Risiko Ekonomi PLTN
Risiko Ekonomi PLTN
Kedua, risiko kinerja pembangkit yang di bawah harapan. Risiko ini dapat
berupa faktor kapasitas yang rendah atau umur ekonomis yang lebih pendek
dari yang direncanakan.
Mengacu pada data IAEA, setidaknya ada 15 negara yang memiliki
kapasitas akumulatif PLTN kurang dari 75 persen. Faktor kapasitas
akumulatif PLTN-PLTN di Armenia, Brasil, Bulgaria, India, Lituania, dan
Pakistan bahkan kurang dari 60 persen. Padahal, sebagai penyangga beban
dasar, PLTN umumnya didesain agar beroperasi dengan faktor kapasitas
tidak kurang dari 80 persen untuk mencapai syarat keekonomian yang
diharapkan.
Ketiga, risiko tanggung jawab jangka panjang. Risiko ini terkait dengan
ketidakpastian biaya dekomisioning dan penyimpanan akhir limbah nuklir.
Karena dana dekomisioning dikumpulkan dari setiap kWh listrik yang
dibangkitkan PLTN dengan metode discounted cash flow, selalu muncul
kemungkinan dana tersebut tidak cukup di kemudian hari. Kemungkinan itu
bisa disebabkan oleh eskalasi biaya yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Hal ini bisa terjadi mengingat menghitung biaya dekomisioning ibarat
meramal masa depan, penuh ketidakpastian.
Nilai tukar mata uang, tingkat inflasi, eskalasi upah buruh dan material
selama 40 tahun ke depan harus diperkirakan dengan cermat. Sampai-sampai
Ian Jackson (seorang konsultan senior industri nuklir Inggris) mengatakan
bahwa menghitung biaya dekomisioning lebih pantas disebut seni ketimbang
sains (Paying for Nuclear Clean-up: An Unofficial Market Guide, 2006).
Semua risiko ekonomi yang telah diuraikan itu adalah sifat "bawaan"
industri nuklir. Di samping itu, ada pula risiko ekonomi yang muncul akibat
fluktuasi harga bahan bakar nuklir. Selama empat tahun terakhir, harga
uranium sudah melambung sepuluh kali lipat. Harga pengayaan bahan bakar
(enrichment) naik 30 persen, sementara harga konversi melonjak hingga dua
kali lipat. Uranium tidak hanya mahal, pasarnya pun tidak transparan
sehingga sewaktu-waktu bisa bergejolak. Yang lebih mengkhawatirkan,
produksi uranium dunia saat ini hanya mampu memenuhi 67 persen
kebutuhan dunia. Sisanya diperoleh dari konversi senjata nuklir yang ada di
Amerika Serikat dan Rusia.
Bagi Indonesia, yang relatif miskin akan cadangan uranium, gejolak harga
uranium merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan sebelum
membangun PLTN. Data di buku Uranium Resources, Production and
Demand terbitan Nuclear Energy Agency tahun 2006 menyebutkan sumber
daya uranium Indonesia hanya 6.000 ton. Itu pun termasuk jenis kadar
rendah dengan biaya eksploitasi yang tinggi. Jumlah sebesar itu bahkan
belum tentu cukup untuk menghidupi daur hidup satu unit PLTN.
Risiko ekonomi PLTN tidak hanya relevan bagi negara yang masih baru
dalam pengembangan energi nuklir. Rekam jejak PLTN di Amerika Serikat,
yang selama ini menjadi salah satu kiblat teknologi nuklir dunia,
membuktikan bahwa di negara tersebut risiko ekonomi PLTN masih
menjadi masalah yang nyata.