Anda di halaman 1dari 4

Akhir-akhir ini intensitas polemik mengenai pembangkit listrik tenaga nuklir

atau PLTN di Tanah Air cenderung meningkat. Risiko kecelakaan PLTN


masih menjadi bahan kontroversi utama. Selain risiko kecelakaan, risiko
ekonomi PLTN juga perlu menjadi pertimbangan, mengingat dana APBN
yang terbatas dan kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih.

Setidaknya ada tiga risiko ekonomi PLTN yang perlu mendapatkan


perhatian. Pertama, risiko eskalasi biaya dan penundaan penyelesaian
konstruksi. Sudah menjadi "tradisi" industri nuklir, perkiraan biaya
konstruksi biasanya kecil di awal, tetapi kemudian membengkak seiring
berjalannya proyek.

Pada banyak kasus, biaya pembangunan PLTN bisa membengkak dua


hingga empat kali lipat dari perkiraan semula, seperti yang pernah dialami
Brasil, Argentina, India, Ceko, Inggris, dan Amerika Serikat. Ini bukan
berarti negara-negara lain tidak mengalami hal serupa mengingat data biaya
konstruksi sering kali tidak dibuka kepada publik.

Molornya masa konstruksi juga merupakan problem klasik dalam proyek


PLTN. Data Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) tahun 2006
menunjukkan, dari sekitar 30 negara yang memiliki PLTN, separuhnya
pernah mengalami penundaan penyelesaian konstruksi lebih dari 10 tahun.
Jumlah itu belum termasuk beberapa proyek PLTN yang dihentikan di
tengah jalan, seperti yang terjadi di Argentina, Bulgaria, dan Romania.

Karena PLTN adalah investasi padat modal, pembengkakan biaya dan


keterlambatan konstruksi akan berpengaruh besar terhadap kenaikan biaya
pembangkitan yang pada akhirnya akan menjadi beban masyarakat sebagai
konsumen. Bagi Indonesia, penundaan jadwal pengoperasian sebuah
pembangkit juga berarti merupakan gangguan terhadap pasokan listrik
nasional yang kondisinya sudah kritis.

Risiko pembengkakan biaya konstruksi mungkin bisa dihindari jika proyek


dilakukan dengan menggunakan skema putar kunci (turnkey). Yang menjadi
pertanyaan, mungkinkah mendapatkan harga jual listrik yang murah dengan
skema tersebut?

Kedua, risiko kinerja pembangkit yang di bawah harapan. Risiko ini dapat
berupa faktor kapasitas yang rendah atau umur ekonomis yang lebih pendek
dari yang direncanakan.
Mengacu pada data IAEA, setidaknya ada 15 negara yang memiliki
kapasitas akumulatif PLTN kurang dari 75 persen. Faktor kapasitas
akumulatif PLTN-PLTN di Armenia, Brasil, Bulgaria, India, Lituania, dan
Pakistan bahkan kurang dari 60 persen. Padahal, sebagai penyangga beban
dasar, PLTN umumnya didesain agar beroperasi dengan faktor kapasitas
tidak kurang dari 80 persen untuk mencapai syarat keekonomian yang
diharapkan.

Sebuah PLTN diharapkan memiliki umur ekonomis hingga 40 tahun.


Namun, tidak jarang dijumpai sebuah PLTN harus ditutup jauh lebih awal
dari umur yang direncanakan karena berbagai masalah. Data IAEA
menunjukkan, hingga akhir tahun 2005, ada 51 reaktor daya yang ditutup
secara permanen sebelum usianya genap 20 tahun.

Ketiga, risiko tanggung jawab jangka panjang. Risiko ini terkait dengan
ketidakpastian biaya dekomisioning dan penyimpanan akhir limbah nuklir.
Karena dana dekomisioning dikumpulkan dari setiap kWh listrik yang
dibangkitkan PLTN dengan metode discounted cash flow, selalu muncul
kemungkinan dana tersebut tidak cukup di kemudian hari. Kemungkinan itu
bisa disebabkan oleh eskalasi biaya yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Hal ini bisa terjadi mengingat menghitung biaya dekomisioning ibarat
meramal masa depan, penuh ketidakpastian.

