Anda di halaman 1dari 15

DENDAM KESUMAT:

Pembantaian Massal di Desa Sungegeneng, Kecamatan Sekaran,


Kabupaten Lamongan, Jawa Timur tahun 1965-1966.
Oleh: Nasihin

Berbagai tulisan mengenai tragedi berdarah tahun 1965 di Indonesia telah


banyak ditulis sejarawan dalam maupun luar negeri. Penulisan sejarah terkait
dengan peristiwa tersebut, seringkali berkutat pada persoalan siapa yang bersalah
atau siapa yang patut disalahkan. Unsur tersebut dapat menjadi penting, sekaligus
tidak penting, tergantung dari mana sejarawan melihat peristiwa sejarah tersebut.
Agar dapat memberikan informasi yang baru dan tidak sekedar menampilkan
tulisan yang relatif sama dengan tulisan lainnya, penulis mencoba menelisik lebih
lanjut terkait dimensi lokalitas peristiwa pembantaian massal yang terjadi di Desa
Sungegeneng, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur tahun
1965-1966.
Pembantaian massal terhadap anggota/simpatisan PKI/BTI dipicu oleh
beredarnya informasi yang dikeluarkan oleh Soeharto bahwa PKI adalah
penghianat. Informasi tersebut dipertegas dengan munculnya dekrit presiden
pasca dikeluarkannya Supersemar 1966. Dekrit tersebut menegaskan bahwa PKI
merupakan organisasi terlarang dan memerintahkan pembubaran partai dan semua
organisasi afiliasinya.1 Informasi tersebut menimbulkan kekacauan di berbagai
daerah di Indonesia. Di Jombang dan kediri misalnya, pembantaian massal
terhadap orang-orang yang dianggap anggota/simpatisan PKI/BTI berlangsung
sengit. Pengedropan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai
anggota/simpatisan PKI/BTI dilakukan atas inisiatif dari beberapa pihak dalam
masyarakat. Melalui inisiatif tersebut, loji-loji di pabrik tebu sebagai camp para
pekerja kelas dua pabrik tebu Tjukir menjadi sasaran utama dalam proses
pengedropan. Pembantaian pun berlangung dan korban berjatuhan tepatnya pada
sabtu malam, 9 Oktober 1965.2 Berbeda halnya di Kediri, hari-hari berdarah
berskala besar berlangsung setelah pengejaran di Jombang. Akan tetapi,
pertarungan kecil-kecilan antara beberapa kelompok Anshor dengan orang-orang
yang dianggap sebagai anggota/simpatisan PKI/BTI telah terjadi pada 5 Oktober
1965.3 Beberapa faktor yang berperan terhadap pembantaian massal di Jombang
dan Kediri adalah Amok, Provokasi PKI, Konflik Agama dan Perang Suci,
Konflik Kelas, Konflik Aliran, Lemahnya Integrasi Nasional, Tekanan Ekonomi,
serta Balas Dendam Tentara dan genocide oleh Negara.4

1
Michail van Langenberg, Gestap dan kekuasaan Negara di Indonesia dalam
Gestapu, Matinya Para Jenderal dan Peran CIA. (Yogyakarta: Cermin, 1999). hlm. 9
2
Lebih jelas lihat Hermawan sulistiyo, Palu Arit di lading Tebu, Sejarah
Pembantaian yang Terlupakan (jombang-Kediri 1965-1966). Hlm. 160
3
ibid. hlm.161
4
ibid. hlm. Bab VI

1
2

Di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur,


faktor pendorong terjadinya pembantaian massal adalah aksi sepihak yang
dilakukan oleh anggota/simpatisan PKI/BTI. Menurut Kasdi, anasir terjadinya
aksi sepihak yang dilakukan anggota/simpatisan PKI/ BTI, karena organisasi ini
memiliki kekuatan dominan di beberapa desa di wilayah Jawa Timur, sedangkan
yang menjadi sasaran aksi sepihak adalah para tuan tanah yang secara umum
banyak menjadi anggota/simpatisan PNI atau NU.5
Dipenghujung tahun 1965, informasi tentang PKI sebagai penghianat dan
harus di tumpas sampai ke akar-akarnya mulai menyebar di Desa Sungegeneneg
Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Melalui jaringan militer,
informasi tersebut ditindak lanjuti oleh Koramil dan Polsek Kecamatan Sekaran
sebagai institusi paling bawah dalam struktur militer. Koramil dan Polsek
melakukan koordinasi dengan Kecamatan Sekaran untuk melakukan identifikasi
terhadap anggota/simpatisan PKI/BTI dalam masyarakat.
Sebagai institusi pemerintahan yang berada di atas desa, pihak Kecamatan
Sekaran melakukan identifikasi anggota/simpatisan PKI/BTI di masyarakat.
Pihak-pihak tersebut mengumpulkan organisasi anti komunis di tingkat desa yang
ada di wilayah Kecamatan Sekaran. Beberapa organisasi yang dianggap anti
komunis adalah NU, Muhammadiyah dan PNI. Beberapa organisasi yang
difasilitasi oleh tiga serangkai (Koramil, Polsek, dan Kecamatan Sekaran),
kemudian melakukan pembersihan terhadap anggota/simpatisan PKI/BTI. Pada
tahap inilah, konflik keluarga, konversi tanah, agama, pemilihan kepala desa atau
sekedar tidak suka, terakumulasi cukup lama, sehingga menjadi dendam kesumat.
Berbagai faktor pendorong munculnya pembantaian massal di Desa
Sungegeneng sangat kompleks. Kompleksitas faktor pendorong tersebut tidak
berdiri sendiri. Faktor pendorong yang paling kuat mengalami pergeseran dan
simultan. Ketika pemicu dilepas, faktor pendorong utama mengalami pergeseran
secara cepat, sehingga meluap dalam bentuk pembantaian massal. Dengan
demikian, yang menjadi pertanyaan adalah apa faktor pendorong utama, sebelum
pembantaian massal berlangsung?; bagaimana pergeseran dari faktor pendorong
satu melebur dengan faktor pendorong lainnya?.
Untuk melihat serta menganalisis peristiwa tragedi kemanusiaan di Desa
Sungegeneng, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, kami murni
menggunakan sumber lisan. Sumber lisan yang kami tampilkan disini tentunya
memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi, dimana beberapa pelaku sejarah yang
masih hidup menjadi sumber utama dalam proses pengumpulan data yang
dibutuhkan. Untuk menghindari adanya kebohongan dari para pelaku sejarah,
silang informasi menjadi bagian penting dalam menentukan informasi mana yang
layak ditampilkan sebagai data.6

5
Aminuddin Kasdi dalam Kaum Merah Menjarah, Aksi Sepihak PKI/BTI di
Jawa Timur 1960-1965. (Yogyakarta: Jendela, 2001)., hlm.7
6
Beberapa pelaku sejaran yang menjadi informan dapat dilihat di lampiran.
3

B. Konversi Tanah, Sebuah Upaya Pelaksanaan UUPA 1960


Sebelum tahun 1960, tanah pertanian yang dikelola para petani di
Kecamatan Sekaran merupakan tanah pertanian milik desa. Tanah pertanian yang
dikelola para petani, tidak menetap dalam satu lokasi pertanian, akan tetapi
berpindah-pindah dari lokasi tanah pertanian satu ke tanah pertanian lainnya
dalam satu desa. Perpindahan lokasi pertanian ini dilakukan dalam kurun waktu 5-
10 tahun sekali. Terjadinya perpindahan hak kelola para petani atas tanah
pertanian yang dikelola, disebabkan belum adanya undang-undang yang mengatur
tentang kepemilikan tanah pertanian sebagai hak milik.
Proses perpindahan tanah pertanian dari petani satu ke petani lainnya
dilakukan dengan cara menginventarisir tanah pertanian serta para pengelolanya.
Pemilihan tanah pertanian difasilitasi oleh kepala desa dan pemilihan tersebut
dilakukan di masing-masing desa.7 Bagi para petani yang sudah mengelola tanah
pertanian, mendapat nomor urut dan dapat menentukan lokasi tanah pertanian
yang diminati sesuai dengan petakan tanah yang sebelumnya dikelola. Dalam
pemilihan lokasi pertanian, dibedakan antara tanah gogol dan tanah biasa.8 Di
Desa Sungegeneng, petani yang mengelola tanah gogol sebanyak ± 41 orang,9
sedangkan selebihnya mengolah tanah pertanian biasa, dimana ukuran petak yang
dikelola kurang dari 1 ha.
Para petani yang mendapat nomor urutan awal pada umumnya, memilih
lokasi tanah pertanian subur seperti Balong, Sirahan, Mbajangan, Rowo, dan
Bontar.10 Masing-masing areal pertanian ini berada di sebelah timur
perkampungan Desa Sungegeneng. Berbeda dengan para petani yang hanya
mengelola tanah pertanian kurang dari 1 ha. Sebagian mereka mendapat sisa tanah
pertanian subur, akan tetapi, mereka lebih sering mendapat tempat di areal tanah
pertanian kering yang berada di sebelah barat dan selatan perkampungan Desa
Sungegeneng.
Pada tahun 1964, informasi tentang pelaksanaan UUPA, mulai menyebar
sampai di tingkat desa. Informasi tersebut, menjadi sangat menarik untuk diikuti
oleh beberapa personal, kelompok, atau partai yang berkepentingan saat itu. Pada
tahun yang sama, dimana upaya penerapan UUPA semakin gencar dilakukan, di
Desa Sungegeneng telah berlangsung pesta demokrasi pemilihan kepala desa.
Para calon kepala desa yang terjaring saat itu berjumlah 11 orang diantaranya
adalah 2 orang dari unsur NU yaitu: H. Sa’ed dan H. Ah. Marzuqi; 2 orang dari
unsur PNI yaitu: Djamal Mangunjoyo dan Sasmito; 5 orang dari unsur PKI/BTI 11
7
Wawancara dengan Ahmad Marzuqi. (Senden Desa Sungegeneng Tahun 1963).
Tanggal 22 Nopember 2003.
8
Pembedaan disini dimaksudkan untuk mempermudah proses peralihan antara
pengolah tanah gogol satu dengan tanah gogol lainnya.
9
Wawancara dengan Ahmad Marzuqi. (Senden Desa Sungegeneng Tahun 1963).
Tanggal 22 Nopember 2003.
10
Wawancara dengan Sutarjo. Tanggal 07 Pebruari 2005.
11
Unsur PKI/ BTI yang saya sebutkan terlebih dahulu ini hanya memberikan
gambaran awal bahwa beberapa orang inilah pada proses berikutnya menjadi orang
penting dalam proses pembentukan BTI. Selain itu, PNI menjadi lembaga penting sebagai
4

