkan dalam menangani nyeri pascaoperasi meskipun dengan tidak lupa mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Weiner, kathryn. 2010. Pain Is An Epidemic. American Academy of Pain Management : America. 2. Latief, Sahid A. 2009. Petunjuk Praktis Anstesiologi. Tata Laksana Pasca Anatesia. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 3. Latief, Sahid A. 2009. Petunjuk Praktis Anstesiologi. Anatesia Umum. Tata Laksana Nyeri. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

5. Latief, Sahid A. 2009. Petunjuk Praktis Anstesiologi. Anatesia Pada

Pembedahan Rawat Jalan. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 6. Latief, Sahid A. 2009. Petunjuk Praktis Anstesiologi. Analgetika non opioid. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 7. Morgan, G.Edward. 2006. Clinical Anesthesiology, 4th Edition, Pain Management. McGraw-Hill Companies : America

Anda mungkin juga menyukai