Anda di halaman 1dari 9

PEMBUATAN KOMPOS DAN PERMASALAHANNYA

I.

PENDAHULUAN

Pengomposan didefinisikan sebagai suatu proses dekomposisi (penguraian) secara biologis dari senyawa-senyawa organik yang terjadi karena adanya kegiatan mikroorganisme yang bekerja pada suhu tertentu. Pengomposan merupakan salah satu metoda pengelolaan sampah organik menjadi material baru seperti humus yang relatif stabil dan lazim disebut kompos. Pengomposan dengan bahan baku sampah domestik merupakan teknologi yang ramah lingkungan, sederhana dan menghasilkan produk akhir yang sangat berguna bagi kesuburan tanah atau tanah penutup bagi landfill . II. KEUNTUNGAN PENGOMPOSAN

Pengomposan dengan sampah perkotaan sebagai bahan baku mempunyai banyak keuntungan dan dapat diuraikan sebagai berikut : A. Membantu meringankan beban pengelolaan sampah perkotaan. Komposisi sampah di Indonesia sebagian besar terdiri atas sampah organik, sekitar 50% sampai 60% dapat dikomposkan. Apabila hal ini dapat direalisasikan sudah tentu dapat membantu dalam pengelolaan sampah di perkotaan, yaitu : 1. Memperpanjang umur tempat pembuangan akhir (TPA), karena semakin banyak sampah yang dapat dikomposkan, semakin sedikit sampah yang dikelola. 2. Meningkatkan efisiensi biaya pengangkutan sampah, disebabkan jumlah sampah yang diangkut ke TPA semakin berkurang. 3. Meningkatkan kondisi sanitasi di perkotaan. Semakin banyak sampah yang dibuat kompos, diharapkan semakin sedikit pula masalah kesehatan lingkungan masyarakat yang timbul. Dalam proses pengomposan, panas yang dihasilkan dapat mencapai 600C, sehingga kondisi ini dapat memusnahkan mikroorganisme patogen yang terdapat dalam masa sampah. B. Dari segi sosial kemasyarakatan, pengomposan dapat meningkatkan peranserta masyarakat dalam pengelolaan sampah kota dan meningkatkan pendapatan keluarga. C. Pengomposan berpotensi mengurangi pencemaran lingkungan perkotaan, karena jumlah sampah yang dibakar atau dibuang ke sungai menjadi berkurang. Selain itu aplikasi kompos pada lahan pertanian berarti mencegah pencemaran karena berkurangnya kebutuhan pemakaian pupuk buatan dan obat-obatan yang berlebihan. D. Membantu melestarikan sumber daya alam. Pemakaian kompos pada perkebunan akan meningkatkan kemampuan lahan kebun dalam menahan air, sehingga lebih menghemat kandungan air. Selain itu pemakaian humus sebagai media tanaman dapat digantikan oleh kompos, sehingga eksploatasi humus hutan dapat dicegah. E. Pengomposan juga berarti menghasilkan sumberdaya baru dari sampah, yaitu kompos, yang kaya akan unsur hara mikro.

Pengomposan merupakan salah satu solusi teknis yang baik bagi negara berkembang dalam rangka mereduksi sampah domestik, terutama bagi negara-negara dengan iklim arid dan mempunyai masalah dengan tanah yang kurang subur. Selanjutnya WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa agar pengomposan dengan bahan baku sampah domestik dapat berjalan dengan sukses, maka harus dapat dicapai beberapa persyaratan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. III. Jenis sampah sesuai untuk pengomposan; Pangsa pasar untuk kompos maksimal berjarak 25 km dari kota; Dukungan dari instansi yang terkait dengan pertanian; Harga kompos terjangkau oleh petani. PRINSIP-PRINSIP BIOLOGIS