Nilai tukar mata uang, tingkat inflasi, eskalasi upah buruh dan material
selama 40 tahun ke depan harus diperkirakan dengan cermat. Sampai-sampai
Ian Jackson (seorang konsultan senior industri nuklir Inggris) mengatakan
bahwa menghitung biaya dekomisioning lebih pantas disebut seni ketimbang
sains (Paying for Nuclear Clean-up: An Unofficial Market Guide, 2006).

Kekurangan dana dekomisioning dapat juga disebabkan oleh dana tidak


terkumpul sesuai dengan yang direncanakan. Hal ini bisa terjadi akibat
kesalahan pengelolaan dana, kinerja pembangkit yang di bawah harapan,
atau dana dikorupsi di tengah jalan.

Pengalaman Inggris adalah salah satu contoh nyata bahwa biaya


dekomisioning selalu lebih besar daripada yang diperkirakan dan dana yang
dikumpulkan tidak sesuai dengan yang direncanakan. Selama beberapa
tahun terakhir perkiraan biaya dekomisioning di negara tersebut
membengkak hingga beberapa kali lipat. Saat ini jumlah tanggungan biaya
dekomisioning diperkirakan tidak kurang dari 140 miliar dollar AS (BBC,
30 Maret 2006). Padahal, dana yang telah dikumpulkan dari industri nuklir
jauh dari mencukupi. Konsekuensinya, kekurangan dana harus ditanggung
publik hingga beberapa generasi yang akan datang.

Semua risiko ekonomi yang telah diuraikan itu adalah sifat "bawaan"
industri nuklir. Di samping itu, ada pula risiko ekonomi yang muncul akibat
fluktuasi harga bahan bakar nuklir. Selama empat tahun terakhir, harga
uranium sudah melambung sepuluh kali lipat. Harga pengayaan bahan bakar
(enrichment) naik 30 persen, sementara harga konversi melonjak hingga dua
kali lipat. Uranium tidak hanya mahal, pasarnya pun tidak transparan
sehingga sewaktu-waktu bisa bergejolak. Yang lebih mengkhawatirkan,
produksi uranium dunia saat ini hanya mampu memenuhi 67 persen
kebutuhan dunia. Sisanya diperoleh dari konversi senjata nuklir yang ada di
Amerika Serikat dan Rusia.

Bagi Indonesia, yang relatif miskin akan cadangan uranium, gejolak harga
uranium merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan sebelum
membangun PLTN. Data di buku Uranium Resources, Production and
Demand terbitan Nuclear Energy Agency tahun 2006 menyebutkan sumber
daya uranium Indonesia hanya 6.000 ton. Itu pun termasuk jenis kadar
rendah dengan biaya eksploitasi yang tinggi. Jumlah sebesar itu bahkan
belum tentu cukup untuk menghidupi daur hidup satu unit PLTN.

Risiko ekonomi PLTN tidak hanya relevan bagi negara yang masih baru
dalam pengembangan energi nuklir. Rekam jejak PLTN di Amerika Serikat,
yang selama ini menjadi salah satu kiblat teknologi nuklir dunia,
membuktikan bahwa di negara tersebut risiko ekonomi PLTN masih
menjadi masalah yang nyata.

Nathan Hultman (peneliti senior di Universitas Georgetown) dan Daniel


Kammen (profesor di Universitas California) menemukan fakta bahwa 16
persen PLTN yang pernah atau masih beroperasi di negara tersebut tidak
memenuhi syarat keekonomian yang wajar, dengan biaya pembangkitan di
atas 8 sen per kWh (Environmental Science, 2007).

Dalam kaitannya dengan rencana pembangunan PLTN pertama di Indonesia,


semua risiko ekonomi itu perlu dipertimbangkan dengan saksama dan
dikomunikasikan kepada masyarakat. Pemerintah juga perlu menjelaskan
kepada publik bagaimana pertanggungan risiko ekonomi tersebut nantinya
akan didistribusikan di antara vendor, operator/pemilik PLTN, dan
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai