Anda di halaman 1dari 19

i

PRESENTASI KASUS
Renal Osteodystrophy

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Di Bagian Ilmu Interna Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga


Diajukan Kepada:
dr. Agus Sunaryo Sp.PD

Disusun oleh:
Haqqi Pradipta Suganda
20090310051

SMF ILMU INTERNA RSUD SALATIGA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014
ii

RSUD SALATIGA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014

HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS

Renal Osteodystrophy



Telah disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal


Menyetujui,
Dokter Pembimbing


dr. Agus Sunaryo, Sp.PD
0


BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit tulang metabolik adalah komplikasi umum dari penyakit ginjal kronis
(CKD) dan merupakan bagian dari spektrum yang luas dari gangguan metabolisme mineral
yang terdapat dalam klinis. Perubahan dalam mekanisme kontrol homeostasis kalsium dan
fosfor terjadi pada awal perjalanan CKD dan berlanjut menjadi penurunan fungsi ginjal, jika
kondisi ini tidak ditangani, maka dapat mengakibatkan komplikasi yang signifikan.
Gangguan tulang tidak hanya berkaitan dengan tulang itu sendiri, tetapi juga berkaitan
dengan komplikasi dari gangguan metabolisme mineral pada ekstraskeletal, termasuk
pembuluh darah. Karena spektrum gangguan metabolisme mineral yang luas, maka istilah
seperti "renal osteodystrophy" dan "renal bone disease" dapat diganti dengan istilah
"gangguan tulang dan mineral pada CKD" untuk menggambarkan gejala klinis sindrom ini
yang bersifat luas yang berkembang menjadi gangguan sistemik metabolisme tulang dan
mineral sebagai akibat dari CKD, yang bermanifestasi dalam salah satu atau kombinasi dari
berikut ini: (1) Abnormalitas kalsium, fosfor, hormon paratiroid (PTH), dan metabolisme
vitaminD, (2) Abnormalitas regenerasi tulang, mineralisasi,volume, pertumbuhan linier, dan
kekuatan, dan (3) kalsifikasi vaskular atau jaringan lunak.
Abnormalitas pada tulang dalam CKD termasuk efek dari tingginya PTH pada tulang,
yang mengakibatkan tingginya regenerasi tulang osteitis fibrosa. Selain itu, dalam CKD,
terdapat kelainan tulang yang berbeda dikenal sebagai adinamik tulang, yang ditandai dengan
regenerasi tulang yang sangat rendah. Beberapa kasus dapat menunjukkan gangguan
mineralisasi dan menunjukkan osteomalasia. Spektrum yang luas dari kelainan skeletal dapat
menimbulkan berbagai gejala campuran, dengan efek hiperparatiroidisme pada tulang
bersama dengan gangguan mineralisasi, dan dikenal sebagai osteodystrophy ginjal campuran.
Selain itu, proses sistemik lainnya yang dapat mempengaruhi skeletal, seperti akumulasi -2
mikroglobulin atau efek sistemik dari osteoporosis pascamenopause atau osteoporosis yang
diinduksi steroid, dapat mempersulit gejala. Berbagai macam gangguan metabolisme tulang
mungkin terjadi dalam perjalanan CKD. Pemahaman tentang patogenesis kelainan ini
kemudian menjadi penting untuk merancang pendekatan rasional dalam pengobatan dan
untuk pencegahan komplikasi.


1


BAB II
ISI

I. Patogenesis penyakit tulang metabolik pada CKD
A. Tingginya tingkat regenerasi pada penyakit tulang metabolik pasien CKD
Penyakit tulang dengan tingkat regenerasi yang tinggi pada CKD adalah hasil
perkembangan dari hiperparatiroidisme sekunder. Telah dikenal bertahun-tahun
bahwa hiperplasia kelenjar paratiroid dan tingginya kadar PTH dalam darah terjadi di
awal perjalanan CKD. Banyak faktor yang menyebabkan aktivitas berlebihan dari
kelenjar paratiroid yang telah ditemukan secara klinis (Gambar1). Faktor-faktor ini
meliputi retensi fosfor, penurunan kadar calcitriol, perubahan intrinsik dikelenjar
paratiroid yang menimbulkan sekresi PTH yang meningkat seiring dengan
meningkatnya pertumbuhan paratiroid, ketahanan tulang terhadap aktivasi PTH, dan
hypocalcemia. Meskipun setiap kelainan dianggap secara terpisah, namun penting
untuk menekankan bahwa semua saling terkait erat dan satu atau lebih faktor-faktor
ini dapat mendominasi pada waktu yang berbeda selama perjalanan penyakit ginjal
dan kemungkinan akan bervariasi sesuai dengan jenis dan kecepatan dari
perkembangan CKD.









Gambar 1. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pathogenesis hiperparatiroid sekunder
2


B. Peran Retensi Fosfat.
Peran utama retensi fosfat dalam patogenesis hiperparatiroidisme sekunder
telah ditunjukkan oleh serangkaian studi beberapa tahun. Pendapat awal mengatakan
bahwa retensi fosfat sebagai akibat dari penurunan GFR akan menyebabkan
penurunan kadar kalsium terionisasi, yang akan memicu peningkatan sekresi PTH
sehingga kadar baru yang menetapakan tercapai dengan pemulihan kadar kalsium dan
fosfat normal tetapi dengan konsekuensi kadar PTH yang tinggi diperlukan untuk
mempertahankan homeostasis. "Tradeoff" untuk mempertahankan konsentrasi normal
kalsium dan fosfor adalah perkembangan hiperparatiroidisme. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa diet tinggi fosfat mengakibatkan hiperplasia paratiroid. Lebih
penting lagi, bahwa pengurangan diet fosfat sesuai dengan tingkat penurunan GFR
berhasil dalam mencegah perkembangan dari hiperparatiroidisme, dan pengamatan ini
dikonfirmasi selanjutnya dalam studi klinis.
Pada manusia normal, telah ditunjukkan bahwa konsumsi fosfat peroral
menghasilkan peningkatan serum fosfat, penurunan kadar kalsium terionisasi, dan
peningkatan kadar PTH dalam darah. Namun, ada keraguan apakah hal ini terjadi
pada gagal ginjal tahap awal, karena hiperphosphatemia tidak tampak, bahkan pada
pasien yang kadar PTHnya sudah meningkat. Demikian pula, hipocalcemia tidak
biasa tampak pada pasien dengan CKD, dan telah ada kesulitan dalam
memperlihatkan hipocalcemia intermitten setelah pemberian fosfat. Oleh karena itu,
ada keraguan bahwa ini adalah mekanisme yang mendasari efek fosfat pada fungsi
paratiroid. Pada kenyataannya, studi eksperimental tentang hipocalcemia dapat
dicegah dengan memberi diet tinggi kalsium, hipokalsemia tidak terjadi dan malah
sedikit meningkat, meskipun hiperparatiroidisme terjadi. Jelas bahwa hipocalcemia
bukan faktor penting perkembangan hiperparatiroidisme dalam CKD, dan faktor-
faktor lainnya harus dipertimbangkan.
Telah dibuktikan bahwa produksi calcitriol diatur oleh fosfor, sehingga retensi
fosfor dapat menyebabkan penurunan kadar calcitriol dalam darah. Ini telah
dibuktikan dalam penelitian eksperimental bahwa pemberian calcitriol dalam jumlah
yang cukup untuk mencegah turunnya kadar calcitriol dalam darah, berhasil dalam
mencegah perkembangan hiperparatiroidisme. Mekanisme ini juga dapat menjelaskan
3

efek pembatasan fosfat dalam perbaikan hiperparatiroidisme, karena diet rendah fosfat
mungkin menambah produksi calcitriol.
Studi pada hewan percobaan menunjukkan bahwa fosfat mempengaruhi fungsi
paratiroid tanpa tergantung kadar kalsium atau calcitriol, ada kemungkinan bahwa
fosfat mempengaruhi secara langsung. Kemungkinan ini ditunjukkan oleh dua
kelompok peneliti, yang secara independen menunjukkan bahwa perubahan
konsentrasi fosfat ekstraseluler in vitro meningkatkan sekresi PTH tanpa adanya
perubahan pada calcium terionisasi. Mekanisme dari fosfor yang mempengaruhi
sekresi PTH belum dipahami dengan baik saat ini. Telah terbukti bahwa efek dari
konsentrasi fosfor yang tinggi untuk meningkatkan sekresi PTH adalah efek post
transcriptional, dan penelitian ini telah menginisiasi studi baru tentang efek fosfor
pada stabilitas PTH mRNA. Telah dibuktikan bahwa stabilitas PTH mRNA diatur
oleh fosfor, dan efek ini dipengaruhi oleh protein (misalnya, Au-rich RNA
bindingfaktor 1 [AUF1]) dalam kelenjar paratiroid yang mengikatgen transkip PTH
regio ke 3 yang tidak ditranslasikan.
Penelitian baru telah menunjukkan bahwa konsentrasi fosfat ekstraseluler yang
tinggi mengurangi produksi asam arachidonic oleh jaringan paratiroid, dan efek ini
berhubungan dengan peningkatan sekresi PTH. Ada kemungkinan bahwa mekanisme
sinyal ini merupakan hasil dari perubahan kalsium cytosolic pada jalur A2-asam
arakidonat fosfolipase. Namun belum terbukti seberapa tinggi kadar fosfor dapat
mempengaruhi regulasi kalsium intraseluler dalam sel paratiroid.
Fosfor memiliki efek besar pada pertumbuhan paratiroid. Pada hewan yang
sedang menjalani diet tinggi fosfor, ada percepatan pertumbuhan paratiroid,
sedangkan diet rendah fosfor mencegah hiperplasia paratiroid. Penelitian pada hewan
percobaan telah menunjukkan bahwa dietfosfor berefek pada pertumbuhan paratiroid
yang terjadi sangat cepat, dalam beberapa hari setelah induksi uremia/ gagal ginjal
(Gambar 2). Penelitian ini mungkin memiliki arti penting untuk terapi.
Efek dari diet rendah fosfor untuk mencegahpertumbuhan paratiroid
tampaknya dipengaruhi oleh peningkatan siklus sel-regulator p21. Ada jalur yang
berbeda dalam pertumbuhan paratiroid yang distimulasi fosfor, dan penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan ekspresi TGF- di kelenjar paratiroid, dan
peningkatan serupa TGF- oleh diettinggi fosfor pada hewan dengan uremia telah
dibuktikan. Peningkatankonsentrasi TGF- di kelenjar paratiroid dapat berinteraksi
dengan reseptor EGF dan menyebabkan aktivasi mitogen activated protein kinase dan
4

induksi cyclin-1 untuk mendorongsel ke dalam siklus proliferasi. Mekanisme yang
dipengaruhi efek fosfor belum dimengerti saat ini, dan meskipun transporter fosfat
tipe III tampak dalam kelenjar paratiroid, namun tidak ada bukti bahwa transporter ini
berhubungan dengan efek dari fosfor pada sekresi PTH.







