Anda di halaman 1dari 24

BAB II TINJAUAN TEORI 2.

1 Lahan dan Penggunaan Lahan

2.1.1 Penggunaan Lahan Secara umum, lahan merupakan kesatuan berbagai sumberdaya daratan yang saling berinteraksi membentuk suatu sistem struktural dan fungsional. Sifat dan perilaku lahan ditentukan oleh macam sumberdaya yang merajai dan macam intensitas interaksi yang berlangsung antar sumberdaya. Lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief tanah, hidrologi, dan tumbuhan yang sampai pada batas tertentu akan mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan. Definisi lain juga dikemukan oleh Widiatmaka, yaitu : "Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang diatasnya sepanjang ada pengaruh terhadap penggunaan lahan, termasuk didalamnya hasil kegiatan manusia dimasa lalu dan sekarang seperti hasil reklamasi laut, permbersihan vegetasi dan juga hasil yang merugikan seperti tersalinasi". (Widiatmaka H, 2007:19) Lahan merupakan tanah dengan segala ciri, kemampuan maupun sifatnya beserta segala sesuatu yang terdapat diatasnya termasuk didalamnya kegiatan manusia dalam memanfaatkan lahan. Lahan memiliki banyak fungsi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam usaha meningkatkan kualitas hidupnya. Penggunaan lahan merupakan setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik matelir maupun spiritual Hal ini juga dikemukakan pula oleh Sitorus (2004:67) yaitu: "Penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan manusia terhadap sumberdaya lahan baik yang sifatnya tetap atau permanen atau merupakan daur (cyclic) yang bertujuan memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan materil maupun kebutuhan sepiritual atau keduanya". Setiap bentuk investasi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual dapat dikatakan sebagai penggunaan lahan. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke

15

16

dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan dibedakan dalam garis besar penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat diatas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dapat dikenal macam-macam penggunaan lahan seperti tegalan, sawah, kebun, hutan produksi, hutan lindung, dan lain-lain. Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan menjadi lahan permukiman, industi dan lain-lain.

2.1.2 Hubungan Lahan dan Aktivitas Industri Lahan Pertanian adalah lahan yang digunakan untuk usaha produksi bahan makanan utama seperti beras, palawija (jagung, kacang-kacangan dan ubi-ubian), dan tanaman holtikultura seperti sayur-sayuran. Beberapa masalah pembangunan ekonomi khususnya di dunia ketiga, orang tidak akan lepas dari masalah pertanian. Sedangkan berbicara masalah pertanian, kita tidak bisa terlepas dari lahan. Meskipun mulai saat ini dirintis pertanian tanpa lahan dengan teknologi dan sejenisnya namun tidak sampai beberapa dekade, lahan pertanian masih dibutuhkan mengingat mahalnya teknologi tersebut. Pertanian tangguh yang mampu berfungsi seperti tersebut di atas menjadi harapan untuk mempercepat proses pembangunan Negara-negara berkembang. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah perbaikan masalahmasalah yang menyangkut pemilikan lahan bahkan kalau dipandang perlu bisa dilakukan land reform (Reksohadiprojo, 1998:64-65).

2.1.3 Hubungan Lahan dan Aktivitas Industri Lokasi merupakan tinjauan lahan dari aspek ruang (space). Jika kekayaan alam dapat dipindah ke tempat lain, maka tidak demikian dengan aspek ruang. Dengan tidak bisa dipindahkannya aspek ruang ini, maka terdapat perhitungan untung rugi bagi suatu lokasi. Bagi lokasi tertentu cukup menguntungkan sedangkan lokasi lain mungkin kurang menguntungkan. Pentingnya lokasi sebenarnya dapat ditinjau dari tiga hal, yaitu lokasi ekonomi, penggunaan lahan,

17

dan status hukum. Konsep lokasi ekonomi berdasar anggapan bahwa suatu tempat dapat menikmati keuntungan lokasi di bidang tempat lainnya berupa antara lain berkurangnya biaya dan waktu transportasi ke pusat pasar, adanya produksi yang lebih tinggi dan biaya produksi yang lebih rendah pada tempat tertentu (Reksohadiprojo, 1998:58). Upaya yang dilakukan dalam mewujudkan tujuan tersebut diantaranya dengan memperkecil biaya yang dikeluarkan. Penempatan pabrik yang baik dengan sendirinya adalah pada lokasi yang dapat menyumbangkan keuntungan terhadap penghematan biaya transportasi, produksi dan distribusi. Kesalahan pemilihan lokasi akibat kurangnya perencanaan akan mengakibatkan pemborosan dalam jangka waktu yang panjang. Lokasi diisyaratkan dapat membawa keuntungan dari masa pra produksi dan biaya pasca produksi. Pengaruh kehadiran industri terhadap perkembangan dan tata ruang wilayah atau kota sudah dirasakan sejak awal revolusi industri yang dimulai dengan penemuan teknologi mesin uap pada tahun 1769. Pembangunan industry kota-kota Eropa pada awalnya di pusat kota, bersamaan dengan itu pusat kota menjadi tempat yang kotor, kumuh dan penuh kesemrawutan sebagai konsekuensi logis peningkatan aktivitas kota (Catanese, 1996:14). Hal ini mengakibatkan struktur lahan menyangkut lokasi konsentrasi industri seperti teori Alfred Weber, Edgar Hoover, Losch, Von Thunnen, dan lainnya. Di Indonesia, penyebaran industri memiliki kecenderungan bergerak dari daerah kota ke arah daerah pinggiran kota atau daerah yang disebut Sub Urban Area (Desa Kota), dikarenakan peningkatan pembangunan transportasi.

Pergeseran ini terjadi pada masa 80-an sampai 90-an yang didukung pula oleh kebijaksanaan pemerintah daerah yang pada umumnya mengarahkan pertumbuhan industrinya ke daerah pinggiran (Koester, 2001:3). Pergeseran penyebaran ini di sebabkan pula oleh beberapa pertimbangan (Koester, 2001:4) antara lain : Adanya kompetisi penggunaan lahan/ruang yang sangat ketat di daerah kota sehingga berdampak pada tingginya nilai lahan.

18

Daerah pinggiran pada awalnya relatif lapang, sehingga penempatan industri diasumsikan dapat aman dan tidak mengganggu kelancaran dan ketertiban lalu lintas. Disisi lain dengan kelancaran lalu lintas akan meningkatkan akses ke perusahaan industri. Hal ini yang menyebabkan persebaran terpola di sekitar jalan. Perimbangan kedekatan dengan sumber air. Terlepas dari batasan fisik yang masuk dalam wilayah ini adalah daerah

ambang antara kota dan desa yang terjadi karena perluasan kota terutama daerah metropolitan. Kecenderungan ini disebabkan oleh banyak hal diantaranya yang telah dikemukakan diatas. Perkembangan pada awal abad 21 lahir suatu masa yang disebut era globalisasi, dimana tersebarnya hubungan-hubungan aktifitas dari batasan geografis maupun masyarakat. Era ini dimulai dengan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi. Dapat dipastikan akan terjadi perubahan dan perkembangan dalam pembangunan industry terutama menyangkut lokasi industri, atas roda sejarah yang telah berputar yang menunjukan adanya korelasi sangat positif antara pertumbuhan industri dan teknologi. Para perencana kota dan wilayah harus dapat membaca trend yang muncul dalam masa globalisasi agar dapat mengantisipasi atau dapat meminimalisir dampak negatif yang munkin akan muncul. Ketidaksiapan para perencana tata ruang dalam menghadapi perubahan hanya dapat akan melahirkan kerugian dan kesemrawutan. Hal ini terjadi pada setiap masa perkembangan industry. Perencana selalu bersikap reaktif, dimana melakukan perencanaan setelah timbul permasalahan yang besar. Pada masa revolusi industri lahir konsep Garden City, muncul setelah lingkungan kota rusak (Catanese, 1996:17).

2.1.4 Hubungan Nilai Lahan dengan Penggunaan Lahan Menurut Chapin (dalam Jayadinata, 1992: 157) nilai tanah atau lahan digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu berdasarkan: a) nilai sosial yang berhubungan dengan perilaku masyarakat, b) nilai keuntungan yang berhubungan

19

dengan nilai ekonomi, dan c) nilai kepentingan umum yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum. a) Nilai Sosial (Perilaku Masyarakat) Perilaku manusia menunjukkan cara bagaimana manusia bertindak dalam hubungannya dengan nilai-nilai dan cita-cita. Perilaku dan tindakan manusia dalam penggunaan lahan disebabkan oleh kebutuhan dan keinginan manusia yang berlaku baik dalam kehidupan sosial maupun ekonomi. Dalam kehidupan sosial, misalnya berhubungan dengan kemudahan seperti lokasi tempat tinggal, tempat bekerja, dan tempat rekreasi. Nilai tanah atau lahan secara sosial dapat diterangkan dengan proses ekologi yang berhubungan dengan sifat fisik tanah, dan dengan proses organisasi yang berhubungan dengan masyarakat. b) Nilai Keuntungan (Ekonomi) Penentu yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi, daya guna tanah dan biaya adalah penting. Pola penggunaan tanah perkotaan yang diterangkan dalam teori Von Thunen mengenai teori pusat dan teori sektor merupakan teori yang dihubungkan dengan kehidupan ekonomi. Teori Von Thunen merupakan teori lokasi yang berhubungan dengan berbagai kegiatan ekonomi, dimana kegiatan produksi dan pemasaran berhubungan erat dengan jarak (transportasi). Jarak dari kota ke tempat penghasil tanaman menentukan harga pasaran, biaya produksi dan

pengangkutan. c) Nilai Keuntungan (Ekonomi) Kepentingan umum sangat menentukan nilai lahan, kepentingan tersebut menjadi penentu dalam penggunaan lahan yang meliputi sarana kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan umum (termasuk kemudahan, keindahan dan kenikmatan), dan sebagainya. Sebagai contoh, di kota terdapat pengaturan penyediaan berbagai sarana dan prasarana seperti: air bersih, energi listrik, prasarana jalan serta transportasi. Begitu juga fasilitas lain untuk pemenuhan kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Berkenaan dengan hal tersebut, maka nilai lahan berkaitan erat dengan

20

infrastruktur perkotaan, seperti lokasi tanah dan jarak dari jalan besar dan sebagainya. Bahwa nilai lahan dan penggunaan lahan mempunyai kaitan yang sangat erat. Seperti diketahui apabila masalah nilai lahan ini dikaitkan dengan pertanian misalnya variasi nilai lahan ini tergantung pada fertility (kesuburan), faktor lingkungan, keadaaan drainage dan lokasi dimana lahan tersebut berada. Hal yang terakhir ini banyak berkaitan dengan masalah aksesbilitas. Lahan-lahan yang subur pada umumnya memberikan output yang lebih besar dibandingkan dengan lahan yang tidak subur dan akibatnya akan mempunyai nilai yang lebih tinggi serta harga yang lebih tinggi pula. Walaupun demikian ada pula nilai lahan yang tidak ditentukan oleh kesuburan seperti contoh diatas, tetapi lebih banyak ditentukan oleh lokasi tertentu mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lain. Derajat aksesbilitaslah yang mewarnai tinggi rendahnya nilai lahan ini. Semakin tinggi aksesbilitas suatu lokasi semakin tinggi pula nilai lahannya dan biasanya hal ini dikaitkan dengan beradanya konsumen akan barang atau jasa. Derajad keterjangkauan ini berkaitan dengan (a) potential shoppers yang banyak; (b) kemudahan untuk datang/pergi ke/dari lokasi tersebut atau pasar. Dengan demikian nilai lahan dapat bernilai lebih rendah bila kesuburannya rendah tetapi dapat pula menjadi tinggi apabila letaknya strategis untuk maksudmaksud ekonomi non-pertanian. Apabila dua-duanya menunjukan nilai tinggi maka sudah jelas bahwa nilainya akan tinggi pula, namun apabila salah satu diantaranya rendah maka nilai lahannya dapat rendah atau mungkin dapat tinggi. Dengan demikian nyatalah bahwa perbedaaan nilai lahan akan sangat bervariasi sekali. Oleh karena itu untuk studi kota, orientasi penggunaan lahannya adalah non-pertanian maka penilaian atas lahan semata-mata dilakukan secara tidak langsung yakni produktivitas lahan yang ditimbulkan oleh keberadaan lokasi. Atas dasar inilah struktur penggunaan lahan kota akan terseleksi menurut kemampuan fungsi-fungsi membayar lahan tersebut. Memang faktor ekonomi bukan merupakan faktor satu-satunya penentu penggunaan lahan karena faktor-faktor lain seperti faktor sosial dan poltik juga berperan besar, namun kekuatan ekonomi nampaknya masih mendominasidan tidak dapat diabaikan begitu saja dalam setiap

21

analisa penggunaan lahan di dalam dan sekitar kota. (Hadi Sabari Yunus, 2005:88-90)

2.2

Perubahan Penggunaan Lahan

2.2.1 Pengertian Dalam sumberdaya lahan terkandung banyak sumberdaya alam lainnya, mulai dari kesuburan tanah itu sendiri, air, mineral dan sebagainya. Oleh karena itu dalam menilai lahan harus diperhatikan fungsi sebagai sumber bahan mentah (hasil-hasil pertanian dan perkebunan) untuk diolah di sektor industri. Pengertian konversi lahan atau perubahan guna lahan menurut Tjahjati (1997:505) dalam Aulia (2006:48) adalah: "Konversi lahan merupakan alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut tranformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lain". Namun sebagai terminologi dalam kajian-kajian lahan ekonomi,

pengertiannya terutama difokuskan pada proses dialihgunakannya lahan dari lahan pertanian atau perdesaan ke penggunaan non-pertanian atau perkotaan yang diiringi dengan meningkatnya nilai lahan. Perubahan penggunaan lahan merupakan fenomena yang terjadi akibat pertambahan penduduk (urbanisasi) merupakan bagian dari perkembangan suatu wilayah atau kota. Perubahan tataguna lahan pada umumnya berimplikasi pada perubahan konfigurasi dan saling ketergantungan setiap jenis penggunaan lahan. Mengutip penjelasan (Bourne, 1982:95 dalam Aulia 2006:48), bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya penggunaan lahan, yaitu perluasan batas kota; peremajaan di pusat kota; perluasan jaringan infrastruktur terutama jaringan transportasi; serta tumbuh dan hilangnya pemusatan aktifitas tertentu. Secara keseluruhan perkembangan dan perubahan pola tata guna lahan pada perkotaan berkembang secara dinamis dan natural terhadap alam, dan dipengaruhi oleh:

22

Faktor manusia, yang terdiri dari: kebutuhan manusia akan tempat tinggal, potensi manusia, finansial, sosial budaya serta teknologi. Faktor fisik kota, meliputi pusat kegiatan sebagai pusat-pusat pertumbuhan kota dan jaringan transportasi sebagai aksesibilitas kemudahan pencapaian. Faktor bentang alam yang berupa kemiringan lereng dan ketinggian lahan.

Catanese (1996:317) mengatakan bahwa: Dalam perencanaan penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh manusia, aktifitas dan lokasi, dimana hubungan ketiganya sangat berkaitan, sehingga dapat dianggap sebagai siklus perubahan penggunaan lahan.
Gambar 2.1 Siklus Perubahan Penggunaan Lahan

Aktivitas

Manusia

Lokasi

Sumber : Catanese (1996:317)

Sebagai contoh dari keterkaitan tersebut yakni keunikan sifat lahan akan mendorong pergeseran aktifitas penduduk perkotaan ke lahan yang terletak di pinggiran kota yang mulai berkembang, tidak hanya sebagai barang produksi tetapi juga sebagai investasi terutama pada lahan-lahan yang mempunyai prospek akan menghasilkan keuntungan yang tinggi. Selanjutnya menurut Bintarto (1989: 73) dalam Aulia (2006:49), dari hubungan yang dinamis ini timbul suatu bentuk aktivitas yang menimbulkan perubahan. Perubahan yang terjadi adalah perubahan struktur penggunaan lahan melalui proses perubahan penggunaan lahan kota, meliputi:

23

Gambar 2.2 Hubungan Manusia, Perubahan dan Lingkungan


Manusia Lingkungan

Aktivitas

Perubahan

Perubahan Perkembangan

Perubahan Lokasi

Perubahan Tata Laku

Sumber: Bintarto, Geografi Kota, (1977: 73) dalam Aulia (2006:50)

a) Perubahan perkembangan (development change), yaitu perubahan yang terjadi setempat dengan tidak perlu mengadakan perpindahan, mengingat masih adanya ruang, fasilitas dan sumber-sumber setempat. b) Perubahan lokasi (locational change), yaitu perubahan yang terjadi pada suatu tempat yang mengakibatkan gejala perpindahan suatu bentuk aktifitas atau perpindahan sejumlah penduduk ke daerah lain karena daerah asal tidak mampu mengatasi masalah yang timbul dengan sumber dan swadaya yang ada c) Perubahan tata laku (behavioral change), yakni perubahan tata laku penduduk dalam usaha menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam hal restrukturisasi pola aktifitas.

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Menurut Bourne (1982:287) dalam Aulia (2006:51) ada dua gaya berlawanan yang memepengaruhi pembentukan dan perubahan penggunaan lahan, yaitu: 1. Gaya sentrifugal, yaitu gaya mobilitas atau pendorong kegiatan dari kota khususnya pusat kota ke wilayah pinggiran kota. Ada 5 gaya yang bekerja dalam hal ini:

24

a. Gaya ruang, akibat meningkatnya kemacetan b. Gaya tapak, adanya kerugian akibat pusat kota terlalu intensif c. Gaya situsional, akibat pergerakan antar bangunan dan alinemen fungsional yang tidak memuakan d. Gaya evolusi sosial, merupakan tanggapan terhadap tingginya nilai lahan, pajak, dan keterbatasan untuk berkembang e. Status dan organisasi hunian, merupakan akibat dari bentuk fungsional yang kadaluarsa, pola yang mengkristal, kemacetan lalu lintas serta fasilitas transportasi 2. Gaya sentripetal, yaitu gaya mobilitas atau penarik kegiatan dari luar kota/wilayah, khususnya dari wilayah pinggiran kota ke pusat kota. Gaya ini terjadi karena sejumlah kualitas daya tarik pusat kota yaitu: a. Daya tarik fisik, kualitas lansekap b. Kenyamanan fungsional, merupakan hasil dari adanya aksesibilitas maksimum terhadap wilayah sekitarnya c. Daya tarik fungsional, yaitu konsentrasi satu fungsi di pusat kota yang bekerja sebagai magnet kuat yang menarik fungsi lain d. Gengsi fungsional, yaitu berekembangnya reputasi akibat adanya fungsi tertentu 2.2.3 Dampak Perubahan Alih Fungsi Lahan Alih fungsi lahan akan berpengaruh terhadap sistem perkotaan yang meliputi berbagai aspek, di antaranya: aspek lingkungan (fisik), sosial, dan ekonomi. Dampak Lingkungan (Fisik) Dalam kegiatan konversi lahan menurut Randolph (2004: 45) dalam (Saiful, 2007:29), pembangunan lahan akan berdampak terhadap sistem hidrologis, polusi permukaan tanah dan air bawah tanah. Dampak yang muncul adanya pembangunan perkotaan antara lain akan mengurangi lahan terbuka, yang akan mempengaruhi tingkat kecepatan aliran air (speed runoff from storm), dan menurunnya tingkat infiltrasi air ke dalam tanah. Dampak lainnya adalah meningkatnya polusi air dan udara. Dampak Ekonomi Secara ekonomi konversi lahan berpengaruh terhadap nilai lahan. Nilai lahan merupakan aset-aset yang memberikan aliran produksi dan jasa sepanjang

25

lahan dipergunakan. Aset-aset yang dimaksud mungkin bersifat fisik yang mencirikan manfaat pada lahan, sehingga memberi nilai ekonomi. Randolph (2004: 45) dalam (Saiful, 2007:29) mengemukakan bahwa dampak konversi lahan secara ekonomi akan menurunkan produksi pertanian dan produksi lainnya. Sependapat dengan Randolph, peranan tanah dalam sistem pembangunan pertanian sangat vital. Baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif konversi lahan pertanian sangat menghambat produksi pertanian. Dampak Sosial Selain dua hal di atas, konversi lahan pertanian menjadi lahan perkotaan dan industri, menurut Randolph (2004: 47) dalam (Saiful, 2007:29) juga akan menimbulkan perubahan nilai sosial atau perubahan tatalaku (cultural) dan karakter masyarakat. Hal ini sangat penting menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan desa atau kota.

2.2.4 Permasalahan Kebijakan Penggunaan Lahan Kebijakan penggunaan lahan cukup banyak menyimpan permasalahan. Berkenaan dengan hal tersebut mengidentifikasinya menjadi beberapa

permasalahan pokok, yang meliputi: a. Kebijakan yang tersentralisasi Kebijakan penggunaan lahan merupakan bagian kebijakan nasional dan sistem pemerintahan. Selama ini kebijakan penggunaan lahan terfokus pada industrialisasi dan pembangunan perkotaan dengan sistem pusat pertumbuhan (growth pole centre). Kebijakan ini sangat sentralistik dengan menempatkan kebijakan penggunaan lahan hanya sebagai instrumen untuk memenuhi kebutuhan industrialisasi. Hal itu sangat kontradiktif dengan upaya pemerintah dalam mempertahankan swasembada beras (kebijakan melindungi lahan persawahan). Dengan kata lain, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian penggunaan lahan tidak berjalan secara efektif, sehingga antara sektor pertanian dan industri tidak terkoordinasi dengan baik. Kebijakan penggunaan lahan tidak efektif, karena tidak mengikuti dinamika faktor-faktor

26

yang mempengaruhi penggunaan lahan. Faktor tersebut yaitu kemajuan teknologi dalam budidaya padi, kurangnya perhatian pemerintah terhadap infrastruktur irigasi. Kondisi seperti ini tentu saja berdampak budidaya padi. Pada akhirnya banyak lahan pertanian beralih fungsi. Semua itu kemudian lebih diperjelas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang penatagunaan tanah, khususnya dalam pasal 2 mengenai asas dan tujuan daripada penatagunaan tanah. Penatagunaan tanah harus berasaskan keterpaduan, berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Dari uraian di atas, dapat terlihat dengan jelas bahwa tujuan penataan ruang merupakan arahan dan pola pemanfaatan ruang yang menggambarkan kebijakan fungsi penggunaan lahan, kebijakan letak, ukuran fungsi dari kegiatan-kegiatan budidaya dan perlindungan hukum. Secara rinci isi arahan pemanfaatan ruang mencakup delineasi kawasan kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lainnya, yang berasaskan keterpaduan, keserasian, keselarasan dan berkelanjutan. terhadap

2.3

Perkembangan Industri

2.3.1 Pengertian Industri Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi dan atau barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangunan dan perekayasaan industri yakni kelompok industri hulu (kelompok industri dasar), kelompok industri hilir, dan kelompok industri kecil. Bidang usaha industri adalah lapangan kegiatan yang bersangkutan dengan cabang industri yang mempunyai ciri khusus yang sama dan atau hasilnya bersifat akhir dalam proses produksi (UU RI No.5 Tahun 1984 tentang Perindustrian). Sedangkan menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 41 Tahun 1996, kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. Dengan demikian ciri-ciri dari kawasan industri adalah :

27

1. Lahan sudah dilengkapi sarana dan prasarana 2. Ada suatu badan (manajemen) pengelola yang memiliki izin usaha kawasan industri 3. Biasanya diisi oleh industri manufaktur (pengolahan beragam jenis) Istilah industri sering disebut sebagai kegiatan manufaktur (manufacturing). Padahal, pengertian industri sangatlah luas, yaitu menyangkut semua kegiatan manusia dalam bidang ekonomi yang sifatnya produktif dan komersial. Karena merupakan kegiatan ekonomi yang luas maka jumlah dan macam industri berbeda-beda untuk tiap negara atau daerah. Pada umumnya, makin maju tingkat perkembangan perindustrian di suatu negara atau daerah, makin banyak jumlah dan macam industri, dan makin kompleks pula sifat kegiatan dan usaha tersebut. Cara penggolongan atau pengklasifikasian industri pun berbeda-beda. Tetapi pada dasarnya, pengklasifikasian industri didasarkan pada kriteria yaitu berdasarkan bahan baku, tenaga kerja, pangsa pasar, modal, atau jenis teknologi yang digunakan.

2.3.2 Klasifikasi Industri Berdasarkan pada Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 257/MPP/Kep/7/1997, industri diklasifikasikan menurut besarnya jumlah investasi, sebagai berikut: a. Industri kecil dan menengah, merupakan jenis industri yang memiliki investasi sampai dengan Rp. 5.000.000.000,00 b. Industri besar, yaitu industri yang investasinya lebih dari Rp.5.000.000.000,00 Nilai investasi tersebut tidak termasuk nilai tanah dan bangunan tempat usaha. Biro Pusat Statistik/BPS (1995:6), mengklasifikasikan industri berdasarkan pada jumlah tenaga kerja yang digunakan, yaitu: a. Industri besar, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja 100 orang atau lebih. b. Industri sedang, yaitu industri yangg menggunakan tenaga kerja 20-99 orang. c. Industri kecil, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja 5-19 orang.

28

d. Industri kerajinan rumah tangga, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja 1-4 orang. Sedangkan industri menurut jenis atau produk indutri, adalah sebagai berikut : a. Industri dasar Industri dasar dibagi menjadi dua jenis yaitu industri logam dan industri kimia dasar. Industri logam dasar diarahkan untuk menciptakan struktur industri yang kuat, peningkatan produksi bahan baku, membuat komponen, mesin-mesin peralatan dan barang jadi, serta barang konstruksi. Sedangkan industri kimia dasar orientasinya pada pengembangan industri kunci yang mampu menciptakan struktur industri yang kokoh dan meningkatkan kemajuan teknologi untuk mengolah sumber daya alam. b. Aneka industri Aneka industri bertujuan meningkatkan peran serta dan prakarsa masyarakat dalam kegiatan industri, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan mutu produksi, dan ketrampilan kerja. c. Industri kecil Industri kecil banyak berkembang di pedesaan dan perkotaan, memiliki peralatan sederhana. Industri kecil juga diarahkan melalui upaya

penyempurnaan, pengaturan, pembinaan pengembangan usaha, meningkatkan produktivitas dan mutu produksi, serta bertujuan memperluas kesempatan kerja.

2.3.3 Penentuan Lokasi Industri Lokasi industri secara umum mempunyai pengertian sebagai lahan atau tanah tempat pabrik dan sarananya melakukan proses produksi. Penentuan lokasi indusrti (pabrik) akan berkaitan dengan unit-unit lain. Menurut Tarigan (2005: 77) keputusan mengenai penentuan lokasi yang diambil oleh unit-unit pengambil keputusan akan menentukan struktur ruang wilayah yang terbentuk. Ada tiga unit yang menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan penentuan lokasi industri (pabrik) yaitu: rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah. Setiap

29

unit pengambil keputusan mempunyai kepentingan tersendiri yang bersumber dari aktivitas ekonomi yang dilakukan. Aktivitas ekonomi rumah tangga yang paling pokok adalah penjualan jasa tenaga kerja, dan konsumsi. Sedangkan kegiatan ekonomi dari suatu perusahaan meliputi, pengumpulan input, proses produksi, dan proses pemasaran. Penentuan lokasi industri oleh pengambil keputusan merupakan suatu usaha untuk memaksimalkan keuntungan. Pendekatan dalam penentuan lokasi industri terbagi tiga, yaitu: pendekatan meminimumkan biaya atau biaya terkecil, pendekatan wilayah pemasaran, dan pendekatan memaksimalkan keuntungan. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan satu per satu secara rinci. 1. Pendekatan Biaya Terkecil Pendekatan biaya terkecil yang dikemukakan oleh Alfred Weber (dalam Tarigan 2005: 96). Pendekatan ini didasarkan atas biaya transportasi terkecil. Setakat dengan pendekatan ini tiga faktor utama yang mempengaruhi lokasi industri adalah biaya transportasi, biaya tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi. Dalam hal ini Weber mengasumsikan bahwa biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak yang ditempuh dan berat barang, sehingga titik yang membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan pengumpulan berbagai input dan pendistribusian hasil industri. 2. Pendekatan Wilayah Pemasaran Berbeda dengan pendekatan biaya terkecil yang hanya memperhatikan sisi input, namun kurang memperhatikan sisi output (permintaan), Losch (dalam Tarigan 2005: 101) melihat penetapan lokasi industri dari sisi permintaan. Dengan kata lain, pendekatan ini mempertimbangkan ukuran optimal dari pasar. Lokasi optimal adalah tempat di mana terjadi keuntungan maksimal dengan asumsi penyebaran faktor input merata, faktor penyebaran penduduk dan selera masyarakat sama, serta tidak ada ketergantungan lokasi antar perusahaan. 3. Pendekatan Keuntungan Maksimum Jika teori Weber hanya melihat sisi produksi yang memberikan ongkos terkecil dan teori Losch hanya melihat sisi permintaan dari perimaan pasar yang maksimal, maka Smith (dalam Tarigan 2005: 101) menggabungkan dua teori

30

tersebut. Menurut Smith kedua pandangan tersebut perlu digabung, dengan cara mencari lokasi yang memberikan keuntungan yang maksimal setelah

memperhatikan lokasi yang menghasilkan ongkos terkecil dan lokasi yang memberikan penerimaan terbesar, dengan mengintrodusir konsep average cost (biaya rata-rata) dan average revenue (penerimaan rata-rata) yang terkait dengan lokasi.

2.3.4 Lokasi Industri dalam Sistem Struktur Ruang Lokasi industri akan mempengaruhi sistem keruangan. Suatu pola ruang dipengaruhi oleh sistem aktivitas dari penduduknya. Kegiatan industri akan terjadi setelah terbentuk struktur wilayah berdasarkan kegiatan pelayanan, yang pada akhirnya akan mengembangkan suatu kota. Lokasi industri sangat ditentukan oleh aksesnya terhadap sumber air, jaringan transportasi, jalan bebas hambatan, dan jaringan distribusi pipa pelayanan industri. Secara teoritik, menurut Glasson (1977: 146) struktur keruangan dapat dibagi menjadi tiga unsur pokok, yaitu: 1. Kelompok lokasi industri jasa atau tersier, termasuk pelayanan administrasi, keuangan, perdagangan eceran dan besar, dan pelayanan jasa-jasa lainnya, yang cenderung mengelompok, yang menjadi sistem tempat sentral yang tersebar secara seragam pada hamparan daerah yang mempunyai hubungan yang mudah dengan pasar-pasar terbesar. 2. Lokasi-lokasi manufacturing, mengelompok yang memencar cluster dengan dan spesialisasi yang industri cenderung menurut seperti untuk

pertambangan menjadi

rekreasi, atau

aglomerasi

lokalisasi

sumberdaya fisik seperti batubara, dan sifat-sifat fisik seperti lembah, sungai dan pantai. 3. Pola jaringan pengangkutan, umpamanya jalan raya dan kereta api, yang dapat menimbulkan pola pemukiman yang linear Garner (dalam Glasson, 1977: 147) berpendapat bahwa yang menjadi landasan model mengenai struktur ruang adalah:

31

a. Distribusi spasial dari kegiatan manusia bertumpu pada penyesuaian yang berurut dengan faktor jarak, yang dapat diukur dengan menggunakan kriteria linear atau non-linear b. Keputusan mengenai lokasi pada umumnya diambil sedemikian rupa sehingga meminimalkan efek friksional dari jarak c. Semua lokasi, sampai tingkat tertentu, dapat dihubungi, tetapi beberapa lokasi lebih mudah dihubungi daripada lokasi-lokasi lainnya d. Kegiatan-kegiatan manusia cenderung untuk beraglomerasi guna memanfaatkan keuntungan-keuntungan skala, yakni keuntungankeuntungan spesialisasi yang dimungkinkan oleh konsentrasi pada lokasi bersama e. Organisasi dari kegiatan manusia pada hakekatnya mempunyai watak hirarkian. Hirarki timbul karena adanya saling hubungan antara aglomerasi dan memudahkan hubungan dan pekerjaan manusia mempunyai watak memfokus. Morfologi bentuk fisikal lahan perkotaan menurut Herbert (dalam Yunus 2005:107) tercermin pada sistem jaringan jalan, blok-blok bangunan

(perdagangan/industri) dan bangunan-bangunan individual. Dan morfologi kota menurut Smiles (dalam Yunus 2005:108) meliputi (1) unsur-unsur penggunaan lahan (landuse), (2) pola-pola jalan (street plan/lay out), dan (3) tipe-tipe bangunan. Dari uraian di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa struktur ruang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain berkaitan dengan jenis aktivitas, pengelompokan lokasi (cluster) berdasarkan dekatnya dengan sumber daya alam, dan faktor sistem transportasi (jaringan jalan dan sistemnya).

2.3.5 Kebijakan Pengaturan Lokasi Industri Membuat keputusan berdasarkan fakta dan data menurut Nadjib (dalam Koestoer et al 2001: 208), merupakan salah satu elemen penting dari pemilihan kebijakan lokasi. Hasil pengukuran akan menjadi landasan dalam membuat kebijakan perbaikan kualitas secara keseluruhan dalam penentuan lokasi. Dan perolehan data melalui pengukuran performasi kualitas secara keseluruhan, paling sedikit akan memberikan dua manfaat dalam pembuatan kebijakan lokasi, yaitu: Pertama, informasi tentang status performasi lokasi saat lalu dan sekarang

32

Kedua, identifikasi untuk kesempurnaan dan perbaikan performasi lokasi itu Secara umum dalam membuat kebijakan lokasi menurut Koestoer (2001:213) diperlukan performasi kualitas data yang sahih, menciptakan organisasi jaringan yang bermanfaat untuk membuatnya berfungsi dengan baik, dan dibutuhkan kepemimpinan yang mempunyai visi baru yang dilandasi perpaduan moral dan kekuatan intelektual dalam peletakan struktur kebijakan lokasi. Dalam hal ini kebijakan penentuan lokasi industri dari sisi pemerintah merupakan bagian dari pengaturan penggunaan lahan yang membentuk struktur keruangan. Penentuan lokasi industri berkaitan dengan program pembangunan industri. Pembangunan industri di Indonesia ditujukan untuk memperluas kesempatan kerja, meratakan kesempatan berusaha, dan meningkatkan ekspor dalam GarisGaris Besar Haluan Negara tahun 1993. Pembangunan industri di Indonesia dilakukan dalam jangka panjang untuk mencapai struktur ekonomi yang lebih kokoh, dan keadaan pertanian dan industri yang seimbang.

2.3.6

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Industri Studi empiris dari Chenery dan Syrquin menunjukkan bahwa perubahan

struktur ekonomi yang meningkatkan peranan sektor industri dalam perekonomian tidak hanya sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita yang terjadi di suatu negara, tetapi juga berkaitan erat dengan peningkatan sumber daya manusia dan akumulasi kapital. Permasalahan industri tidak dapat dipisahkan dengan lahan, oleh karena itu untuk menilai suatu lahan yang dapat dipergunakan oleh industri, tidak dapat langsung mengadakan suatu batasan wilayah yang selanjutnya didirikan suatu industri atau dijadikan daerah industri. Namun perlu diperhatikan beberapa faktor yang mencakup faktor fisik dan faktor non fisik. Faktor-faktor yang mencakup fisik antara lain : a. Geologi & geomorfologi b. Jenis tanah/ bentuk lahan c. Hidrologi d. Iklim

33

e. Penggunaan Lahan Faktor-faktor yang mencakup non fisik antara lain : a. Penduduk b. Mata Pencaharian c. Pemerintahan (adat istiadat) Selain itu, faktor lokasi juga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan industri sehubungan dengan faktor lahan di suatu daerah. Faktor lokasi tersebut meliputi : 1. Lahan (land) 2. Pasar (market) 3. Transportasi (transportation) 1. Lahan (land) Faktor lahan mencakup permasalahan tanah, mineral-mineral (sumberdaya), dan iklim setempat. Terdapat hubungan positif antara teknologi yang digunakan dengan bentuk lahan yang ada. Fungsi dari lahan mencakup antara lain : a. Letak industri; lahan dipergunakan oleh banyak macam industri, dimana disatu pihak ada yang membutuhkan wilayah yang luas, di lain pihak ada yang hanya beberapa meter persegi tergantung jenis industri yang dikembangkan. b. Faktor lingkungan; dimana perlu diperhatikan letak penimbunan bahan bakar, limbah gas, dan lain-lain dan pengaruhnya terhadap penduduk sekitarnya (daerah pertanian/perkampungan). c. Lahan sebagai sumber kekayaan alam. d. Lahan sebagai sumber tenaga; yang meliputi : 1. Air, merupakan sumber energi yang penting yang menunjang munculnya industri. 2. Batubara, bahan baku utama penggerak mesin. 3. Minyak, disamping sebagai bahan bakar juga sebagai bahan pelicin mesin. e. Iklim sebagai faktor lingkungan alami; yang jelas faktor-faktor iklim mempengaruhi permasalahan aktivitas kerja setiap harinya, temperatur, kelembaban angin, dan lain-lain. 2. Pasar (market) Pemasaran merupakan faktor penting yang dapat menjamin kelangsungan dari pabrik. Untuk itui perlu diadakan pembuatan peta tentang pemasaran hasil produksi, dari daerah-daerah penerima (pasar) untuk mengamati tentang fluktuasi

34

hanya dari situasi (iklim) musiman hasil produksi sehingga produksi dapat diatur sedemikian rupa hingga tidak mengguncangkan situasi harga pasar. 3. Transportasi (transportation) Dalam kegiatan industri, aspek transportasi sangat menentukan aktivitas pabrik. Oleh karena itu dalam menunjang kelancaran, perlu diperhitungkan jalurjalur transportasi yang akan digunakan, tanpa harus mengganggu kelancaran lalulintas umum. Suatu kawasan industri biasanya terletak pada jalur transportasi yang dekat dengan akses ke jalan utama penghubung antar kota, dekat dengan bandara, pelabuhan, maupun terminal untuk mempermudah dalam penyaluran bahan baku maupun hasil produksi antar kota/ provinsi/ pulau.

2.3.7 Hubungan Industrialisasi dan Perkembangan Wilayah Istilah pertumbuhan wilayah dan perkembangan wilayah sesungguhnya tidak bermakna sama, sekalipun keduanya merujuk pada bertambahnya suatu ukuran wilayah tertentu. Perkembangan wilayah senantiasa disertai dengan perubahan struktural. Proses yang terjadi dalam perkembangan wilayah sangat kompleks, melibatkan aspek ekonomi, aspek sosial, lingkungan, politik (pemerintah) sehingga pada hakekatnya merupakan suatu sistem yang tidak bisa dipisahkan. Berangkat dari pengertian diatas, maka perkembangan industri dapat dimaknai sebagai proses bertambahnya pemanfaatan sumberdaya (sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya modal) dalam bidang industri, yang ditandai dengan meningkatnya jumlah industri, bertambahnya lahan industri, bertambahnya sumberdaya manusia yang bergerak di sektor industri serta outcome yang dihasilkan dari industri). Indikator utama tingkat perkembangan industri adalah sumbangan keluaran (output) industri manufaktur dalam Produk Domestik Bruto. Sejumlah ahli telah berupaya menetapkan tingkat-tingkat perkembangan ekonomi dan industri. Rostow menetapkan 5 tingkat pertumbuhan ekonomi, yaitu: (1) tingkat tradisional, (2) syarat untuk tinggal landas,

35

(3) tinggal landas, (4) dorongan menuju kematangan, dan (5) tingkat konsumsi massal Tingkat tradisional ditandai oleh keterbatasan potensi produktivitas, kegiatan pertanian menonjol, tetapi produktivitasnya rendah. Pada tingkat syarat yang diperlukan bagi industrialisasi perubahan struktur ekonomi tertentu mulai terjadi, seperti berdirinya bank-bank. Pada tahap tinggal landas terjadi pertumbuhan ekonomi yang cepat melalui teknik industri modern di sejumlah sektor ekonomi yang masih terbatas. Pada tahap dorongan menuju kematangan terjadi penerapan teknologi modern terhadap keseluruhan sektor perekonomian. Pada tingkat konsumsi massal yang tinggi tersedia sejumlah arah yang dapat ditempuh apakah memusatkan perhatian untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya atau memperluas konsumsi atau berjuang untuk meningkatkan kekuasaan dan pengaruh di arena internasional.

2.3.8 Dampak Pembangunan Industri Pembangunan ekonomi di suatu negara dalam periode jangka panjang akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi negara tersebut, yaitu dari ekonomi tradisional yang dititikberatkan pada sektor pertanian ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor industri dengan increasing returns to scale yang dinamis (relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas) sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Soemarwoto (2003: 183) menjelaskan dampak dari pembangunan industri sebagaimana pada Gambar 2.3 Diagram tersebut memperlihatkan bahwa pembangunan industri yang berdampak langsung pada lahan terjadi pada tahap persiapan, berupa kenaikan kepadatan penduduk, penurunan produksi pertanian, penggusuran penduduk, dan konstruksi prasarana dan kompleks industri. Selanjutnya sebagai akibat dari penggusuran penduduk mengakibatkan terjadinya tekanan penduduk yang berakibat pada munculnya masalah lingkungan fisik berupa kerusakan hutan dan masalah sosial yaitu terjadinya urbanisasi. Kenaikan tekanan penduduk mendorong penduduk melakukan urbanisasi ke kota yang

36

berakibat pada meningkatnya penduduk kota. Peningkatan penduduk suatu kota berakibat pada peningkatan produksi limbah, terutama limbah rumah tangga.
Gambar 3.1 Diagram Dampak Pembangunan Industri
Pembangunan Industri
Persiapan Operasional

Lahan

Pencemaran Air

Kenaikan Kepadatan Penduduk

Penurunan Produksi Pertanian

Penggusuran Penduduk

Konstruksi Prasarana dan Komplek Industri

Kenaikan Tekanan Penduduk

Kerusakan Hutan

Urbanisasi

Kenaikan Air Larian

Kenaikan Laju Erosi

Erosi Gen

Kenaikan Produksi Limbah

Sumber : Soemarwoto, Otto, 2003

2.3.8.1 Alih Fungsi Lahan Untuk Pembangunan Fasilitas Industri Alih fungsi lahan pertanian bukan merupakan hal baru. Hal ini merupakan konsekuensi dari pilihan pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan regulasi untuk mengatur penentuan lokasi industri, yang diantaranya sejauh mungkin dihindarkan pengurangan areal yang subur, namun dalam kenyataannya banyak industri yang justru berdiri di lahan pertanian yang subur. Hal ini berdampak pada perubahan struktur sosial masyarakat. Alih fungsi lahan adalah sebuah mekanisme yang mempertemukan permintaan dan penawaran terhadap lahan dan menghasilkan kelembagaan lahan baru dengan karakteristik sistem produksi yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi

37

dan penduduk yang memusat di wilayah perkotaan menuntut ruang yang lebih luas ke arah luar kota bagi berbagai aktivitas ekonomi dan untuk pemukiman. Sebagai akibatnya, wilayah pinggiran yang sebagian besar berupa lahan pertanian sawah beralih fungsi (konversi) menjadi lahan non pertanian dengan tingkat peralihan yang beragam antar periode dan wilayah. Secara garis besar, alih fungsi lahan dapat berjalan secara sistematis dan sporadis. Peralihan secara sistematis memuat karakter perencanaan dan keinginan publik sehingga luasan lahan hasil peralihan lebih terkendali dan terkonsolidasi dalam kerangka perencanaan tata ruang. Mekanisme ini terlihat dalam pembangunan kawasan industri, pemukiman, dan sarana infrastrukturnya. Peralihan secara sporadis memuat karakter lebih individual atau oleh sekelompok masyarakat sehingga luasan hasil peralihan tidak dapat diprediksi dan menyebar tidak terkonsolidasi. 2.3.8.2 Pencemaran Air, Tanah dan Udara Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan (input) menjadi keluaran (output). Pengamatan terhadap sumber pencemar sektor industri dapat dilaksanakan pada masukan, proses maupun pada keluarannya dengan melihat spesifikasi dan jenis limbah yang diproduksi. Pencemaran yang ditimbulkan oleh industri diakibatkan adanya limbah yang keluar dari pabrik dan mengandung bahan beracun dan berbahaya. Perbedaan jenis dan jumlah bahan pencemar menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat pencemaran antara pabrik yang satu dengan pabrik lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan serta proses dan cara kerja di dalamnya (Kristanto, 2004: 167) dalam Soemarwoto (2003: 186) Baik di negara maju maupun berkembang kota-kotanya menderita pencemaran udara dan pencemaran air dan tanah. Pencemaran udara ada dua jenis. Pertama yang disebabkan oleh perbedaan jenis industri; kedua, yang disebabkan oleh beda komposisi dan konsentrasi unsur pencemarnya. Pencemaran air dan tanah dapat berupa : 1. Permukaan air tanah turun dan dalam musim kemarau penurunan cukup ekstrim sehingga air laut dapat memasuki dasar tanah kota.

38

2. Pencemaran air sungai, selokan, dan air tanah oleh limbah industri, sampah-sampah di daerah slum.

2.3.9 Variabel Penelitian Perkembangan Industri Berdasarkan kajian teori yang telah dilakukan dari beberapa sumber diperoleh variabel-variabel faktor Perkembangan Industri seperti dalam tabel 2.3 dibawah ini :
Tabel III.3 Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Perkembangan Industri
No 1. Sumber Teori Lokasi Tarigan (2005) Teori a. Teori A.Weber, pendekatan biaya terkecil (sisi input) : - Biaya transportasi - Biaya tenaga kerja b. Teori Losch, (dari sisi permintaan) Penerimaan maksimal yang diperoleh c. Teori Smith, lokasi yang memberikan keuntungan yang maksimal, dengan konsep biaya rata-rata dan penerimaan rata-rata Teori Chapin, Nilai lahan dihubungkan dengan: - Nilai sosial - Nilai ekonomi - Hubungannya dengan pelayanan umum Teori Garner dalam Glasson, tiga unsur yang mempe ngaruhi lokasi industri terhadap struktur keruangan, adalah: a. Kelompok lokasi industri jasa atau tersier b. Lokasi-lokasi yang memencar yang cenderung untuk mengelompok (cluster) menurut lokalisasi sumberdaya alam/fisik c. Pola jaringan pengangkutan, sistem transportasi yang dapat menimbulkan pola permukiman yang linier Kebijakan Pengaturan Lokasi Industri dipengaruhi oleh: - Informasi tentang status performasi lokasi saat lalu dan sekarang - Identifikasi untuk kesempurnaan dan perbaikan performasi lokasi - Kebijakan pemerintah pusat dan daerah Variabel Penentu Beberapa variabel yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri, dirangkum berdasarkan pendapat para ahli tersebut, adalah: 1. Kondisi fisik lahan / daya dukung lahan 2. Nilai lahan 3. Aksesibilitas (transportasi dan prasarana jalan) 4. Tenaga kerja 5. Kebijakan Pemerintah

2.

Nilai Lahan Jayadinata (1992) Struktur Keruangan Glasson (1977)

3.

4.

Kebijakan Pengaturan Lokasi Industri Koestoer (2001)

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2014

Anda mungkin juga menyukai