Anda di halaman 1dari 19

1

STUDI FASIES DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN


SATUAN BATUPASIR FORMASI HALANG
BERDASARKAN ASOSIASI LITOFASIES
DI DAERAH AJIBARANG, KECAMATAN AJIBARANG,
KABUPATEN BANYUMAS, PROPINSI JAWA TENGAH

Bobby Prima Sitanggang
Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Bandung- Sumedang KM.21,
Jatinangor-45363
Email : hazel.fransiskus90@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan di sungai Tajum, Desa Ajibarang, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa
Tengah. Pengambilan data dilapangan dilakukan dengan mengukur ketebalan perlapisan singkapan batuan. Daerah
penelitian didominasi oleh perlapisan batulempung dan batupasir disebelah selatan, namun didominasi oleh perlapisan
batupasir pada sebelah utara. Hal ini menimbulkan dugaan adanya perubahan fasies dari arah selatan menuju utara
daerah penelitian. Hasil dari analisis penampang litologi, singkapan batuan menunjukkan karakteristik struktur sedimen
berupa massive sandstone, graded bedding, upper parallel lamination, lower parallel lamination, cross lamination,
climbing-ripple cross lamination, dan convolute lamination yang diendapkan dengan media air. Sedangkan dari hasil
analisis mikropaleontologi, batuan diendapkan pada lingkungan Batial Atas-Tengah. Litofasies yang teridentifikasi pada
penampang litologi adalah B, C, D dan F (berdasarkan endapan submarine fan Mutti & Ricci Lucchi, 1972) dan
Classical Turbidite (C.T.), Massive Sandstone (M.S.) dan Debris Flow (D.F.), (berdasarkan fasies turbidit Walker,
1978). Analisis asosiasi fasies menunjukkan daerah penelitian berada pada sistem kipas bawahlaut (submarine fan)
dengan fasies berupa Mid-fan Suprafan lobes dan Slope hingga Upper-fan yang merupakan hasil pengendapan laut
dalam dengan sistem pengendapan arus turbidit dan aliran debris. Pada penampang litologi juga menunjukkan adanya
perubahan fasies yang dipengaruhi oleh naik- turunnya permukaan air laut, yaitu pada dua fase transgresi dan satu fase
regresi. Analisis arah arus purba (paleocurrent) dilakukan dengan indikator struktur sedimen sekunder berupa flute cast
pada bidang perlapisan batulempung. Restorasi lineasi sumbu memanjang flute cast dengan menggunakan stereonet
menghasilkan arah arus dengan azimuth N118oE, yang mengindikasikan arah arus pengendapan pada saat material
sedimen diendapkan berasal dari arah Baratlaut menuju ke arah Tenggara. Secara keseluruhan, maka lingkungan
pengendapan pada daerah penelitian adalah laut dalam, khususnya pada sistem pengendapan kipas bawahlaut.
Kata kunci : litofasies, fasies, asosiasi fasies, lingkungan pengendapan, struktur sedimen, arah arus purba, kipas
bawahlaut, sungai Tajum

ABSTRACT
This research is conducted in river Tajum, Ajibarang village, district Ajibarang, Banyumas, Central Java province. Field
data is done by measuring the thickness of bedding rock outcrops. The research area is dominated by mudstone and
sandstone bedding in the south , but is dominated by sandstone bedding on the north. This has led to interpretation of
facies environment change from south to north area of research. Results from cross-sectional analysis of lithology, rock
outcrops shows the characteristic of sedimentary structures in the form of massive sandstone, graded bedding, parallel
lamination upper, lower parallel lamination, cross- lamination, climbing- ripple cross lamination, and convolute
lamination precipitated with aqueous media. While the results of the micropaleontology analysis, rocks deposited on the
Middle - Upper Bathyal environment. Litofacies identified in the lithological cross section are B, C, D and F (based on
submarine fan deposition, Mutti & Ricci Lucchi,1972) and the Classical Turbidite (CT), Massive Sandstone (MS) and

2

Debris Flow (DF), (based on turbidite facies Walker,1978). Facies association analysis shows the study area is located
on the submarine fan system (submarine fan) with a Mid-fan Suprafan lobes facies and Slope to the Upper-fan that
result in the deposition of marine turbidite deposition system flow and debris flow. In cross-section also shows the
lithological facies changes are influenced by the rise and fall of sea level, which is the two phases of the transgression
and regression phases. Analysis of ancient current direction (Paleocurrent) performed with the secondary indicators of
sedimentary structures such as flute casts on bedding plane of claystone. Lineation restoration of longitudinal axis of the
flute cast using stereonet analysis generate current direction with azimuth N118
o
E, which indicate the direction of flow
during the deposition of sediments material deposited comes from the Northwest heading Southeast towards. Overall,
the depositional environment in the study area is deep marine, especially in submarine fan depositional systems..
Keywords : lithofacies, facies, facies associations, depositional environments, sedimentary structures, paleocurrent,
submarine fan, river Tajum



1. PENDAHULUAN

Batupasir merupakan batuan yang banyak
diperhatikan oleh ahli geologi karena
setengah dari cadangan minyak dan gas
dunia terjadi pada batuan ini. Demikian
juga dengan shales, karena zat organik
yang terkandung didalamnya dipercaya
sebagai sumber dari material minyak dan
gas (Boggs, 2006). Oleh karena itu penulis
memilih untuk mengadakan penelitian
tentang fasies dan lingkungan pengen-
dapan pada daerah Ajibarang. Mengingat
hasil dari pemetaan geologi lanjut yang
telah dilakukan oleh penulis sebelumnya
didaerah sekitar sungai Tajum didominasi
oleh batupasir dan batulempung menyerpih
(shale).

Setiap lingkungan dengan keadaan tertentu
dapat menghasilkan batuan yang berbeda
pula, begitu juga sebaliknya himpunan
batuan yang terbentuk akan menghasilkan
ciri khas lingkungan pengendapannya.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin
menerapkan teori-teori Geologi yang telah
dipelajari selama duduk di bangku kuliah
terutama untuk kajian khusus sedimen-
tologi dan stratigrafi di lapangan.

Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bahan referensi bagi para
peneliti selanjutnya untuk dikembangkan
dan bila memungkinkan dilakukan pene-
litian lebih lanjut untuk mencari keter-
dapatan sumber-sumber daya mineral dan
energi disekitar tempat ini.

Maksud dari penelitian Tugas Akhir ini
adalah untuk mengetahui lingkungan
pengendapan Satuan Batupasir Formasi
Halang di daerah penelitian.

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Mengungkap sistem atau mekanisme
pengendapan didaerah penelitian
berdasarkan struktur sedimen primer.
2. Membagi litologi yang teridentifikasi
menjadi beberapa litofasies pada
penampang litologi perlapisan batuan
dilapangan.
3. Mengklasifikasikan litofasies menjadi
beberapa asosiasi fasies untuk
membentuk fasies pengendapan
daerah penelitian.
4. Menentukan atau menginterpretasikan
lingkungan pengendapan berdasarkan
analisis fosil dan analisis penampang
litologi secara vertikal.
5. Menentukan arah arus purba (paleo-
current) dengan indikator struktur
sedimen menggunakan stereonet
untuk restorasi lineation sumbu arus
pengendapan.

Lokasi yang digunakan sebagai tempat
penelitian kajian khusus dan pemetaan

3

geologi lanjut adalah daerah Ajibarang,
Kec. Ajibarang, Kab. Banyumas, Propinsi
Jawa Tengah.

Secara geografis masuk kedalam koordinat
garis bujur 109
o
00' 13" - 109
o
05' 39" BT
dan garis lintang 07
o
23' 35" - 07
o
28' 59"
LS pada lembar Peta Rupabumi Digital
Indonesia (Bakosurtanal) Ajibarang No.
1308-611 skala 1:25000.


2. METODE PENELITIAN

Penyusunan penampang stratigrafi terukur
dilakukan setelah memperoleh data la-
pangan yang akan digunakan untuk
menganalisis lingkungan pengendapan ba-
tuan sedimen pada penampang vertikal.
Data-data yang akan disajikan pada pe-
nampang vertikal merupakan data-data
yang diambil dilapangan, data tersebut
berupa ketebalan lapisan deskripsi litologi
batuan secara lengkap, struktur sedimen
primer dan sekunder, serta kontak antar
perlapisan. Perhitungan ketebalan per-
lapisan batuan dilapangan dilakukan
berdasarkan pertimbangan kemiringan
lereng, sudut kemiringan perlapisan batuan
(dip) dan arah pengukuran.

Secara garis besar, proses analisis ini
dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu :
1. Tahap deskripsi litologi pada
penampang vertikal.
2. Penafsiran awal lingkungan pengen-
dapan, berdasarkan kenampakan lito-
logi, mekanisme pengendapan yang
terekam pada struktur sedimen, dan
keberadaan fosil.
3. Penarikan kesimpulan lingkungan
pengendapan berdasarkan data-data
yang telah dianalisis.

Untuk lebih jelasnya, tahap-tahap diatas
akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Data-data dari lapangan digambarkan
didalam penampang vertikal. Data-
data tersebut meliputi litologi, kete-
balan sebenarnya (true thickness),
ukuran butir, kandungan fosil, struktur
sedimen primer dan sekunder, struktur
sedimen biogenik, trend siklus dan
deskripsi lengkap batuan.
2. Menafsirkan lingkungan pengendapan
dari data- data yang ada secara garis
besar, kemudian lebih spesifik dengan
memperhatikan asosiasi dari bukti-
bukti geologi dilapangan. Hal ini
dilakukan untuk mempersempit ke-
mungkinan ruang lingkup lingkungan
pengendapan yang akan dianalisis.
3. Setelah diinterpretasikan lingkungan
pengendapannya, maka perlu dila-
kukan pembuktian melalui kesesuaian
kenampakan singkapan dilapangan
dengan literatur-literatur lingkungan
pengendapan secara spesifik.
4. Kemudian litologi pada penampang
vertikal yang telah disusun, dibagi-
bagi atau diklasifikasikan menjadi
lebih detail berdasarkan model fasies
yang sesuai dengan keadaan sing-
kapan batuan dilapangan.
5. Pada penelitian ini, penulis ingin
membagi fasies berdasarkan kenam-
pakan litologi secara fisik (litofasies).
Setelah itu, litofasies tersebut dibagi
lagi menjadi beberapa asosiasi lito-
fasies dan terakhir menentukan ling-
kungan pengendapan dari asosiasi
litofasies tersebut.
6. Analisis lainnya adalah analisis
pengaruh naik turunnya permukaan air
laut terhadap perubahan fasies dalam
penampang vertikal.
7. Jika memungkinkan dilakukan analisis
arah arus purba (paleocurrent) saat
material sedimen diendapkan dengan
menggukan indikator arah arus sedi-
mentasi berupa struktur sedimen.
8. Pada tahap akhir dilakukan rekon-
struksi data- data yang telah ada dan
hasil dari analisis lingkungan pengen-
dapan untuk menentukan sejarah
pengendapan sesuai dengan hasil
analisis yang telah dilakukan sebelum-
nya.



4

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Penampang Litologi
Untuk memudahkan penulis dalam men-
deskripsikan batuan sedimen yang ditemu-
kan pada daerah penelitian, maka akan
dilakukan pembagian penampang litologi.
Penampang ini dibagi menjadi 8 penam-
pang litologi (Gambar 1), disusun dalam
bentuk strati-grafi penampang litologi,
yaitu :

3.1.1 Penampang Litologi 1
Secara umum terdapat tiga jenis litologi
yang berkembang pada penampang ini.
Litologi tersebut adalah batupasir, silty
clay dan batulempung menyerpih (shale).
Struktur sedimen yang terbentuk adalah
graded bedding, cross lamination, lower
parallel lamination dan convolute lamina-
tion. (Gambar 2)

Pada penampang litologi bagian bawah
terdapat batupasir massive dengan ukuran
butir halus hingga medium. Batupasir ini
mengandung karbonat pada pada lapisan-
nya serta nodul-nodul karbonatan yang ada
dalam singkapan batupasir (Gambar 3). Ju-
ga dapat dilihat permukaan batupasir
memiliki banyak cavity yang kemungkinan
adalah merupakan fosil jejak galian
(burrowing).

3.1.2 Penampang Litologi 2
Lokasi ini disusun oleh dua jenis litologi
yaitu batupasir dan batulempung serpih
(shale) dalam bentuk perselingan seperti
yang ditunjukkan pada penampang lito-
logi (Gambar 4). Singkapan memperli-
hatkan batupasir dengan ukuran butir
sangat halus hingga medium. Terdapat
struktur sedimen graded bedding dan
lower parallel lamination pada beberapa
perlapisan batupasir.

3.1.3 Penampang Litologi 3
Secara umum terdapat dua jenis litologi
yang berkembang pada penampang ini.
Litologi tersebut adalah batupasir dan
batulempung menyerpih (shale) (Gambar
5).Struktur sedimen yang berkembang pa-
da batupasir adalah parallel lamination,
flute cast dan climbing ripple-cross lami-
nation.

3.1.4 Penampang Litologi 4
Secara umum terdapat dua jenis litologi
yang berkembang pada penampang ini.
Litologi tersebut adalah batupasir dan
breksi sedimen. Breksi sedimen ini
didominasi oleh matriks (matrix support-
ed) (Gambar 6).

Pada bagian atas dari penampang ini
terdapat batupasir. Struktur sedimen yang
terbentuk pada batupasir ini adalah
struktur massive (Gambar 7).

3.1.5 Penampang Litologi 5
Pada penampang litologi ini, secara umum
terdapat dua jenis litologi yang berkem-
bang. Litologi tersebut adalah batupasir
dan batulanau (siltstone). Penampang ini
didominasi oleh perlapisan batupasir. Ba-
tupasir ini juga mengandung urat mineral
karbonat yang banyak dijumpai pada
singkapan batuan di lapangan. Kenam-
pakan urat itu berwarna putih, karbonatan
dan memanjang mengisi rekahan-rekahan
yang ada pada singkapan batupasir
(Gambar 8).

3.1.6 Penampang Litologi 6
Pada penampang litologi ini berkembang
jenis litologi batupasir dan tuf (Gambar 9).
Struktur sedimen yang berkembang pada
singkapan batuan ini berupa struktur
sedimen massif dan struktur sedimen
biogenik berupa fosil jejak (trace fossils)
Thalassinoides. Fosil jejak ini memiliki
bentuk tubular panjang dan bercabang-
cabang. Berwarna cokelat kemerahan dan
tersebar di salah satu lapisan batupasir.

3.1.7 Penampang Litologi 7
Penampang litologi ini tersusun atas dua
jenis litologi yaitu batupasir dan batu-
lempung lanauan (Gambar 10). Penam-
pang ini didominasi oleh batupasir. Pada
beberapa perlapisan batupasir terlihat

5

struktur sedimen berupa lower parallel
lamination yang tipis.

3.1.8 Penampang Litologi 8
Penampang litologi ini tersusun atas dua
jenis litologi yaitu batupasir dan batulem-
pung (Gambar 11). Sebagian perlapisan
batupasir memperlihatkan struktur sedi-
men berupa lower parallel lamination.

3.2 Karakteristik Struktur Sedimen
pada Litologi dan Mekanisme Sedimen-
tasi
Berdasarkan pengamatan di lapangan, pe-
nulis membagi batuan menjadi litologi
dengan beberapa struktur sedimen yang
berbeda. Pembagian ini dilakukan berda-
sarkan ciri-ciri dan karakter secara fisik te-
rutama struktur sedimen primer dari li-
tologi yang ada di daerah penelitian. Pe-
nampakan fisik yang berbeda dari litologi
ini menunjukkan mekanisme pengendapan
yang berbeda dan lingkungan yang ber-
beda pula.

3.2.1 Litologi Batupasir Massif dengan
Nodul Karbonatan
Litologi ini terdapat pada penampang
litologi 1. Litologi batupasir ini memiliki
struktur sedimen massif dengan nodul-
nodul karbonatan di dalamnya. Batupasir
ini memiliki struktur sedimen massif
(massive sandstone). Pada tubuh batupasir
ini juga terlihat banyak cavity yang ke-
mungkinan adalah merupakan fosil jejak
galian (burrowing). Karakteristik sedimen
batupasir massif ini menunjukkan proses
pengendapan mekanisme arus traksi secara
bed load. Litologi batupasir massif ini
ditandai dengan adanya percampuran pada
endapan secara berturut-turut (amal-
gamation) dan membentuk lapisan ga-
bungan (composite beds), Walker (1992).

3.2.2 Litologi Batulempung Abu-Abu
Menyerpih (Shale)
Litologi ini mendominasi kenampakan
batulempung pada penampang litologi 1, 2
dan 3. Litologi ini memiliki ciri-ciri
menyerpih dan kenampakan fissile di la-
pangan. Karakteristik batulempung ini me-
nunjukkan proses pengendapan partikel-
partikel sedimen sangat halus yang
mengalami suspensi di dalam air dan
mengendap setelah partikel pasir yang
memiliki berat jenis lebih besar selesai
diendapkan. Serpih secara khas dien-
dapkan pada air yang sangat tenang dan
sering dijumpai pada endapan danau dan
lagoonal, endapan delta sungai, pada
floodplain dan offshore dari pantai yang
tersusun atas pasir. Shale juga bisa ter-
endapkan pada continental shelf, secara
relatif dalam, serta air yang tenang. Setelah
terendapkan, partikel lempung (clay)
mengalami kompaksi sehingga clay men-
jadi keras. Proses tersebut membentuk
lempung yang telah mengalami kon-
solidasi dengan kenampakan fisik menyer-
pih dan fissile (Middleton,1980).

3.2.3 Litologi Batupasir dengan
Convolute Lamination
Litologi ini cukup banyak terlihat pada
penampang litologi 1. Struktur sedimen
convolute lamination merupakan salah satu
jenis soft-sediment deformation structures.
Mekanisme terbentuknya adalah struktur
terbentuk pada saat diendapkan atau sesaat
setelah diendapkan, selama tahap awal dari
konsolidasi sedimen. Hal ini dikarenakan
sedimen yang terendapkan memerlukan
wujud seperti cairan atau belum meng-
alami konsolidasi (unsolidified) untuk
membentuk suatu deformasi yang akan
menghasilkan struktur sedimen berupa
convolute lamination. Singkapan batuan
yang memperlihatkan struktur sedimen ini
juga disebut sebagai water-escape struc-
tures oleh Lowe (1975).

3.2.4 Litologi Batupasir dengan Lower
Parallel Lamination (Sand Laminated)
Litologi ini muncul di beberapa interval
penampang litologi 1, 2 dan 3. Laminasi
berkembang pada sedimen dengan ukuran
butir yang sangat halus hingga halus.
Partikel butiran halus turun mengendap,
hal ini hanya terjadi pada air yang tenang
(quiet water). Beberapa contoh lingkungan

6

pengendapan dimana struktur parallel
lamination bisa terbentuk adalah lantai
samudera laut dalam, lantai dasar danau
(lacustrine), tempat dimana naik-turun
muka air laut terjadi dan menciptakan
perbedaan siklus dalam suplai sedimen
(mudflats), Boggs (2006).

3.2.5 Litologi Batulempung dengan Up-
per Parallel Lamination (Silt and Mud
Laminated)
Litologi ini muncul di beberapa interval
penampang litologi 1, 2 dan 3. Laminasi
berkembang pada sedimen dengan ukuran
butir yang sangat halus. Mekanisme pem-
bentukannya sama dengan lower parallel
lamination, yaitu melalui suspensi pada
larutan (Boggs, 2006). Namun pembeda
upper parallel lamination adalah tersusun
atas lamina silt atau mud.

3.2.6 Litologi Breksi Sedimen
Litologi breksi sedimen ini terdapat pada
penampang litologi 4. Breksi ini memiliki
kontak dengan batupasir massif. Kontak
antara breksi sedimen dengan batupasir
tersebut memiliki kenampakan scour atau
bergelombang di lapangan. Namun kom-
ponen pada breksi sedimen ini tidak
semuanya berbentuk butir menyudut, akan
tetapi ada sebagian komponen batuan yang
berbentuk butir membundar, serta breksi
ini didominasi oleh matriks (matrix
supported). Oleh karena itu penulis juga
menginterpretasi breksi ini merupakan
diacmitite, berdasarkan kenampakannya di
lapangan. Diamictite paling sering berasal
dari pengendapan aliran massa di bawah
laut (submarine mass flows) seperti
turbidite dan olistostromes dalam area
tektonik aktif. Aliran ini juga dapat
diproduksi dalam cakupan yang luas dari
setiap kondisi formasi geologi. Salah satu
kemungkinan diendapkannya diamictite ini
adalah lingkungan pengendapan laut
(marine), yaitu dalam bentuk aliran debris,
turbiditic olistostromes dan percampuran
sedimen dari longsoran bawah laut
(submarine), Boggs (1992).

3.2.7 Litologi Batupasir dengan Normal
Graded Bedding
Batupasir dengan struktur normal graded
bedding ditunjukkan oleh penampang
litologi 1 dan 2. Normal graded bedding
dicirikan oleh perubahan sistematis ukuran
butir dari bagian bawah hingga atas lapisan
(bed), dimana bagian bawah dari bed me-
miliki ukuran butir yang lebih kasar
dibandingkan pada bagian atasnya, secara
berangsur material sedimen berukuran
butir kasar berubah menjadi material se-
dimen berukuran butir lebih halus. Meka-
nisme pengendapannya terjadi pada arus
yang mengalami penurunan energi saat
material sedimen diendapkan, namun
memungkinkan juga terjadi selama peris-
tiwa pengendapan yang cepat (Boggs,
2006). Hal ini paling baik ditunjukkan oleh
strata turbidit yang mengindikasikan ada-
nya arus kuat terjadi tiba-tiba, mengen-
dapkan material sedimen yang kasar dan
berat terlebih dahulu kemudian diikuti oleh
pengendapan material yang lebih halus
selama arus melemah. Struktur sedimen ini
banyak terjadi pada tempat yang memiliki
kemiringan lereng dan bisa memicu
pergerakan vertikal yang dipengaruhi oleh
gaya gravitasi, misalnya pada continental
shelf dan continental slope menuju ke laut
dalam.

