Disusun oleh : Wiwin Noviyanti G1A212092 Siti Maslikha G1A212093
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu PenyakitDalam RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto
telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal: Juli 2013
Purwokerto, Juli 2013 Pembimbing,
dr. Suharno Sp.PD
A. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. J Usia : 50 tahun Alamat : Sokaraja Jenis kelamin : Laki-laki Agama : Islam Status : Belum menikah Pekerjaan : Wiraswasta Pendidikan : SMA Tanggal masuk : 29 juni 2013 Tanggal periksa : 03 juli 2013 Ruang rawat : SOKA No. CM : 609254
B. ANAMNESIS 1. Keluhan utama : Kaki bengkak. 2. Keluhan tambahan : Pasien mengeluhkan kaki dan tangan mengalami kesemutan, pegel dan kaku. Pasien juga merasa bahwa pada bagian kedua kaki, kuku tangan dan kaki berubah warna menjadi lebih pucat dari yang sebelumnya. Selain itu pasien juga mengeluhkan buang air kecil tidak lancar, badannya lemas dan cepat lelah ketika beraktifitas. Pasien mengaku terdapat penurunan berat badan drastis dan kadang-kadang mengeluh adanya sesak nafas sehingga sangat mengganggu aktivitas. 3. Riwayat penyakit sekarang Pasien datang ke poli penyakit dalam dengan keluhan bengkak pada kedua kakinya sejak dua minggu yang lalu. Bengkak dirasakan semakin hari semakin bertambah besar dan mengganggu kegiatan pasien sehari- hari. Pasien merasa bertambah bengkak ketika pasien banyak beraktivitas sehingga untuk mengurangi bengkaknya, pasien membatasi aktivitas, memperbanyak istirahat dan mengkonsumsi obat-obatan herbal. Selain bengkak pada kedua kaki, pasien juga mengeluhkan kaki dan tangan mengalami kesemutan, pegel dan kaku. Pasien juga merasa bahwa pada bagian kedua kaki berwarna lebih gelap dari biasanya, kuku tangan dan kaki berubah warna menjadi lebih pucat, dan kadang-kadang pasien juga mengeluhkan terdapat kemerahan pada beberapa anggota badan, keluhan tersebut dirasakan sejak dua minggu yang lalu. Sejak 2 minggu sebelum masuk RSMS pasien juga mengeluhkan buang air kecil tidak lancar, kencingnya semakin sedikit dan semakin jarang, pasien hanya kencing 2-3 kali dalam sehari dengan volume setiap kali kencing hanya gelas, pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri saat buang air kecil, warna kencing normal (kuning jernih). Pasien mengaku terdapat penurunan berat badan drastis dan mengeluhkan badannya lemas dan cepat lelah ketika beraktifitas dan paling sering muncul saat malam hari sehingga sangat mengganggu istirahat dan kegiatan pasien sehari-hari. Kadang-kadang mengeluh adanya sesak nafas, sesak nafas dirasakan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan hilang timbul dan muncul saat pasien melakukan aktivitas, pasien biasa duduk atau berbaring untuk meminimalisir sesak nafas tersebut. Pada malam hari pasien sering terbangun karena sesak untuk menguranginya pasien tidur dengan posisi setengah duduk atau dengan bantal lebih dari 2. Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan yang sama dan belum pernah cuci darah. 4. Riwayat penyakit dahulu a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal b. Riwayat darah tinggi : diakui sejak tahun 2012 c. Riwayat penyakit gula : diakui sudah sejak bulan Maret 2013 d. Riwayat alergi : disangkal e. Riwayat sakit ginjal : disangkal f. Riwayat penyakit jantung : disangkal g. Riwayat sakit kuning/liver : disangkal h. Riwayat sakit tenggorokan/penyakit kulit : disangkal i. Riwayat konsumsi obat-obatan : pasien mengkonsumsi obat- obatan herbal j. Riwayat mondok di RS : Diakui, yaitu dirawat di RS. Bnanyumas k. Riwayat operasi : diakui, yaitu operasi batu empedu pada tahun 2012 5. Riwayat penyakit keluarga a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal b. Riwayat darah tinggi : disangkal c. Riwayat penyakit gula :disangkal d. Riwayat alergi : disangkal e. Riwayat sakit ginjal : diakui, ayah pasien f. Riwayat sakit kuning/liver : disangkal g. Riwayat penyakit jantung : diakui, ayah pasien
6. Riwayat sosial dan exposure a. Community Pasien tinggal dilingkungan perkotaan. Fasilitas umum yang dekat di lingkungan pasien yaitu Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto tidak terdapat pabrik maupun Tempat Pembuangan sampah Akhir (TPA) didekat rumah, lingkungan dekat rumahnya cukup padat penduduknya. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan keluarga dekat dan baik. b. Home Pasien tinggal di sebuah rumah berempat dengan keluarganya yaitu kedua orang tua dan adik pasien. Rumah yang dihuni terdiri dari 5 kamar dan masing-masing dihuni oleh 1-2 orang. Kamar mandi dan jamban di dalam rumah. Atapnya memakai genteng dengan ventilasi cukup dan lantai terbuat dari keramik.
c. Occupational Pasien bekerja sebagai Wiraswasta dengan penghasilan lebih dari 5 juta per bulan. Namun sejak sakit, pasien berhenti bekerja dan sering berbaring di tempat tidur. d. Personal habit Pasien seorang perokok sejak lama dan tidak mengkonsumsi alkohol, pasien juga mengaku tidak memiliki kebiasaan olahraga secara teratur. e. Drugs and Diet Pasien mempunyai kebiasaan jarang mengkonsumsi sayuran, ia lebih suka mengonsumsi makanan yang asin-asin, manis-manis, bersantan dan makanan berminyak seperti gorengan. Pasien juga mempunyai kebiasaan minum kopi tiga kali sehari, lebih suka minum teh pekat dari pada minum air putih. C. PEMERIKSAAN FISIK 04 juli 2013 1. Keadaan umum : tampak sakit sedang 2. Kesadaran : Composmentis 3. Vital sign tanggal 20 juli 2013 a. Tekanan darah : 130/80 mmHg b. Nadi : 68 /menit reguler c. Pernapasan : 16 /menit d. Suhu : 35,5C 4. Tinggi badan : 159 cm 5. Berat badan : 51 kg 6. Status gizi (IMT) : 20,17 7. Status generalis : normal dengan edema a. Pemeriksaan kepala 1) Bentuk kepala Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (+) 2) Rambut Warna rambut hitam bercampur putih, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata.
3) Mata Simetris, edema palpebra (-/-) konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-), mata kering (-), reflex cahaya (+/+) normal, pupil isokor diameter 3 mm 4) Telinga Discharge (-), deformitas (-) 5) Hidung Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-) 6) Mulut Bibir kering (-), bibirpucat (-), bibir sianosis (-), lidah sianosis (-), lidah kotor (-) b. Pemeriksaan leher Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-) Palpasi : JVP 5+ 3cm c. Pemeriksaan thorax Paru Inspeksi : dinding dada tampak simetris dan tidak tampak ketertinggalan gerak antara hemithorax kanan dan kiri. Eksperium memanjang (-), kelainan bentuk dada (-), retraksi intercostalis (-). Palpasi : Apex vokal fremitus sinistra = dextra Basal vokal fremitus sinistra = dextra Perkusi : Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor Batas paru-hepar SIC V, 2 jari medial LMCD Auskultasi : Apex suara dasar vesikuler +/+, RBH-/-, RBK-/-, Basal suara dasar vesikuler +/+ dan Wheezing-/- Jantung Inspeksi : Ictus Cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS P.parasternal (-) p.epigastrium (+). Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD Batas atas kiri : SIC II LPSS Batas bawah kanan : SIC IV LPSD Batas bawah kiri : SIC V 2 jari medial LMCS Auskultasi : M 1 >M 2 P 1 <P 2
T 1 >T 2 A 1 >A 2 ireguler, Gallop (-), Murmur (-).
d. Pemeriksaan abdomen Inspeksi : datar Auskultasi : bising usus (+) normal terdengar setiap 2-5 detik (normal) Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (+), nyeri ketok costo vertebrae (-/-) Palpasi : supel, undulasi (-), nyeri tekan (-) Hepar : tidak teraba Lien : tidak teraba e. Pemeriksaan ekstremitas Pemeriksaan Ekstremitas superior Ekstremitas inferior Dextra Sinistra Dextra Sinistra Edema - - + + Sianosis - - + + Kuku kuning (ikterik) - - - - Akral dingin - - - - Reflek fisiologis Bicep/tricep Patela
+ +
+ +
+ +
+ + Reflek patologis Reflek babinsky
-
-
-
- Sensoris D=S D=S D=S D=S
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Pemeriksaan Laboratorium 1. Darah lengkap Pemeriksaan 29 Juni 2013
Pemeriksaan 30 juni 2013 Kalium 5,4 mmol/L () Pemeriksaan Glukosa sewaktu 94 mg/dl (N)
Pemeriksaan 02 Juni 2013
GDS Natrium Kalium Klorida kalsium 71 139 6,1 109 9,1 mg/dl mmol/L mmol/L mmol/L mmol/L (N) (N) () () (N) No Jenis Pemeriksaan Hasil Ket. 1 Hb 13,8 gr/dL (N) 2 Leukosit 42.3600 /ul () 3 Ht 43 % (N) 4 Eritrosit 5,2 x 10 6 /ul (N) 5 Trombosit 1.979.000 /ul () 6 MCV 83,0 fl Normal 7 MCH 26,7 pg () 8 MCHC 32,2 % () 9 RDW 19,2 % () 10 MPV 9,1 fl Normal 1. Basofil 0,4 % Normal 2. Eosinofil 4,4 % () 3. Neutrofil Batang 0,0 % () 4. 5. 6. Neutrofil Segmen Limfosit Monosit 85,8 4,5 4,9 % % % () () Normal Gambaran Darah Tepi: Eritrosit : Anisositosis sedang Poikilositosis sedang (sferosit, fragmentosit, sel burr) Leukosit : Estimasi jumlah meningkat, netrofilia, granulasi toksik Hitung jenis melamielosit 1%, segmen 11 %, eusinofil 1%, limfosit 5%, monosit 3% Trombosit : Estimasi jumlah meningkat, bentuk besar (+). Clumping (-) Kesan : 1. Tampak tanda hemolitik pada eritrosit 2. Leukositosis suspek infeksi bakteri 3. Trombositosis DD : Trombositosis reaktif e.c. bakteri Esesnsial Trombositemia
Pemeriksaan 03 Juli 2013 Ureum darah 101,2 mg/dl () Kreatinin darah 3,97 mg/dl () Asam Urat 10,6 mg/dl () Kalium 5,6 mg/dl ()
E. RESUME 1. Anamnesis Kaki bengkak. 2. kaki dan tangan mengalami kesemutan, pegel dan kaku. kedua kaki, kuku tangan dan kaki berubah warna menjadi lebih pucat dari yang sebelumnya. 3. buang air kecil tidak lancar, badannya lemas dan cepat lelah ketika beraktifitas. 4. penurunan berat badan drastis dan kadang-kadang sesak nafas sehingga sangat mengganggu aktivitas 5. Pasien mengaku sebelumnya tidak mempunyai riwayat penyakit yang sama 6. Kelurga pasien yaitu ayah dari pasien mempunyai riwayat penyakit jantung dan ginjal. 7. Pasien seorang perokok sejak lama dan tidak mengkonsumsi alkohol, ia lebih suka mengonsumsi makanan yang asin, manis dan bersantan. Pasien sering minum air teh pekat dan kopi, ia jarang minum air putih. Pasien tidak sering melakukan olahraga. 8. Pemeriksaan Fisik Vital sign Tekanan darah : 130/80 mmHg Nadi : 68 /menit ireguler Pernapasan : 16 /menit Suhu : 35,5 C Status generalis Mata : ca -/-, sclera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-)
Status lokalis a. Pemeriksaan abdomen: Inspeksi : cembung Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (+) Palpasi : supel, undulasi (-), Nyeri tekan (-)
F. DIAGNOSIS KERJA Chronic Kidney Disease Nefropati Diabetik, Neuropati Diabetik Hipertensi Essensial Trombositemia
G. PENATALAKSANAAN 1. Farmakologi : a. O 2 2 LPM b. IVFD RL 10 tpm c. Inj. Ceftriaxone 1x 2 gr d. Lasix drip 5 mg/jam e. Inj / drip tramadol (k/p) f. Po. ISDN 2 x 5 mg g. Po. Irbesartan 1x 300mg h. Po. Amlodipin 1x 5 mg i. P.O Metformin 2x 500mg j. P.O Curcuma 3x 1 k. P.O. Bisoprolol 1x2,5 mg tab l. P.O. Spironolacton 1x25 mg tab m. P.O Digoxin 1x
2. Non farmakologi : a. Istirahat, dianjurkan tirah baring sampaiedem berkurang. b. Batasi asupan natrium dengan menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan menghindari makanan yang diasinkan. c. Diet protein d. Merokok : harus dihentikan e. Edukasi penyakit kepada pasien meliputi terapi, komplikasi penyakit, prognosis penyakit dan cara pencegahan perburukan penyakit.