adalah Kasmolan, Sukadis, Nursalim, Sutompo dan Suwarto; 2 orang lainnya


sampai saat ini belum teridentifikasi. Melihat jumlah calon yang demikian padat,
H. Marzuqi yang juga sebagai pengurus ranting NU Desa Sungegeneng
mengundurkan diri sebagai calon kepala desa. Calon dari unsur NU, tinggal H.
Sa’ed. Sampai pada tahap akhir penghitungan suara, posisi H. Sa’ed berada di
urutan pertama, sehingga pemilihan kepala desa dimenangkan oleh H. Sa’ed.12
Pasca kekalahan kelompok PKI dan PNI dalam pemilihan kepala desa,
kedua kelompok tersebut yang sebelumnya juga memiliki hubungan yang
harmonis pada masing-masing kadernya, akhirnya merealisasikan organ baru
yang bernama BTI.13 BTI dibentuk dengan tujuan untuk memperkuat barisan
petani dalam masyarakat yang sebelumnya belum ada. Beberapa orang yang
menggawangi terbentuknya BTI adalah Sudadi, Suwarto, Sutompo, Jamal
Mangunjojo dan beberapa kader lainnya. Dalam melakukan pengkaderan di
tingkat basis, beberapa kader BTI melakukan pendataan terhadap para petani yang
ada di Desa Sungegeneng. Hal serupa juga dilakukan oleh beberapa kader BTI di
Desa Siman. Pendataan petani dilakukan dengan cara acak. Selain itu, BTI juga
menyediakan pupuk murah untuk petani yang masuk sebagai anggota BTI.14
Penyediaan pupuk dilakukan karena keberadaannya langka, sehingga pupuk
dianggap mampu menarik simpati masyarakat.
Pendataan para petani ini membuahkan hasil yang cukup memuaskan. BTI
berhasil mendata petani sekitar 200 orang. Oleh karena itu, jumlah
anggota/simpatisan BTI Desa Sungegeneng, sampai tahun 1964 mencapai 230
orang.15 Setelah pendataan dilakukan, para penggagas BTI mempertemukan petani
dalam sebuah forum besar yang dilakukan di salah satu rumah penduduk.
Pertemuan tersebut dilakukan pada malam hari dan dilakukan secara bergilir dari
satu rumah ke rumah yang lain. Pertemuan-pertemuan ini diantaranya dilakukan
di rumah Masrun, Sudadi dan Woto.16 Dalam pertemuan ini, para petani
mendapatkan penjelasan tentang program-program yang akan di realisasikan BTI.
Selain itu, azas sama rata dan sama rasa diperkenalkan oleh para kader BTI dan
selogan tersebut seolah menjadi ritual disetiap pertemuan yang dilakukan oleh
BTI. Berikut wawancara dengan Masykur:
Biyén iku umum kayak kumpulan-kumpulan BTI ngono iku. Pas ana
kumpulan nanggoné omahé Woto (omah bucu sandéng gladak kampung buntung
iku). Aku iku kepéngén ngerti piyé toh kumpulan BTI iku, kok umum seru?.
Akhiré aku ndelok, tapi aku nang jaba. Ya anguk-anguk nok cendéla Omahé iku
bucu, dadiné kamot kanggo uwong akéh. Pas aku anguk-anguk, ketemu karo
wong kono iku, tapi aku ora di sengéni, malah aku dikongkon mlebu terus
dikongkon mélu, akhiré aku ya mlebu… …krunguku nok kumpulan iku ya
penyokong berdirinya BTI di desa Sungegeneng.
12
Wawancara dengan Suprapto Mangunsudarmo. Tanggal 08 September 2004.
13
Perancangan pembentukan BTI sebelum pelaksanaan pemilihan kepala desa
sebenarnya telah dilakukan, akan tetapi, sampai berlangsungnya pemilihan kepala desa,
lembaga tersebut belum terrealisasi.
14
Wawancara dengan Supadeq. Tanggal 03 Desember 2001.
15
Wawancara dengan Sutarjo. Tanggal 07 Pebruari 2005
16
Wawancara dengan Sutarjo. Tanggal 07 Pebruari 2005
5