3.2.8 Litologi Batupasir dengan Cross
Lamination
Litologi ini banyak ditemukan pada
penampang litologi 1. Cross lamination
merupakan satuan horizontal yang secara
internal tersusun atas lapisan-lapisan yang
memiliki kemiringan atau membentuk
sudut terhadap sumbu horizontal (Boggs,
2006). Arah pergerakan dari cross lamina-
tion dapat menunjukkan arah aliran purba
atau arah angin (paleocurrent). Material
sedimen yang diendapkan biasanya mela-
lui medium yang mengalir, yaitu air atau
angin. Cross lamination terbentuk di ber-
bagai lingkungan seperti sungai, tide-
dominated coastal dan marine setting. Da-
lam marine setting, cross lamination juga
bisa terlihat dalam sikuen arus turbidit

7

Bouma yang termasuk salah satu penciri
divisi Tc.

3.2.9 Litologi Batupasir dengan
Climbing-Ripple Cross Lamination
Litologi ini banyak terdapat pada penam-
pang litologi 3. Struktur sedimen ini secara
mekanisme sama dengan pengendapan
ripple yaitu mengindikasikan adanya per-
golakan pada air atau angin baik melalui
gelombang ataupun arus. Namun hasil
pengendapan ini akan menghasilkan unsur
pergerakan vertikal dan pergeseran hori-
zontal dari puncak ripple (crest). Climbing
ripple terbentuk saat adanya aliran yang
mengalami perlambatan berasosiasi
dengan river floods atau arus turbidit.

3.2.10 Litologi Batulempung dengan
Flute Cast
Litologi ini terdapat di penampang litologi
3 pada salah satu lapisan batulempung.
Struktur ini merupakan salah satu bagian
dari sole mark, ditemukan pada bagian
bawah strata dengan memperlihatkan alur-
alur dalam skala kecil. Flute cast meru-
pakan hasil gerusan kedalam lapisan se-
dimen yang halus dan lunak yang kemu-
dian diisi oleh lapisan yang berada di
atasnya. Sumbu dari struktur ini dapat juga
dijadikan bahan untuk analisis arah arus
purba yang terjadi pada saat pengendapan
(paleocurrent). Flute cast biasanya terben-
tuk pada mekanisme arus turbidit (Nichols,
2009).

3.3 Interpretasi Awal Lingkungan
Pengendapan
Selama berada didaerah penelitian, penulis
tidak menemukan adanya kelimpahan
fosil-fosil makro pada singkapan batuan.
Hasil analisis paleontologi mikrofosil yang
dilakukan dilaboratorium ditemukan fosil-
fosil mikro berupa foraminifera planktonik
dan bentonik. Untuk sementara, penulis
menginterpretasi lingkungan pengendapan
batuan adalah berupa lingkungan pengen-
dapan laut (marine) berdasarkan analisis
foraminifera planktonik dan bentonik.
Berdasarkan karakteristik struktur sedimen
primer yang terlihat di lapangan maka
mekanisme pengendapan sangat bervariasi.
Paralel laminasi baik laminated sand
(lower parallel lamination) maupun lamin-
ated silt and mud (upper parallel lamina-
tion) mengindikasikan arus yang sangat
tenang pada saat pengendapan (tranquil)
atau mekanisme endapan secara suspensi.
Normal graded bedding mengindikasikan
mekanisme endapan partikel sedimen pada
arus turbidit secara bed-load. Cross lami-
nation mengindikasikan endapan partikel
sedimen pada arus yang searah khususnya
pada media pengendapan air dan angin.
Convolute lamination mengindikasikan
bentuk endapan yang seperti cairan
(liquid-like), terjadi pada partikel sedimen
pasir halus hingga lanauan (silty), memiliki
kenampakan laminasi yang mengalami
lipatan (fold) atau overturned, dan sedimen
yang diendapkan dengan cepat akibat dari
adanya gangguan. Dari keberadaan aso-
siasi struktur-struktur sedimen primer yang
ditemukan di lapangan, maka ditentukan
mekanisme arus pengendapan yang terjadi
adalah percampuran antara mekanisme
arus turbidit dan suspensi pada material
endapan. Untuk endapan laut (marine),
lingkungan yang paling mendekati karak-
teristik tersebut adalah delta dan laut da-
lam (deep marine) yang berasosiasi
dengan lereng (slope). Namun untuk me-
nentukan suatu lingkungan pengendapan
yang lebih spesifik dibutuhkan analisis
lebih lanjut. Karena banyak kemungkinan
suatu endapan bisa diendapkan diberbagai
lingkungan yang berbeda dengan karak-
teristik litologi yang hampir sama.
Fosil-fosil makro berupa cangkang molus-
ka dan struktur-struktur sedimen berupa
akar tumbuhan (roots) serta akumulasi
bahan organik (organic matter) sebagai
salah satu ciri-ciri pengendapan di ling-
kungan darat dan transisi tidak ditemukan
selama melintasi lintasan penelitian. Sing-
kapan batuan yang terdapat pada daerah
penelitian juga didominasi oleh per-
selingan antara batupasir dan batulempung

8

menyerpih pada bagian selatan dan per-
lahan berubah menjadi singkapan batuan
yang didominasi oleh batupasir kearah
utara. Dari hal ini penulis menduga ada
perubahan fasies dari arah selatan menuju
arah utara darerah penelitian. Karakteristik
fisik berupa struktur sedimen, litologi, dan
biologi berupa analisis fosil mikro-
paleontologi menunjukkan karakteristik
endapan berada di lingkungan laut. Oleh
karena tidak ditemukannya indikasi en-
dapan pada lingkungan delta, maka secara
garis besar lingkungan pengendapan dae-
rah penelitian diinterpretasikan termasuk
kedalam lingkungan pengendapan laut
dalam (deep marine), khususnya pada
endapan submarine fan dimana arus tur-
bidit akan meninggalkan struktur sedimen
seperti yang telah dijelaskan di atas.

3.4 Pembagian Litofasies
Kenampakan litologi dengan ciri khas
struktur sedimen primer dan sekunder
yang berkembang di lapangan serta per-
selingan antara batupasir dan batulempung
serpih memperlihatkan beberapa peru-
langan perlapisan. Litofasies pada ancient
submarine fan dapat dibagi menjadi tujuh
bagian besar berdasarkan ukuran butir,
kemas dan ketebalan lapisan, serta asosiasi
dari struktur sedimen pada lapisan batuan
(beds). Lingkungan yang mengindikasikan
kipas bawah laut purba dapat direkon-
struksi dari asosiasi litofasies secara lateral
dan karakter dari siklus lapisan secara
vertikal (Normark & Howell, 1982).
Berdasarkan hasil analisis mikropaleon-
tologi, fosil-fosil foraminifera yang dite-
mukan pada sampel batuan di daerah pene-
litian menunjukkan umur relatif batuan
diendapkan pada kala Miosen Akhir
hingga Pliosen Awal. Keseluruhan karak-
teristik litologi, keberadaan struktur sedi-
men dan fosil jejak yang ada di lapangan
disebandingkan dengan karakteristik for-
masi dari geologi lembar Purwokerto &
Tegal (1309-3 & 1309-6) skala 1 : 100.000
oleh Djuri dkk, 1996. Setelah disebanding-
kan, maka daerah penelitian termasuk ke-
dalam formasi Halang.
3.4.1 Litofasies pada penampang litologi
1 (Interval 446,8 579,5 m)
Penampang ini tersusun atas litologi
batupasir dan serpih (shale). Litofasies pa-
da penampang litologi 1 ini terdiri dari
beberapa litofasies (ber-dasarkan model
endapan submarine fan, Mutti & Ricci
Lucchi, 1972), yaitu lito-fasies B, C dan D.
Pada composite log tepatnya penampang
litologi 1 yang berada pada interval 446,8
579,5 m memiliki ketebalan kira-kira
132,7 meter.

3.4.2 Litofasies pada penampang litologi
2 (Interval 370,5 394,8 m)
Penampang ini tersusun atas litologi
batupasir dan serpih (shale). Secara umum
kenampakan lapisan batuan ini adalah
perselingan antara batupasir dengan serpih
(shale). Beberapa fasies yang teriden-
tifikasi di penampang litologi pada interval
ini adalah B, C, dan D.

3.4.3 Litofasies pada penampang litologi
3 (Interval 138,2 226,3 m)
Penampang litologi ini disusun oleh per-
lapisan batupasir dan serpih. Secara kese-
luruhan kenampakan penampang litologi
ini adalah perselingan batupasir dan batu-
lempung serpih, dengan perlapisan batu-
lempung serpih yang lebih tebal diban-
dingkan perlapisan batupasir. Beberapa fa-
sies yang teridentifikasi di penampang
litologi adalah C dan D, dengan dominasi
fasies D.

3.4.4 Litofasies pada penampang litologi
4 (Interval 0 56,2 m)
Penampang litologi 4 ini tersusun oleh
breksi sedimen dan juga batupasir massif.
Penampang litologi ini dimasukkan ke-
dalam fasies B dan F berdasarkan karak-
teristik endapannya.



9

3.5 Asosiasi Litofasies
Untuk menginterpretasi suatu fasies dari
sebuah singkapan batuan maka analisis
harus disertai oleh data yang mencer-
minkan urutan-urutan fasies tersebut se-
cara vertikal. Dalam urutan-urutan fasies
pengendapan sering ditemukan kelompok
fasies yang membentuk asosiasi fasies
(facies association) yang mencerminkan
lingkungan pengendapannya. Asosiasi fa-
sies itu akan melingkupi gabungan dari
beberapa fasies yang secara umum
diendapkan dalam lingkungan pengen-
dapan besar (broad) yang sama, dimana
kemungkinan adanya perbedaan mekanis-
me pengendapan dan fluktuasi muka air
laut bisa terjadi.

3.5.1 Asosiasi Litofasies Penampang
Litologi 1 (Interval 446,8 579,5 m)
Secara keseluruhan dimulai dari interval
446,8 531,3 m, dapat diklasifikasikan
menjadi dua bagian besar berdasarkan
asosiasi fasies turbidit yang dikembangkan
oleh penelitian ancient submarine fan
sebelumnya (Walker, 1978), yaitu ter-
masuk kedalam Classical Turbidite (C.T.)
dan Massive Sandstone (M.S.) (Gambar
12). Sedangkan pada interval 531,3
579,5 m juga dibagi menjadi dua bagian
besar asosiasi fasies turbidit (Walker,
1978), yaitu Clasiccal Turbidite (C.T.) dan
Massive Sandstone (M.S.) (Gambar 13).

3.5.2 Asosiasi Litofasies Penampang
Litologi 2 (Interval 370,5 394,8 m)
Secara keseluruhan dimulai dari interval
370,5 394,8 m, asosiasi litofasies dibagi
menjadi dua bagian asosiasi fasies turbidit
(Walker, 1978), yaitu Clasiccal Turbidite
(C.T.) dan Massive Sandstone (M.S.).
Penampang litologi 2 ini didominasi oleh
asosiasi litofasies berupa Classical Tur-
bidite (C.T.). Pada bagian atas penampang
ini ditandai dengan perselingan batulem-
pung serpih (shale) yang tebal dengan
batupasir yang tipis (Gambar 14).

3.5.3 Asosiasi Litofasies Penampang
Litologi 2 (Interval 370,5 394,8 m)
Kenampakan secara keseluruhan pada
interval 138,2 226,3 m, dapat diklasifi-
kasikan kedalam asosiasi fasies turbidit
yang dikembangkan oleh Walker, 1978.
Interval ini termasuk kedalam Classical
Turbidite (C.T). Dimana Classical Tur-
bidite disini memperlihatkan perselingan
antara batupasir sangat halus hingga halus
dengan serpih (shale). Kenampakan di
lapangan menunjukkan ketebalan lapisan
(beds) didominasi oleh serpih yang tebal
(Gambar 15 dan Gambar 16).

3.5.4 Asosiasi Litofasies Penampang
Litologi 4 (Interval 0 56,2 m)
Kenampakan secara keseluruhan pada in-
terval 0 56,2 m, memperlihatkan asosiasi
fasies turbidit berupa Debris Flow (D.F.)
dan Massive Sandstone (M.S.) (Gambar
17). Debris flow ini dicirikan oleh breksi
sedimen yang memiliki pemilahan buruk.
Kemu-dian massive sandstone dicirikan
oleh keberadaan batupasir yang massif
tidak menunjukkan adanya perselingan
dengan serpih ataupun lempung. Kedua
litologi ini dibatasi oleh batas scouring di
lapangan (Gambar 7).

3.5.5 Asosiasi Litofasies Penampang
Litologi 5, 6, 7 dan 8
Penampang litologi 5, 6, 7 dan 8 ini berada
disebelah utara penampang litologi 1, 2, 3,
dan 4, dimana pada penampang litologi 1,
2, 3 didominasi oleh perselingan batupasir
dengan batulempung menyerpih (shale),
litologi 4 disusun atas breksi sedimen dan
batupasir massif, sedangkan pada penam-
pang litologi 5, 6, 7 dan 8 lebih didominasi
oleh batupasir massif. Sulit untuk mem-
bagi penampang litologi 5, 6, 7 dan 8
menjadi asosiasi fasies karena lapisan
litologi yang hampir seragam dan kebe-
radaan struktur sedimen yang kurang
melimpah. Namun jika dimasukkan keda-
lam litofasies pengendapan laut maka pe-

10

nampang litologi 5, 7 dan 8 adalah
Massive Sandstone (M.S).
Namun pada penampang litologi 6 dite-
mukan struktur sedimen biogenik insitu
berupa fosil jejak Thalassinoides. Jejak ini
sangat melimpah di salah satu lapisan
batupasir ukuran butir medium berwarna
cokelat pada singkapan dengan ciri-ciri
bentuknya bercabang-cabang seperti ta-
bung dengan diameter mencapai 4 cm.
Dengan keberadaan fosil jejak
Thalassinoides ini, maka penulis mengin-
terpretasikan lingkungan saat diendap-
kannya lapisan batuan yang mengandung
fosil jejak ini dengan ichnofacies. Skema
lingkungan bathimetri pengendapan laut
berdasarkan skema ichnofasies (Gambar
18) menunjukkan Thalassinoides terdapat
pada bagian sublittoral zone.

3.6 Fasies Lingkungan Pengendapan
Fasies adalah tubuh batuan dengan karak-
teristik yang khusus serta mencerminkan
kondisi dimana endapan sedimen dari
batuan tersebut terbentuk (Reading &
Levell 1996). Untuk menggambarkan fa-
sies dari tubuh sedimen harus meng-
ikutsertakan karakteristik litologi, tekstur,
struktur sedimen dan kandungan fosil yang
bisa membantu untuk menentukan proses
dari pembentukan formasi seperti yang
telah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan
asosiasi litofasies yang telah dijelaskan di
atas, maka penulis membagi fasies seperti
yang dijelaskan sebagai berikut.

3.6.1 Fasies Penampang Litologi 1
(Interval 446,8 579,5 m)
Jika diklasifikasikan lagi menurut hipotesa
submarine fan sequence yang dikembang-
kan oleh Walker (1978), maka sikuen ini
diinterpretasikan kedalam fasies suprafan
lobes on mid fan di dalam sub-bagian
smooth portion of suprafan lobes, dengan
ciri-ciri keberadaan asosiasi Massive
Sandstone (M.S.) dan Classical Turbidite
(C.T.) dengan trend sikuen ideal
coarsening upward (C.U.). Oleh karena
itu, pada interval ini diinterpretasikan
fasies lingkungan pengendapannya adalah
kipas bawah laut bagian tengah (mid
submarine fan).
Sedangkan berdasarkan asosiasi fasies
turbidit dan lingkungan sedimentasi relatif
(Mutti and Ricci Lucchi, 1972), maka
interval ini termasuk kedalam bagian kipas
atau cekungan proksimal bagian tengah
(middle). Oleh karena itu, secara keselu-
ruhan interval ini diinterpretasikan masih
masuk kedalam fasies kipas bawah laut
bagian tengah (mid submarine fan).

3.6.2 Fasies Penampang Litologi 2
(Interval 370,5 394,8 m)
Interpretasi lingkungan pengendapan dari
keberadaan asosiasi fasies ini adalah masih
didalam suprafan lobes on mid fan di da-
lam sub-bagian smooth portion of suprafan
lobes (Walker, 1978). Sedangkan berdasar-
kan asosiasi fasies turbidit dan lingkungan
sedimentasi relatif (Mutti and Ricci
Lucchi, 1972), maka interval ini termasuk
kedalam bagian fasies kipas atau cekungan
proksimal bagian tengah (middle). Oleh
karena itu, secara keseluruhan interval ini
diinterpretasikan masih masuk kedalam
fasies kipas bawah laut bagian tengah (mid
submarine fan).

3.6.3 Fasies Penampang Litologi 3
(Interval 138,2 226,3 m)
Jika diklasifikasikan lagi berdasarkan
hipotesa submarine fan sequence yang
dikembangkan oleh Walker (1978), maka
sikuen ini diinterpretasikan kedalam
suprafan lobes on mid fan di dalam sub-
bagian smooth portion of suprafan lobes,
dengan ciri-ciri keberadaan Classical
Turbidite (C.T.) yang didominasi oleh
batulempung serpih diselingi oleh lapisan
tipis batupasir dengan trend sikuen ideal
coarsening upward (C.U.). Sedangkan ber-
dasarkan asosiasi fasies turbidit dan
lingkungan sedimentasi relatif (Mutti and
Ricci Lucchi, 1972), maka interval ini
termasuk kedalam bagian fasies kipas atau
cekungan proksimal bagian tengah (mid).
Namun fasies ini sangat didominasi oleh

11

perlapisan shale yang tebal. Oleh karena
itu, secara keseluruhan pada interval ini
diinterpretasikan lingkungan pengendapan-
nya adalah fasies kipas bawah laut bagian
tengah (mid submarine fan) namun dekat
dengan kipas bagian luar (outer fan).

3.6.4 Fasies Penampang Litologi 4
(Interval 0 56,2 m)
Berdasarkan sikuen kipas bawah laut
(Walker, 1978), maka asosiasi fasies ini
diinterpretasikan kedalam inner fan
channel fill hingga bagian dari suprafan
lobes on mid fan, lebih detailnya pada
bagian channeled portion of suprafan
lobes. Berdasarkan asosiasi fasies turbidit
dan lingkungan sedimentasi relatif (Mutti
and Ricci Lucchi, 1972), maka interval ini
termasuk kedalam bagian lereng (slope).

3.7 Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan analisis penampang stratigrafi
terukur (measured section) yang telah
dilakukan di lapangan, maka dihasilkan
empat litofasies yaitu B, C, D dan F
(berdasarkan model endapan submarine
fan, Mutti & Ricci Lucchi, 1972). Dari
keempat litofasies tersebut, dihasilkan tiga
asosiasi litofasies yaitu Classical Turbidit,
Massive Sandstone dan Debris Flow
(Walker, 1978). Kemudian asosiasi lito-
fasies tersebut dianalisis secara vertikal
dan dihasilkan dua fasies berupa kipas
bawah laut bagian dalam (Submarine-
Inner Fan) atau isi dari saluran (Channel
Fill) pada bagian bawah lereng bawah laut,
serta kipas bawah laut bagian tengah
(Submarine-Mid Fan), Walker, 1978. Oleh
karena itu maka secara keseluruhan
analisis, penulis menginterpretasikan ling-
kungan pengendapan daerah penelitian
adalah laut dalam (deep marine environ-
ment), tepatnya diendapkan pada bagian
kipas bawah laut (submarine fan).

3.8 Analisis Arah Arus Purba (Palaeo-
current)
Analisis arus purba pada daerah penelitian
dilakukan pada penampang litologi 3. Se-
telah diukur dengan menggunakan kom-
pas, maka didapatkan arah perlapisan per-
selingan batulempung dan batupasir
N86
o
E/61
o
. Pada salah lapisan batulem-
pung (mud) terdapat kenampakan struktur
sedimen sekunder berupa flute cast. Secara
keseluruhan, sangat sulit untuk menen-
tukan arah (azimuth) serta pangkal dan
ujung dari sumbu flute cast tersebut,
karena sudah banyak mengalami erosi.
Namun disuatu tempat terlihat flute cast
yang sumbu memanjangnya berada sekitar
32
o
dari horizontal (rake) di atas per-
mukaan lapisan batulempung. Karena
keberadaan data yang kurang baik tersing-
kap, maka penulis mengasumsikan rata-
rata flute cast rake dari data yang terlihat
adalah 32
o
dari beberapa sumbu flute cast
yang dihitung sudutnya terhadap garis
horizontal. Untuk menentukan arah peng-
endapan material pada saat diendapkan,
harus dilakukan restorasi arah dari
indikator-indikator struktur sedimen yang
bisa menunjukkan arah pengendapan.
Salah satunya adalah scour mark atau
salah satu dari bagiannya adalah flute cast.
Sumbu memanjang dari flute cast bisa
memberikan informasi arah pengendapan
pada masa terbentuknya lapisan yang ada
di bawahnya.
Namun dari hasil pengukuran stratigrafi
terukur (measured section) yang dilakukan
di lokasi penelitian menunjukkan dise-
panjang sungai Tajum semakin ke utara
semakin didominasi oleh batupasir dengan
ukuran butir yang lebih kasar, sedangkan
semakin ke selatan semakin didominasi
oleh batulempung, meskipun masih dida-
patkan perselingan batupasir yang tipis.
Oleh karena itu berdasarkan data rekon-
struksi arus purba yang terjadi saat flute
cast diendapkan didukung oleh kenam-
pakan dominasi batupasir disebelah utara
dan dominasi batulempung disebelah
selatan, maka penulis menginterpretasikan
arah arus pengendapan dari arah Baratlaut
(azimuth sekitar N118
o
E dari arah utara
berdasarkan data rekonstruksi arah arus
purba dengan indikator flute cast) dengan

12

asumsi perlapisan belum mengalami rotasi
akibat adanya struktur geologi.

3.9 Siklus Sedimentasi dan Sejarah
Pengendapan Interpretatif
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan
berupa analisis mikropaleontologi dan
analisis fasies pada penampang litologi,
maka pada saat pengendapan daerah
penelitian merupakan sebuah laut. Lebih
tepatnya lingkungan yang berasosiasi
dengan lereng bawah laut dan laut bagian
dalam (Gambar 19).
Dari asosiasi litofasies yang teridentifikasi,
ditentukan pada awalnya material sedimen
berupa longsoran terjadi pada lereng
(slope) yang disebabkan oleh adanya
gangguan kemungkinan oleh tektonik atau
ketidakstabilan beban pada lereng (slope
failure). Longsoran yang terjadi berupa
aliran debris dan rotational slide/slumping.
Hal ini ditunjukkan oleh endapan breksi
sedimen dan endapan perlapisan batupasir
yang mengalami lipatan (folded) didalam
breksi sedimen. Setelah itu, permukaan air
laut naik atau mengalami transgresi.
Material sedimen berupa massive sand-
stone diendapkan dibagian bawah dari
slope yaitu pada inner fan atau bisa
diinterpretasikan juga sebagai pengisi dari
saluran (channel fill) pada lingkungan
lereng sebelah bawah menuju bagian
dalam kipas bawah laut (inner fan).
Setelah itu permukaan air laut mengalami
transgresi lagi sehingga garis pantai sema-
kin mundur kearah daratan. Pergerakan
muka air laut ini mempengaruhi pengen-
dapan material sedimen, sehingga batas
fasies pengendapan ikut berubah dan
mengalami retrogradasi. Selanjutnya ter-
jadi pengendapan material sedimen seperti
awal, namun diendapkan pada fasies yang
berbeda yaitu bagian tengah kipas bawah
laut (mid fan) menuju kearah bagian luar
kipas bawah laut (outer fan), hal ini
ditunjukkan oleh perselingan batulempung
serpih (shale) dan batupasir. Dominasi
oleh batulempung menyerpih dengan rasio
ketebalan shale lebih tinggi daripada
ketebalan batupasir. Setelah itu permukaan
air laut mengalami penurunan atau regresi,
sehingga batas fasies pengendapan pun
mengalami progradasi. Hasilnya berupa
endapan perselingan batulempung menyer-
pih (shale) dengan batupasir. Rasio kete-
balan batulempung menyerpih/batupasir
masih tinggi, dengan kata lain masih
didominasi oleh batulempung menyerpih
(shale). Namun rasio ketebalan serpih/ba-
tupasir lebih rendah dibandingkan dengan
rasio serpih/batupasir perlapisan berfasies
kipas bagian tengah (mid fan) yang ada di
bawahnya (semakin tinggi rasio Shale/
sandstone maka fasiesnya diinterpreta-
sikan semakin dekat kearah basin plain,
dimana pada basin plain didominasi oleh
material halus yang akan berubah menjadi
perlapisan-perlapisan batulempung yang
tebal).
Berdasarkan analisis yang dilakukan maka,
daerah penelitian memiliki tiga siklus
pengendapan secara besar, yaitu awalnya
diendapkan aliran debris pada lereng,
kemudian permukaan air laut mengalami
transgresi, setelah itu diendapkan batupasir
massif pada bagian bawah lereng
berasosiasi dengan slope bagian bawah
atau dekat dengan inner fan, dilanjutkan
lagi dengan transgresi, lalu diendapkan
perselingan batupasir dan batulempung
menyerpih pada bagian mid fan menuju ke
outer fan. Pada akhirnya permukaan air
laut mengalami regresi. Diendapkan
perselingan batupasir dengan batulempung
menyerpih, dengan rasio ketebalan shale/
sandstone yang lebih rendah dibandingkan
dengan rasio perlapisan shale/sandstone
yang ada di bawahnya.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Struktur-struktur sedimen yang terdapat
di lapangan berupa massive sandstone,
graded bedding, upper parallel lamina-
tion, lower parallel lamination, cross
lamination, climbing- ripple cross lami-
nation, dan convolute lamination yang

13

menggambarkan media pengendapan
berupa air.

2. Litofasies yang teridentifikasi dari
analisis penampang litologi terukur
(measured section) adalah B, C, D, dan
F (berdasarkan endapan submarine fan
Mutti & Ricci Lucchi, 1972) dan
Classical Turbidite (C.T.), Massive
Sandstone (M.S.) dan Debris Flow
(D.F.), (berdasarkan fasies turbidit
Walker, 1978).
3. Satuan litologi batupasir di daerah
penelitian Ajibarang diendapkan pada
sistem kipas bawahlaut (submarine fan)
dengan fasies berupa Mid-fan Suprafan
lobes dan Slope hingga Upper-fan yang
merupakan hasil pengendapan laut
dalam (deep marine) dengan sistem
pengendapan arus turbidit dan aliran
debris.
4. Secara keseluruhan, berdasarkan ana-
lisis struktur-struktur sedimen pada
singkapan batuan, analisis mikrofosil,
analisis litofasies dan asosiasi litofasies
perlapisan batuan, maka penulis meng-
interpretasikan lingkungan pengendap-
an batupasir di daerah penelitian berupa
laut dalam dengan sistem pengendapan
kipas bawah laut.
5. Arah pengendapan material sedimen
berdasarkan analisis paleocurrent yaitu
berupa restorasi arah sumbu struktur
sedimen sekunder flute cast pada
perlapisan batuan yang menunjukkan
nilai azimuth sumbu memanjang yang
bernilai N118
o
E dengan arah pengen-
dapan dari Baratlaut menuju ke arah
Tenggara.

4.2 Saran
1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut
dengan mengambil data-data singkapan
perlapisan batuan yang lebih lengkap,
dan menjadikan penelitian ini sebagai
bahan literatur untuk bisa mengem-
bangkan dan melengkapi penelitian
mengenai lingkungan pengendapan atau
pokok kajian yang berhubungan dengan
keadaan geologi di daerah penelitian.

2. Karena ada kemungkinan untuk pene-
litian selanjutnya, singkapan-singkapan
yang ada bisa dihubungkan dengan
petroleum system. Seperti batulempung
atau shale yang tebal bisa menjadi
batuan penudung (seal) yang baik.
Singkapan-singkapan dengan sistem
pengendapan berupa aliran debris yang
ada pada daerah penelitian juga bisa
diteliti lebih lanjut permeabilitasnya,
sehingga penelitian bisa dikaitkan
dengan kualitas breksi atau batupasir
sebagai reservoir.
3. Untuk kajian khusus lainnya yang
berhubungan dengan arah arus purba,
kemungkinan banyak struktur sedimen
yang akan ditemukan, terutama struktur
sedimen yang bisa digunakan sebagai
indikator arah arus, sehingga bisa mem-
bantu peneliti di dalam menganalisis
arah arus purba (paleocurrent). Hal ini
juga bisa dikaitkan dengan sejarah
pengendapan material sedimen pada
saat diendapkan dengan asumsi perla-
pisan batuan belum mengalami rotasi
akibat struktur geologi.

4. Lokasi penelitian bisa digunakan seba-
gai tempat untuk observasi bahan bela-
jar sedimentologi terutama mengenai
sistem pengendapan dan struktur sedi-
men yang berkembang di lingkungan
laut.


5. DAFTAR PUSTAKA
Arif, A. F., 2008. Petunjuk Penulisan
Laporan Kerja Lapangan, Usulan
Penelitian dan Skripsi. Universitas
Padjadjaran Fakultas Teknik Geologi,
Jatinangor.
Barker, R.W., 1960. Taxonomic Notes,
Spec. Publ. Soc. Econ. Paleont. Miner.,
Tulsa.

14

Boggs, S., 2006. Principles of
Sedimentology and Stratigraphy 4
th

Ed., Pearson Education, Inc. US.
Bolli Hans M.; Saunders, John B., 1985.
Plankton Stratigraphy. Cambridge
University Press.
Bouma, A., 1962. Sedimentology of Some
Flysch Deposits. Elsevier, Amsterdam,
168pp.
Coe, Angela L., 2010. Geological Field
Techniques. Willey-Blackwell
Publishing, Association with The Open
University, Walton Hall, Milton
Keynes, United Kingdom.
Djuri, M., Samodra, H., Amin, T.C., dan
Gafoer, S., 1996. Geological Map of
The Purwokerto and Tegal
Quadrangles, Java, scale 1 : 100.000.
Geological Research and Development
Center, Bandung.
Ekdale, A.A., Bromley, R.G., Pemberton,
S.G., 1984. ICHNOLOGY, The Use of
Trace Fossils in Sedimentology and
Stratigraphy. Society of Economic
Paleontologists and Mineralogists
Tulsa, Oklahoma.
Howell, D. G., and Normark, W. R., 1982.
Sedimentology of Submarine Fans, in
Scholle, P. A., and Spearing, D. R.,
eds., Sandstone depositional
environments, 31 of AAPG Memoirs:
Tulsa, OK, AAPG, p. 365-404.
Kamtono dan Praptisih, 2011. Fasies
Turbidit Formasi Halang di Daerah
Ajibarang, Jawa Tengah, Jurnal
Geologi Indonesia, Vol. 6 No. 1 Maret
2011 : 13 - 27. Pusat Geoteknologi
LIPI, Kompleks LIPI, Jln. Sangkuriang,
Bandung.
Koesoemadinata, R.P., 1982. Prinsip-
prinsip Sedimentasi. ITB, Bandung.
Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996.
Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli
Geologi Indonesia, 14 h.
Krumbein, W.C. and Sloss, L.L., 1963.
Stratigraphy and Sedimentation, 2nd,
Ed, W.H. Freeman, San Fransisco.
Mutti, E. and Davoli, G., 1992. Turbidite
Sandstones, - AGIP, Istituto di
geologia, Universit di Parma
Mutti, E., and Ricci Lucchi, F., 1972.
Turbidite of The Northern Apennines:
Introduction to facies analysis (English
translation by T. H. Nilsen, 1978):
International Geology Review, v. 20,
p.125-166.
Nichols, G., 2009. Sedimentology and
Stratigraphy 2
th
Ed., Willey-Blackwell
Publishing, United Kingdom.
Normark, W. R., 1978. Fan Valleys,
Channels, and Depositional Lobes on
Modern Submarine Fans: Characters
for Recognition of Sandy Turbidite
Environments: Am. Assoc. Petroleum
Geologists Bull., v. 62, p. 912-931.
Phleger, Fred; Parker L. Frances, 1951.
Foraminifera Species, Part II, Scripps
Institution of Oceanography, La Jolla,
California.
Plint, A.G., 1995. Sedimentary Facies
Analysis, Special Publication Number
22 of the International Association of
Sedimentologist. Blackwell Science
Ltd. London.
Reading, H.G. and Levell, B.K., 1996.
Facies and Sequence. In Reading, H.G.
(editor), Sedimentary environments
processes, facies and stratigraphy, Third
Edition, Blackwell Sci.
Reineck, H.E, & Singh, I.B., 1980.
Depositional Sedimentary Environment.
Springer- Verlag, Berlin, 549p.

15

Scholle, P.A. & Spearing, D. Sandstone
Depositional Environment. AAPG
Memoir 31. The American Association
of Petroleum Geologists Tulsa,
Oklahoma 74101, USA.
Selley, R.C., 2000. Applied Sedimentology
2
nd
Ed., Academic Press, San Diego,
California, USA.
Tucker, M., 1982. The Field Description
of Sedimentary Rocks. John Wiley &
Sons. 111pp.
Walker, R.G. and E. Mutti, 1973.
Turbidite Facies and Facies
Associations in G. V. Middleton, and A.
H. Bouma, eds., Turbidites and deep-
water sedimentation: SEPM Pacific
Sec, p. 119-157.
Walker, R.G., & James, N.P., 1992. Facies
Models, Response to Sea Level Change.
Geological Association of Canada,
409p.
Walker, R.G., 1976. Facies Models
Turbidites and Associated Coarse
Clastic Deposits. Geoscience Canada,
Volume 3, Number 1. Department of
Geology McMaster University
Hamilfon.
Walker, R.G., 1978. Deep Water Sand
Facies and Ancient Submarine Fans,
Model For Exploration Stratigraphic
Trap, AAPG.
































































16

LAMPIRAN GAMBAR


Gambar 1. Lokasi pengamatan litologi se-
kitar sungai Tajum


Gambar 2. Sturktur-struktur sedimen yang
berkembang pada lokasi penampang lito-
logi 1

Gambar 3. Singkapan batupasir massif
dengan nodul-nodul karbonatan pada
penampang litologi 1






Gambar 4. Singkapan perselingan batu-
pasir dengan batulempung menyerpih pada
penampang litologi 2

Gambar 5. Singkapan perselingan batu-
pasir dengan batulempung menyerpih (di-
dominasi oleh batulempung menyerpih)
pada penampang litologi 3

Gambar 6. Singkapan breksi sedimen
dengan matrix supported pada penampang
litologi 4

17


Gambar 7. Singkapan breksi sedimen
dengan batupasir yang memperlihatkan
kontak berupa scouring pada penampang
litologi 4

Gambar 8. Singkapan batupasir dengan
batulanau pada penampang litologi 5


Gambar 9. Singkapan batupasir dengan tuf
pada penampang litologi 6

Gambar 10. Singkapan batupasir dengan
batulempung lanauan pada penampang
litologi 7

Gambar 11. Singkapan batupasir dengan
batulempung pada penampang litologi 8
Gambar 12. Asosiasi Litofasies Penam-
pang Litologi 1 (Interval 446,8 579,5 m)

18

Gambar 13. Sambungan asosiasi Litofasies
Penampang Litologi 1 (Interval 446,8
579,5 m)
Gambar 14. Asosiasi Litofasies Penam-
pang Litologi 2 (Interval 370,5 394,8 m)

Gambar 15. Asosiasi Litofasies Penam-
pang Litologi 3 (Interval 138,2 226,3 m)
Gambar 16. Sambungan asosiasi Litofasies
Penampang Litologi 3 (Interval 138,2
226,3 m)

19

Gambar 17. Asosiasi Litofasies Penam-
pang Litologi 4 (Interval 0 56,2 m)
Gambar 18. Skema yang memperlihatkan
ichnofacies laut yang biasa ditemukan
(Modified after Crimes, 1975, didalam bu-
ku The Use of Trace Fossils in Sedimen-
tology and Stratigraphy by Bromley, 1984
halaman 187)




Gambar 19. Model interpretatif sejarah
pengendapan yang dipengaruhi oleh peru-
bahan permukaan air laut

Anda mungkin juga menyukai