Anda di halaman 1dari 15

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dewasa ini menghadapi pasien yang dalam kondisi antara hidup dan mati kadang menimbulkan dilema. Meminta petimbangan keluarga pasien, seringkali tidak menyelesaikan masalah justru menimbulkan masalah baru. Pasien-pasien sakit berat yang mengandalkan bantuan ventilator dan alat-alat penunjang hidup lainnya, seringkali membingungkan dokter yang merawatnya. Dari sisi medis, pasien tidak ada harapan hidup karena hampir semua organ vital tubuhnya sudah rusak. Namun di sisi lain, mencabut semua alat bantu hidup dianggap sebagai tindakan pembunuhan yang tentunya bisa berbuntut peluang penuntutan oleh keluarga pasien. Di luar itu, biaya perawatan !" yang tidak murah semakin membengkak dan bisa jadi keluarga pasien pun tak sanggup menanggungnya. #ituasi tersebut seringkali dialami oleh dokter yang bertugas di !". $nd-o% li%e decisions, atau keputusan untuk mengakhiri hidup pasien-pasien yang tidak ada harapan hidup, dilihat dari pertimbangan etis dan medis. Pasien kritis yang memiliki harapan hidup wajib masuk pasien yang masuk !". Namun hanya ada empat kemungkinan bagi !"& sembuh 'getting better(, meninggal, mengalami mati

batang otak 'brain stem death(, atau dalam kondisi tidak ada harapan hidup dan sepenuhnya bergantung dengan bantuan ventilator. Pasien jenis terakhir inilah yang terkadang menjadi dilema bagi dokter. Dari sisi penilaian medis, pemberian ventilator tidak akan berman%aat, hanya memperpanjang proses kematian. Masalahnya di ndonesiabelum banyak dokter

yang berani melakukan end-o%-li%e decision. Padahal, sudah ada %atwa D yang membolehkan hal itu. )da beberapa pilihan yang bisa dilakukan dokter terhadap pasien tanpa harapan hidup, yakni with-holding atau with-drawing li%e supports, yakni penundaan atau penghentian alat bantuan hidup. *edua tindakan ini bisa dilakukan pada pasien yang dalam kondisi vegetati% 'sindroma aplika atau mati sosial(. *ondisi vegetati% bisa dijelaskan secara medis bila terdapat kerusakan otak berat yang ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsive, tetapi pasien memiliki $$+ akti% dan beberapa re%leks

yang utuh.Pada pasien bisa saja terdapat daur antara sadar dan tidur. ni harus dibedakan dari mati serebral yang $$+-nya tenang atau dari mati batang otak 'M,-(, di mana tidak ada re%leks sara% otak dan na%as spontan. Meski sebagian masyarakat masih sulit menerima, namun pasien yang sudah mati batang otak, dari sisi medis dinyatakan sudah meninggal. Normalnya, ventilator secara otomatis akan dilepaskan dari pasien dan jantung akan berhenti tidak lama kemudian. Namun secara legal maupun moral, sebenarnya tidak ada perbedaan di antara kedua tindakan tersebut..indakan ini berbeda dengan eutanasia yang diartikan sebagai tindakan akti% dan langsung untuk mengakhiri kehidupan. #ebagian besar negara termasuk ndonesia melarang tindakan eutanasia. 1.3 Rumusan Masalah /. )pakah euthanasia itu0 1. ,agaimana hubungan mati batang otak dengan euthanasia0 2. )pa dasar hukum yang melandasi diperbolehkannya tindakan euthanasia di ndonesia0 3. Mengapa euthanasia menyebabkan dilemma bagi para dokter klinisi0 4. Mengapa euthanasia menjadi pro dan kontra di ndonesia0 1.4 Tujuan )dapun tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain & /. "ntuk mengetahui pengertian euthanasia dan keterkaitannya dengan kejadian mati batang otak 1. "ntuk mengetahui landasan hukum yang memperkuat tindakan euthanasia 2. "ntuk memahami berbagai dilema yang terjadi pada kasus pasien mati batang otak euthanasia terhadap para klinisi di ndonesia.

BAB II TIN AUAN PU!TA"A #.1 Pengert$an stilah 5eutanasia6 berasal dari bahasa 7unani& 5eu6 'baik( dan 5thanatos6 'kematian(, sehingga dari segi asalnya berarti 5kematian yang baik6 atau 5mati dengan baik6. stilah lain yang hampir semakna dengan itu dalam bahasa arab adalah qatl ar-rahmah 'pembunuhan dengan kasih sayang( atau taisir al-maut 'memudahkan kematian(. $utanasia sendiri sering diartikan sebagai tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positi% maupun negati%. *emudian jika jauh merujuk ke belakang. Menurut Philo '48-18 #M( eutanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan #uetonis penulis 9omawi dalam bukunya yang berjudul :ita !easarum mengatakan bahwa euthanasia berarti 5mati cepat tanpa derita6 'dikutip dari 4(. #ejak abad /; terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. *ode $tik *edokteran ndonesia menggunakan eutanasia dalam tiga arti, yaitu& /. ,erpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama )llah di bibir. 1. <aktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan pemberikan obat penenang. 2. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Dari pengertian pengertian di atas maka eutanasia mengandung unsur-unsur sebagai berikut& /. ,erbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. 1. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien. 2. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan. 3. )tas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya. 4. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya. =adi sebenarnya secara hara%iah, eutanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.

#.# en$s%jen$s Eutanas$a Mengikuti =. <underli yang membedakan tiga arti etunasia& /. $utanasia .idak semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan seorang pasien dipergunakan. 1. $utanasia tidak langsung "saha untuk memperingan kematian dengan e%ek sampingan bahwa pasien nggal dengan lebih cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat narkotika, hipnotika, dan analgetika yang barangkali de facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja. 2. $utanasia akti% 'mercy killing(& Proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan eutanasia akti% masih perlu dibedakan apakah pasien menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan di mana keinginannya dapat di ketahui. #.3 Be&era'a As'ek Dalam Eutanas$a 1. As'ek Hukum "ndang-undang yang tertulis dalam *">P Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia akti% dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. #ehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. .idak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam *">P Pidana. #. As'ek Hak Asas$ usia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. .api tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya

justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. >al ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. #ebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat. 3. As'ek Ilmu Pengetahuan Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. )pabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya0 #egala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana. 4. As'ek Agama *elahiran dan kematian merupakan hak dari .uhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak .uhan yaitu memperpendek umur. -rang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan .uhan. .api putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. )spek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan .uhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. *alau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. =adi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak .uhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. >al hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum

hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya. #.4 Praktek Eutanas$a ($ Negara )ang Melegalkann*a Di beberapa tempat sudah pernah diadakan jajak pendapat bahkan re%erendum untuk mengetahui pendapat masyarakat dalam hal eutanasia dan bunuh diri berbantuan. .etapi kalaupun mayoritas masyarakat menyetujui, dengan itu masalahnya belum selesai, karena menurut hukum di hampir semua negara eutanasia tergolong tindakan kriminal menurut ukuran 5*itab >ukum Pidana6. 7ang menarik adalah, selama beberapa tahun terakhir ini, di bidang hukum terjadi terobosan. ,eberapa negara sudah memodi%ikasi hukumnya agar eutanasia atau bunuh diri berbantuan diperbolehkan dan lebih banyak negara lagi sedang mengadakan percobaan ke arah itu. ,elanda adalah negara pertama yang memungkinkan eutanasia. .etapi perlu ditekankan, dalam 5*itab >ukum Pidana6 ,elanda secara %ormal eutanasia masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. >anya saja, kalau beberapa syarat dipenuhi, dokter yang melakukan tidak akan dituntut di pengadilan. .indakannya akan dianggap sebagai force majeure atau 5keadaan terpaksa6, di mana hukum tidak bisa dipenuhi. #ejak akhir tahun /;;2, ,elanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. nstansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya Negara bagian )ustralia, Northern .erritory, menjadi tempat pertama di dunia dengan "" yang mengi?inkan eutanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun /;;4 Northern .erritory menerima "" yang disebut Right of the terminally ill bill '"" tentang hak pasien terminal(. "ndang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret /;;@ ditiadakan oleh keputusan #enat )ustralia, sehingga harus ditarik kembali. #aat ini satu-satunya tempat di mana hukum secara eksplisit mengi?inkan pasien terminal mengakhiri hidupnya adalah negara bagian )#, -regon. .ahun /;;@ -regon melegalisasikan kemungkinan ini dengan memberlakukan The death with dignity act '"" tentang kematian yang pantas(.

