EPISTAXIS
Disusun oleh :
Fatimatuzzarah
20090310171
PEMBIMBING
Dr. Yunie Wulandarri, Sp.THT.KL.M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD SALATIGA
2014HALAMAN PENGESAHAN
EPISTAKSIS
Disusun oleh
Nama : Fatimatuzzarah
NIM
: 20090310171
sDAFTAR ISI
REFERAT................................................................................................................i
EPISTAXIS..............................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................6
A.
ANATOMI.............................................................................................................6
B.
FISIOLOGI..........................................................................................................10
Fungsi Respirasi.....................................................................................................10
Fungsi Penghidu.....................................................................................................10
Fungsi Fonetik........................................................................................................11
Refleks Nasal...........................................................................................................11
C.
DEFINISI.............................................................................................................12
D.
ETIOLOGI...........................................................................................................12
E.
PATOFISIOLOGI.................................................................................................15
F.
G.
MANAJEMEN.....................................................................................................18
H.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS............................................................................22
I.
KOMPLIKASI.....................................................................................................22
J.
PENCEGAHAN...................................................................................................23
K.
PROGNOSIS........................................................................................................23
L.
KESIMPULAN....................................................................................................23
BAB III..................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
ANATOMI
Hidung terdiri dari hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagianbagiannya dari atas ke bawah :
a) Pangkal hidung (bridge)
b) Batang hidung (dorsum nasi)
c) Puncak hidung (hip)
d) Ala nasi
e) Kolumel
f) Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
a) Tulang hidung (os nasal)
b) Prosesus frontalis os maxilla
c) Prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
a) Sepasang kartilago nasalis lateralis superior.
b) Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih
kecil lagi ialah konka superior sendangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang
nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrise).
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna dan karotis
interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum
nasi melalui :
a) Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui
foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan
dinding lateral hidung.
b) Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan
melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior
septum nasi.
Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior
dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral superior
Gb 2. Vaskularisasi Hidung
B.
FISIOLOGI
Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu
udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur
suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus,
bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung
oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan reflex bersin.
2.
Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi
hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk membedakan rasa
manis yang berasal dari berbagai macam bahan.
Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang,sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis
rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis
atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi
karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair
(ketika pilek) atau padat (polip, tumor, benda asing) yang menyumbat.
4. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan
saluran cerna,kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pancreas.
C.
DEFINISI
Epistaksis adalah perdarahan akut yang asalnya dapat dari lubang hidung,
rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan
gejala dari suatu kelainan yang hampir 90 % dapat berhenti sendiri.
Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada
anak-anak dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada pelanan kesehatan
primer dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit atau ke spesialis
THT. Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi ringan dan bersifat selflimiting, ada beberapa kasus yang berat dan mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang serius. Penting sekali mencari asal perdarahan dan
menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan mengobati
penyebab yang mendasarinya.
D.
ETIOLOGI
Sistemik
Trauma
Kelainan darah
Pengeluaran sekret yang terlalu kuat,Trombositopenia, hemofilia dan leukemia
E.
PATOFISIOLOGI
Secara anatomi, perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang
mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya
menyuplai bagian superior hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari
arteri karotis eksterna dan cabang-cabang utamanya.
Arteri sfenopalatina membawa darah untuk separuh bawah dinding
hidung lateral dan bagian posterior septum. Semua pembuluh darah hidung ini
saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Pleksus vaskular di
sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa menggabungkan sebagian
anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau pleksus Kiesselbach.
Karena ciri vaskularnya dan fakta bahwa daerah ini merupakan objek trauma
fisik dan lingkungan berulang maka merupakan lokasi epistaksis yang yang
paling.
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar cukup sukar. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari
bagian anterior dan posterior.
a) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan
sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari
arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti spontan dan dapat
dikendalikan dengan tindakan sederhana
Gb 6. Epistaxis anterior
b) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid
posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang dapat
berhenti
F.
5. Anamnesis
Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya
perdarahan, frekuensi, lamanya perdarahan, dan riwayat perdarahan
hidung sebelumnya.
Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang
berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu,
ditanyakan juga megenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang
berkaitan
dengan
perdarahan
misalnya
riwayat
darah
tinggi,
Pemeriksaan Fisik
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,
speculum hidung, suction (bila ada), pinset bayonet, kapas, kain kassa.
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi
dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk
mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.
Dengan menggunakan spekulum,
dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang
sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi
untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Kemudian
dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan
pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke
dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi
pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10
sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma
infeksi.
e
f
Riwayat penyakit
G. MANAJEMEN
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu : menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
Kalau ada syok, perbaiki dulu kedaan umum pasien.
a
Gb 8. Metode Trotter
b. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang
Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk
tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring.
Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon
anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat
lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi.
Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut
(tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini
berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap
pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.
H. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Penyakit di mana sumber perdarahannya tidak berasal dari nasal
akan tetapi darah keluar melalui cavum nasi seperti: hemoptisis, varises
oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii yang kemudian darah
mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.
I. KOMPLIKASI
Dapat disebabkan oleh epistaxis sendiri atau karena usaha
penanggulangannya. Pemasangan tampon anterior dapat menimbulkan
sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody
tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia. Pemasangan tampon posterior dapat
J. PENCEGAHAN
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
epistaksis antara lain :
a) Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam pada kedua lubang
hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat
mencampur 1 sendok teh garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20
menit lalu biarkan sampai hangat kuku.
b) Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c) Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan
masukkan cotton bud melebihi 0,5 0,6cm ke dalam hidung.
d) Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e) Bersin melalui mulut.
f) Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g) Batasi penggunaan obat obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti
aspirin atau ibuprofen.
h) Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi
biasa.
i) Stop merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan iritasi.
K.
PROGNOSIS
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri.
Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan
hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk
L. KESIMPULAN
Epistaksis adalah suatu gejala dan bukan merupakan suatu penyakit, yang
disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu.
Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal.
Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok
besar yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi
dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis
posterior. Dalam memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat
yang tepat dan dalam posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak
menelan darahnya sendiri.
Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan
rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen
sinus atau dengan CT-Scan atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan
mencari tahu riwayat penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang dilakukan
pada epistaksis adalah:
a) Memencet hidung
Epsitaxis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda keras
ke dalam hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras,
bersin melalui mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan
perdarahan, dan terutam berhenti merokok.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1
Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi
Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III.
Jakarta, Penerbit EGC, 1997.
Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 127-31.
feb
19
[diunduh
25
juli
2013]
Available
from:
http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
4
from:
http://fkuii.org/tiki-
download_wiki_attachment.php?attId=2175&page=LEM
%20FK%20UII
28
[diunduh
25
juli
2013]
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment
6