H. PROGNOSIS Ad fungsional : dubia ad bonam Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II PEMBAHASAN
A. CHRONIC KIDNEY DISEASE 1. Definisi Penyakit Ginjal Kronik adalah kemunduran fungsi ginjal yang menyebabkan ketidakmampuan mempertahankan substansi tubuh dibawah kondisi normal (Sowden, 1996). PGK hadir ketika LFG menurun secara permanen dalam hubungan dengan hilangnya populasi nefron fungsional. Hal ini ditandai dengan gesekan terus dari nefron dan variabel tetapi biasanya tak henti-hentinya perkembangan menuju tahap akhir penyakit ginjal/End Stage Renal Disease (ESRD) 2. Etiologi Penyebab paling lazim dari ESRD adalah mayority dari pasien hipertensi, diabetes mellitus, atau keduanya. Penyebab lainnya adalah glomerulonephritis, penyakit interstisial, cystic/hereditery/congenital dan yang tidak diketahui penyebabnya (Fisch, 2000). Penyakit ginjal primer terbatas pada ginjal dan biasanya hadir dengan gagal ginjal kronis atau sindrom nefrotik tanpa riwayat penyakit sistemik. Penyakit non-glomerular seperti uropathy obstruktif, nefritis interstisial primer, Universitas Sumatera Utara dan nefropati iskemik sering diidentifikasi selama hasil pemeriksaan untuk hipertensi yang baru ditemukan atau hematuria asimtomatik. Pasien menyajikan dengan proteinuria atau sindrom nefrotik tapi tanpa bukti infeksi, penyakit kolagen-vaskular, atau keganasan cenderung memiliki glomerulonefritis idiopatik (Fisch, 2000). Penyakit ginjal sekunder. Sejarah lengkap dan pemeriksaan fisik didampingi oleh kerja darah rutin membongkar etiologi dari gagal ginjal kronis di lebih dari 60% sampai 70% kasus. Hipertensi dan diabetes biasanya hadir untuk setidaknya 10 tahun sebelum mereka menyebabkan gagal ginjal kronis dengan hipertensi yang mengarah ke ESRD, hipertensi tidak terkontrol dan dipercepat adalah yang paling sering (Fisch, 2000). Menurut Markum (2006), Penyebab dari PGK adalah: 1. Tekanan darah tinggi (hipertensi) 2. Penyumbatan saluran kemih 3. Glomerulonefritis 4. Kelainan ginjal, misalnya penyakit ginjal polikista 5. Diabetes melitus (kencing manis) 6. Kelainan autoimun, misalnya lupus eritematosus sistemik. 3. Faktor resiko Faktor risiko yang dapat dimodifikasi ialah hipertensi. Hipertensi dapat bertindak sendiri atau dengan penyakit lain untuk membujuk penyakit ginjal kronis dan meskipun kebanyakan pasien dengan hipertensi tidak pernah mengembangkan penyakit ginjal yang signifikan, kronis tekanan darah tinggi bertanggung jawab untuk 25% dari kasus baru. Faktor risiko lainnya yang dapat dimodifikasikan adalah diabetes mellitus. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur dan ras. 4. Diagnosis 1. Menurunnya LFG Klasifikasi tingkat penyakit ginjal kronik, sebagai berikut: a. Tingkat 1: kerusakan ginjal dengan normal LFG (>90 mL/menit/1.73 m2) b. Tingkat 2: penurunan ringan pada LFG (60-89 mL/menit/1.73 m2) c. Tingkat 3: penurunan sedang pada LFG (30-59 mL/menit/1.73 m2) d. Tingkat 4: penurunan berat pada LFG (15-29 mL/menit/1.73 m2) e. Tingkat 5: gagal ginjal (LFG <15 mL/menit/1.73 m2 atau dialisis) 2. Indikasi lainnya a. Proteinuria b. Hematuria c. Abnormal urinary sedimen d. Hipertensi
5. Penatalaksanaan a. Terapi konservatif Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit. 1) Peranan diet Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. 2) Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi. 3) Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. 4) Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease). b. Terapi simtomatik 1) Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L. 2) Anemia Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. 3) Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik. 4) Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit. 5) Kelainan neuromuskular Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi. 6) Hipertensi Pemberian obat-obatan anti hipertensi. 7) Kelainan sistem kardiovaskular Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita. c. Terapi pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
B. NEFROPATI DIABETIK, NEUROPATI DIABETIK Diabetes melitus (DM) adalah penyakit dengan gangguan metabolisme ditandai adanya hiperglikemi kronis dengan gangguan karbohidrat, lemak dan metabolisme protein diakibatkan karena adanya kelainan dalam memproduksi insulin, sekresi insulin atau keduanya. Penegakkan diagnosis DM didasarkan pada gambaran klinis dan pemeriksaan glukosa darah. Gambaran klinis yang khas untuk penderita DM diantaranya terdapat polidipsi, polifagi, poliuri, dan penurunan berat badan. Keluhan lain yang mendukung diagnosis DM yaitu kesemutan, mata kabur, gatal, lemah, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita (Gustaviani, 2005). Kriteria diagnostik DM menurut Persatuan Endokrenologi Indonesia (Perkeni) (2006) atau yang dianjurkan American Diabetes Association (ADA) yaitu bila terdapat salah satu atau lebih hasil pemeriksaan gula darah sebagai berikut : 1. Kadar gula darah sewaktu (plasma vena) lebih atau sama dengan 200 mg/dl 2. Kadar gula darah puasa (plasma vena) lebih atau sama dengan 126 mg/dl 3. Kadar glukosa plasma lebih atau sama dengan 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa oral. NEUROPATI DIABETIK neuropati diabetik adalah istilah deskriptif yang menunjukkan adanya gangguan, baik klinis maupun subklinis, yang terjadi pada diabetes melitus tanpa penyebab neuropati perifer yang lain.
PATOGENESIS 1. Faktor Metabolik Proses terjadinya neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia yang berkepanjangan. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivasi jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang merubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisme oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf akibatnya menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edema saraf. 2. Kelainan Vaskuler Hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan kerusakan mikrovaskular. Mekanisme kelainan mikrovaskuler tersebut dapat melalui penebalan membrana basalis; trombosis pada arteriol intraneura; peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya deformitas eritrosit; berkurangnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular; stasis aksonal, pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut. 3. Mekanisme Imun Mekanisme patogeniknya ditemukan adanya antineural antibodies pada serum sebagian penyandang DM. Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang bisa dideteksi dengan imunoflorensens indirek dan juga adanya penumpukan antibodi dan komplemen pada berbagai komponen saraf suralis 4. Peran Nerve Growth Factor (NGF) NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Pada penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan berhubungan dengan derajat neuropati. NGF juga berperan dalam regulasi gen Substance P dan Calcitonin-Gen- Regulated peptide (CGRP). Peptide ini mempunyai efek terhadap vasodilatasi, motilisasi intestinal dan nosiseptif, yang kesemuanya itu mengalami gangguan pada neuropati diabetik. MANIFESTASI KLINIS Menurut perjalanan penyakitnya, neuropati diabetik dibagi menjadi : 1. Neuropati fungsional/subklinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat perubahan biokimiawi. Pada fase ini belum ada kelainan patologik sehingga masih reversibel 2. Neuropati struktural/klinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat kerusakan struktural serabut saraf. Pada fase ini masih ada komponen yang reversibel. 3. Kematian neuron atau tingkat lanjut, yaitu terjadi penurunan kepadatan serabut saraf akibat kematian neuron. Pada fase ini ireversibel. Kerusakan serabut saraf pada umumnya dimulai dari distal menuju ke proksimal, sedangkan proses perbaikan mulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu lesi distal paling banyak ditemukan, seperti polineuropati simetris distal.
Manifestasi klinis Neuropati Diabetik bergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa yang kecil atau besar, lokasi proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik atau sensorik atau autonom, maka manifestasi klinisnya menjadi bervariasi, diantaranya: 1. Kesemutan 2. Kebas 3. Tebal 4. Mati rasa 5. Rasa terbakar Seperti ditusuk, disobek, ataupun ditikam Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya neuropati ditentukan oleh: a. Respon mekanisme proteksi sensoris terhadap trauma b. Macam, besar dan lamanya trauma c. Peranan jaringan lunak kaki TATA LAKSANA Terapi Nonmedikamentosa 1. Edukasi Edukasi pasien sangat penting dalam tatalaksana neuropati diabetik. Target pengobatan dibuat serealistik mungkin sejak awal, dan hindari memberi pengahrapan yang berebihan. 2. Perawatan Umum (kaki) Jaga kebersihan kaki, hindari trauma kaki seperti sepatu yang sempit. Cegah trauma berulang pada neuropati kompresi. 3. Pengendalian Glukosa Darah
Terapi medikamentosa Dengan menggunakan obat-obat : 1. Golongan aldolase reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat penimbunan sorbitol dan fruktosa 2. Penghambat ACE 3. Neutropin
4. Alpha Lipoic Acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan radikal hidroksil, superoksida dan peroksil serta membentuk kembali glutation Pedoman tatalaksana neuropati diabetik dengan nyeri, diantaranya : 1. NSAID (ibuprofen dan sulindac) 2. Antidepresan trisiklik (amitriptilin, imipramin, nortriptilin, paroxetine) 3. Antikonvulsan (gabapentin, karbamazepin) 4. Antiarimia (mexilletin) 5. Topikal : capsaicin, fluphenazine, transcutaneous electrical nerve stimulation
C. HIPERTENSI 1. Definisi Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90- 95%) dan hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat (Bakri, 2008). Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 seperti yang terlihat pada tabel 1 dibawah (Gray, et al. 2005). Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7
2. Etiologi hipertensi Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal. 1) Hipertensi esensial Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada umur 30 50 tahun (Schrier, 2000). 2) Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain lain (Schrier, 2000). 3. Gejala klinis Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala pada hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi esensial berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung (Julius, 2008). Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat dapat mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan parawatan hipertensi dapat menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas (Julius, 2008). 4. Patofisiologi Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar: Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer. (Yogiantoro, 2006). Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi esensial antara lain : 1) Curah jantung dan tahanan perifer Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang irreversible (Gray, et al. 2005). 2) Sistem Renin-Angiotensin Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik (Gray, et al. 2005). Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu: a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah. b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Gray, et al. 2005). 3) Sistem Saraf Otonom Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon (Gray, et al. 2005). 4) Disfungsi Endotelium Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit (Gray, et al. 2005). 5) Substansi vasoaktif Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi (Gray, et al. 2005). 6) Hiperkoagulasi Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium), ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi (Gray, et al. 2005). 7) Disfungsi diastolik Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel (Gray, et al. 2005). 5. Kerusakan organ target Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, naik secara langsung maupun secara tidak langsung. Kerusakan organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah: 1. Penyakit ginjal kronis 2. Jantung a. Hipertrofi ventrikel kiri b. Angina atau infark miokardium c. Gagal jantung 3. Otak a. Strok b. Transient Ischemic Attack (TIA) 4. Penyakit arteri perifer 5. Retinopati.
D. ESSENTIAL TROMBOSITEMIA 1. Definisi Trombositemia esensial (essential thrombocythemia) (ET) adalah kelainan mieloproliferatif kronis (myeloproliferative disorder) (MPD) akibat proliferasi megakariosit yang terus-menerus sehingga terjadi peningkatan jumlah trombosit. 2. Etiologi Etiologi pasti trombositemia esensial masih belum diketahui, walaupun faktor lingkungan seperti terpapar radiasi terlibat dalam pembentukan neoplasma mieloproliferatif lain. Gen JAK2 diduga berperan pada terjadinya neoplasma mieloproliperatif termasuk trombositemia esensial. Faktor etiologi lain yang berhubungan dengan penyakit ini adalah paparan terhadap tuff (suatu bahan bangunan yang biasa digunakan di Italia Tengah dan Italia Selatan), penggunaan cat rambut warna hitam dalam waktu lama 7-8 dan pekerjaan yang banyak berhubungan dengan listrik. 3. Patofisiologi Pada tahun 1981 telah diketahui bahwa trombositemia esensial adalah gangguan klonal, namun pada tahun 2005 ditemukan adanya mutasi pada gen JAK2 (JAK2 V617F) yang bersifat didapat. Keadaan diidentifikasi pada sekitar 50 persen pasien dengan trombositemia esensial atau primary myelofibrois (PMF) dan mayoritas dari mereka menderita polisitemia vera. JAK2, salah satu grup JAK kinase tirosin sitoplasma, sangat penting dalam proses tranduksi sinyal reseptor eritropoietin dan trombopoietin, dan juga berkontribusi dalam proses tranduksi sinyal granulocyte colony-stimulating factor, granulocyte-macrophage colony- stimulating factor dan interferon-receptors. Mutasi V617F JAK2 dapat muncul pada sel punca (stem cell) hematopoietik pada sel-B, sel-T, natural killer cell, dan sel-sel mieloid. Konsekuensi selular ekspresi JAK2 mutan meliputi peningkatan proliferasi, hipersensitivitas sitokin, diferensiasi tidak tergantung sitokin dan penghambatan apoptosis. Diduga asal kelainan trombositemia esensial adalah dari sel hematopoietik multipotential, tetapi perubahan fenotipik dominan terjadi hanya pada jalur megakariosit. Kelainan ini juga mempengaruhi eritropoiesis dan granulopoiesis, namun baru ditemukan pada saat diagnosis. Kemungkinan lain mutasi terjadi pada stem cell hematopoietik multipotensial tunggal dengan kemampuan diferensiasi terbatas hanya menjadi trombosit. Trombopoietin merupakan regulator humoral utama produksi megakariosit dan trombosit.3 Trombopoietin disintesis terutama di hati dan ginjal.1 Trombopoietin mempengaruhi pertumbuhan megakariosit mulai dari sel induk sampai produksi trombosit. Sitokin-sitokin lain (interleukin-1, interleukin-6, interleukin-11) juga mempengaruhi produksi trombosit pada berbagai tingkat, kemungkinan bekerja sinergi dengan trombopoietin. Trombosit berperan penting dalam regulasi kadar trombopoietin plasma, melalui reseptor c-mpl menghilangkan trombopoietin dari plasma. Pada keadaan trombositopeni, terjadi peningkatan kadar trombopoietin plasma karena berkurangnya jumlah trombopoietin yang diikat oleh trombosit. Peningkatan kadar trombopoietin plasma ini akan merangsang megakariopoiesis. Sebaliknya pada keadaan tombositosis, deplesi trombopoietin plasma akan menurunkan megakariopoiesis. Mekanisme regulasi inilah yang mengatur produksi trombosit. Pada pengaturan jumlah trombosit , afinitas yang tinggi dari reseptor trombosit (c-mpl) pada permukaan trombosit mengikat trombopoietin (Tpo) bebas dan memasukkan ke dalam trombosit untuk didegradasi. Pada keadaan jumlah trombosit rendah, hanya sedikit Tpo yang dihilangkan dan selebihnya akan menstimulasi megakariopoiesis di sumsum tulang. Sebaliknya pada keadaan terjadi peningkatan jumlah trombosit, trombosit beraksi seperti bak pencuci Tpo, mengikat dan merusak Tpo sebelum Tpo menstimulasi megakariopoiesis di sumsum tulang.
Pada trombositemia esensial terjadi kelainan sistem regulasi produksi trombosit, kadar trombopoietin normal atau bahkan meningkat meskipun terjadi peningkatan jumlah trombosit dan megakariosit. Terjadinya disregulasi kadar trombopoietin plasma pada trombositemia esensial diduga disebabkan karena kelainan pengikatan dan pemakaian trombopoietin oleh trombosit dan megakariosit yang mengalami kelainan fungsi. Kelainan pengikatan dan pemakaian ini dibuktikan dengan menurunnya c-mpl pada trombosit penderita trombositemia esensial. Selain itu ditemukan juga mutasi yang bersifat didapat pada gen MPL, gen reseptor trombopoietin, pada 4 persen pasien trombositemia esensial.3 Mutasi MPL paling umum terjadi pada ekson 10, yang mengkode sambungan antara area sitoplasmik dan transmembran/ area juxtamembran.11 Mutasi MPL exon 10 ditampilkan pada gambar 2.2. Mutasi ini mengubah residu pada area transmembran (pada gen MPL S505N) atau area juxtamembran (pada gen MPL W515) dan menyebabkan aktivasi komplek reseptor. Namun pada pasien trombositemia esensial jarang ditemukan dengan lebih dari satu mutasi, misalnya, mutasi terjadi baik pada V617F JAK2 dan MPL W515L.
Mekanisme lain yang berperan dalam terjadinya trombositosis pada trombositemia esensial adalah: a. Peningkatan jumlah colony-forming unit megakaryocyte (CFU-MEG). b. Peningkatan pertumbuhan megakariosit tanpa adanya stimulasi faktor pertumbuhan yang diduga disebabkan adanya megakariopoiesis otonom, atau peningkatan sensitivitas klon trombosit abnormal terhadap aktivitas megakaryocyte colony-stimulating activity. c. Penurunan efek inhibisi platelet inhibiting factor (TGF-1). Pada trombositosis esensial sering terjadi trombosis dan dapat juga ditemukan adanya perdarahan. Mekanisme terjadinya trombosis dan perdarahan masih belum jelas. Trombosis diduga disebabkan karena hiperagregabilitas trombosit. Perdarahan dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu: a. Terjadinya kelainan fungsi trombosit. b. Terjadinya trombosis dengan infark yang mengalami ulserasi. c. Penggunaan faktor koagulasi. d. Peningkatan jumlah trombosit yang menyebabkan produksi berlebihan prostasiklin (PGI2) yang akan menekan pelepasan granul trombosit dan agregasi.
4. Kriteria Diagnosis Kriteria trombositemia Essensial menurut WHO 2008 Diagnosis harus memenuhi 4 kriteria : 1. Jumlah trombosit berkelanjutan 450 109 / L a
2. Spesimen biopsi sumsum tulang menunjukkan proliferasi terutama dari garis keturunan megakariositik dengan peningkatan jumlah megakariosit matur dengan ukuran besar; tidak ada peningkatan yang signifikan atau pergeseran ke kiri granulopoiesis neutrofil atau peningkatan eritropoiesis 3. Tidak memenuhi kriteria WHO untuk polisitemia verab, mielofibrosis primerc, CML dengan BCR-ABL1 positifd atau sindrom mielodisplastike atau neoplasma mieloid lainnya 4. Ditemukan Jak2V617F atau penanda klonal lainnya, atau tidak ditemukan Jak2V617F, tidak ada bukti untuk trombositosis reaktiff
Dikutip dari: Ramos CEB dkk.13 Keterangan: a Berkelanjutan selama pemantauan. b Tidak berhubungan dengan terapi penggantian besi untuk meningkatkan kadar hemoglobin menjadi berada pada rentang polisitemia vera pada keadaan feritin serum yang menurun. Polisitemia vera tidak hanya didasarkan pada kadar hemoglobin dan hematokrit, dan indeks eritrosit. c Tidak ditemukan fibrosis retikulin relevan, fibrosis kolagen, leukoeritroblastosis darah perifer, atau keadaan hiperselular sumsum tulang disertai dengan morfologi megakariosit yang khas untuk mielofibrosis primer (megakariosit kecil hingga besar dengan rasio inti terhadap sitoplasma yang tidak biasa dan hiperkromatik, bulat, atau inti terlipat tidak teratur dan padat bergerombol. d Tidak ditemukan BCR-ABL1. e Tidak ditemukan diseritropoiesis dan disgranulopoiesis. f Penyebab trombositosis reaktif meliputi kekurangan zat besi, splenektomi, operasi, infeksi, inflamasi, penyakit jaringan ikat, kanker metastatik, dan penyakit limfoproliperatif. Namun, adanya kondisi yang berhubungan dengan trombositosis reaktif tidak menyingkirkan kemungkinan TE jika kriteria lainnya terpenuhi. 5. Penatalaksanaan Pada pasien yang mendapatkan terapi, sebelum dan setelah terapi harus dilakukan pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan sumsum tulang (jika ada indikasi), dan pemeriksaan fungsi ginjal serta hepar. Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) dan hepar (ALT dan ALP) dilakukan untuk menentukan pilihan terapi yang sesuai, menentukan dosis terapi dan menilai adanya kontraindikasi serta efek samping terapi. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal dan/ gangguan hepar, risiko reaksi toksik lebih tinggi pada pemberian terapi, misalnya dengan hidroksiurea atau anaglerid, sehingga dosis terapi harus disesuaikan. Risiko komplikasi yang biasa terjadi yaitu perdarahan dan trombosis serta keberhasilan terapi dipantau dengan pemeriksaan darah lengkap. Pasien yang diterapi dengan hidroksiurea harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap setiap 2 minggu selama 2 bulan pertama, kemudian setiap bulan, dan setelah respon pasien stabil, pemeriksaan dilakukan setiap 3 bulan. Pasien yang mendapat interferon alfa 2b, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan setiap minggu selama bulan pertama pengobatan, setiap 2 minggu selama bulan kedua, kemudian setiap bulan, dan setelah respon pasien stabil, pemeriksaan dilakukan setiap 3 sampai 4 bulan.17 Dianjurkan untuk dilakukan pemantauan fungsi jantung (dengan EKG dan ekokardiogram) sebelum dan selama pengobatan dengan anagrelide. Selain itu, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan setiap minggu selama bulan pertama terapi, setiap 2 minggu selama bulan kedua, kemudian setiap bulan, dan setelah respon pasien stabil, pemeriksaan dilakukan setiap 3 sampai 4 bulan. Selanjutnya, karena terdapat risiko transformasi mielofibrotik pada pasien yang diterapi dengan anagrelide, maka dianjurkan pemantauan berkala (setiap 3 tahun) untuk tanda-tanda awal perkembangan transformasi mielofibrotik 6. Prognosis Penyebab utama mobiditas dan mortalitas penderita trombositemia esensial adalah trombositosis dan perdarahan (kira-kira terjadi pada 40 % penderita). Pada beberapa kasus, trombositemia esensial mengalami transformasi menjadi penyakit mieloproliferatif yang lain. Penggunaan fosfor radioaktif atau obat-obat alkilating dan kemungkinan juga hidroksiurea dalam terapi trombisitemia esensial tampaknya meningkatkan kemungkinan konversi menjadi leukemi akut. Kelangsungan hidup penderita trombositemia esensial tidak berbeda dengan populasi normal pada usia yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Brainwauld, E. 2009. Heart Failure and cor pulmonale. Dalam H. L. Kasper, Horrison's Principal Internal Medicine (hal. 216-230). New York: McGrewHill. Donald M. Lloyd-Jones,Martin.Larson,Daniel Levy,Ramachandran S. Vasan, and William B. Kannel. 2002. Lifetime Risk for Developing Congestive Heart Failure. Circulation, 106, 3068-3072. Donald; Mercedes; Bruce; Todd. 2010. Heart Disease. AIHA, 165, 121-128. Gautam V. Ramani, Patricia A. Uber, Pharm D, and Mandeep R. Mehra. 2010. Chronic Heart Failure: Contemporary Diagnosis and Management. Mayo Clin Proc, 85, 180195. Ghanie, A. 2006. Gagal Jantung Kronik. Dalam B. S. Aryo Sudaryo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (hal. 1511-1530). Jakarta: FK UI. Gibbs CR, Jackson G, Lyp GYH. 2000. ABC of Heart Failure: Non-drug Management. BMJ: 320: 366-9. Kart, W. 2002. Aldosterone in congestie heart failure. NEJM, 345, 1689-1697. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. 2000. ABC Of Heart Failure :Etiology. BMJ: 320: 104-7. ROUNDS, A. P. (2002). Congestive Heart Failure. Am. J. Respir. Crit. Care Med, 165, 4-8. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2007. Diagnosis Dan TatalaksanaPraktisGagalJantungAkut. Walter, B. A. (2002). Heart failure with preserved ejection fraction: pathophysiology, diagnosis, and treatment. Eur Heart J, 32, 670-679. National Collaborating Center for Chronic Condition. (2006). Atrial fibrillation. London. National Clinical Guidline for Management in Primary and Secondary Care. Royal College of Physicians.www.escardio.org Patrick Davey. (2006). At a Glance Madicine. Jakarta: Penerbit Erlangga. Dorland, W.M.A. 2002.KamusKedoteran Dorlandeds.29. EGC, Jakarta: 602-3, 438-9. PerkumpulanEndokrinologi Indonesia (Perkeni). 2002. KonsensusPengelolaan Diabetes MelitusTipe 2 di Indonesia. PerkumpulanEndokrinologi, Jakarta: 7. SudoyoW.Aru. 2006. BukuAjarIlmuPenyakitDalam. Diabetes Melitus di Indonesia. Hal 1874-1940. BalaiPenerbit FKUI. Jilid III. Edisi IV. EGC.Jakarta The Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. 2003. Report of the Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care 26 (1): 5-20. Murray L., Ian W., Tom T., Chee K C. 2007. Chronic Renal Failure in Ofxord Handbook of Clinical Medicine. Edisi ke-7. New York: Oxford University. 294-97.
National Kidney Foundation. 2002. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm.
Suwitra, Ketut. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke- 4. Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 570-573. Caldwell BS. Chronic Myeloproliperative Disorders. Dalam: Harmening DM, editor. Clinical hematology and Fundamentals of Hemostasis. Edisi ke-4. Philadelphia: F.A. Davis; 2002. hlm. 331-57. Lal A. Thrombocytosis, Essential [monograf di internet]. Medscape; c1994-2011 [diperbarui 4 Oktober 2009; diunduh 3 Maret 2011]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/206697-overview