,elum jelas entah undang-undang -regon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam #enat )# pun ada usaha untuk meniadakan "" negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan "" Northern .erritory di )ustralia. ,ulan Aebruari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan "" -regon selama tahun /;;; '.he New $ngland =ournal o% Medicine, 13-1-1888(. #ebuah %akta eutanasia di )# yang telah dilakukan oleh dr. =ack *evorkian. *evorkian yang dijuluki Doctor Death itu 5menolong6 pasien yang masih diragukan statusnya, sehingga menjadi tanda tanya apakah yang dilakukannya itu benar-benar 5menolong6 pasien atau malahan membunuhnya. Dari B; pasien yang kematiannya 5dibantu6 oleh dr. *evorkian antara /;;8C/;;D, hanya 14E yang didiagnosis sebagai terminally-ill berdasarkan hasil otopsi. #ebanyak @1E dari pasien itu diduga kuat semakin menurun kondisi kesehatannya, justru karena dorongan keinginannya untuk mati. >al yang juga patut diperhatikan ialah @/E dari pasien yang 5dibantu6 oleh dr. *evorkian ternyata adalah wanita, suatu %akta yang bertentangan dengan data epidemiologis di berbagai kawasan dunia yang justru menunjukkan bahwa kaum wanita yang ingin mati karena penyakitnya jauh lebih sedikit dibanding kaum laki-laki. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Doctor Death itu sekarang menjadi perdebatan dari segi etika, sosial, dan hukum kedokteran, pantaskah dokter menentukan 5status6 dan kemudian langsung 5menolong6 pasien yang berkeinginan mati tersebut. Perlukah suatu badan atau dewan yang berwenang menentukan atau memutuskan bahwa seseorang telah sampai pada tahap terminallyill dan untuk itu layak 5ditolong6 dengan euthanasia0 Di ndonesia seruan akan legalisasi eutanasia belum terdengar lantang. Mungkin, Menteri Negara "rusan >)M kita belum pernah mendapat permintaan untuk menaruh perhatian kepada 5hak untuk mati6. .etapi tidak mungkin diragukan, perawatan pasien terminal juga merupakan suatu masalah medis yang mahapenting di .anah )ir kita.

BAB III TIN AUAN "A!U!

#.1 "asus 'ertama Pasien .n. M, umur B8 tahun dengan diagnose dokter suspek syok kardiogenik, dirawat di icu 9#"D 5P,6 baru beberapa jam, kesadaran koma, terpasang ventilator, obat-obatan sudah maksimal untuk mempertahankan %ungsi jantung dan organ vital lainnya. "rine tidak keluar sejak pasien masuk icu. *eluarga menginginkan dicabut semua alat bantu yang ada pada pasien. Penjelasan sudah diberikan kepada keluarga, dokter meminta kesempatan kepada keluarga untuk mencoba menyelamatkan nyawa pasien, tetapi keluarga tetap pada pendiriannya. *eluarga menandatangani surat penolakan untuk diteruskannya perawatan di icu dan surat penolakan dilakukannya tindakan. )khirnya ventilator dimatikan oleh anak pasien dan semua alat dicabut dari pasien dengan disaksikan oleh keluarga, dokter dan perawat icu dan pasien meninggal dunia. #.# "asus "e(ua *asus ini benar-benar terjadi disuatu kota di ndonesia. #eorang pasien '@1 tahun( sudah tidak bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian lagi, jatuh sakit. >idupnya tergantung dari para saudara yang tidak bisa menolong banyak. #uatu hari dia jatuh pingsan dan dibawa ke suatu rumah sakit dan dimasukkan ke >igh !are "nit. Pasien diberikan oksigen. Pemeriksaan laboratorium menujukkan bahwa kedua ginjalnya sudah tidak ber%ungsi, sehingga harus dipasang kateter. #etelah dilakukan observasi beberapa jam, sang dokter menganjurkan memasukkan ke !" karena perlu diberi bantuan perna%asan melalui ventilator. Dokter jaga meminta persetujuan anggota keluarganya. #audaranya memutuskan untuk menolak menandatangani surat penolakan. Mengapa 0 karena atas pertimbangan man%aat dan %inansial walaupun dirawat di !", belum tentu pasien tersebut akan bisa disembuhkan dan bisa normal kembali seperti sedia kala. )pakah keputusan untuk menolak ini salah 0 Penolakan ini tentu sudah diperhitungkan dan dipikirkan matang-matang. #uatu hari dirawat diruang >!" dengan obat-obat saja sudah menelan biaya beberapa juta. ,agaimana jika harus diteruskan di !" 0 pembiayannya akan tidak bisa terbayar dan bagaimna pemecahannya kelak 0 )pakah saudara itu dapat dipersalahkan karena tega tidak

mau menolong saudaranya dengan memasukkan ke !" 0 masalah yang dipertimbangkan & apakah bisa terbayar biaya-biaya !" dan obat-obatannya yang mahal itu yang setiap hari harus dikeluarkan0 ,rapa lama pasien itu harus dirawat 0 )pakah masih bisa dikembalikan kesehatanya seperti semula, sedangkan umurnya sudah @1 tahun 0 seandainya bisa tertolong bagaimana selanjutnnya 0 bukan kah %ungsi ginjalnya sudah tidak bekerja 0 ini berarti ia harus dilakukan dialisis seminggu dua kali yang perkalinya kurang lebih berjumlah beberapa ratus ribu rupiah. ,agaimana bissa membiayainya terus-menerus, sedangkan saudaranya juga orang bekerja dan mana mungkin membiayai cuci darah disamping mengongkosi rumah tangganya sendiri 0)pa salah jika ia menolak saudaranya dirawat di !" 0 dan jika ia harus berbaring terus di tempat tidur, buang air harus ditolong, siapa yang bias mengurusnya dan bagaimana membiayainya 0 9umusan dilema etik dilema keluarga yang tidak setuju dengan pemasangan ventilator dilema pasien yang ingin dimasukkan ke !" dilema keluarga tentang biaya !" dan obat-obatan yang mahal dilema dokter tentang pemasangan ventilator dilema keluarga tentang masa depan pasien. #uatu hari dia jatuh pingsan dan dibawa ke suatu rumah sakit dan dimasukkan ke >igh !are "nit. Pasien diberikan oksigen. kedua ginjalnya sudah tidak ber%ungsi, sehingga harus dipasang kateter. #ang dokter menganjurkan memasukkan ke !" karena perlu diberi bantuan perna%asan melalui ventilator. Dokter jaga meminta persetujuan anggota keluarganya. )N)F # #& Pada kasus ini seorang dokter ingin melakukan yang terbaik buat pasiennya dan tidak ingin lebih memperburuk keadaan pasien dimana memasukkan pasien ke >!" dan memberikan bantuan oksigen serta memberikan in%ormasi tentang apa yang yang sebaiknya dilakukan pasien. Menurut =->N#-N # $+F$9 saudaranya memutuskan untuk menolak menandatangani surat penolakan. )pakah masih bisa dikembalikan kesehatanya seperti semula, sedangkan umurnya sudah @1 tahun 0 seandainya bisa tertolong bagaimana selanjutnnya 0 bukan kah %ungsi ginjalnya sudah tidak bekerja 0 ini berarti ia harus dilakukan dialisis seminggu dua kali yang perkalinya kurang lebih berjumlah beberapa ratus ribu rupiah.

BAB I+ PEMBAHA!AN Pasien-pasien sakit berat yang mengandalkan bantuan ventilator dan alat-alat penunjang hidup lainnya, seringkali membingungkan dokter yang merawatnya. Dari sisi medis, pasien tidak ada harapan hidup karena hampir semua organ vital tubuhnya sudah rusak. Namun di sisi lain, mencabut semua alat bantu hidup dianggap sebagai tindakan 5pembunuhan6 yang tentunya bisa berbuntut peluang penuntutan oleh keluarga pasien. Di luar itu, biaya perawatan !" yang tidak murah semakin membengkak dan bisa jadi keluarga pasien pun tak sanggup menanggungnya. #ituasi tersebut seringkali dialami oleh dokter dan perawat yang bertugas di !". End-of life decisions, atau keputusan untuk mengakhiri hidup pasien-pasien yang tidak ada harapan hidup,dilihat dari pertimbanganetis dan medis, menjadi pembuka acara #imposium Nasional ketiga yang diselenggarakan Perhimpunan *edokteran $mergensi 'PD$ (. )cara berlangsung 1B-1@ )gutsus 188B lalu di >otel Milenium, =akarta. Dijelaskan oleh Dr. #un #unatrio #p)n-* !, semua pasien kritis yang memiliki harapan hidup wajib masuk !". Namun hanya ada empat kemungkinan bagi pasien yang masuk !"& sembuh 'getting better), meninggal, mengalami mati batang otak 'brain stem death), atau dalam kondisi tidak ada harapan hidup dan sepenuhnya bergantung dengan bantuan ventilator. 5Pasien jenis terakhir inilah yang terkadang menjadi dilema bagi dokter. Dari sisi penilaian medis, pemberian ventilator tidak akan berman%aat, hanya memperpanjang proses kematian. )pa yang akan )nda lakukan sebagai dokter06 #unatrio bertanya pada peserta simposium. Masalahnya di ndonesia, tambah dokter dari Departemen )nastesiologi A*" G9#!M ini, belum banyak dokter yang berani melakukan end-of-life decision. Padahal, sudah ada %atwa D yang membolehkan hal itu. )da beberapa pilihan yang bisa dilakukan dokter terhadap pasien tanpa harapan hidup, yakni with-holding atau with-drawing life supports, yakni penundaan atau penghentian alat bantuan hidup. ndonesia

*edua tindakan ini bisa dilakukan pada pasien yang dalam kondisi vegetati% 'sindroma aplika atau mati sosial(. *ondisi vegetati% bisa dijelaskan secara medis bila terdapat kerusakan otak berat yang ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsive, tetapi pasien memiliki $$+ akti% dan beberapa re%leks yang utuh. Pada pasien bisa saja terdapat daur antara sadar dan tidur. 5 ni harus dibedakan dari mati serebral yang $$+-nya tenang atau dari mati batang otak 'M,-(, di mana tidak ada re%leks sara% otak dan napas spontan,6 ujar #unatrio. Meski sebagian masyarakat masih sulit menerima, namun pasien yang sudah mati batang otak, dari sisi medis dinyatakan sudah meninggal. Normalnya, ventilator secara otomatis akan dilepaskan dari pasien dan jantung akan berhenti tidak lama kemudian. ith-holding diartikan sebagai tindakan untuk tidak memberikan terapi baru walau ada indikasi penyakit baru,namun tindakan yang sudah terlanjur diberikan tidak dihentikan. #edangkan with-drawing adalah menghentikan semua terapi yang sudah diberikan kepada pasien sejak awal namun terbukti tidak berman%aat. 5=adi with-drawing lebih bersi%at akti% dibandingkan with-holding yang cenderung pasi% dalam mengakhiri hidup pasien. drawing juga lebih cepat menghasilkan kematian secara cepat dan pasti.6 Namun secara legal maupun moral, sebenarnya tidak ada perbedaan di antara kedua tindakan tersebut. .indakan ini berbeda dengan eutanasia yang diartikan sebagai tindakan akti% dan langsung untuk mengakhiri kehidupan. #ebagian besar negara termasuk ndonesia melarang tindakan eutanasia. 5 ith-holding maupun with-drawing dapat diterima dan dibenarkan bilamana penanganan medis hanya memperpanjang proses kematian,6 jelas #unatrio lagi. 7ang tergolong life support yang bisa dihentikan adalah perawatan !", !P9, alat pengontrol irama jantung, intubasi trakeal, ventilator, obat-obat vasoakti%, total nutrisi parenteral, organ buatan, trans%usi darah, serta monitoring secara intensi%. Di ndonesia, untuk pemberian antibiotik, nutrisi, dan cairan dasar bahkan termasuk life support yang dihentikan. #unatrio sendiri lebih menganjurkan tindakan with-drawing daripada with-holding! )lasannya, jika tindakan with-drawing tidak dilakukan, maka ruang !" akan dipenuhi oleh ith-

pasien yang sebenarnya tidak ada harapan hidup. Dan jika hal ini dibiarkan justru akan melanggar empat prinsip-prinsip etik. *eempat pelanggaran etik uang dimaksud adalah dari sisi man%aat buat pasien. #elain itu melanggar kewajiban untuk tidak menyiksa pasien dan melanggar hak pasien. 5#iapapun tidak ingin hidup seperti sayuran,6 jelas #unatrio. Dan terakhir dari sisi keadilan, maka akan melanggar hak pasien lain. )rtinya, pasien yang lebih memiliki harapan hidup seharusnya lebih diprioritaskan. Dari segi %inansial juga seharusnya biaya untuk perawatan yang sia-sia bisa dialokasikan ke hal lain yang lebih berguna. #ayangnya masih banyak dokter yang tidak berani melakukan tindakan with-drawing maupun with-holding! Mungkin karena memberi kesan sengaja membunuh. 5Padahal yang dituju bukan mengakhiri nyawa pasien namun menghentikan prosedur sulit yang sia-sia,6 jelas #unatrio yang merupakan pelopor tindakan with-drawing! a mengaku sudah melakukan tindakan ini sejak /;DB. Di ndonesia sendiri sudah ada aturan untuk melakukan tindakan with-holding dan with-drawing! )ntara lain %atwa D tahun /;DD yang disempurnakan tahun /;;8 tentang penentuan mati dan eutanasia pasi%. Dalam waktu dekat bahkan akan keluar #* Menteri *esehatan tentang mati dan with-holding"with-drawing! *eputusan ini merupakan hasil diskusi dengan D#) , P*+D , Perdici, dan -rganisasi Pro%esi Medis *linis. #elain itu ada #* Direktur 9#!M tahun 188B tentang penentuan mati dan with-holding"with-drawing life support! Menurut ketentuan baik %atwa D maupun #* Direktur 9#!M, with-drawing"withholding adalah keputusan medis dan etis oleh sebuah tim yang terdiri dari tiga orang dokter yang kompeten. #ebelum keputusan penghentianGpenundaan bantuan hidup dilaksanakan, tim dokter wajib menjelaskan kepada keluarga pasien tentang keadaan pasien dan keputusan tim dokter. Dalam hal tidak dijumpai adanya keluarga pasien, maka harus diperoleh persetujuan dari pimpinan 9umah #akit atau *omite Medis 9umah #akit. Dipaparkan oleh Pro%. Dr. #jamsuhidayat #p,, *,D, persoalan End-of-life decisions sempat diteliti dalam studi di enam negara di $ropa, yang dimuat dalam The #ancet, tahun 1882 lalu. Menurut pelaku studi, perkembangan ilmu kedokteran yang sangat pesat

menghasilkan kemungkinan perbaikan yang berarti pada pasien sakit serius dan bisa memperpanjang usia hidup. Namun belakangan ditemukan, bahwa memperpanjang hidup pasien tidak selalu menjadi tujuan pengobatan yang diharapkan. #tudi ini menyimpulkan, kebanyakan keputusan medis dalam hal mengakhiri hidup pasien, paling sering dilakukan pada pasien yang memang tidak ada harapan hidup 'sekaratGdying( di semua negara peserta studi. Dalam membuat keputusan, pasien dan keluarganya kebanyakan dilibatkan. *esimpulan lain, keputusan medis yang dibuat untuk pasien-pasien kritis pada akhirnya akan melibatkan pertimbangan dari sisi medis, etikal, psikologis, dan aspek sosial. Petimbangan-pertimbangan ini, ditambah latar belakang hukum di masing-masing negara, pada akhirnya menghasilkan keputusan medis tentang end of life decisions, yang bisa melibatkan dokter, pasien dan keluarganya.

BAB +I "E!IMPULAN ,agi seorang dokter maupun perawat, masalah eutanasia merupakan suatu dilema yang menempatkannya pada posisi yang serba sulit. Di satu pihak, ilmu dan teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang 'walaupun yang istilahnya hidup secara vegetati%(H sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkanpada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju 'sehingga mampu mempertahankan hiduup $egetatif tadi( di pihak lain. Masalah eutanasia tidak akanpernah pergi. #ebab di era modern ini yang bentuk kehidupannya sudah jauh dari kata 5alamiah6. Menuntut agar manusia dibiarkan mati secara 5alamiah6 nampak ilusoris. Dalam konteks eutanasia $is a $is dengan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran. Masalah baru dalam etika kedokteran akan terus timbul seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran itu sendiri, tetapi menjadi patut disayangkan dan kemudian harus terus direnungkan secara mendalam. ,ahwa sejauh ini solusi etis sangat jarang ditawarkan. *enyataan menunjukkan bahwa seringkali para dokter dan tenaga medis lain harus barhadapan dengan kasus-kasus yang dikatakan sebagai eutanasia itu, dan di situlah tuntunan serta rambu-rambu etika, moral, dan hukum sangat dibutuhkan. Dan rambu-rambu itu harus dibuat dengan berpegang pada keempat aspek eutanasia yang sudah saya paparkan sebelumnya, yakni aspek hukum, hak asa?i, ilmu pengetahuan dan agama.

DA,TAR PU!TA"A )ndrew !. :arga, The %ain &ssues in 'ioethics, New 7ork /;D3, hal. 1BD. ,ertens, *, Eutanasia( )erdebatan *ang 'erkepanjangan, *ompas, 1D #eptember 1888. Faodesyamri. www.id.#>:oong.com tanggal 8@ Maret 18// #imposium 5Dilema di ,alik $ksekusi Mati6 $disi -ktober 188B ':ol.B No.2( #useno Magnis, Aran?. Dalam majalah >igina dan kemudian digunakan lagi oleh beliau dalam buku nya& 'erfilsafat Dari +onteks, +ramedia, hal. /@3. #useno Magnis, Aran?, 'erfilsafat Dari +onteks, +ramedia, hal. /@B.

Anda mungkin juga menyukai