kayak sama rata-sama rasa, iku-aé wés umum. Terus kegiatané ya mék ngono
iku, liyané wis ora ngerti. Wong aku semono iku durung mudeng masalah
gerakan-gerakan iku.17

Pengkaderan yang dilakukan oleh kelompok BTI semakin lama, menarik


simpati para petani. BTI juga mulai mengarahkan para petani untuk menentang
kebijakan yang diterapkan oleh kepala desa berkaitan dengan sertifikasi tanah
tanpa melakukan konversi terlebih dahulu.18 Bagi kelompok BTI, penerapan
UUPA 1960 sebagai program besar pemerintah tentunya mendukung secara
positif. Akan tetapi, sebelum penetapan tanah pertanian menjadi tanah hak milik,
konversi tanah sangat penting untuk dijalankan terlebih dahulu. Konversi tanah
yang dimaksud oleh kelompok BTI adalah mencoba mengembalikan para
pengelola tanah pertanian kepada tanah awal yang dulu pernah dikelolanya.
Dengan demikian, upaya sertifikasi tanah untuk menjadikan tanah pertanian
tersebut sebagai tanah pribadi dapat berjalan seimbang dan tidak hanya
menguntungkan bagi sebagian orang yang saat itu kebetulan menempati tanah
pertanian subur. Berikut wawancara dengan Sutompo:
…di konversi to kan balek tetep neng pok’e to, iyo la dek’e (Haji Sa’ed,
red) selaku lurah, milih sing jare bengkok sing paleng subur iku kan di kumpulno
la setelah diadaken di konversi iku tanahe di balekno neng asale kuwi balek kuru
gak iso balek kuru neng lemu. la yo piye, he, sing nomer siji loro telu sampek
berapa ratus yo termasuk tek’ku barang iku lemu, lemu kabeh iku terus sak lor ‘e
dalan iku lemu kabeh asline memang gone subur…19

Sebagai upaya untuk melakukan perubahan status tanah pertanian, pihak


pemerintah desa dan beberapa perangkat desa yang kebetulan didukung oleh
kelompok NU, menawarkan jasa dalam proses pembuatan sertifikat tanah
pertanian. Proses pembuatan sertifikat tanah pertanian harus mendapat
persetujuan dari kepala desa, kecamatan, dan diteruskan ke kantor Agraria
Bojonegoro.20 Proses pengajuan sertifikat tanah dapat diurus secara pribadi atau
melalui perantara desa. Bagi para petani, proses urus-mengurus sertifikat tanah
dianggap sangat membingungkan dan berbelit-belit, sehingga para petani

17
Wawancara dengan Masykur. Tanggal 23 Pebruari 2005.
18
Program sertifikasi tanah merupakan program andalan kepala desa saat itu,
akan tetapi, sertifikasi tanah yang dimaksud tanpa melalui konversi tanah terlebih
dahulu. Wawancara dengan Sutompo. Tanggal 10 Pebruari 2005
19
Wawancara dengan Sutompo. Tanggal 10 Pebruari 2005
20
Kantor Agraria Bojonegoro merupakan kantor yang mengurusi pembuatan
sertifikat tanah di wilayah Lamongan dan sekitarnya, karena Kabupaten Lamongan
merupakan bagian dari wilayah Karesidenan Bojonegoro. Sertifikasi tanah baru dapat
dilakukan di masing-masing kabupaten tahun 1969. Dengan demikian, mulai tahun
tersebut, semua urusan sertifikasi tanah untuk wilayah Lamongan, dapat diselesaikan di
kantor Agraria Kabupaten lamongan sendiri. Wawancara dengan Masykur. Tanggal 23
Pebruari 2005.
6

mengalami kesulitan.21 Bagi yang memanfaatkan jasa pemerintah desa, para


petani hanya cukup membayar segala biaya administrasi dan tinggal menunggu
sampai selesainya proses pembuatan sertifikat tanah tersebut. Biaya yang
dibutuhkan untuk pembuatan sertifikat tanah pertanian sebesar ± Rp.500.000
(jumlah akumulatif). Sampai pada batas yang dijanjikan, sertifikat tanah yang
telah dipesan oleh beberapa petani belum memperlihatkan hasilnya. Berbagai
alasan serta banyaknya kekurangan administrasi disana-sini, sehingga biaya
operasional terus membengkak. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada satu atau
dua petani. Jupri misalnya, ia telah mengeluarkan sejumlah uang Rp.400.000,
akan tetapi ia belum mendapatkan sertifikat tanah yang dimaksud. Penambahan
biaya pun dilakukan, akan tetapi, hasil yang diperoleh tetap sama.
Dari berbagai fenomane tersebut, beberapa petani mencoba memberanikan
diri untuk mengurus sertifikat tanah secara pribadi. Seperti yang telah dilakukan
oleh Masykur, ia mengurus sertifikat tanah pertaniannya mulai dari urusan tingkat
desa, kecamatan, Kantor Agrarian Bojonegoro dan Lamongan. Sampai sertifikat
tanah tersebut dikeluarkan (durasi waktu ± 6 bulan), total biaya yang dikeluarka
berkisar Rp. 200.000.22 Selisih biaya yang timpang ini mengakibatkan
berkurangnya rasa percaya serta simpati masyarakat terhadap perangkat desa
(tidak terkecualai kepala desa).
Mahalnya biaya sertifikasi tanah, tidak adanya kejelasan terhadap sertifikat
yang dimaksud serta tidak dilaksanakannya konversi tanah pertanian sebelum
dijadikan hak milik justru menimbulkan kemarahan besar dari pihak BTI. Mereka
menggelar aksi demonstrasi yang ditujukan kepada kepala desa. Beberapa
tuntutan yang diusung oleh para demonstran adalah sebagai berikut: 1)
diadakannya pemilihan tanah pertanian secepatnya tanpa menunggu 10 tahun
kemudian; 2) agar dilakukan konversi tanah, sesuai hak garap pertamakali bagi
masing-masing petani; 3) pasar yang semula berada di pusat desa, harus dipindah
ke tanah bagian luar Desa Sungegeneng. Beberapa alasan berkaitan dengan harus
diadakannya pemilihan tanah pertanian secepatnya tanpa menunggu 10 tahun
adalah: (1) bahwa tanah pertanian yang dikelola oleh masyarakat Desa
Sungegeneng adalah tanah pertanian umum dan belum menjadi hak milik
perseorangan; (2) masyarakat belum memiliki sertifikat tanah pertanian; (3) tanah
pertanian yang dikelola oleh Sa’ed yang menempati tanah pertanian subur
merupakan keuntungan akibat menjabat sebagai Kepala Desa Sungegeneng; (4)
apabila pemilihan tanah pertanian dilakukan dengan menunggu 10 tahun, maka
dikhawatirkan para pengelola tanah pertanian subur (seperti Sa’ed) yang pada
mulanya menempati tanah pertanian kering, mengajukan sertifikat tanah tersebut
sebagai hak milik. Berikut wawancara dengan Sutompo:
…Pokoké njaluk sak cepeté konversi tanah iku dilaksanakno. Tuntutane
iku: 1) dianakna pemilihan sawah secepatnya tanpa menunggu 10 tahun;
21
Wawancara dengan Sutiani. Tanggal 25 Pebruari 2005.
22
Nominal pembuatan sertifikat yang diserahkan kepada pihak desa adalah
sebesar ± Rp 500. 000, sedangkan apabila dilakukan secara pribadi para petani hanya
akan mengeluarkan biaya ± Rp 200.000. Wawancara dengan Masykur. Tanggal 23
Pebruari 2005.
7