Gambar 2. Efek cepat dari induksi uremia pada pertumbuhan kelenjar paratiroid dan
pengaruh diet fosfat
C. Peran Penurunan Sintesis Calcitriol
Produksi utama calcitriol berasal dari ginjal, sehingga tidak mengherankan
jika penurunan massa ginjal mengakibatkan penurunan kemampuan ginjal untuk
menghasilkan calcitriol. Dalam CKD, penurunan produksi calcitriol berperan dalam
hiperparatiroidisme sekunder. Kadar calcitriol tampak menurun perlahan-lahan dan
progresif selama CKD. Penelitian tentang peningkatan kadar PTH akan meningkatkan
aktivitas 1--hidroksilase di ginjal dalam upaya memelihara kadar konsentrasi
mendekati normal, tampak meragukan. Hal ini tidak didukung oleh penelitian yang
menunjukkan kegagalan dari kemampuan PTH untuk menaikkan kadar calcitriol pada
pasien dengan CKD ringan. Pengamatan ini menunjukkan bahwa faktor-faktor
lainjuga terlibat dalam keterbatasan fungsi daripenyakit ginjal untuk meningkatkan
produksi calcitriol. Salah satu faktor tersebut adalah retensi fosfat, karena hal ini dapat
menghambat 1--hidroksilase. Kemungkinan faktor lain adalah fibroblast growth
factor 23, yang terakumulasi pada gagal ginjal dan telah terbukti menurunkan
produksi calcitriol. Fibroblast growth factor 23 tampak diatur oleh asupan diet fosfor
dan kadar serum fosfor, oleh karena itu, mekanisme ini setidaknya sebagian berperan
5

dalam pemeliharaan homeostasis fosfat dengan mengatur ekskresi fosfor ginjal dan
juga memediasi efek fosfor pada hiperparatiroidisme.
Dalam beberapa tahun terakhir, telah ditemukan mekanisme lain yang
memainkan peran. Hal ini diketahui bahwa 25-hydroxyvitamin D, bentuk simpanan
vitaminD, beredar menuju vitamin D-binding protein. Protein dapat disaring di
glomerulus dan memasuki sel tubular proksimal dengan mekanisme mediasi reseptor
yang melibatkan megalin, yang diperlukan untuk penyerapan 25-hidroksi-bound
vitamin D-binding protein ke dalam sel dan memfasilitasi pengiriman prekursor, 25-
hydroxyvitamin D, ke 1--hidroksilase. Dalam perjalanan CKD, penurunan GFR
dalam penurunan pengiriman substrat ke1- hidroksilase, akan membatasi fungsi
ginjal untuk menghasilkan sterol aktif. Selain itu, dalam CKD, banyak pasien
memiliki proteinuria yang signifikan, yang akan menyebabkan hilangnya vitamin D-
binding protein dengan ligan yang terikat dalam urin dan berpengaruh terhadap
tingginya insiden kekurangan vitamin D, dan dimanifestasikan dengan rendahnya
tingkat25-hydroxyvitamin D. Keterbatasan substrat dapat merusak kemampuan ginjal
untuk meningkatkan produksi calcitriol.
Seiring perkembangan penyakit ginjal, ada faktor lain yang dapat membatasi
aktivitas calcitriol. Hal ini bisa terjadi karena menurunnya reseptor vitamin D di
jaringan target atau dari kegagalan dari reseptor vitamin D untuk berinteraksi dengan
cara yang normal dengan elemen responnya dalam DNA. Turunnya reseptor vitamin
D telah ditunjukkan pada kelenjar paratiroid manusia maupun hewan dengn gagal
ginjal. Penelitian lanjut menunjukkan bahwa ultra filtrasi uremik plasma
mempengaruhi aksi vitamin D yang normal.

D. Peran Perubahan Intrinsik pada Kelenjar Paratiroid
Hipokalsemia adalah stimulator kuat untuk sekresi PTH dan pertumbuhan
kelenjar paratiroid. Efek kalsium tampaknya diperantarai oleh calcium-sensing
receptor dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan ekspresi
calcium-sensing receptor pada kelenjar hiperplastik yang terlihat pada gagal ginjal
(44,45)
. Penurunan pada calcium-sensing receptor sangat potensial menyebabkan
peningkatan sekresi PTH karena respon kelenjar paratiroid terhadap stimulasi kalsium
dapat hilang. Namun, hubungan antara calcium-sensing receptor dan kadar dasar dari
PTH tidak jelas. Pada model hewan coba murin untuk transplantasi ginjal, kadar PTH
kembali normal dalam jangka waktu pendek setelah transplantasi, meskipun
6