Pada dasarnya proses pengomposan adalah suatu proses biologis. Hal ini berarti bahwa peran mikroorganisme pengurai sangat besar. Menurut Tchobanoglous et al. (1993) dan Polprasert (1989), prinsip-prinsip proses biologis yang terjadi pada proses pengomposan meliputi 1) kebutuhan nutrisi untuk mikroorganisme; 2) jenis-jenis mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan; 3) kondisi lingkungan ideal; dan d) fase transformasi biokimia. A. Kebutuhan Nutrisi Untuk perkembangbiakan dan pertumbuhannya, mikroorganisme memerlukan sumber energi, yaitu karbon untuk proses sintesa jaringan baru dan elemen-elemen anorganik seperti nitrogen, fosfor, kapur, belerang dan magnesium sebagai bahan makanan untuk membentuk sel-sel tubuhnya. Selain itu, untuk memacu pertumbuhannya, mikroorganisme juga memerlukan nutrien organik yang tidak dapat disintesa dari sumber-sumber karbon lain. Nutrien organik tersebut antara lain asam amino, purin/pirimidin, dan vitamin. B. Mikroorganisme Mikroorganisme pengurai dapat dibedakan antara lain berdasarkan kepada struktur dan fungsi sel, yaitu: 1. Eucaryotes, termasuk dalam dekomposer adalah eucaryotes bersel tunggal, antara lain : ganggang, jamur, protozoa. 2. Eubacteria, bersel tunggal dan tidak mempunyai membran inti, contoh: bakteri. Beberapa hewan invertebrata (tidak bertulang belakang) seperti cacing tanah, kutu juga berperan dalam pengurai sampah. Sesuai dengan peranannya dalam rantai makanan, mikroorganisme pengurai dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu : a. Kelompok I (Konsumen tingkat I) yang mengkonsumsi langsung bahan organik dalam sampah, yaitu : jamur, bakteri, actinomycetes. b. Kelompok II (Konsumen tingkat II) mengkonsumsi jasad kelompok I, dan; c. Kelompok III (Konsumen tingkat III), akan mengkonsumsi jasad kelompok I dan Kelompok II. C. Kondisi Lingkungan Ideal

Efektivitas proses pembuatan kompos sangat tergantung kepada mikroorganisme pengurai.

Apabila mereka hidup dalam lingkungan yang ideal, maka mereka akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula. Kondisi lingkungan yang ideal mencakup : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. Keseimbangan nutrien ( C / N ratio ); Kelembaban; Derajat keasaman; Suhu; Ukuran partikel; dan Homogenitas campuran. Keseimbangan Nutrien (Rasio C/N).

Parameter nutrien yang paling penting dalam proses pembuatan kompos adalah unsur karbon dan nitrogen. Dalam proses pengurai terjadi reaksi antara karbon dan oksigen sehingga menimbulkan panas (CO2). Nitrogen akan ditangkap oleh mikroorganisme sebagai sumber makanan. Apabila mikroorganisme tersebut mati, maka nitrogen akan tetap tinggal dalam kompos sebagai sumber nutrisi bagi makanan. Besarnya perbandingan antara unsur karbon dengan nitrogen tergantung pada jenis sampah sebagai bahan baku. Perbandingan C dan N yang ideal dalam proses pengomposan yang optimum berkisar antara 20 : 1 sampai dengan 40 : 1, dengan rasio terbaik adalah 30 : 1. 2. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) ideal dalam proses pembuatan kompos secara aerobik berkisar pada pH netral (6 8,5), sesuai dengan pH yang dibutuhkan tanaman. Pada proses awal, sejumlah mikroorganisme akan mengubah sampah organik menjadi asam-asam organik, sehingga derajat keasaman akan selalu menurun. Pada proses selanjutnya derajat keasaman akan meningkat secara bertahap yaitu pada masa pematangan, karena beberapa jenis mikroorganisme memakan asam-asam organik yang terbentuk tersebut. Derajat keasaman dapat menjadi faktor penghambat dalam proses pembuatan kompos, yaitu dapat terjadi apabila : pH terlalu tinggi (di atas 8) , unsur N akan menguap menjadi NH3. NH3 yang terbentuk akan sangat mengganggu proses karena bau yang menyengat. Senyawa ini dalam kadar yang berlebihan dapat memusnahkan mikroorganisme. pH terlalu rendah (di bawah 6), kondisi menjadi asam dan dapat menyebabkan kematian jasad renik. 3. Suhu (Temperatur)

