Anda di halaman 1dari 9

DI LANGIT CINTAKU TERGANTUNG

( Oleh : Yuni Dwi Lestari ) Namaku Titania Shani umurku 19 tahun 6 bulan. Aku suka dipanggil Titan. Namaku terilhami dari salah satu nama planet dalam sistem tata surya dan salah satu satelitnya. Titan adalah satelit terbesar yang dimiliki oleh planet Saturnus. Shani adalah nama Saturnus dalam mitologi Navagraha Hindu. Sejak kecil aku bercita-cita untuk menjadi seorang astronot, tapi aku membatalkan niatku karena aku tahu bagaimana nasib astronot di Indonesia, kurang atau mungkin bisa dibilang tidak berkembang. Aku mengidolakan para penghuni galaksi mulai dari planet sampai serpihan terkecil dari asteroid. Tentunya yang paling aku sukai adalah Saturnus dan Bumi. Aku suka sekali menatap langit, mencoba menghitung bintang dan berbicara pada bulan seolah ia mampu mendengarku. Bercerita pada bintang yang bersinar paling terang. Ku pejamkan mataku dan berbisik pada angin memanggil satu nama. Hanya satu nama, dan itu Bumi. Berteriak dalam diam bahwa akulah Saturnus, aku sangat berterimakasih pada Orangtuaku yang telah memberiku nama itu. Aku jatuh cinta pada planet bercincin itu. Cantik dan berkarakter. Aku sering bertanya mengapa tuhan memberi cincin hanya kepada Saturnus? Pertanyaan itu menyeretku, memasuki bagian terliar dalam imajinasiku, memacu otakku untuk memikirkan semua kemungkinan yang dapat menjadi jawaban dari pertanyaanku. Seperti meniup balon yang berlubang, sampai detik ini aku belum juga menemukan jawabannya. Aku tenggelam dalam duniaku sendiri, mencoba mencari jawaban dari semua pertanyaan hati yang risau. Sampai kurasakan rintik hujan menyentuh wajahku. Dengan enggan aku membuka kembali kedua mataku dan bergegas turun ke kamarku, tanpa lupa mengucap selamat malam pada langit. *** Matahari bersinar tepat diwajahku. Astaga aku terlambat, lantas segera bergegas menuju kamar mandi dan segera bersiap-siap pergi ke kampus. Dalam keadaan apapun aku tak pernah lupa untuk membawa satu buku yang terbungkus sampul merah. Identitasku tidak tertulis pada bagian manapun dalam buku itu, di bagian depannya hanya tertulis Dari Saturnus Untuk Bumi. Semuanya siap dan akupun berangkat. Jadwal hari ini hanya sampai pukul 11.00 pagi, aku memutuskan pergi ke perpustakaan untuk mencari referensi tambahan untuk materi karya tulis yang sedang kukerjakan. Delila masih sibuk dengan jadwal kuliahnya, jadi aku terpaksa ke perpustakaan seorang diri. Aku menelusuri rak-rak buku, mencari judul yang mungkin bisa membantuku. Ada seorang laki-laki di sudut koridor rak buku bagian Astronomi. Postur tubuhnya kurus dan tinggi, dia bersandar pada rak yang ada di belakangnya, kepalanya tertunduk. Ada yang aneh. Dia tidak sedang mencari buku, dia hanya melamun menatap ke depan, tapi tidak membaca. Aku tak tahu kenapa aku harus terpaku pada lelaki didepanku. Mungkin dia hanya ingin melamun tanpa diketahui orang lain. Lalu aku bergegas duduk di bangku yang disediakan, karena aku sudah mendapat buku yang aku cari. Aku mengambil buku merahku dan membuka halaman terakhirnya, sedetik kemudian pena dan jemariku sudah menari diatasnya. Aku selalu menyempatkan diri untuk menulis di buku yang bersampul merah ini. Hingga tak terasa buku ini sudah hampir terisi penuh oleh tulisanku.

Bumi Dalam kesendirian, kesepian akan selalu datang. Rindu ini memecah ruang dalam keheningan. Hanya kehadiranmu yang akan mengobati kekosongan ini. Saturnus.

Bumi Seribu halaman tak akan cukup menjelaskan rasa ini. Sejuta pena akan melebur dalam untaian kata jika aku harus menuliskannya. Aku akan menunggu meski tanpa kepastian, selama tuhan berjanji kelak kau akan datang. Saturnus. Bumi Satu pertanyaan menggentayangi hati ini, mengenai Saturnus dan cincin yang planet lain tak punya. Seperti lubang besar yang sering menenggelamkanku dalam ketidaktahuan yang pasti dan tak berujung. Berharap kau akan datang dan mengakhiri semua ketidaktahuan ini. Saturnus

Aku sering menulis di buku merah ini. Buku ini seperti penghubung antara aku dengan Bumi. Aku sendiri juga tidak tahu siapa Bumi. Bumi hanya sosok yang lahir dan hidup dalam imajinasiku. Aku seperti orang bodoh yang menyemplungkan dirinya ke dalam lubang. Bercerita banyak hal dengan satu sosok yang tak nyata dalam untaian kata-kataku sendiri. Bertingkah seperti Bumi adalah sosok nyata yang akan membaca tulisanku. Berharap bahwa kelak Tuhan akan mengirimkan sosok Bumi untukku. Lembar terakhir buku merah ini kututup. Lantas aku membaca buku yang akan kujadikan referensi. Saat aku sedang sibuk membaca, halaman demi halaman ku lahap. Kau tahu rasanya saat kau seperti diperhatikan oleh orang lain? ya aku merasakannya dan aku mengalihkan pandanganku dari tulisan-tulisan yang berbaris dibuku yang sedang kubaca. Dan aku terkejut, lelaki yang tadi terdiam dikoridor, sekarang dia duduk didepanku. Tak membaca apapun, ia hanya diam dan menatapku. Ada perlu apa ? tanyaku perasaran. Tidak ada. Jawabnya singkat, matanya masih tetap mengamatiku. Kenapa memandangiku terus? Aku spontan menanyakan hal itu. Risih juga dipandangi lelaki yang tidak dikenal.

Karena aku suka. Jawabnya tak berdosa. Astaga apa-apaan lelaki ini, dia pikir aku ikan hias di akuarium yang bisa dipandang seenaknya. Tidak sopan. Aku berkata singkat dan pergi dari perpustakaan, meninggalkan lelaki asing itu bersama kursi kosong didepannya. Aku bergegas ke sudut lain kampus yang lebih sepi, di bawah pohon yang cukup besar aku meneruskan bacaan yang tadi sempat terhenti. Setelah agak lama, aku baru menyadari bahwa aku kehilangan buku merahku. Terakhir aku melihatnya di perpustakaan. Apa mungkin aku menjatuhkannya? Aku lantas segera kembali keperpustakaan untuk mengecek. Tapi bukuku tak ada disana dan lelaki itu juga sudah tak ada ditempatnya. Aku yakin lelaki itu mengambil bukuku saat terjatuh tadi. Aku tak tahu harus mencari sosok itu dimana. Aku tak tahu siapa namanya. Jangankan nama, wajahnya saja baru kulihat sekali. Aku mencoba mengingat semua hal yang pernah kulihat dari sosok itu. Postur tubuhnya kurus dan tinggi, kulitnya bersih, hidungnya mancung, matanya lebar, biji matanya cokelat lembut dan tatapannya tajam. Lengannya kurus dan panjang, bahunya kurus tapi tidak rapuh justru terlihat kuat. Rambutnya sehitam jelaga dan lurus, ditata sangat sesuai dengan wajahnya. Aku kaget kenapa aku bisa mengingat dengan jelas sosoknya. Padahal aku menatapnya tak lama. Aku mencoba ke perpustakaan dan bertanya pada teman-teman ku dengan ciri-ciri yang sudah kusebutkan tadi. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Sudah 3 hari aku mencari tapi jarum itu tak juga kutemukan. *** Seperti kehilangan sebagian dari jiwaku. Kesepian ini hanya kusimpan dihati karena aku tak bisa menuliskannya. Pagi ini aku pergi ke kampus seperti biasanya. Waktu seperti berhenti. Jantung dan napas ini seakaan juga ikut berhenti saat aku mendengar seseorang berteriak memanggil nama itu, memanggil nama Bumi. Otot-ototku kaku seperti kehabisan oksigen. Lantas otakku seperti mengintruksikan hidungku untuk segera menarik napas. Aku segera menoleh ke arah suara itu. Jarum itu, jarum yang selama 3 hari ini aku cari di tumpukan jerami. Sosok asing yang coba aku cari tahu dengan semua ketidaktahuanku tentangnya. Kini ia berjalan kearahku. Aku terdiam tanpa suara. Orang itu memanggilnya Bumi. Jantung ini berdegup terlalu kencang sampai aku bisa mendengarnya. Langkah itu dengan tegap dan pasti berjalan ke tempat dimana aku berpijak. Dan ia berhenti tepat di depanku. Ini bukumu. Suara itu seperti impuls yang membuat syaraf-syaraf otakku kembali aktif. Aku ingin bicara, tapi rasanya tak ada udara yang bisa kuraih untuk menggetarkan pita suaraku. Hei, ini bukumu kan ? Dia mengulangnya. Kali ini otakku sudah berfungsi kembali dan udara sudah kuraih. Iya. Tapi hanya satu kata yang bisa keluar. Aku mengumpulkan seluruh energi yang kupunya dan bertanya. Namamu Bumi ? Kau pasti tadi mendengarnya ya? Dia malah balik bertanya.

Ini seperti takdir sengaja mengembalikan bukuku melalui Bumi. Ini rasanya seperti saat kau membaca buku fiksi lalu tokoh dalam buku yang kau baca menjadi nyata. Aku hanya mengangguk. Dia, atau sekarang aku tahu bahwa namanya Bumi menyodorkan buku dengan sampul merah itu ke arahku. Buku yang sangat aku kenal. Lantas tangannya terangkat seperti hendak berjabatan dan mulutnya bicara. Namaku Bumi, Bumi Bagaskara. Astaga Tuhan. Inikah caramu yang kau sebut takdir. Sosok ini seperti terlahir dari buku yang kutulis, dengan Bagaskara sebagai nama pelengkapnya. Aku Titan. Titania Shani. Aku berkata sambil menjabat tangannya. Titan berasal dari satelit terbesar yang dimiliki oleh Shani nama lain Saturnus. Bumi berkata sambil menatap manik-manik mataku. Bagaimana kau bisa tahu ? kata-kata itu seperti tepat tertusuk menembus jantungku. Aku suka astronomi sama seperti kau. Dia berterus terang. Jam ditangannku menunjukan pukul 07.30 yang berarti aku harus segera mengikuti kelas pertamaku pagi ini. Begitulah perjumpaan pertama kami. Aku memeluk buku merahku dan melangkah meninggalkannya tanpa ucapan apapun, bahkan tidak sepatah ucapan terima kasih. *** Aku sudah memaksa otakku untuk berkonsentrasi dengan pelajaran yang sedang berlangsung. Seperti menggiring domba-domba liar untuk masuk ke kandang seorang diri. Jarum yang tadi pagi kutemukan benar-benar memecahkan konsentrasiku. Sampai kelas terakhir yang ku ikuti, domba-domba liar itu tak berhasil aku giring ke kandang. Untuk kedua kalinya dalam satu hari ini aku kehilangan kontrol atas diriku sendiri. Untung tuhan menciptakan otak dengan segala kecanggihannya yang bahkan bisa bekerja diluar kesadarannku. Jika tidak, mungkin aku sudah mati kehabisan napas tadi pagi. Sosok itu, Bumi berdiri menghadap ke arahku. Gerakan tubuhnya seperti sedang menunggu. Sepertinya menungguku. Aku meyuruh kedua kaki ini untuk melangkah kearahnya. Seperti hukum Newton ke tiga, Bumi pun memberi reaksi yang sama dengan berjalan ke arahku. Aku diam, Bumi juga diam. Tapi dia mengimbangi langkahku dengan berjalan disisiku. Tak adakah ucapan terimakasih untukku ? Dia bertanya seperti anak kecil yang menanyakan apakah masih ada permen yang tersisa untuk diminta. Aku tak menjawab. Kau kenapa? apa aku berbuat salah ? tanyanya. Tak ada yang salah. Aku menjawab sekenaku. Aku tak ingin orang ini tahu bahwa hampir dua kali aku kehabisan napas gara-gara dia hari ini. Aku hanya tak mau menenggelamkan perasaanku kepada orang yang belum jelas. Apakah ia akan ikut tenggelam bersamaku atau malah meninggalkanku tenggelam seorang diri bersama perasaanku.

Kau marah karena aku membaca tulisanmu ? Dia bertanya. Langkahnya masih mencoba mengiringi langkahku. Atau kau marah karena aku memandangimu di perpustakaan tiga hari yang lalu ? Apakah sebegitu banyaknya pertanyaan yang harus kau tanyakan padaku? Apa pedulimu jika aku marah ? nada suaraku terdengar tinggi. Aku mencoba menyamarkan degup jantungku agar ia tak tahu bahwa berbicara dengannya membuat kecepatan degup jantungku mengalami percepatan. Apa kau sebegitu marahnya ? terdengar nada bersalah dalam suaranya. Entah kenapa sekarang malah aku yang jadi merasa bersalah. Aku hanya butuh alasan dari semua perbuatanmu, Bumi. Untuk pertama kalinya aku memanggil nama itu. Nama yang selama ini kusebut tanpa sosok, kini ia ada disampingku. Kemudian langkahnya terhenti. Alasan, apa kau butuh alasan untuk jatuh cinta ? Bumi berkata, bukan bertanya. Apa kau butuh alasan untuk tidak mengalihkan pandanganmu dari sesuatu yang sangat kau suka ? Apa kau butuh alasan, saat kau bisa jatuh cinta hanya dengan membaca untaian kata ? Kata-katanya membekukanku. Seperti seseorang tiba-tiba menyiramku dengan sebaskom air penuh es batu. Aku menggigil sampai ke hatiku. Otot-otot jantungku yang sedari tadi berdegup ramai tiba-tiba sepi. Semakin sepi karena tak ada kata yang mampu keluar dari bibirku. Aku jatuh cinta saat pertama kali melihatmu di koridor perpustakaan, aku ingin menyapamu saat kutahu kau sedang memperhatikan aku yang sedang melamun. Tapi aku tak berdaya, aku tak tahu bahwa reaksimu akan begitu saat kau dapati aku sedang memandangimu. Dan aku tak tahu kau akan marah saat aku membaca tulisannmu. Banyak hal yang aku tak tahu tentangmu Titan. Aku mendengarkan ucapannya, setiap katanya. Perasaanku semakin kacau saat membaca tulisanmu. Terlalu kacau sampai aku harus mengumpulkan serpihan-serpihan kesadaranku. Kekacauan ini semakin parah saat kau menuliskan namaku di dalamnya. Seakaan aku bisa merasakan semua yang kau rasakan. Kesepian, kesedihan, kesetiaan dan penantian yang hanya kau bagi sendiri. Kubilang tadi jantungku berhenti itu hanya ungkapan, aku tahu jantungku tidak berhenti, hanya saja aku seperti tidak mendengar degupannya. Suara Bumi memenuhi pikiranku, dan hanya suaranyalah yang bisa kudengar. Tatapan matanya menelisik, seperti menelanjangi bagian dari hidupku yang selama ini tertutup rapat. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku tak bisa memikirkan kata-kata lain yang lebih pantas ku ucapkan. Banyak hal yang tak harus kau katakan, terkadang membisu dalam diam jauh lebih baik. Aku tak mengerti maksud dari ucapannya. Mungkin begini rasanya menjadi orang bodoh. Aku terdiam. Bumi juga terdiam. Aku menatap matanya dalam kebisuan. Aku tak mau mengalihkan pandanganku, berkedip pun rasanya enggan. Aku takut saat aku berkedip terdengar suara Pushhh.Dan sosok didepanku akan hilang, seperti debu.

Titan Bumi berkata lirih, kali ini aku sadar bahwa sosok di depanku nyata, ia tak akan hilang meski aku mengedipkan mataku sejuta kali. Maukah kau menjadi Saturnus bagi ku ? Suaranya menggema dalam otakku. Menjalar dari satu neuron ke neuron lain. Hingga tiba-tiba otak ini mengirim perintah langsung ke hatiku. Ini kah proses jatuh cinta ? pikirku. Aku akan menjadi Bumi bagimu. Bumi yang selama ini kau tunggu. Bumi yang takdir kirim untukmu. Bumi yang mencintaimu Saturnus. Kata-katanya seperti inhibitor yang membuat neuron-neuron ku melambat. Butuh waktu cukup lama untukku mencerna setiap ucapannya. Tangannya terasa hangat di tanganku. Genggamannya erat seperti impuls yang membuat syaraf-syaraf di otakku kembali bekerja dengan normal. Tapi aku masih membisu. Seperti membiarkan waktu menari-nari di atas kebisuan ini. Aku mencoba menyusun kembali perbendaharaan kata yang aku punya dan perlahan mulai menggerakan bibirku agar udara menyelinap ke pita suaraku. Bumi Aku memanggilnya sama seperti bagaimana aku biasa menulis namanya. Kalimatku sempat terputus. Dengan sisa tenaga yang ada aku coba berkata. Aku belum pernah jatuh cinta sebelumya. Dia mendengarkanku dengan seksama. Gengamannya mencengkram erat jemariku, tatapannya seperti memaku kedua mataku. Tapi, kau berhasil membuatku mencintaimu sepersekian detik yang lalu. Tatapannya semakin menghangat, genggamanannya semakin erat. Senyum merekah di sudut bibirnya, kemudian ia berkata. Bumi mencintaimu, Saturnus. Aku tak pernah berpikir bagaimana cara Tuhan mengabulkan mimpiku. Bagaimana Tuhan mampu mengubah hatiku hanya dalam hitungan detik. Bagaimana Tuhan mampu membuatnya mencintaiku hanya karena untaian kata hati yang kutulis. Kini aku tahu, Tuhan mempunyai banyak rahasia dalam takdirnya. Hari itu tepat di tanggal 30 bulan Juni tuhan mengirim Bumi untukku. Mungkin aku terdengar bodoh, begitu saja menerima seseorang yang baru di kenal. Tapi jika kau sudah menggunakan semua perasannmu untuk satu orang, kau tak akan peduli perasaan orang lain, dan aku merasakannya. *** Hubungan kami sudah berjalan 3 tahun 7 bulan. Aku ingat karena mawar yang Bumi kirim untukku di tanggal 30 bulan lalu berjumlah 55 tangkai. Aku tahu banyak hal tentangnya dan kebiasaannya. Sampai suatu hari tuhan mulai bermain dengan takdirnya kembali. Malam itu Bumi menemaniku menatap langit malam seperti biasanya. Aku merasa ada yang aneh dari dirinya. Dia suka mencuri pandang kearahku dengan wajah sedih. Malam itu langit cerah, beberapa bintang berkumpul seperti sedang merayakan sesuatu. Kau kenapa Bumi ? sepertinya ada yang sedang kau pikirkan ? aku bertanya langsung karena ia benar-benar aneh malam ini.

Kau dulu pernah bertanya, mengapa tuhan memberi cincin hanya kepada Saturnus. Apakah kau sudah tau jawabannya ? Bumi berkata sambil menatap langit. Aku menggeleng, tanpa melihat kearahku ia melanjutkan perkataannya. Dahulu saat tuhan pertama kali menciptakan alam semesta, Bumi dan Saturnus diciptakan saling berdekatan. Dan kemudian mereka saling mencintai. Tapi mereka tidak ditakdirkan untuk bersatu karena Bumi harus menerima tugas dari tuhan. Yaitu menjadi satusatunya planet di galaksi Bima Sakti yang bisa di jadikan tempat bernaung manusia. Oleh sebab itu tuhan memerintahkan Bumi berpindah dari tempatnya dan terpisah dari Saturnus dengan jarak jutaan kilometer. Jarak yang terlampau jauh, Bumi bahkan tak dapat memandang Saturnus dari posisi barunya, begitu pun Saturnus. Meski berat dan menyesakkan tetapi mereka tetap patuh terhadap perintah tuhan. Hingga akhirnya karena melihat ketegaran Bumi dan kesetiaan Saturnus, tuhan bermurah hati dan mengelilingi Saturnus dengan seberkas cahaya yang terang benderang. Sehingga Bumi tetap bisa melihat cahaya Saturnus dari tempatnya. Kemudian tuhan berjanji pada Saturnus, kelak saat cahaya ini padam itulah tanda akhir dari penantianmu. Bahwa Bumi telah menyelesaikan tugasnya dan dapat kembali ke sisi Saturnus. Aku hanya diam, aku tahu akan ke arah mana pembicaraan ini berlanjut. Bumi masih menengadah menatap langit, sampai aku sadari bahwa air mengalir dari sudut matanya. Bumipun menangis. Kau tau aku harus pergi ke New York. Orang tua ku ingin aku meneruskan studi S2 ku disana. Bumi akhirnya menatapku, air matanya terlihat jelas sekarang. Aku tahu. Ibumu sudah memberitahuku. Aku tak kuasa membendung sesak yang selama ini menghantuiku. Ini seperti bom waktu yang akhirnya harus meledak, membuatku menjadi kepingan-kepingan kecil. Kau bisa ikut bersamaku kesana ? Bumi mencoba membujukku. Tidak. Kau punya hidup yang harus kau jalani, dan aku juga punya hidup yang harus kulanjutkan. Jawabku. Pertahanan diriku jebol sudah, air mata yang sedari tadi ku bendung akhirnya mengalir deras, membanjiri kepingan hatiku yang hancur berantakan. Hiduplah dengan baik disana. Aku mencoba tersenyum rasanya menyakitkan, seperti membubuhkan garam pada kulit yang luka, meski sejujurnya hati ini remuk oleh jarak yang akan terbentang jelas. Aku akan kembali, untukmu. Bumi berkata sambil mengusap air mataku. Kau ingat, aku adalah Saturnus. Saturnus yang akan menunggu Bumi. Sampai waktu melumatkan semua jarak dan takdir kembali menyatukan kita. Aku tak tahu sejak kapan aku jadi puitis begini. Mungkin hatiku remuk, tapi otakku tidak. Aku ingin meyakinkannya bahwa aku sanggup menunggunya. Membuat malam ini layak kami kenang, meski terselimuti luka dan air mata milikku serta miliknya. Bumi mencium keningku dan berkata Demi tuhan dan langit malam, aku Bumi akan kembali untukmu, Saturnus. Kata-kata itu sedikit menenangkanku, meski aku tahu itu tak akan

membuat jarak diantara kami lenyap. Bahwa pada akhirnya salah satu dari kami harus pergi, dan seorang lagi menunggunya kembali. Di akhir kalimatnya Bumi menyodorkan sebuah surat. Aku hanya ingin kau tahu, seberapa pentingnya kau untukku. Kesedihan terdengar mengiringi setiap kata yang diucapkannya. Malam itu Bumi pergi. Aku masih sendirian di atap, menangis, berteriak dan kadang memaki entah kepada siapa. Aku tak ingin menyalahkan siapapun, bahkan tidak dengan menyalahkan jarak dan takdir yang sudah berkoalisi untuk memisahkan kami. Tapi luka ini terlampau dalam jika harus kuobati sendiri, atau membiarkan luka ini tertiup angin dan terhapus oleh waktu. Aku tahu malam ini ada dua hati yang terluka. Tapi bukan luka yang aku takuti, kesendirian dan jarak yang mungkin menggerogoti kesetiaan kami. Perlahan aku membuka pesan yang Bumi tulis dan kubaca.

Tuhan, Aku terbiasa menghabiskan waktuku bersamanya. Meneleponnya sampai larut malam, padahal seharian sudah aku lalui bersamanya. Aku suka menatapnya, mendengar tawanya, melihat gerak bibirnya. Menggenggam tangannya. Menyatukan ruas-ruas jari tangan kami menjadi satu. Membisikan namanya di telinganya. Mengusap kepalanya. Membelai rambutnya, sampai aku hafal bau samponya. Memainkan bulu matanya. Menyatukan jarak yang kelak akan memisahkan kami dengan menempelkan hidung ku ke hidungnya. Menghabiskan waktu seharian hanya dengan menggambar bersamanya seperti anak kecil, bahkan mengadu kedua jempol kaki kami. Membantunya memotong kuku, dan menyisir rambut panjangnya. Memberinya hadiah di bukan hari yang spesial. Mengiriminya bunga mawar setiap bulan di hari bersatunya kami. Bertambah satu di setiap bulannya, mencoba membuatnya mengingat waktu yang sudah kuhabiskan bersamanya. Menjemput dan mengantarnya kemanapun ia pergi, agar aku bisa memastikan kondisinya secara langsung. Dengan bangga menggandeng tangannya di muka umum, agar semua orang tahu bahwa ia gadisku. Aku tahu semua kebiasaannya, mulai dari harus minum air putih sesudah makan es krim, bahwa ia tak suka makan sayuran dan daging kambing, tak suka makan cokelat terlalu banyak, menjadi alarmnya di pagi hari karena ia punya kebiasaan terlambat, menunggunya di depan gerbang, menghabiskan masakannya walau terkadang rasanya terlalu asin, tak pernah membiarkannya menyebrang jalan seorang diri karena ia tak pandai menyebrang, selalu berjalan di sisi jalan agar ia aman, dan memeluknya karena ia suka.

Menyediakan punggungku untuk tempatnya menangis, mendengarkan dan menghafal semua lagu favoritnya agar kami bisa bernyanyi bersama. Tak pernah marah padanya, karena aku tahu ia benci itu. Aku tahu semua yang ia suka, buku favoritnya, film yang menarik perhatiannya, bahkan aku tahu tipe baju yang seumur hidup tak akan pernah mau ia pakai. Mencoba menjadi sosok yang dibutuhkannya. Menjadi kakak lelaki yang didambakannya, ayah yang kadang cerewet menyuruhnya makan, dan sahabat yang selalu ada untuknya. Dan yang terakhir menemaninya menatap langit malam sampai ia tertidur dibahuku, dan menggendongnya ke kamarnya, menyelimutinya, mengusap rambutnya mengecup keningnya dan mengucapkan selamat malam, meski ia tak mendengar. Tuhan aku titipkan dia padamu, saat mata ini tak mampu lagi melihatnya, saat lengan ini tak mampu lagi memeluknya, saat raga ini tak lagi disisinya untuk menjaganya karena jarak yang terbentang. Tuhan beri dia kekauatan untuk menungguku kembali.

Bumi.
Air mata ini kembali menetes. Rasanya seperti seseorang memutar rekaman tentang aku dan Bumi selama kami bersama. Kenangan tentang kami sudah terlalu banyak, aku lebih baik mati jika harus menghapus semua kenangan yang kupunya. Aku juga tak akan rela membiarkan waktu menghapusnya. Biar saja kenangan ini tersimpan manis di tempatnya. Menjadi penghibur dikala rindu terasa menyayat. Penghilang lelah bagi hati yang sesak menangisi jarak. Biarlah air mata ini yang menjadi saksi atas setiap tetesan yang ku jatuhkan untuknya. Biarlah langit yang akan menyampaikan rindu ini untuknya. Dengan puing-puing hati yang tersisa aku berbisik pada angin, seolah angin akan meneruskan suaraku ke telinga Bumi Di langit cintaku tergantung, aku akan menunggunya meski aku belum melihat dengan jelas batasnya.

Anda mungkin juga menyukai