pengurangan calcium-sensing receptor tetap ada dalam kelenjar paratiroid. Penelitian
in vitro juga telah memisahkan normalisasi kadar PTH dengan ekspresi calcium-
sensing receptor. Sebaliknya, terdapat bukti bahwa calcium-sensing receptor
mungkin berperan dalam pertumbuhan kelenjar paratiroid, yaitu penelitian pada
hewan coba dengan agen kalsimimetik. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
aktivasi dari calcium-sensing receptor lewat cara tersebut berhubungan dengan
pencegahan hiperplasia kelenjar paratiroid.
Penurunan kadar kalsitriol dapat juga memberi peran dalam abnormalitas
paratiroid. Kalsitriol adalah pengatur utama sekresi PTH dan resptor vitamin D yang
diekspresikan pada kelenjar paratiroid. Kalsitriol menurunkan kadar sekresi PTH
secara in vivo dan in vitro akibat efek pada level transkripsi gen PTH. Kalsitriol juga
mengubah sekresi PTH lewat mekanisme lain. Selain efek tidak langsung dari
peningkatan serum kalsium dengan meningkatkan absorpsi kalsium, efek langsung
kalsitriol adalah meningkatkan reseptor vitamin D paratiroid, regulasi pertumbuhan
paratiroid, perubahan pada ekspresi calcium-sensing receptor dan kemungkinan efek
pada set point untuk sekresi PTH yang diatur oleh kalsium. Telah ditunjukkan bahwa
ekspresi reseptor vitamin D menurun pada kelenjar paratiroid hiperplastik yang
terlihat pada penyakit ginjal. Telah ditunjukkan pula secara eksperimental bahwa
pemberian kalsitriol berhubungan dengan upregulasi reseptor vitamin D dan calcium-
sensing receptor dalam kelenjar paratiroid tersebut. Efek kalsitriol pada pertumbuhan
paratiroid juga telah ditunjukkan. Efek tersebut tampaknya melibatkan induksi
inhibitor p21, cyclin-dependent kinase (%). Peran kalsitriol pada pertumbuhan
paratiroid telah dikonfirmasi dengan percobaan pada tikus yang dihilangi reseptor
vitamin D nya dimana normalisasi serum kalsium mengoreksi kadar PTH namun tidak
mengoreksi hiperplasia paratiroid. Akibat pertumbuhan paratiroid juga penting pada
kasus gangguan fungsi paratiroid akibat hiperparatiroid sekunder pada CKD. Telah
diketahui sejak lama bahwa beberapa kelenjar paratiroid yang telah direseksi melalui
paratiroidektomi menunjukkan nodul dan bahwa pewarnaan untuk vitamin D dan
calcium-sensing receptor turun bermakna pada nodul tersebut. Beberapa dari nodul
tersebut dapat mewakili ekspansi monoklonal dari sel paratiroid. Sebuah pertanyaan
penting adalah apakah penurunan ekspresi dari calcium-sensing receptor dan reseptor
vitamin D mengakibatkan akselerasi pertumbuhan paratiroid atau akselerasi
pertumbuhan hanya terkait dengan reduksi dari ekspresi reseptor tersebut. Penelitian
oleh Ritter, et al. menunjukkan bahwa proliferasi sel paratiroid tampak mengawali
7

hilangnya calcium-sensing receptor pada kelenjar paratiroid dari hewan uji dengan
gagal ginjal.

E. Resistensi Skeletal terhadap Aksi Hormon Paratiroid (PTH)
Sebuah respon calcemic yang berkurang terhadap pemberian PTH telah dikenal
selama bertahun-tahun, dan juga telah diakui bahwa terdapat pemulihan tertunda dari
hipokalsemia pada pasien dengan penyakit ginjal. Fenomena ini, dikenal sebagai
resistensi skeletal/tulang terhadap aksi calcemic dari PTH, dapat berkontribusi untuk
berkembangnya hiperparatiroidisme. Banyak faktor kemungkinan terlibat dalam
resistensi tulang, termasuk retensi fosfor, kemungkinan akibat penurunan tingkat
calcitriol, down-regulasi dari reseptor PTH, dan aksi potensial dari fragmen PTH
yang telah terbukti menumpulkan efek calcemic PTH. Dukungan eksperimental untuk
semua faktor tersebut telah diungkapkan.

F. Rendahnya Proses Regenerasi Tulang pada Penyakit Tulang Metabolik dengan
CKD
Rendahnya proses regenerasi pada penyakit tulang umumnya diamati pada
pasien dengan penyakit ginjal, terutama pada pasien yang menjalani dialisis, dan
ditandai oleh tingkat formasi tulang yang sangat lambat. Beberapa kasus
menunjukkan osteomalacia, yang ditandai dengan cacat mineralisasi tulang selain
tingkat pembentukan tulang yang sangat lambat. Lesi osteomalacic terutama karena
akumulasi aluminum. Namun, menjadi kurang umum saat ini dengan adanya
penurunan penggunaan aluminum berbasis pengikat fosfor. Tulang adinamik pada
penyakit ginjal ditemukan meningkat frekuensinya dan telah dijelaskan dalam
beberapa kasus bahkan sebelum dialisis. Patogenesis tulang adinamik tidak
didefinisikan dengan baik, tetapi tampaknya beberapa faktor mungkin terlibat
(Gambar 3). Sejumlah faktor berkontribusi terhadap keadaan relatif
Hipoparatiroidisme seperti pemberian muatan tinggi kalsium dari kalsium yang
mengandung pengikat fosfat atau penggunaan konsentrasi tinggi dialisat kalsium,
serta penggunaan vitamin D sterol yang poten. Umur juga dapat menjadi faktor karena
banyak pasien usia lanjut mungkin memiliki pergantian tulang yang rendah atas dasar
adanya osteoporosis postmenopause atau osteopenia terkait dengan penyakit sistemik.
Beberapa komplikasi lain dari keadaan uremik dapat mengarah langsung pada
penurunan pembentukan tulang dan termasuk peningkatan konsentrasi peptida dalam
8

sirkulasi yang dapat menurunkan pembentukan tulang, seperti osteoprotegerin dan
fragmen PTH N-terminal, racun uremik tak spesifik, asidosis, penurunan ekspresi
reseptor PTH, perubahan dalam konsentrasi faktor pertumbuhan dan sitokin yang
mempengaruhi pergantian tulang, osteoporosis diinduksi terapi kortikosteroid
sebelumnya, atau malnutrisi umum. Satu faktor pertumbuhan tulang yang menarik
adalah morphogenic protein-7, yang awalnya terbukti memiliki efek yang
menguntungkan dalam osteitis fibrosa

namun, akhir-akhir ini diduga memiliki efek
menguntungkan pada tulang adinamik. Pergantian tulang yang rendah pada
osteomalacia yang terjadi pada pasien CKD telah diketahui selama bertahun-tahun.
Sekarang jelas bahwa kebanyakan kasus osteomalacia terkait dengan akumulasi
aluminum dalam tulang dan insidensinya telah menurun secara bermakna dengan
penurunan penggunaan aluminum yang mengandung pengikat fosfor.







Gambar 3. Faktor-Faktor yang terlibat dalam patogenesis adinamik tulang pada CKD

II. Tanda dan Gejala Klinis Penyakit Metabolik Tulang pada CKD
Penyakit metabolik tulang pada pasien dengan penyakit ginjal sering asimtomatik,
dan gejala muncul terlambat dalam perjalanannya. Banyak gejala yang tidak spesifik
termasuk rasa sakit dan kekakuan pada sendi, tendon ruptur spontan, predisposisi untuk
fraktur, dan kelemahan otot proksimal. Gejala serupa dapat dilihat di kedua jenis
kelainan skeletal dengan tingkat pergantian tulang yang rendah maupun yang tinggi.
Penting untuk menekankan bahwa tidak adanya tanda dan gejala klinis dari penyakit
tulang metabolik bukan berarti kelainan ini bisa diremehkan, karena banyak proses
terlibat yang mendasari penyakit metabolik tulang juga memiliki konsekuensi di
ekstraskeletal dan pengendalian proses-proses ini penting untuk mengurangi morbiditas
9

dan mortalitas. Kalsifikasi ekstraskeletal, khususnya yang melibatkan pembuluh darah,
dan kalsifikasi pada kulit dan calciphylaxis juga dapat dilihat. Kalsifikasi kardiovaskular
sangat umum dan penting pada pasien dengan penyakit ginjal, di antaranya berkembang
dan berlangsung dengan cepat dan memprediksi berbagai hasil yang merugikan.
Berbagai jenis penyakit tulang metabolik dan gangguan mineral terkait dapat
berkontribusi untuk hal tersebut. Proses yang bertanggung jawab untuk kalsifikasi
vaskular adalah fokus penelitian terbaru. Bukti sekarang menunjukkan bahwa kalsifikasi
vaskular adalah proses aktif yang teratur memiliki banyak kemiripan dengan proses
mineralisasi tulang. Penelitian menunjukkan bahwa dinding pembuluh yang normal
mengekspresikan protein yang menghambat kalsifikasi seperti protein GLA matriks.
Selain itu, protein yang beredar dalam sirkulasi seperti fetuin-A diproduksi pada tempat
lokal dan bertindak untuk menghambat kalsifikasi jaringan lunak sistemik. Namun,
perubahan protein ini dapat menyebabkan terlihatnya transformasi sel otot polos
pembuluh darah menjadi sel mirip osteo/chondrocytic yang kemudian memfasilitasi
kalsifikasi. Baik temuan penelitian klinis dan dasar menunjukkan hubungan terbalik
antara mineralisasi tulang dan kalsifikasi vaskular. Mekanisme yang menghubungkan
kedua proses adalah topik aktif penelitian.

III. Penilaian Biokimiawi Penyakit Tulang Metabolik pada CKD
Meskipun pemeriksaan histologis bagian dari tulang yang tidak terkalsifikasi tetap
menjadi gold standar untuk diagnosis tepat penyakit tulang ginjal, biopsi tulang tidak
banyak digunakan dalam praktik klinis karena sifat invasif dari teknik ini. Oleh karena
itu, penilaian biokimia dari gangguan tulang dan metabolisme mineral adalah andalan
diagnosis dan pengobatan. Selain pengukuran konsentrasi kalsium dan fosfor, yang dapat
berkontribusi untuk timbulnya hiperparatiroidisme, penting untuk mendapatkan indeks
langsung aktivitas paratiroid dengan cara pengukuran PTH. Pengukuran kalsium dan
fosfor harus sering dilakukan, dan terapi perlu disesuaikan dengan pedoman praktik
klinis yang diterima secara luas untuk mempertahankan konsentrasi kalsium dan fosfor
dalam rentang yang ditetapkan. Penilaian tepat dari tes PTH masih menjadi masalah,
bahkan meskipun tes untuk PTH telah mengalami evolusi substansial dalam beberapa
dekade terakhir. Kebingungan awal atas interpretasi tes PTH setelah pengenalan awal
mereka memberi jangka waktu lebih stabil dengan peluncuran dua situs Immunometric
tes, yang diyakini untuk mengukur PTH secara utuh. Hal ini atas dasar generasi pertama
Immunometric tes yang disediakan pedoman terapi saat ini. Lebih lanjut penelitian dalam
10

beberapa tahun terakhir, telah membuat rumit interpretasi hasil ini sehingga sekarang
diketahui bahwa tes tersebut juga mengukur, untuk berbagai tingkat, fragmen PTH N-
terminal selain PTH utuh. Sekarang tampaknya bahwa beberapa aktivitas biologis dapat
dikaitkan dengan fragmen PTH N-terminal ini, seperti PTH 7-84. yang tampaknya
berlawanan arah dengan aksi PTH pada tulang. Hal ini terus menjadi bidang penelitian
aktif. Perkembangan teknik assay PTH lebih lanjut telah memperkenalkan tes yang
sekarang lebih spesifik untuk molekul PTH utuh (1-84). Pengujian ini telah berperan
dalam mengungkap aksi biologis PTH fragmen N-terminal, seperti PTH 7-84. Banyak
yang perlu dipelajari tentang biologi dan efek PTH fragmen tersebut sebelum aplikasi
klinis dan pengambilan keputusan klinis menggunakan pengukuran atau rasio antara
PTH 1-84 dan PTH fragmen seperti 7-84 dapat didefinisikan. Generasi kedua, tes yang
lebih spesifik untuk PTH 1-84 tidak tersedia secara luas, dan, dengan demikian, terdapat
ketergantungan lebih pada tes " PTH utuh " dari jenis generasi pertama, yang tampaknya
dapat dilakukan dengan baik dalam praktek klinis. Namun, meskipun tes pada individu
dapat memberi hasil baik, ada cukup banyak variasi dalam hasil yang diperoleh dengan
tes dari produsen yang berbeda, terutama karena tingkat reaktivitas silang dengan PTH
fragmen N-terminal yang berada dalam sirkulasi. Upaya sedang dilakukan, dipelopori
oleh Yayasan Ginjal Nasional, mencoba untuk memberikan standar biologis yang dapat
digunakan dokter dan peneliti untuk membantu dalam interpretasi hasil PTH. Sejumlah
penanda biologis pembentukan tulang dan resorpsi tulang dapat digunakan dalam
hubungannya dengan pengukuran ion mineral dan PTH untuk mengukur aktivitas sel.
Dari jumlah tersebut, tampaknya alkaline phosphatase dan tulang-spesifik basa fosfatase
adalah protein yang paling berguna dalam hal ini, dan lainnya, seperti osteocalcin,
procollagen, propeptides, produk kerusakan kolagen, tartrat tahan asam fosfatase, dan
kolagen C-terminal telopeptide, tidak menambah nilai klinis, dan banyak pekerjaan lebih
lanjut perlu dilakukan untuk mencoba memperoleh penilaian biokimia bermakna dari
aktivitas sel tulang.

IV. Pencegahan dan Manajemen Penyakit Metabolik Tulang pada CKD
Tujuan pengelolaan penyakit tulang metabolik pada pasien dengan CKD adalah
untuk mempertahankan tingkat kalsium dan fosfor darah mendekati normal, melakukan
tindakan untuk mencegah perkembangan ke tingkat yang lebih parah, memulai
pengobatan hiperparatiroidisme dan untuk mencegah perkembangan hiperplasia
paratiroid. Tujuan tambahan adalah untuk mencegah kalsifikasi ekstraskeletal dan untuk
11

menghindari oversupresi pergantian tulang apabila adinamik tulang mungkin terjadi. Hal
ini juga diperlukan untuk menghindari akumulasi dari bahan yang dapat menjadi racun
bagi tulang, seperti aluminum. Inti dalam pencegahan dan pengelolaan penyakit
metabolik tulang dalam praktik klinis adalah kemampuan untuk melakukan campur
tangan di awal perjalanan CKD, ketika proses ini dimulai, dengan menggunakan
pendekatan "perawatan bertingkat" seperti diilustrasikan pada Gambar 4. Gangguan
dalam regulasi homeostasis kalsium dan fosfat perlu dievaluasi dengan pengukuran PTH
saat LFG berkurang. Jika PTH meningkat, maka kadar vitamin D harus dievaluasi dan
diobati jika diperlukan.
Data terbaru telah memunculkan pertimbangan penting lain dalam penyakit ginjal
saat ini yaitu faktor risiko kekurangan vitamin D, dan kadar 2,5 - hidroksi vitamin D,
bentuk penyimpanan utama vitamin D dan indeks terbaik dari nutrisi vitamin D, yang
ditemukan sangat rendah di sebagian besar pasien dengan CKD. Rekomendasi terbaru
adalah untuk memperbaiki kekurangan ini dengan pemberian preparat vitamin D seperti
ergocalciferol dengan dosis cukup untuk meningkatkan kadar 2,5-hidroksi vitamin D di
atas 30 ng/ml. Efikasi klinis dari hal tersebut masih harus dibuktikan berkaitan dengan
pencegahan hiperparatiroidisme. Diet pembatasan fosfor dapat digunakan dalam CKD
awal untuk mengendalikan perkembangan hiperparatiroidisme, meskipun pembatasan
protein harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari kekurangan gizi. Langkah-
langkah lain yang telah terbukti sukses termasuk suplemen kalsium, penggunaan
pengikat fosfat dan penggunaan vitamin D sterol seperti calcitriol, vitamin D
prohormones alfacalcidol dan doxercalciferol, dan analog vitamin D paricalcitol.
Pedoman praktek juga menunjukkan bahwa pembatasan jumlah pengikat fosfat berbasis
kalsium juga dipertimbangkan, karena beberapa data yang menunjukkan bahwa besar
beban kalsium dapat berkontribusi pada perkembangan kalsifikasi vaskular pada pasien
yang mengalami ESRD dan menjalani hemodialisis. Pengenalan non-kalsium yang
mengandung pengikat fosfat dapat memfasilitasi pembatasan asupan kalsium, sebagai
contoh yaitu sevelamer hidroklorida sangat berguna pada pasien yang sedang menjalani
dialisis untuk membantu kontrol serum fosfor sekaligus membatasi asupan kalsium ke
nilai yang dianjurkan. Sevelamer telah terbukti berhubungan dengan penurunan
perkembangan kalsifikasi vaskular. Baru-baru ini diperkenalkan lantanum karbonat juga
telah terbukti menjadi pengikat fosfat yang efektif yang juga dapat memfasilitasi kontrol
fosfor sekaligus membatasi asupan kalsium. Pada penyakit ginjal lanjut, penggunaan
sterol vitamin D aktif dapat berguna dalam pengendalian hiperparatiroidisme, dan
12