Proses biokimia dalam proses pengomposan menghasilkan panas yang sangat penting bagi mengoptimumkan laju penguraian dan dalam menghasilkan produk yang secara mikroorganisme aman digunakan. Pola perubahan temperatur dalam tumpukan sampah bervariasi sesuai dengan tipe dan jenis mikroorganisme. Pada awal pengomposan, temperatur mesofilik, yaitu C akan terjadi dan segera diikuti oleh temperaturantara 25 45 C. Temperatur termofilik dapat berfungsi untuktermofilik antara 50 - 65 a) mematikan bakteri/bibit penyakit baik patogen maupun bibit vektor penyakit seperti lalat; b) mematikan bibit gulma. Tabel 1 menunjukkan suhu dan waktu yang dibutuhkan untuk mematikan beberapa organisme patogen dan parasit. Kondisi termofilik, kemudian berangsur-angsur

akan menurun mendekati tingkat ambien. Tabel 3.1. Suhu dan Waktu yang Dibutuhkan Untuk Mematikan Organisme Patogen

Suhu dan Waktu yang Dibutuhkan No Organisme Patogen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Salmonella typhosa Salmonella sp. Shigella sp. Escerichia coli Entamoeba hystolitica Taenia saginata Trichinella spiralis sp. Brucella abortus Micrococcus pyogenes var aureus Srteptococcus pyogenes Mycobacterium tubercolosis varhominis Corynebacterium diphtheriae Necator americanus Ascaris lumbricoides (telur) Suhu (C) 55-60 60 55 60 55 55 60 45 55 55 62-63 55 50 54 66 67 55 45 50 Waktu (menit) 30 20 60 15-20 60 60 15-20 beberapa menit beberapa detik beberapa saat 3 60 10 10 15-20 Sesaat setelah pemanasan 45 50 <1

4.

Ukuran Partikel Sampah

Ukuran partikel sampah yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos harus sekecil mungkin untuk mencapai efisiensi aerasi dan supaya lebih mudah dicerna atau diuraikan oleh mikroorganisme. Semakin kecil partikel, semakin luas permukaan yang dicerna sehingga pengurai dapat berlangsung dengan cepat. 5. Kelembaban Udara

Kandungan kelembaban udara optimum sangat diperlukan dalam proses pengomposan. Kisaran kelembaban yang ideal adalah 40 60 % dengan nilai yang paling baik adalah 50 %. Kelembaban yang optimum harus terus dijaga untuk memperoleh jumlah mikroorganisme yang maksimal sehingga proses pengomposan dapat berjalan dengan cepat. Apabila kondisi tumpukan terlalu lembab, tentu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena molekul air akan mengisi rongga udara sehingga terjadi kondisi anaerobik yang akan menimbulkan bau. Bila tumpukan terlalu kering (kelembaban kurang dari 40%), dapat mengakibatkan berkurangnya populasi mikroorganisme pengurai karena terbatasnya habitat yang ada.

6.

Homogenitas Campuran Sampah

Komponen sampah organik sebagai bahan baku pembuatan kompos perlu dicampur menjadi homogen atau seragam jenisnya, sehingga diperoleh pemerataan oksigen dan kelembaban. Oleh karena itu kecepatan pengurai di setiap tumpukan akan berlangsung secara seragam. D. TRANSFORMASI BIOKIMIA

Berdasarkan atas kebutuhan oksigen, transformasi biokimia proses pengomposan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu : 1. Transformasi Aerobik

Transformasi aerobik pada proses pengomposan dapat digambarkan dalam persamaan reaksi sebagai berikut : CHON + O2 + nutrien ~> sel-sel baru + CO2 + H2O + NH3 + SO42- + panas + kompos Pada prinsipnya hasil akhir proses ini adalah sel-sel baru, CO2, air, amoniak, sulfat dan senyawa organik baru bersifat stabil yang dinamakan kompos. Kompos biasanya mengandung unsur lignin yang sukar terurai dalam jangka waktu singkat. 2. Transformasi Anaerobik ( Anaerobic Digestion )

Proses penguraian senyawa organik yang berasal dari sampah dapat berlangsung dalam kondisi anaerobik menjadi gas-gas yang mengandung karbon dioksida dan metan. Perubahan tersebut dapat dijelaskan melalui persamaan reaksi sebagai berikut : CHON + nutrien ~> sel-sel baru + CO2 + CH4 + NH3 + H2S + panas + kompos Pada prinsipnya produk akhir yang dihasilkan adalah karbondioksida, gas methan, amoniak, hidrogen sulfida dan kompos. Karbondioksida dan methan yang dihasilkan biasanya mencapai 99% dari total gas yang diproduksi. IV. TEKNOLOGI PEMBUATAN KOMPOS

Berdasarkan ada tidaknya asupan udara, pembuatan kompos dapat dibedakan menjadi pengomposan secara aerobik dan pengomposan anaerobik yang lazim disebut digesti anaerobik. Pada pengomposan aerobik, adanya udara dapat mempercepat proses pembusukan oleh mikroorganisme aerobik, proses berlangsung cepat dan tidak menimbulkan bau. Sebaliknya oksigen tidak diperlukan dalam pengomposan anaerobik, proses berlangsung lama, biasanya menimbulkan bau dan akhir yang terpenting adalah gas methan sebagai sumber energi baru. A. Berdasarkan Kebutuhan Oksigen 1. Pengomposan Aerobik Pengomposan Sistem Windrow Merupakan metode yang paling sederhana dan sudah sejak lama dilakukan. Untuk mendapatkan aerasi dan pencampuran, biasanya tumpukan sampah tersebut dibalik (diaduk). Hal ini juga dapat menghambat bau yang mungkin timbul. Pembalikan dapat dilakukan baik

secara mekanis maupun manual. Sistim windrow seperti ini sudah berkembang di Indonesia untuk skala kecil, disebut dengan sistim UDPK. Aerated Static Pile Composting Udara disuntikkan melalui pipa statis ke dalam tumpukan sampah. Untuk mencegah bau yang timbul, pipa dilengkapi dengan exhaust fan. Setiap tumpukan biasanya menggunakan blower untuk memantau udara yang masuk. In-veseel Composting System Sistim pengomposan dilakukan di dalam kontainer/tangki tertutup. Proses ini berlangsung secara mekanik, untuk mencegah bau disuntikkan udara, pemantauan suhu dan konsentrasi oksigen. Vermicomposting Merupakan langkah pengembangan pengomposan secara aerobik dengan memanfaatkan cacing tanah sebagai perombak utama atau dekomposer, inokulasi cacing tanah dilakukan pada saat kondisi material organik sudah siap menjadi media tumbuh (kompos setengah matang). Dikenal 4 (empat) marga cacing tanah yang sudah dibudidayakan, yaitu Eisenia, Lumbricus, Perethima dan Peryonix (Yayasan Kirai Indonesia, 1996: 2) Effective Microorganisms (EM) EM merupakan kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman yang dapat diaplikasikan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman dan populasi mikroorganisme di dalam tanah dan tanaman, yang selanjutnya dapat meningkatkan kesehatan, pertumbuhan, kuantitas dan kualitas produksi tanaman. EM dapat memfermentasikan bahan organik dan memanfaatkan gas serta panas dari proses pembusukan sebagai sumber energi. Manfaat yang dapat diambil dalam teknologi EM pada pengolahan sampah kota adalah berkurangnya bau busuk dan panas yang keluar dari tumpukan sampah, berkurangnya lalat dan hama lain di tempat pembuangan sampah, gundukan sampah cepat menurun sehingga daya tampung sampah dalam lubang penampungan dapat ditingkatkan lebih dari 30%, dan masalah-masalah lingkungan serta kesehatan pekerja. Selain itu sampah dapat dijadikan kompos dalam jangka waktu hanya 2 minggu. (Wididana, 1998: 5). 2. Pengomposan Anaerobik

Proses ini disebut juga dengan proses digesti anaerobik yang dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu : Digesti Anaerobik dengan Tingkat Kepadatan Rendah Konsentrasi kepadatan antara 4-8%, menggunakan bahan baku sampah domestik, kotoran manusia dan hewan. Proses ini menghasilkan gas methan dan direncanakan untuk skala besar. Digesti Anaerobik dengan Tingkat Kepadatan Tinggi Konsentrasi kepadatan mencapai 22%. Keuntungan utama dari proses ini ialah bahwa air yang dibutuhkan jauh sedikit dari digesti anaerobik dengan tingkat kepadatan rendah. Mengingat mahalnya biaya maka kedua proses di atas tidak direkomendasikan sebagai upaya daur-ulang energi dari sampah domestik tetapi dapat lebih baik diterapkan untuk penanganan sampah pertanian dan peternakan.

Sistim pengubah sampah domestik menjadi energi, yaitu gas methan merupakan salah satu alternatif reduksi sampah yang menghasilkan sumber daya baru. Menurut Ridlo (1998: E-30), waktu tinggal sampah organik sekitar 30 hari di dalam reaktor. Biogas yang dihasilkan oleh reaktor 55-60 % dan sisanya CO2. Biogas yangdidominasi oleh gas methan dihasilkan dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti memasak dan penerangan. Selain menghasilkan biogas, reaktor juga menghasilkan produk samping berupa padatan dan cairan yang memiliki kualitas seperti pupuk. B. 1. Berdasarkan Lokasi Pembuatan Kompos Sistem Setempat (On-site System) Merupakan pembuatan kompos yang mengambil tempat di sumber sampah, misalnya di halaman rumah, di pasar, dan lain-lain. Sebagai contoh adalah pengomposan dengan menggunakan komposter skala rumah tangga, berbentuk bin/tong yang berukuran 100 - 250 liter, ditanam di tanah ( 10 cm dari permukaan tanah ) atau dapat pula yang dapat diputar, proses berlangsung secara anaerobik. Sampah dapur sebagai bahan baku dapat dikombinasikan dengan sampah kebun seperti rumput, daun-daunan, dsb. Kompos dapat dihasilkan dalam jangka waktu 1 bulan untuk komposter aerobik dan 6 bulan sampai dengan 1 tahun untuk komposter anaerobik. 2. Sistem Terpusat (On-site System) Pembuatan kompos dipusatkan di suatu lokasi yang memiliki jarak dengan sumber sampah. Sebagai contoh adalah pengomposan dengan metode UDPK (Usaha Daur-Ulang dan Produksi Kompos). V. PERMASALAHAN PEMBUATAN KOMPOS

Pengomposan dengan menggunakan bahan baku sampah organik domestik dalam pelaksanaannya mengalami beberapa kendala. Permasalahan yang muncul meliputi 1) dampak terhadap kualitas lingkungan; 2) masalah pemasaran; 3) pembiayaan; 4) teknis operasional dan 5) aplikasi secara tepat guna di negara berkembang. A. Dampak Terhadap Kualitas Lingkungan

Permasalahan yang mungkin muncul adalah masih terdapatnya organisme patogen/parasit, berkembangnya vektor penyakit dan masalah estetika.

1.

Organisme Patogen dan Parasit Organisme patogen seperti virus, bakteria, protozoa, jamur yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia, hewan maupun tumbuhan kemungkinan masih terkandung dalam di kompos yang disebabkan oleh masalah teknis, seperti tidak tercapainya suhu yang mematikan organisme tersebut. Permasalahan ini dapat dihindari dengan pengawasan mutu kompos pada setiap langkah produksinya, antara lain dengan pemantauan suhu setiap hari. 2. Vektor Penyakit Vektor penyakit yang sering terdapat pada proses pengomposan adalah lalat, tikus, dan kecoa. Lalat sering dijumpai pada bahan baku kompos, yaitu sampah domestik yang tidak segar (berumur lebih dari dua hari) sedangkan tikus dan kecoa sangat menyukai tumpukan

kompos yang tidak segera dikemas atau dipasarkan serta tumpukan residu yang tidak segera diangkut ke TPA. Pemasokan bahan baku dan pengangkutan residu yang teratur dan tepat waktu serta pemeliharaan sarana/prasarana pengomposan yang memadai dapat menghindari gangguan vektor penyakit. 3. Estetika Bau dan kenampakan fisik yang kurang baik dari fasilitas pengomposan merupakan masalah estetika yang sering muncul, sehingga menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitar, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar fasilitas tersebut. Bau disebabkan oleh 1) kondisi anaerobik yang terjadi akibat pengoperasian pengomposan tidak sesuai dengan prosedur, seperti kurangnya asupan oksigen (pekerja kurang rajin membalik tumpukan pada pengomposan dengan sistem Windrow); 2) bahan baku kompos tidak segar sehingga sebelum diolah, sampah tersebut sudah mengalami pembusukan. Kenampakan visual fasilitas pengomposan yang kurang baik, disebabkan pemeliharaan terhadap fasilitas tidak dilaksanakan dengan baik, sehingga menimbulkan kesan kotor. Hal ini dapat diantisipasi dengan pengendalian dan pemeliharaan fasilitas dengan lingkungan luar antara lain dengan mendirikan tembok atau pagar tanaman. 4. Logam Berat Salah satu masalah penting adalah kemungkinan kontaminasi logam berat dalam kompos yang diproduksi. Hal ini terjadi bila pemilahan tidak dilaksanakan sebelumnya sehingga bahan baku masih tercampur dengan sampah yang mengandung logam berat. Aktivitas pemilahan sampah sebelum pengomposan dilaksanakan sangat penting untuk dilakukan dan lebih baik lagi bila pemilahan telah dilakukan di sumber sampah. B. Masalah Pemasaran

Masalah pemasaran kompos muncul disebabkan sebelum perencanaan fasilitas pengomposan tidak dilakukan studi tentang situasi pasar terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengetahui situasi pasar adalah kebutuhan akan aplikasi kompos; jarak tempuh antara produsen kompos dengan calon pelanggan dan informasi tentang pangsa pasar. Masalah pemasaran pupuk kimia membuat suatu anti propaganda melawan aplikasi kompos yang berasal dari sampah domestik. Sulitnya pemasaran kompos, menyebabkan biaya operasi dan pemeliharaan menjadi kendala yang sangat penting.

C.

Masalah Pembiayaan

Dalam perencanaan suatu instalasi pengomposan di negara berkembang biasanya terbentur pada masalah pembiayaan terutama bagi instalasi skala besar yang banyak menggunakan peralatan mekanis. Bagi negara berkembang instalasi pengomposan yang murah dan tepat guna sangat baik untuk diaplikasikan, lebih baik lagi bila instalasi tersebut masuk dalam sistem pengelolaan sampah kota. Masalah pemasaran kompos muncul disebabkan sebelum perencanaan fasilitas pengomposan tidak dilakukan studi tentang situasi pasar terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengetahui situasi pasar adalah kebutuhan akan aplikasi kompos; jarak tempuh antara produsen kompos dengan calon pelanggan dan informasi tentang pangsa pasar. Masalah pemasaran pupuk kimia membuat suatu anti propaganda melawan aplikasi kompos yang berasal dari sampah domestik. Sulitnya pemasaran kompos, menyebabkan biaya operasi dan pemeliharaan menjadi kendala yang

sangat penting. Biaya investasi awal diperlukan sebesar Rp. 11,6 juta untuk instalasi skala kecil (luas lahan 450 m2) dengan modal kerja Rp. 1,2 juta setiap bulan (CPIS, 1992: 6-14) untuk melayani 14 m3 sampah setiap hari. Pada tahun 1998, estimasi biaya meningkat menjadi Rp. 45 juta untuk biaya investasi dan modal kerja Rp. 3 juta setiap bulan. D. Masalah Perencanaan dan Teknis Operasional

Kesalahan yang paling umum terjadi dalam pendirian suatu instalasi pengomposan adalah akibat perencanaan yang salah, yaitu antara lain mencakup kesalahan dalam melihat dan mengkaji situasi pasar, kesalahan dalam menentukan lokasi instalasi pengomposan juga penerimaan masyarakat terhadap keberadaan instalasi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai