Mekanisme Penyakit Infeksi, Myalgia, dan Ikterus pada Manusia Dewasa
Rimenda Dwirana Barus NIM : 102010315 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi : Jalan Terusan Arjuna Utara 6, Jakarta Barat e-mail : ri_mhen@yahoo.com
Pendahuluan Manusia secara terus-menerus berkontak dengan agen eksternal yang mungkin dapat membahayakan apabila agen tersebut masuk ke dalam tubuh, yang paling serius adalah mikroorganisme penyebab penykait. Apabila bakteri atau virus masuk ke dalam tubuh, tubuh memiliki sistem pertahanan yang kompleks dan berlapis-lapis sistem imun yang memberikan proteksi terhadap invasi oleh agen-agen asing. Permukaan tubuh yang terpajan ke lingkungan eksternal, misalnya kulit berfungsi sebagai lini pertama sistem pertahanan untuk menahan penetrasi mikroorganisme asing. 1 Dalam makalah ini akan dibahas mengenai demam yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan infeksi virus, myalgia, dan ikterus yang merupakan tanda dari adanya respon tubuh terhadap suatu antigen, atau efek langsung dari antigen tersebut. Batasan dari pembahasan makalah adalah penjelasan infeksi bakteri dan infeksi virus hanya di tinjau secara umum, tidak spesifik pada suatu penyakit. Tujuan pembuatan makalah adalah membahas mengenai demam karena adanya infeksi oleh bakteri, virus, dan jamur, myalgia, dan ikterus pada manusia dewasa, dengan penekanan pada proses terjadinya, dan pada pemeriksaan penunjang hal-hal apa saja yang mungkin dapat ditemukan.
2
Demam Dari sudut pandang termoregulatorik, tubuh dapat dianggap sebagai suatu inti ditengah dengan lapisan pembungkus di sebelah luar. Suhu di inti bagian dalam, yang terdiri dari organ- organ abdomen dan toraks, sistem saraf pusat, serta otot rangka, umumnya relatif konstan. Suhu inti internal inilah yang dianggap sebagai suhu tubuh dan menjadi subjek pengaturan ketat untuk mempertahankan kestabilannya. Jaringan tubuh di bagian tengah ini berfungsi optimum pada suhu relatif konstan sekitar 37,8 o C (100 o F). Kulit dan jaringan subkutis membentuk lapisan di sebelah luar, umumnya lebih dingin dan dasarnya dapat berubah-ubah. Suhu oral istirahat rata-rata adalah 37 o C dengan rentang normal 36,1 o C sampai 37,2 o C. suhu rektum rata-rata sekitar 0,6 o C lebih tinggi, yaitu 37,6 o C, berkisar dari 36,1 sampai 37,8 o C. ukuran-ukuran di atas bukan merupakan petunjuk absolut suhu inti internal, yang rata-rata sekitar 37,8 o C. Suhu inti dapat bervariasi sekitar 35,6 o C sampai 40 o C, tetapi biasanya menyimpang kurang dari beberapa derajat. Nilai yang relatif konstan karena mekanisme termoregulatorik yang dikoordinasikan oleh hipotalamus. 1 Demam adalah peningkatan suhu tubuh di atas normal akibat stress fisiologis seperti reaksi alergi, trauma jaringan, dehidrasi, lesi SSP, atau infeksi bakteri atau virus. Demam termasuk pertahanan nonspesifik terhadap infeksi. 2
Sebagian besar protein, hasil pemecahan protein, dan beberapa zat tertentu lainnya, terutama toksin lipopolisakarida yang dilepaskan dari membran sel bakteri, dapat menyebabkan peningkatan set-point pada thermostat hipotalamus. Zat yang menimbulkan efek seperti ini disebut pirogen. Pirogen yang dilepaskan dari bakteri toksik atau pirogen yang dilepaskan dari degenerasi jaringan tubuh dapat menyebabkan demam selama keadaan sakit. Ketika set-point di pusat pengaturan-suhu hipotalamus menjadi lebih tinggi dari normal, semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh terlibat, termasuk penyimpanan dan peningkatan pembentukan panas. 3
Percobaan pada binatang telah memperlihatkan bahwa beberapa pirogen, ketika disuntikkan ke dalam hipotalamus, dapat bekerja secara langsung pada pusat pengaturan suhu hipotalamus untuk meningkatkan sset-poinnnya. Pirogen lainnya befungsi secara tidak langsung dan mungkin 3
membutuhkan periode laten selama beberapa jam sebelum menimbulkan efek ini. Hal ini terjadi pada sebagian besar bakteri pirogen, terutama endotoksin dair bakteri gram negatif. Apabila bakteri atau hasil pemecahan bakteri terdapat dari dalam jaringan atau dalam darah, keduanya akan difagositosis oleh lekosit darah, makrofag jaringan dan limfosit pembunuh bergranula besar. Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan zat interleukin-1 yang juga disebut leukosit pirogen atau pirogen endogen ke dalam cairan tubuh. Interleukin 1, saat mencapai hipotalamus, segera mengaktifkan proses yang menimbulkan demam, kadang-kadang peningkatan suhu tubuh dalam jumlah yang jelas terlihat pada waktu 8 sampai 10 menit. Sedikitnya sepersepuluh juta gram endotoksin lipopolisakarida dari bakteri, bekerja dengan cara ini secara bersama-sama dengan leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh, dapat menyebabkan demam. Jumlah interleukin-1 yang dibentuk sebagai respon terhadap lipopolisakarida untuk menyebabkan demam hanya beberapa nanogram. Beberapa percobaan telah menunjukkan bahwa interleukin-1 menyebabkan demam, pertama- tama dengan menginduksi pembentukan salah satu prostaglandin, tertuama prostaglandin E 2, atau zat yang mirip, dan selanjutnya bekerja di hipotalamaus untuk membangkitkan reaksi demam. Ketika pembentukan prostaglandin dihambat oleh obat, demam sama sekali tidak terjadi atau paling tidak berurang. 3 Sumber lain menyebutkan, demam timbul sebagai respons terhadap pembentukan sitokin tertentu, termasuk interleukin-1, interleukin-6, dan faktor nekrosis tumor. Sitokin ini disebut pirogen endogen (penghasil panas). Sitokin pirogenik dilepaskan oleh beberapa sel berbeda, termasuk monosit, makrofag, sel T helper, dan fibroblast dalam berespons terhadap infeksi menghasilkan prostaglandin, mungkin PGE, yang meningkatkan titik patokan termoregulasi hipotalamus. Apabila sumber pirogen dihilangkan (misalnya, setelah sistem imun berhasil mengatasi mikroorganisme), maka kadarnaya turun. Hal ini mengembalikan titik patokan suhu ke normal. Untuk jangka waktu yang singkat suhu tubuh akan tertinggal dari pengembalian titik patokan tersebut dan hipotalamus akan menganggap bahwa suhu tubuh terlalu tinggi. Sebagai akibatnya, hipotalamus akan merangsang berbagai respon misalnya berkeringat untuk mendinginkan suhu tubuh. 4 4
Imunologi bakteri Imunologi bakteri terdiri dari imunologi bakteri ekstraseluler dan imunologi bakteri intraselular. Imunologi bakteri ekstraselular. Bakteri ekstraselular dapat hidup dan berkembang biak di luar sel pejamu misalnya dalam sirkulasi, jaringan ikat, dan rongga-rongga jaringan seperti lumen saluran napas dan saluran cerna banyak di antarnya merupakan bakteri patogenik. Penyakit yang ditimbulkan bakteri ekstrasellular dapat berupa inflamasi yang menimbulkan dekstruksi jaringan di tempat infeksi dengan membentuk nanah/ infeksi supuratif.
Imunitas nonspesifik. Komponen imunitas nonspesifik utama terhadap bakteri ekstraseluler adalah komplemen, fagositosis, dan respons inflamasi. Imunitas spesifik. Imunitas spesifik terdiri dari imunitas humoral dan sitokin. A) Humoral. Antibodi merupakan komponen imun protektif utama terhadap bakteri ekstraselular yang berfungsi untuk menyingkirkan mikroba dan menetralkan toksinnya melalui berbagai mekanisme. Komplikasi lambat respon imun humoral dapat berupa penyakit yang ditimbulkan antibodi. B) sitokin. Repsons utama pejamu terhadap bakteri ekstraleluler adalah produksi sitokin oleh makrofag yang diaktifkan yang menimbulkan inflamasi dan syok septic. Toksin seperti superantigen mampu mengaktifkan banyak sel T sehingga menimbulakn produksi sitokin dalam jumlah besar dan kelainan klinikopatologi seperti yang terjadi pada syok septic. Imunologi bakteri intraselular. Ciri utama bakteri intraseluler adalah kemampuannya untuk hidup bahkan berkembang biak dalam fagosit. Mikroba tersebut mendapat tempat tersembunyi yang tidak dapat ditemukan oleh antibodi dalam sirkulasi, sehingga untuk eliminiasinya memerlukan mekanisme imun selular. Imunologi bakteri intraseluler juga melibatkan imunitas nonspesifik dan imunitas spesifik. Imunitas nonspesifik. Efektor imunitas nonspesifik utama terhadap bakteri intraseluler adalah fagosit dan sel NK. Imunitas spesifik. Proteksi utama respons imun spesifik terhadap bakteri intraselular berupa imunitas selular. Imunitas selular terdiri dai 2 tipe reaksi, yaitu sel CD4 + Th1 yang mengaktifkan makrofag (DTH) yang memproduksi IFN- dan sel CD8 + /CTL, yang memacu pembunuhan mikroba serta lisis sel terinfeksi. Makrofag yang diaktifkan sebagai respons terhadap mikroba intraselular dapat pula membentuk granuloma dan menimbulkan kerusakan jaringan seperti yang terjadi pada DTH terhadap protein M. tuberculosis. 5 5
Imunologi virus Respons imun tehadap protein virus melibatkan sel T dan sel B. antigen virus yang menginduksi antibodi dapat menetralkan virus dan sel T sitotoksik yang spesifik merupakan imunitas paling efisien pada imunitas proteksi terhadap virus . Imunitas nonspesifik. Prinsip mekanisme imunitas nonspesifik terhadap virus adalah mencegah infeksi. Efektor yang berperan adalah IFN tipe I dan sel NK dan yang membunuh sel terinfeksi. Imunitas spesifik. A) Humoral. Respons imun terhadap virus tergantung dari lokasi virus dalam pejamu. Antibodi diproduksi dan hanya efektif terhadap virus dalam fase ekstraseluler. Virus dapat ditemukan ekstraleluler pada awal infeksi sebelum virus masuk ke dalam sel atau bila dilepas oleh sel terinfeksi yang dihancurkan. Aktivasi komplemen juga ikut berperan dalam meningkatkan fagostitosis dan menghancurkan virus dengan envelop lipid secara langsung. B) Selular. Virus yang berhasil masuk ke dalam sel, tidak lagi rentan terhadap efek antibodi. Respons imun terhadap virus intraselular terutama tergantung dari sel CD8 + /CTL yang membunuh sel treinfeksi. Patologi yang diinduksi virus merupakan efek direk yang menimbulkan kematian sel pejamu dan kerusakan jaringan.hampir semua virus tanpa envelop menimbulkan infeksi akut dan kerusakan. Kerusakan patologi sebetulnya sering lebih merupakan akibat respons imun aktif terhadap antigen virus dan epitopnya pada permukaan sel terinfeksi. 5 Hasil laboratorium Pemeriksaan darah rutin terdiri dari pemeriksaan hemoglobin, eritrosit, leukosit, hematokrit, trombosit, laju endap darah (LED), hitung jenis, dan golongan darah. 6
Hemoglobin. Nilai rujukan : pria : 13,5-18 g/dl; wanita: 12-16 g/dl. Nilai hemoglobin tinggi disebabkan konsentrasi akibat dehidrasi. Nilai hemoglobin rendah berhubungan dengan masalah klinis seperti anemia. Penurunan kadar : anemia, kanker, penyakit ginjal, pemberian cairan intravena berlebihan, penyakit Hodgkins. Peningkatan kadar : dehidrasi/hemokonsentrasi, polisitemia, tempat yang tinggi, PPOK, emfisema, asma, gagal jantung kongestik (GJK), luka bakar hebat. 7 6
Hematokrit. Hematokrit adalah volume sel-sel darah merah dalam 100 ml (1 dl) darah, dihitung dalam persen. Nilai rujukan : Pria: 40-50%, 0,40-0,54 (unit SI); Wanita : 36%-46%, 0,36-0,46 (unit SI). Penurunan kadar : kehilangan darah akut, anemia, leukemia, penyakit Hodgkins, limfosarkoma, myeloma multiple, gagal ginjal kronik, sirosis hepatis, malnutrisi, defisiensi vitamin B dan C, kehamilan, SLE, arthritis rematoid, ulkus peptikum, gagal sumsum tulang. Peningkatan kadar: dehidrasi/hipovolemia, diare berat, polistemia vera, asidosis diabetikum, emfisema paru, iskemia serebral sementara, eklampsia, trauma, pembedahan, luka bakar. Eritrosit. Nilai rujukan: Jumlah SDM (juta/l atau x10 12 /L [unit SI] : Pria: 4,6-6,0; Wanita: 4,0-5,0. MCV (fL [unit SI]) : 80-90. MCH (pg [konvensional dan unit SI]): 27-31. MCHC (% atau g/dl [konvensional] atau unit SI) 32%-6%, 0,32-0,36. Indeks sel darah merah memberikan informasi tentang ukuran (MCV: Mean Corpuscular Volume), berat (MCH: Mean corpuscular Hemoglobin), dan konsentrasi hemoglobin (MCHC: Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) dari sel darah merah. Penurunan MCV atau mikrosit, ukuran terkecil sel darah merah, merupakan indikasi anemia karena defisiensi zat besi dan talasemia. Peningkatan MCV atau makrosit, merupakan indikasi anemia pernisiosa dan anemia asam folat. Pada anemia makrostik, MCH meningkat, dan menurun pada anemia hipokromik. Leukosit. Jumlah diferensial Sel darah Putih (SDP) dinyatakan dalam millimeter kubik (L) dan persen dari jumlah leukosit total. Jumlah diferensial SDP memberikan informasi yang lebih spesifik yang berhubungan dengan infeksi dan proses penyakit. 7 Pada tabel 1 tertera jenis leukosit beserta nilai rujukannya.
7
Tipe SDP Nilai rujukan Keterangan % L Neutrofil (total) Segmen Pita
50-70
50-65 0-5
2500-7000
2500-6500 0-500
Neutrofil paling banyak dalam sirkulasi leukosit, bereaksi sangat cepat terhadap inflamasi dan tempat perlukaan jaringan. Segmen adalah neutrofil matang, dan pita adalah neutrofil tak matang yang memperbanyak diri dengan cepat selama fase infeksi akut. Penurunan kadar: penyakit virus, leukemia, agranulositosis, anemia aplastik, dan anemia defisiensi zat besi Peningkatan kadar: infeksi akut, penyakit inflamasi, kerusakan jaringan, Eosinofil
1-3
100-300
Eosinofil meningkat selama keadaan alergik dan parasitik. Steroid menurunkan jumlah eosinofil. Penurunan kadar: stress (luka bakar, syok), hiperfungsi adrenokortikal Peningkatan kadar: alergi, penyakit parasitic, kanker tulang, ovarium, testis, otak. Basofil
0,4-1,0
40-100
Basofil meningkat selama proses penyembuhan. Steroid menurunkan jumlah basofil. Penurunan kadar: stress, reaksi hipersensitivitas, kehamilan Peningkatan kadar: proses inflamasi, leukemia, fase penyembuhan infeksi atau inflamasi. Monosit
4-6
200-600
Monosit adalah garis pertahanan kedua melawan infeksi bakteri dan benda asing. Reaksinya lebih lambat terhadap penyakit infeksi dan inflamasi, tetapi lebih kuat dari neutrofil dan dapat memakan partikel-debris yang lebih besar. Penurunan kadar: leukemia limfosit, anemia aplastik Peningkatan kadar: penyakit viral, penyakit parasitic, leukemia monosit, kanker, Limfosit 25-35 1700-3500 Limfosit dalam sistem kekebalan adalah limfosit B dan limfosit T. Penurunan kadar: kanker, leukemia, hiperfungsi adrenokortikal, agranulositosis, anemia aplastik, sklerosis multiple, gagal ginjal, sindrom nefrotik, SLE Peningkatan kadar: leukemia limfositik kronik, infeksi virus kronis, infeksi kronik, penyakit Hodgkins, myeloma multiple, hipofungsi adrenokortikal. Tabel 1. Nilai Rujukan Sel Darah Putih. 7 8
Laju Endap Darah (LED). Pemeriksaan LED mengukur kecepatan dimala sel darah merah mengendapkan darah yang tidak membeku. Pemeriksaan tidak spesifik. Pemeriksaan protein reaktif-C (CRP_) dianggap lebih berguna dari LED karena kenaikan CRP lebih cepat selama proses inflamasi dan lebih cepat kembali normal. Nilai rujukan: Metode Western: <50 tahun : Pria: 0-10 mm/jam; Wanita: 0-20 mm/jam. >50 tahun: Pria: 0-20 mm/jam; Wanita: 0-30 mm/jam. Metode Wintrobe: Pria: 0-7 mm/jam; Wanita: 0-15 mm/jam. Penurunan kadar: polisitemia vera, gagal jantung kongestif, anemia sel sabit, infeksi mononucleosis, peningkatan kadar: arthritis rheumatoid, demam, IMA, luka bakar. Kehamilan trimester kedua dan ketiga. 7
Otot Rangka Mekanisme Umum Kontraksi Otot Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang sebuah saraf motorik sampai ke ujungnya pada serat otot. Pada setiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmitter, yaitu asetilkolin, dalam jumlah sedikit. Asetilkolin bekerja pada area setempat pada membran serat otot untuk membuka banyak saluran bergerbang asetilkolin melalui molekul-molekul protein dalam membran serat otot. Terbukanya saluran asetilkolin memungkinkan sejumlah besar ion natrium untuk mengalir ke bagian dalam membran serat otot pada titik terminal saraf. Peristiwa ini akan menimbulkan suatu potensial aksi dalam serat otot. 3
Potensial aksi akan berjalan di sepanjang membran serat otot dalam cara yang sama seperti potensial aksi berjalan di sepanjang membran saraf, menimbulkan depolarisasi membran serat otot, dan juga berjalan secara dalam di dalam serat otot, pada tempat di mana potensial aksi menyebabkanretikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium, yang telah disimpan di dalam retikulum, ke dalam miofibril.
Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin dan miosin, yang menyebabkannya bergerak bersama-sama, dan menghasilkan proses kontraksi. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium dipompa kembali ke dalam retikulum sarkoplasma, tempat ion-ion ini disimpan sampai potensial aksi otot yang baru datang lagi. Pengeluaran ion kalsium dari miofibril akan menyebabkan kontraksi otot terhenti. 3 9
Mekanisme Molekular dari Kontraksi Otot Mekanisme pergeseran dari kontraksi.Pada keadaan relaksasi, ujung-ujung filamen aktin yang berasal dari dua lempeng Z yang berurutan sedikit saling tumpang tindih satu sama lain, sementara pada waktu yang bersamaan menjadi lebih dekat pada filamen miosin. Pada keadaan kontraksi, filamen aktin telah tertarik ke dalam di antara filamen miosin, sehingga mereka sekarang saling tumpang tindih satu sama lain secara luas. Lempeng Z juga telah ditarik oleh filamen aktin sampai ke ujung filamen miosin. Selama kontraksi yang kuat, filamen aktin dapat ditarik bersama-sama begitu eratnya sehingga ujung-ujung filamen miosin melekuk. Jadi, kontraksi otot terjadi karena mekanisme pergesareran filamen.
Filamen-filamen aktin bergeser ke dalam di antara filamen-filamen miosin disebabkan oleh kekuatan mekanis yang dibentuk oleh interaksi jembatan penyeberangan dari filamen miosin dengan filamen aktin. Dalam keadaan istirahat, kekuatan ini dihambat, tetapi bila sebuah potensial aksi berjalan ke seluruh membran serat otot, hal ini kaan menyebabkan retikulum sarkoplasmik melepaskan ion kalsium dalam jumlah besar yang dengan cepat menembus miofibril. Ion-ion kalsium ini kemudian mengaktifkan kekuatan di antara filamen aktin dan miosin, dan mulai terjadi kontraksi. Tetapi energi juga diperlukan untuk berlangsungnya proses kontraksi. Energi berasl dari ikatan ATP berenergi tinggi, yang diuraikan menjadi adenosine difosfat (ADP) untuk membebaskan energi yang dibutuhkan. 3 Myalgia Otot yang nyeri tidak selalu berarti penyakit otot. Penyakit sendi dan tulang sering menimbulkan keluhan nyeri otot dan selanjutnya keliru dengan lokalisasi anatomic dari gejala yang mengakibatkan atrofi karena tidak digunakan dan kelemahan otot sedang.. 8 Trauma otot. Aktivitas yang berlebihan, bahkan pada atlit, mungkin disertai dengan robekan otot dan tendo yang mengakibatkan nyeri otot akut sementara, pembengkakan, dan nyeri tekan. Rupture tendo otot seperti otot biseps atau gastroknemius dapat menimbulkan pemendekan otot. Sakit yang paling ringan dan kelelahan otot setelah aktivitas yang membutuhkan banyak tenaga dapat dipisahkan dari yang lebih berat berdasarkan derajatnya, tetapi nyeri normal masih terjadi setelah aktivitas yang berat dan tidak biasa. Gejala seperti ini seringkali disertai bukti 10
laboratorium dari kerusakan otot yang nyata, termasuk naiknya enzim serum (keratin kinase), edema fokal pada MRI, dan nekrosis otot yang luas pada biopsy. Terutama mungkin menimbulkan nyeri otot dan nekrosis adalah jenis latihan tertentu; periode kontraksi otot yang singkat ketika otot memanjang dan latihan yang lama seperti lari marathon. Myalgia difus. Nyeri otot tanpa adanya kelemahan otot dapat terjadi pada infeksi akut yang disebabkan oleh virus influenza dan virus coxsackie. Fibrositis, fibromyalgia, dan fibromiositis adalah sinomim untuk gangguan yang disertai dengan nyeri dan yneri tekan otot dan jaringan penyambung sekitarnya. 8 Ikterus Ikterus adalah pewarnaan jaringan tubuh menjadi kekuning-kuningan, meliputi kekuning- kuningan pada kulit dan jaringan dalam. Penyebab umum ikterus adalah adanya sejumlah besar bilirubin dalam cairan ekstrasel, baik bilirubin bebas atau bilirubin terkonjugasi. Kulit biasanya mulai tampak kuning bila konsentrasinya meningkat kira-kira tiga kali normal, yaitu di atas 1,5 mg/dl. 3
Ikterus hemolitik. Ikterus hemolitik disebabkan hemolisis sel darah merah. Pada ikterus hemolitik, fungsi ekskresi hati tidak terganggu, tetapi sel darah merah dihemolisis begitu cepat sehingga sel hati tidak dapat mengekskresi bilirubin secepat pembentukannya. Oleh karena itu, konsentrasi plasma bilirubin bebas meningkat di atas nilai normal. Selain itu, kecepatan pembentukan urobilinogen dalam usus sangat meningkat, dan sebagian besar urobilinogen diabsropsi ke dalam darah dan akhirnya dieksresikan ke dalam urin. 3 Produksi berlebihan bilirubin tak terkonjugasi mengurangi kemampuan hati untuk mengkonjugasi kelebihan tersebut, seperti pada anemia hemolitik bisa pada penyakit sferositosis herediter, penyakit sel sabit, hipersplenisme, dan talasemia. 9 Ikterus obstruktif. Ikterus obstruktif disebabkan oleh obstruksi duktus biliaris (yang sering terjadi bila sebuah batu empedu atau kanker menutupi duktus koledukus) atau kerusakan sel hati( yang terjadi pada hepatitis), kecepatan pembentukan bilirubinnya normal, tetapi bilirubin yang dibentuk tidak dapat lewat dari darah ke dalam usus. Bilirubin bebas masih masuk ke sel hati dan 11
dikonjugasi dengan cara yang biasa. Biilirubin terkonjugasi ini kemudian kembali ke dalam darah, mungkin karena pecahnya kanalikuli biliaris yang terbendung dan pengosongan langsung ke saluran limfe yang meninggalkan hati. Jadi, kebanyakan bilirubin dalam plasma mejadi bilirubin terkonjugasi dan bukan bilirubin bebas. 3
Untuk pemeriksaan adanya anemia hemolitik pada pasien ikterus, pemeriksaan apusan darah terutama penting dalam mengevaluasi pasien yang menderita hemolisis. Sebagian besar anemia hemolitik memiliki karakter kelainan morfologi. Jumlah retikulosit merupakan satu-satunya uji yang paling bermanfaat. Pasien hemolisis hampir selalu mengalami jumlah retikulosit yang meningkat. Berbagai uji serum dan urin bermanfaat untuk memastikan adanya hemolisis dan menilai derajatnya. Bilirubin tidak terkonjugasi dan haptoglobin serum sangat bermanfaat. 8
Untuk pemeriksaan kemungkinan adanya kelainan pada hepar yang menyebabkan ikterus, dapat dilakukan pemeriksaan berikut. Pemeriksaan laboratorium hasilnya nonspesifik dan hanya mencerminkan kelainan peradangan yang mendasari. Leukositosis ringan adalah khas. Tes fungsi hati bisa sedikit meningkat, tetapi dalam pola nonspesifik dan tidak ke derajat yang diperkirakan sesuai dengan hepatitis. Bilirubin serum bisa mencapai kadar tertinggi 4 mg/100ml tanpa koledokolitiasis 10 Pada tabel 2, terdapat nilai normal dari ekskresi empedu dan metabolisme protein tubuh. Uji Nilai Normal Ekskresi Empedu Bilirubin serum direk (terkonjugasi) Bilirubin serum indirek (tidak terkonjugasi) Bilirubin serum total Bilirubin urin Urobilinogen urin Metabolisme Protein Protein serum total Albumin serum Globulin serum
6-8 g/dl 3,2-5,5 g/dl 2,0-3,5 g/dl Tabel 2. Nilai Normal Eksresi Empedu dan Metabolisme Protein. 11 12
Perbedaan diagnostik antara ikterus hemolitik dan ikterus obstruktif. Uji laboratorium kimia dapat dipakai untuk membedakan bilirubin bebas dari bilirubin terkonjugasi dalam plasma. Pada ikterus hemolitik, hampir semua bilirubin dalma bentuk bebas. Pada ikterus obstruktif, bilirubin terutama dalam bentuk konjugasi Suatu uji yang disebut reaksi van den Bergh dapat digunakan untuk membedakan keduanya. Bila terdapat obstruksi total aliran empedu, tidak ada bilirubin yang dapat mencapai usus umtuk diubah menjadi urobilinogen oleh bakteri. Oleh karena itu,, tidak ada urobilinogen yang diabsorpsi ke daalam darhah dan tidak ada yang dikeuarkan oleh ginjal ke dalam urin. Akibatnya, pada ikterus obsruksi total, uji untuk urobilinogen dalma urin adalah negatif. Selain itu, feses berwarna seperti dempul karena kurangnya sterkobilin dan pigmen empedu lainnya. Perbedaan penting lain antara bilirubin bebas dan terkonjugasi adalah bahwa ginjal dapat mengeluarkan sejumlah kecil blriubin terkonjugasi daam kelarutan tinggi tetapi bukan bilirubin bebas terikat-aalbuimin. Oleh karena itu, pada ikterus obstruktif berat sejumlah bilirubin terkonjugasi ynang bermakna terlihat dalam urin. Keadaan ini dapat diperlihatkan hanya dengan mengocok urin dan mengamati busanya, yang menjadi berwarna sangat kuning. 3
Kesimpulan Demam adalah peningkatan suhu tubuh di atas normal akibat stress fisiologis. Demam termasuk pertahanan nonspesifik terhadap infeksi. Pada penyakit infeksi akibat bakteri dapat terdapat leukositosis, dan penyakit karena infeksi virus dapat menyebabkan leukopenia. Nyeri otot dapat terjadi oleh berbagai macam sebab. Aktivitas yang berlebih menyebabkan nyeri otot akut sementara, pembengkakan, dan nyeri tekan. Ikterus adalah pewarnaan jaringan tubuh menjadi kekuning-kuningan, meliputi kekuning-kuningan pada kulit dan jaringa ndalam. Penyebab umum ikterus adalah adanya sejumlah besar bilirubin dalam cairan ekstrasel, baik bilirubin bebas atau bilirubin terkonjugasi.
13
Daftar Pustaka 1. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi ke-2. Jakarta: EGC, 2001. 2. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta : EGC, 2004. 3. Guyton A, Hall J. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke 11. Jakarta : EGC, 2007. 4. Corwin EJ. Buku sakut patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC, 2009. 5. mikrobiologi ui 6. Bastiansyah E. Panduan lengkap: membaca hasil tes kesehatan. Jakarta: Penebar Plus, 2008. 7. Kee JL. Buku saku pemeriksaan laboratorium dan diagnostic dengan implikasi keperawatan. Jakarta: EGC, 2003. 8. Isseblbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13. Jakarta : EGC, 1999. 9. Grace A P, Borley N R. At a Glance ilmu bedah. Edisi ke 3. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama. 2007. 10. Sabiston DC. Buku ajar bedah. Jakarta: EGC, 1994. 11. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 206.