Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

EPISTAXIS

Disusun oleh :
Fatimatuzzarah
20090310171

PEMBIMBING
Dr. Yunie Wulandarri, Sp.THT.KL.M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD SALATIGA
2014HALAMAN PENGESAHAN

Telah diajukan dan disahkan referat dengan judul


1

EPISTAKSIS

Disusun oleh

Nama : Fatimatuzzarah
NIM

: 20090310171

Salatiga, 0 Oktober 2014


Disetujui oleh :
Dokter Pembimbing

Dr. Yunie Wulandarri, Sp.THT.KL.M.Ke

sDAFTAR ISI

REFERAT................................................................................................................i
EPISTAXIS..............................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................6
A.

ANATOMI.............................................................................................................6

B.

FISIOLOGI..........................................................................................................10
Fungsi Respirasi.....................................................................................................10
Fungsi Penghidu.....................................................................................................10
Fungsi Fonetik........................................................................................................11
Refleks Nasal...........................................................................................................11

C.

DEFINISI.............................................................................................................12

D.

ETIOLOGI...........................................................................................................12

E.

PATOFISIOLOGI.................................................................................................15

F.

GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN..................................................16


Anamnesis...............................................................................................................16
Pemeriksaan Fisik..................................................................................................17

G.

MANAJEMEN.....................................................................................................18

H.

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS............................................................................22

I.

KOMPLIKASI.....................................................................................................22

J.

PENCEGAHAN...................................................................................................23

K.

PROGNOSIS........................................................................................................23

L.

KESIMPULAN....................................................................................................23

BAB III..................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25

BAB I
PENDAHULUAN

Rongga hidung kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga anterior,


tepatnya pada septum yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat
anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga
posterior juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup
besar antara lain dari arteri sphenopalatina.
Hidung berdarah alias epistaxis atau mimisan adalah satu keadaan
pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung. Epistaxis adalah
keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluhan bukan penyakit
utamanya. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat
menjengkelkan dan mengganggu yang tidak begitu memiliki arti klinis, namun
dapat pula terjadi pada kondisi yang dapat mengancam nyawa. Faktor etiologi
harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif. Epistaksis
berat, walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien,
bahkan dapat berakibat fatal, bila tidak segera ditolong
Perdarahan ini disebabkan oleh kelainan lokal maupun sistemik dan
sumber perdarahan yang paling sering adalah dari pleksus Kiesselbachs.
Epistaxis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana
hampir 90 % dapat berhenti sendiri. Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10
tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering.
Seringkali epistaxis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadangkadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaxis dapat disebabkan oleh kelainan
lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma,
kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor,
pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler,

kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal


dan kelainan kongenital.
Epistaxis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga
sedikit dan berhenti sendiri. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu
memanggil dokter. Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali.
Pengobatan yang tepat pada kasus epistaxis adalah dilakukan penekanan pada
pembuluh darah yang berdarah. Hampir 90% kasus epistaxis anterior dapat diatasi
dengan tekanan yang kuat dan terus menerus pada kedua sisi hidung tepat diatas
kartilago ala nasi. Bila hal ini tidak berhasil maka diperlukan tindakan-tindakan
lain yang perlu dan dapat dilakukan. Sangat penting penetalksanaan yang tepat
pada kasusu epistaxis agar tidak terjadi komplikasi atau bahkan kematian. Karena
itu akan kita bahas mengenai epistaxis pada makalah ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

ANATOMI

Hidung terdiri dari hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagianbagiannya dari atas ke bawah :
a) Pangkal hidung (bridge)
b) Batang hidung (dorsum nasi)
c) Puncak hidung (hip)
d) Ala nasi
e) Kolumel
f) Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
a) Tulang hidung (os nasal)
b) Prosesus frontalis os maxilla
c) Prosesus nasalis os frontal.

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
a) Sepasang kartilago nasalis lateralis superior.
b) Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai

kartilago ala mayor.


c) Tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Pintu masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang

belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi


dengan nasofaring.
Dinding medial hidung disebut sebagai septum nasi. Septum di bentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulangnya adalah
a) Lamina prependikularis
b) Vomer
c) Krista nasalis os maksila dan
d) Krista nasalis os palatina

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih
kecil lagi ialah konka superior sendangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang
nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrise).

Gb 1. Anatomi Cavum Nasi

Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna dan karotis
interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum
nasi melalui :
a) Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui
foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan
dinding lateral hidung.
b) Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan
melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior
septum nasi.
Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior
dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral superior

Gb 2. Vaskularisasi Hidung

Gb 3. Anatomi Vaskular Kavum Nasi

Gb 4. Plexus Kiesselbachs atau Littles Area, merupakan sumber epistaxis


anterior tebanyak
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal
dari nervus oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya
mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Gangglion sphenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V 2), serabut
parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis
dari nerus petrosus profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakan dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel- sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.

B.

FISIOLOGI

Dalam keadaan idealnya, desain hidung internal menyediakan saluran yang


canggih untuk pertukaran udara yang laminer. Selama inspirasi hidung, terjadi
penyaringan partikel-partikel dan pelembaban udara dari luar oleh epitel
bertingkat torak semu bersilia (pseudostratified ciliated columnar epithelium).
Lapisan hidung, terutama pada konka inferior dan media mengandung lamia
propia bervaskuler tinggi. Arteriol-arteriol konka berjalan melewati tulang
konka dan dikelilingi oleh pleksus vena. Dilatasi arteri yang terjadi dapat
memblok aliran balik vena, yang akhirnya menyebabkan kongesti mukosal.
1.

Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu
udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur
suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus,
bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung
oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan reflex bersin.

2.

Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi
hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk membedakan rasa
manis yang berasal dari berbagai macam bahan.

Gb 5. Bagian Rongga Hidung.


3.

Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang,sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis
rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis
atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi
karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair
(ketika pilek) atau padat (polip, tumor, benda asing) yang menyumbat.
4. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan
saluran cerna,kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pancreas.

C.

DEFINISI

Epistaksis adalah perdarahan akut yang asalnya dapat dari lubang hidung,
rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan
gejala dari suatu kelainan yang hampir 90 % dapat berhenti sendiri.
Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada
anak-anak dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada pelanan kesehatan
primer dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit atau ke spesialis
THT. Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi ringan dan bersifat selflimiting, ada beberapa kasus yang berat dan mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang serius. Penting sekali mencari asal perdarahan dan
menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan mengobati
penyebab yang mendasarinya.

D.

ETIOLOGI

Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam


selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari
pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach
terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan
mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis
sering kali timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya. Epistaksis
dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.
Secara Umum penyebab epistaksis dibagi dua yaitu
Lokal

Sistemik

Trauma
Kelainan darah
Pengeluaran sekret yang terlalu kuat,Trombositopenia, hemofilia dan leukemia

bersin, mengorek hidung, trauma


seperti terpukul, jatuh, adanya spina
septum dan, iritasi oleh gas yang
merangsang
serta
trauma
pada
pembedahan
Infeksi
Penyakit kardiovaskular
Infeksi hidung dan sinus paranasal,
1 Hipertensi: karena kerapuhan
pembuluh darah pada penderita
rinitis, sinusitis serta granuloma
hipertensi kronis, adanya kontraksi
spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra

pembuluh darah terus menerus


yang mengakibatkan mudah
pecahnya pembuluh darah yang
tipis
Arteriosklerosis: adanya kekakuan
pembuluh darah yang jika tekanan
darah meningkat, pembuluh darah
tidak bisa mengompensasi dengan
vasodilatasi, menyebabkan rupture
dari pembuluh darah
Sirosis hepatis: hati penting bagi
sintesis protein-protein yang
berkaitan dengan koagulasi darah,
misalnya: membentuk fibrinogen,
protrombin, faktor V, VII, IX, X
dan vitamin K. Pada sirosis hepatis
fungsi sintesis ini terganggu
sehingga mudah terjadinya
perdarahan
DM: komplikasi dari DM adalah

kerusakan mikroangiopati dan


makroangiopati. Kadar gula
darah tinggi sel endotelial
pembuluh darah mengambil
glukosa melebihi normal
lebih banyak glikoprotein
terbentuk pada permukaannya
menyebabkan basal
membran semakin menebal dan
lemah
Neoplasma

Infeksi sistemik akut

Epistaksis yang berhubungan denganDemam berdarah, demam typhoid,


neoplasma biasanya sedikit daninfluenza, morbili
intermiten, kadang-kadang ditandai
dengan mukus yang bernoda darah,
Hemongioma,
karsinoma,
serta
angiofibroma dapat menyebabkan
epistaksis berat.
Kelainan kongenital
Gangguan endokrin/hormonal
Penyebab tersering adalah perdarahanPada saat hamil terjadi peningkatan
telangiektasis heriditer (hereditary estrogen dan progestron yang tinggi di
hemorrhagic
telangiectasia/Osler's pembuluh darah yang menuju ke semua
disease).
membran mukosa di tubuh termasuk di
hidung yang menyebabkan mukosa
bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya
epistaksis
Sebab lainnya: benda asing, deviasi Alkoholisme
atau perforasi septum
Alkohol menyebabkan sel darah merah
Perforasi septum nasi atau abnormalitasmenggumpal sehingga timbul sumbatan
septum dapat menjadi predisposisipada
pembuluh
darah.
Hal
ini
perdarahan hidung. Bagian anteriormenyebabkan terjadinya hipoksia dan
septum nasi, bila mengalami deviasikematian sel. Selain itu hal ini
atau perforasi, akan terpapar aliranmenyebabkan
peningkatan
tekanan
udara pernafasan yang cenderungintravaskuler sehingga pembuluh darah
mengeringkan
sekresi
hidung.rupture
Pembentukan krusta yang keras dan
usaha
melepaskan
dengan
jari
menimbulkan
trauma
digital.
Pengeluaran
krusta
berulang
menyebabkan erosi membrana mukosa
septum dan kemudian perdarahan
Kelembaban udara yang rendah dapatDefisiensi Vit C dan Vit K
menyebabkan
iritasi
mukosa.
Epistaksis sering terjadi pada udara
yang kering dan saat musim dingin
yang disebabkan oleh dehumidifikasi
mukosa nasal selain itu bisa di
sebabkan oleh zat-zat kimia yang
bersifat
korosif
yang
dapat

menyebabkan kekeringan mukosa


sehingga pembuluh darah gampang
pecah

E.

PATOFISIOLOGI

Secara anatomi, perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang
mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya
menyuplai bagian superior hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari
arteri karotis eksterna dan cabang-cabang utamanya.
Arteri sfenopalatina membawa darah untuk separuh bawah dinding
hidung lateral dan bagian posterior septum. Semua pembuluh darah hidung ini
saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Pleksus vaskular di
sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa menggabungkan sebagian
anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau pleksus Kiesselbach.
Karena ciri vaskularnya dan fakta bahwa daerah ini merupakan objek trauma
fisik dan lingkungan berulang maka merupakan lokasi epistaksis yang yang
paling.
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar cukup sukar. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari
bagian anterior dan posterior.
a) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan
sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari
arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti spontan dan dapat
dikendalikan dengan tindakan sederhana

Gb 6. Epistaxis anterior
b) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid
posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang dapat

berhenti

sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering


ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular

Gambar 7. Epistaksis posterior

F.

GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN

5. Anamnesis
Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya
perdarahan, frekuensi, lamanya perdarahan, dan riwayat perdarahan
hidung sebelumnya.
Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang
berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu,
ditanyakan juga megenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang
berkaitan

dengan

perdarahan

misalnya

riwayat

darah

tinggi,

arteriosclerosis, koagulopati, riwayat perdarahan yang memanjang setelah


dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan obat-obatan seperti
koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlodipin, serta kebiasaan
merokok dan minum-minuman keras.
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan
belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal
terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak
mengeluarkan darah.
Kebanyakan kasus epistaxis merupakan trauma sekunder yang disebabkan
oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah
terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan.
6.

Pemeriksaan Fisik
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,

speculum hidung, suction (bila ada), pinset bayonet, kapas, kain kassa.
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi
dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk
mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.
Dengan menggunakan spekulum,

hidung dibuka dan dengan suction

dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang
sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi
untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Kemudian
dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan
pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke
dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi
pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10
sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari


hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan
pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah
menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
a

Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari


anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding
lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.

Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma

Pengukuran tekanan darah


Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang.

Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI


Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau

infeksi.
e
f

Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan


penyakit lainnya.
Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin
parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.

Riwayat penyakit

Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah


kesehatan (underline desease) yang mendasari epistaksis.

G. MANAJEMEN
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu : menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
Kalau ada syok, perbaiki dulu kedaan umum pasien.
a

Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk


kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
b Menghentikan perdarahan
a. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian
cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (metode
Trotter).

Gb 8. Metode Trotter
b. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang

telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/lidokain, serta bantuan


alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah.
Gb 9. Tampon Anterior
c. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan
jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam

trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik


diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.
d. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa
yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat
juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai
pita dengan lebar kurang cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari
dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus
menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2
hari.

Gb 10. Kauterisasi sumber perdarahan


e. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau
tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2
cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah
lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares
posterior)
Untuk memasang tampon Bellocq:
Dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring
dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut.
Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu
sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung.

Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk
tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring.
Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon
anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat
lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi.
Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut
(tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini
berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap
pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.

Gb 11. Tampon Bellocq


f. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan
balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air.
Teknik sama dengan pemasangan tampon Bellocq.

Gb12. Balon intranasal (kateter Foley) untuk mengontrol epistaksis

g. Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat

hemostatik. Akan tetapi ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit


sekali manfaatnya.
h. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak
dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien
harus dirujuk ke rumah sakit.

H. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Penyakit di mana sumber perdarahannya tidak berasal dari nasal
akan tetapi darah keluar melalui cavum nasi seperti: hemoptisis, varises
oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii yang kemudian darah
mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.

I. KOMPLIKASI
Dapat disebabkan oleh epistaxis sendiri atau karena usaha
penanggulangannya. Pemasangan tampon anterior dapat menimbulkan
sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody
tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia. Pemasangan tampon posterior dapat

menimbulkan otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole


dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu
kencang ditarik.
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia.
Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak,
insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus
segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.

J. PENCEGAHAN
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
epistaksis antara lain :
a) Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam pada kedua lubang

hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat
mencampur 1 sendok teh garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20
menit lalu biarkan sampai hangat kuku.
b) Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c) Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan
masukkan cotton bud melebihi 0,5 0,6cm ke dalam hidung.
d) Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e) Bersin melalui mulut.
f) Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g) Batasi penggunaan obat obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti
aspirin atau ibuprofen.
h) Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi
biasa.
i) Stop merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan iritasi.

K.

PROGNOSIS
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri.
Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan
hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk

L. KESIMPULAN
Epistaksis adalah suatu gejala dan bukan merupakan suatu penyakit, yang
disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu.
Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal.
Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok
besar yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi
dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis
posterior. Dalam memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat
yang tepat dan dalam posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak
menelan darahnya sendiri.
Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan
rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen
sinus atau dengan CT-Scan atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan
mencari tahu riwayat penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang dilakukan
pada epistaksis adalah:
a) Memencet hidung

b) Pemasangan tampon anterior dan posterior


c) Kauterisasi
d) Ligasi (pengikatan pembuluh darah)

Epsitaxis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda keras
ke dalam hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras,
bersin melalui mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan
perdarahan, dan terutam berhenti merokok.

BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1

Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi
Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III.
Jakarta, Penerbit EGC, 1997.

Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 127-31.

Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online]


2009

feb

19

[diunduh

25

juli

2013]

Available

from:

http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
4

Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII [diunduh 25 Juli 2013]


Available

from:

http://fkuii.org/tiki-

download_wiki_attachment.php?attId=2175&page=LEM
%20FK%20UII

Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities 2007


Nov

28

[diunduh

25

juli

2013]

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment
6

Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online] diunduh 25 juli


2013 Available from :http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm

Freeman R. Nosebleed. Health Information Home [serial online] 2007 Feb 2


[diunduh 25 Juli 2013] Available from :
http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epistaxis.as
px

Anda mungkin juga menyukai