persiapan beberapa saat tersedia dalam hal ini. Hormon calcitriol yang asli tersedia
dalam sediaan oral dan intravena dan bersifat efektif tetapi memiliki rentang jendela
terapi yang cukup sempit antara efikasi dan toksisitas. Vitamin D sterol lain telah
diperkenalkan, seperti prohormon vitamin D, 1 --Hidroksivitamin D3 dan 1--
Hidroksivitamin D2. Kedua sterol ini mengalami hidroksilasi di hati menjadi 1-25-
dihidroksivitamin D3 dan 1-25-dihidroksi vitamin D2. Sedangkan dalam rentang terapi,
ada sedikit perbedaan antara vitamin D2 dan prohormon vitamin D3 untuk meningkatkan
kalsium dan fosfor, namun tampaknya toksisitas yang lebih rendah dimiliki sterol
vitamin D2 saat diberikan pada dosis tinggi, efek yang mungkin disebabkan jalur
metabolik alternatif.
Pendekatan lain dilakukan dengan menggunakan analog vitamin D, dengan
melakukan modifikasi pada struktural molekul vitamin D untuk mencapai selektivitas
penekanan PTH sambil meminimalkan efek kalsium dan fosfor. Tiga analog tersebut
telah diperkenalkan: 19-nor-1 ,25-dihydroksivitamin D2, 22-oxacalcitriol, dan 26,27-
hexafluorocalcitriol. 19-Nor-1 ,25-dihydroksivitamin D2 secara luas digunakan di
Amerika Serikat dan terbukti efektif dengan toksisitas yang agak lebih rendah daripada
sterol calcitriol asli. Analog tersebut digunakan pada awalnya dalam bentuk intravena
pada pasien yang menjalani hemodialisis tapi sekarang tersedia dalam bentuk oral dan
sedang digunakan pada CKD derajat 3 dan 4. Meskipun pada hewan percobaan terdapat
perbedaan yang signifikan dalam sifat berbagai analog vitamin D dalam hal efek pada
penyerapan kalsium dan fosfor serta pada kalsifikasi vaskular, namun tidak ada studi
banding dari analog vitamin D berkaitan dengan keamanan dan kemanjuran pada pasien.
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat pengamatan menarik tentang efek positif
pemberian sterol vitamin D pada pasien yang menjalani hemodialisis dapat dikaitkan
dengan peningkatan survival rate dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima
sterol vitamin D. Mekanisme untuk efek tersebut tidak diketahui, tetapi menimbulkan
pertimbangan bahwa efek vitamin D nonklasikal mungkin memainkan peran. Demikian
pula, studi retrospektif dari pasien yang dirawat dengan calcitriol dibandingkan dengan
mereka yang menerima paricalcitol menunjukkan bahwa tampaknya ada manfaat
peningkatan survival rate dengan adanya pemberian vitamin D analog paricalcitol. Sekali
lagi, mekanisme efek tersebut tidak diketahui dan jelas membutuhkan studi lebih rinci.
Cinacalcet calcimimetic merupakan agen terapi lain untuk kontrol pada pasien
dengan hiperparatiroidisme ESRD dan telah terbukti efektif dalam mengurangi kadar
PTH. Agen ini, yang merupakan aktivator alosterik kalsium-sensing reseptor,
13

menghasilkan penurunan serum kalsium dan dapat memfasilitasi dalam menjaga
konsentrasi serum kalsium dalam target yang disarankan. Terapi cinacalcet juga
menghasilkan penurunan kecil dalam konsentrasi fosfor pada pasien dengan ESRD yang
juga menguntungkan dalam memenuhi pedoman praktik. Pendekatan ini sangat berguna
bagi pasien yang memiliki kalsium dan fosfor serum di atas batas atas normal dan di
mana penggunaan vitamin D sterol mungkin bermasalah. Terapi Calcimimetic dapat
digunakan dalam kombinasi dengan semua pendekatan terapi yang telah dibahas diatas.
Hasil dari penelitian rinci dalam 4 dekade terakhir, telah ada kemajuan yang cukup
besar dalam pemahaman patofisiologi berbagai pola penyakit metabolik tulang pada
CKD. Pengamatan ini telah menyebabkan pendekatan rasional untuk terapi dan
pengenalan agen terapi baru yang dapat digunakan untuk memodifikasi komplikasi
penyakit ginjal ini. Pendekatan juga terus mengarah pada pengungkapan hal-hal baru
yang membutuhkan penyelidikan, seperti upaya untuk memahami dan memodifikasi
kalsifikasi vaskular, untuk memahami peran biologis N-terminal dari fragmen PTH, dan
untuk memahami makna biologis nonklasikal dari vitamin D. Diharapkan dengan
kemajuan ini kondisi kesehatan pasien dengan CKD dapat ditingkatkan.












14

BAB III
KESIMPULAN

A. Simpulan
1. Gangguan metabolik tulang adalah suatu komplikasi umum dari penyakit ginjal
kronis (CKD) danmerupakan bagian dari spektrum yang luas darigangguan
metabolisme mineral yang dapat berdampakke skeletal maupun ekstraskeletal.
2. Spektrum Penyakit Tulang Metabolik ditandai dengan adanya abnormalitas
kalsium, fosfor, hormon paratiroid (PTH), dan metabolisme vitamin D;
abnormalitas regenerasi tulang (turnover), mineralisasi, volume, pertumbuhan
liniar, dan kekuatannya; kalsifikasi vaskular atau jaringan lunak .
3. Patogenesis dasar dari penyakit tulang metabolik adalah tingginya regenerasi
tulang akibat hiperparatirodisme sekunder, rendahnya regenerasi tulang akibat
hipoparatiroidisme relatif dan proses sistemik lain yang telah ada sebelumnya.
4. Manifestasi klinik Penyakit Tulang Metabolik pada CKD dapat non-spesifik
seperti rasa sakit dan kekakuan pada sendi, ruptur tendon spontan, rentan terhadap
fraktur, kelemahan otot proksimal, dan dapat berupa asimtomatik skeletal yang
mungkin terjadi manifestasi ekstraskeletal seperti kalsifikasi pembuluh darah pada
sistem kardiovaskular.
5. Pencegahan dan manajemen Penyakit Tulang Metabolik pada CKDmemiliki
tujuan utama dan tambahan. Tujuan utamanya adalah untuk mempertahankan
tingkat kalsium dan fosfor darah mendekati normal, melakukan tindakan untuk
mencegah perkembangan ke tingkat yang lebih parah, memulai pengobatan
hiperparatiroidisme dan untuk mencegah perkembangan hiperplasia
paratiroid.Tujuan tambahannyya adalah untuk mencegah kalsifikasi ekstraskeletal
dan dapat menghindari oversupresi tulang bila terjadi adinamik tulang.





15

DAFTAR PUSTAKA
1. Moe S, Drueke T, Cunningham J, Goodman W, Martin K, Olgaard K, Ott S, Sprague S,
Lameire N, Eknoyan G:Definition, evaluation, and classification of renal osteodys-trophy:
A position statement from Kidney Disease: Im-proving Global Outcomes (KDIGO).
Kidney Int 69: 19451953, 2006
2. Reiss E, Canterbury JM, Kanter A: Circulating parathyroid hormone concentration in
chronic renal insufficiency. Arch Intern Med 124: 417 422, 1969
3. Arnaud CD: Hyperparathyroidism and renal failure. Kid-ney Int 4: 89 95, 1973\
4. Slatopolsky E, Caglar S, Pennell JP, Taggart DD, Canter-bury JM, Reiss E, Bricker NS:
On the pathogenesis of hyperparathyroidism in chronic experimental renal insuf-ficiency in
the dog. J Clin Invest 50: 492 499, 1971
5. Slatopolsky E, Caglar S, Gradowska L, Canterbury J, Reiss E, Bricker NS: On the
prevention of secondary hyperpara-thyroidism in experimental chronic renal disease using
proportional reduction of dietary phosphorus intake. Kidney Int 2: 147151, 1972
6. Slatopolsky E, Bricker NS: The role of phosphorus restric-tion in the prevention of
secondary hyperparathyroidism in chronic renal disease. Kidney Int 4: 141145, 1973
7. Slatopolsky E, Delmez JA: Pathogenesis of secondary hy-perparathyroidism. Am J Kidney
Dis 23: 229 236, 1994
8. Laflamme GH, Jowsey J: Bone and soft tissue changes withoral phosphate supplements. J
Clin Invest 51: 2834 2840,1972
9. Rutherford WE, Bordier P, Marie P, Hruska K, Harter H, Greenwalt A, Blondin J, Haddad
J, Bricker N, Slatopolsky E: Phosphate control and 25-hydroxycholecalciferol ad-
ministration in preventing experimental renal osteodystro-phy in the dog. J Clin Invest 60:
332341, 1977
10. Portale AA, Booth BE, Halloran BP, Morris RCJ: Effect of dietary phosphorus on
circulating concentrations of 1,25-dihydroxyvitamin D and immunoreactive parathyroid
hormone in children with moderate renal insufficiency. J Clin Invest 73: 1580 1589, 1984
11. Lopez-Hilker S, Galceran T, Chan YL, Rapp N, Martin KJ, Slatopolsky E: Hypocalcemia
may not be essential for the development of secondary hyperparathyroidism in chronic
renal failure. J Clin Invest 78: 10971102, 1986
12. Slatopolsky E, Finch J, Denda M, Ritter C, Zhong M, Dusso A, MacDonald PN, Brown
AJ: Phosphorus restriction pre-vents parathyroid gland growth. High phosphorus directly
stimulates PTH secretion in vitro. J Clin Invest 97: 2534 2540, 1996
13. Almaden Y, Hernandez A, Torregrosa V, Canalejo A, Sa-bate L, Fernandez Cruz L,
Campistol JM, Torres A, Rodri-guez M: High phosphate level directly stimulates parathy-
roid hormone secretion and synthesis by human parathyroid tissue in vitro. J Am Soc
Nephrol 9: 18451852, 1998
14. Kilav R, Silver J, Naveh-Many T: Parathyroid hormone gene expression in
hypophosphatemic rats. J Clin Invest 96:327333, 1995
15. Yalcindag C, Silver J, Naveh-Many T: Mechanism of in-creased parathyroid hormone
mRNA in experimental ure-mia: Roles of protein RNA binding and RNA degradation. J
Am Soc Nephrol 10: 25622568, 1999
16. Naveh-Many T, Rahamimov R, Livni N, Silver J: Parathy-roid cell proliferation in
normal and chronic renal failure rats. The effects of calcium, phosphate, and vitamin D. J
Clin Invest 96: 1786 1793, 1995
17. Dusso AS, Sato T, Arcidiacono MV, Alvarez-Hernandez D, Yang J, Gonzalez-Suarez I,
Tominaga Y, Slatopolsky E: Pathogenic mechanisms for parathyroid hyperplasia. Kid-ney
Int Suppl 102: S8 S11, 2006
16

18. Cozzolino M, Lu Y, Sato T, Yang J, Suarez IG, Brancaccio D, Slatopolsky E, Dusso AS:
A critical role for enhanced TGF-alpha and EGFR expression in the initiation of para-
thyroid hyperplasia in experimental kidney disease. Am J Physiol Renal Physiol 289:
F1096 F1102, 2005
19. Ritz E, Seidel A, Ramisch H, Szabo A, Bouillon R: Atten-uated rise of 1,25 (OH)2
vitamin D3 in response to para-thyroid hormone in patients with incipient renal failure.
Nephron 57: 314 318, 1991
20. Gutierrez O, Isakova T, Rhee E, Shah A, Holmes J, Col-lerone G, Juppner H, Wolf M:
Fibroblast growth factor-23 mitigates hyperphosphatemia but accentuates calcitriol de-
ficiency in chronic kidney disease. J Am Soc Nephrol 16: 22052215, 2005

Anda mungkin juga menyukai