2) pengkonversian tanah, sesuai hak garap pertama bagi masing-masing


petani; 3) pasar harus dipindah nang jaba desa…”.23

Demonstrasi ini dilakukan di depan balai desa Sungegeneng. Ketika kepala


desa tidak ditemukan di balai desa, para demonstran yang berjumlah sekitar 20
orang mulai naik pitam dan akhirnya bergerak mendatangi rumah Sa’ed.
Kemarahan demonstran semakin memuncak ketika Sa’ed tidak ditemukan juga di
kediamannya. Para demonstran hanya bertemu 2 centeng yang sedang berjaga-
jaga di depan rumah Sa’ed. Centeng tersebut adalah Nursalim dan Saleh. Para
demonstran menanyakan kepada kedua centeng tersebut tentang keberadaan
Sa’ed, akan tetapi kedua centeng ini tidak memberi jawaban atas keberadaan
Sa’ed. Keadaan demikian menambah marah para demonstran dan mengakibatkan
perkelahian antara dua centeng dengan para demonstran. Perkelahian yang tidak
seimbang ini mengakibatkan kedua centeng mengalami luka serius. Luka yang di
derita oleh Nursalim dan Saleh adalah di sekitar kepala dan kaki yang
mengakibatkan kedua centeng tidak dapat berdiri.24 Setelah kedua centeng tidak
berdaya, maka sasaran selanjutnya adalah rumah Sa’ed. Akibat amukan para
demonstran, kaca rumah, jendela, genteng dan pintu mengalami rusak berat.
Sedangkan di pihak demonstran mengalami luka-luka ringan akibat terkena
serpihan kaca-kaca.25
Perusakan terhadap rumah Sa’ed terus berlanjut, namun beberapa saat
kemudian, perusakan dihentikan oleh Sutompo, Ketua BTI Desa Sungegeneng. Ia
datang di tempat kejadian untuk menghentikan tindakan pengrusakan rumah
Sa’ed dan membubarkan para demonstran.26 Bentrokan yang terjadi di rumah
Sa’ed, tidak ada seorang pun dari masyarakat yang menghalang-halangi atau
bahkan berusaha membantu dua centeng tersebut. Tidak adanya bantuan untuk
melerai perkelahian tersebut karena masyarakat merasa takut terhadap 20 orang
demonstran dengan kondisi mengamuk. Pihak Koramil atau Polsek Kecamatan
Sekaran tidak melakukan pencegahan terhadap aksi demonstrasi yang dilakukan
oleh kelompok BTI, karena demonstrasi dilakukan secara tiba-tiba dan hampir
desas-desus tentang aksi demonstrasi tersebut tidak menyebar dalam masyarakat
umum. Selain itu, demonstrasi dalam pelaksanaan konversi tanah, dapat
dibenarkan. Berikut wawancara dengan Sutompo:
…kurang lebih ono wong piro wong 20 mbuh wong 30 kan unjuk rasa,
saiki arane unjuk rasa neng wektu sak mono iku ora iso ngarani nek iku unjuk
rasa ngono gak iso ngarani, waktu iku sakdurunge unjuk rasa ngombe to, iku
menyangkut masalah pengkorvesian tanah, sebelum ditetapkan menjadi hak
milik, tanah itu harus di konversi dulu, itu dibenarkan oleh … Peraturan Daerah
Kabupaten Lamongan PDKL…. iku membenarken bahwa orang-orang seperti

23
Wawancara dengan Sutompo. Tanggal 10 Pebruari 2005
24
Wawancara dengan Sa’ed. Tanggal 20 September 2004
25
Wawancara dengan Sa’ed. Tanggal 20 September 2004
26
Wawancara dengan Sutompo. Tanggal 10 Pebruari 2005.
8

saya sudah di CS, yo to, minta supaya diadakan pemilihan tanah iku lho sebelum
di konversi harus diadakan pemilihan dhisik, iku dibenarkan…27

Pasca terjadi demonstrasi yang dilakukan kelompok BTI, pihak Kepala


Desa Sungegeneng, Sa’ed mengumumkan kepada masyarakat untuk memenuhi
beberapa tuntutan para demonstran tersebut. Walaupun tidak semua tuntutan dapat
dipenuhi, tuntutan mengenai pemindahan lokasi pasar dapat secepatnya
direalisasikan.28 Bagi kelompok BTI, dua tuntutan yang pada dasarnya lebih
urgen justru tidak terlaksana. Dua tuntutan tersebut yakni: (1) diadakan pemilihan
tanah pertanian secepatnya tanpa menunggu 10 tahun kemudian; (2) agar
dilakukan konversi tanah, sesuai hak garap pertamakali bagi masing-masing
petani sebelum proses sertifikasi tanah pertanian dijalankan.
Pasca demonstrasi berlangsung, setiap malam para kader BTI berkumpul-
kumpul di tempat-tempat setrategis seperti halnya ditepian perempatan jalan,
pertigaan dan kedai-kedai di pinggir jalan yang ada di Desa Sungegeneng. Aksi
tersebut pada dasarnya diguankan untuk melakukan terror kepada Sa’ed dan juga
kelompok NU sebagai pendukungnya. Teror ini dilakukan dengan cara mengolok-
olok, aksi pencurian buah-buahan di pinggir jalan serta raja kaya seperti ayam,
kambing yang dilakukan secara diam-diam maupun secara paksa. Hasil curian
tersebut dimakan bersama-sama sebagai wujud penerapan azas sama rata-sama
rasa.29 Sambil mengolok-olok, gerombolan tersebut juga melakukan aksi
pelemparan terhadap orang yang diangap sebagai anggota/simpatisan NU. Selain
itu, aktifitas seperti main kartu, domino dan minum-minuman keras menjadi
sesuatu yang biasa. Berikut wawancara dengan Abdul Hamid:
“Biyén, wong-wong iku pada ora wani metu omah. Amerga wedi di satroni
ambék wong-wong BTI-BTI iku. Wayah Subuh, aku berangkat nang masjid,
jaman biyén dalan-dalan pada peteng ora ana lampuné, ora kaya saiki. Sampek
tok prapatané Paker, aku iku disawat brogalan (tanah kering, red), tapi aku
menengaé. Ya lara, tapi aku terus mlayu nang masjid, wong pancene wayah iku
penggawéanku iku tani karo ngulang ngaji. Wong-wong ngono iku karo mendem,
maén lan sakpituruté” .30
Keadaan demikian terjadi berlarut-larut dan meresahkan masyarakat
terutama warga NU. Pihak NU sebagai sasaran teror para kader BTI tidak
melakukan perlawanan secara frontal. Akan tetapi, secara diam-diam mereka
menghimpun kekuatan dengan melakukan penggemblengan terhadap pemuda-
pemuda Anshor.31

27
Wawancara dengan Sutompo. Tanggal 10 Pebruari 2005.
28
Wawancara dengan Sa’ed. Tanggal 20 September 2004.
29
Wawancara dengan Sutarjo. Tanggal 07 Pebruari 2005
30
Wawancara dengan Abdul Hamid. Tanggal 30 Nopember 2003
31
Istilah penggemblengan adalah proses dimana para murid atau kader-kader NU
dituntut untuk belajar olah kanuragan dan wirid untuk kekebalan tubuh dengan dibimbing
oleh seorang kiyai.
9

C. Operasi Pengedropan
Informasi mengenai PKI sebagai penghianat serta sebagai pihak yang harus
di musnahkan sampai ke akar-akarnya, cepat menyebar di berbagai desa di
Kabupaten Lamongan. Pembantaian Massal di Kecamatan Sekaran dipicu oleh
pernyataan Soeharto yang disebarkan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat
(TNI-AD) bahwa di Jakarta PKI terlibat dalam peristiwa G30S 1965. Pernyataan
tersebut ditindak lanjuti oleh Koramil dan Polsek sebagai institusi paling bawah
dalam struktur militer. Koramil dan Polsek melakukan koordinasi dengan
Kecamatan Sekaran untuk melakukan identifikasi terhadap anggota/simpatisan
PKI/BTI di masyarakat.
Rapat gabungan pertama kali dilakukan pada hari senin, tanggal 06
Desember 1965. Koordinasi tersebut dimaksudkan untuk melakukan perbersihan
terlebih dahulu terhadap para pegawai Kecamatan Sekaran yang diduga sebagai
anggota/simpatisan PKI atau BTI.32 Lasmiran sebagai seorang yang diduga
sebagai anggota/simpatisan PKI/BTI, pada pukul 12.00 WIB, diamankan oleh
aparat di koramil Bulu Tenger. Demikian wawancara dengan Lasmiran:
Saya itu tidak tahu menahu tentang G30S itu. G30S itu kan ada di Jakarta,
kenapa saya yang ada di Desa Sungegeneng kok juga ikut di tahan di Pulau Buru.
Waktu saya kerja di Puskesmas Sekaran, sekitar pukul 12. 00 saya diundang rapat
jam 13.00 oleh Pak Camat Suwerno di pendopo Kecamatan Sekaran.
Undangannya secara lisan, Suwerno sendiri yang memberitahu saya. Jadi saya
tidak pulang ke Desa Sungegeneng, sedangkan teman-teman yang ada di
puskesmas, jam 12.30 itu sudah pulang semua. Saya langsung pergi ke
kecamatan.33
Rapat gabungan kedua kembali berlangusung, tepatnya pada hari Selasa
tanggal 07 Desember 1965. Pada rapat kedua ini yang terlibat tidak hanya dari
unsur Koramil, polsek dan kecamatan, akan tetapi beberapa pihak yang dianggap
anti PKI turut dilibatkan. Beberapa pihak tersebut adalah NU, Muhammadiyah,
dan PNI. Rapat gabungan kedua tersebut dimaksudkan untuk membahas taktis
proses pembersihan anggota/simpatisan PKI/BTI secara massal di desa-desa yang
masuk dalam Kecamatan Sekaran. Beberapa orang yang dapat diidentifikasi dari
masing-masing perwakilan tersebut adalah Bujairi dan Abdul Fattah, dari unsur
NU; Abdul Kholiq, dari unsur Muhammadiyah; Suprapto Mangunsudarmo dan
Salamun, dari unsur PNI.34
Rapat yang dimulai pukul 10.30 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB35
akhirnya memperoleh kesepakatan tentang taktis pembersihan terhadap
anggota/simpatisan PKI/BTI. Hasil pertemuan tersebut adalah sebagai berikut: (1)
pembersihan terhadap anggota/simpatisan PKI atau BTI yang ada di masyarakat
dilakukan secara berurutan dari desa paling barat di wilayah Kecamatan Sekaran.
Pembersihan terhadap anggota/simpatisan PKI atau BTI di Desa Siman ditetapkan

32
Wawancara dengan Lasmiran. Tanggal 10 Pebruari 2005.
33
Wawancara dengan Lasmiran. Tanggal 10 Pebruari 2005.
34
Wawancara dengan Suprapto Mangunsudarmo. Tanggal 08 September 2004.
35
Wawancara dengan Suprapto Mangunsudarmo. Tanggal 08 September 2004.
10

pada hari selasa pukul 15.00 WIB. Di Desa Sungegeneng, masih pada hari yang
sama, pukul 16.00 WIB.36
Barisan Anshor Serbaguna (Banser) dari Desa Manyar yang telah mendapat
komando sebelumnya bersama dengan aparat militer, sedikit demi sedikit
menyisir desa-desa diberbagai desa di Kecamatan Sekaran.37 Banser dari Desa
Manyar serta beberapa Banser gabungan dari beberapa desa seperti Ngareng dan
Trosono merupakan salah satu pasukan yang sering mendapat tugas ngedrop di
berbagai desa di wilayah Kecamatan Sekaran. Konon, para Banser tersebut
terkenal sangat kuat dan pemberani. Setelah melakukan pembersihan di beberapa
desa, Ruslam selaku ketua Banser Desa Manyar melakukan koordinasi dengan
Ketua Banser Kecamatan Sekaran, Haji Mad yang berasal dari Desa Jugo.
Koordinasi ini menghasilkan suatu kesepakatan bahwa Banser Desa Manyar akan
bergabung dengan Banser Desa Jugo, sedangkan Banser Desa Jugo melakukan
penyisiran terhadap desa lain. Sampai pada akhirnya, Banser gabungan dari Desa
Manyar, Ngareng, dan Jugo tersebut melakukan pengedropan di Desa
Sungegeneng, sedangkan Banser Desa Sungegeneng melakukan pengedropan di
Desa Mertani38 dan seterusnya secara bergantian. Berikut wawancara dengan
Ruslan:
Waktu wonten grebekan niku, anshor-anshor niku kéngkénan saking Sekaran.
Nggéh di perintah, ngédrop mriko-mriko ngoten. Nggéh di perintah ketuané
Anshor, asalé saking Desa Jugo, namine Haji Mad. Mboten angsal bayaran napa-
napa. Ngedro-pé niku tiyang katah, pundi-pundi, nggéh mboten ngriki tok, nggéh
énten nék kanca Trosono, Ngareng kumpul. Sakumpami ten mrika wonten PKI-né
nggéh mriko-mriko ngoten. Banser meriki niku terősé kendel-kendel ngoten. 39
Pengedropan di Desa Sungegeneng, terjadi dua tahap. Tahap pertama
dilakukan oleh Banser Desa Sungegeneng dengan identifikasi korban sebanyak 31
orang yang dianggap sebagai anggota/simpatisan PKI/BTI. Dari ke-31 orang
tersebut, 21 orang dieksekusi di Bengawan Solo (tepatnya di Desa Pangean), 4
orang dieksekusi di perbatasan desa, 2 orang dibuang ke Pulau Buru, dan 4 orang
Selamat.
Desas-desus mengenai pembersihan kedua yang akan dilakukan gabungan
Banser dari Desa Bulu Tigo, Ngareng, Manyar, dan Jugo di Desa Sungegeneng
mulai tersebar. Isu pembersihan tersebut akan dilakukan pada hari raya Ketupat
tanggal 04 Januari 1966.40 Kabar mengenai pembersihan tersebut ternyata bukan
hanya isapan jempol, melainkan kabar nyata. Berikut wawancara dengan
Supadeq:
…barang tekan omah, pas Haji Riduwan Bulutigo ana kana kondo yén déwéké
mélu ngédrop rana-rana, karo nuduhna slepi (wadah bako) sing dumadi saka
lonsong kontole Sutiaji di iris awon kanggo slepi iku. Sutiaji wong PKI kondang
36
Wawancara dengan Suprapto Mangunsudarmo. Tanggal 08 September 2004.
37
Wawancara dengan Ruslan. Tanggal 24 Pebruari 2005.
38
Wawancara dengan Suprapto Mangunsudarmo. Tanggal 08 September 2004.
39
Wawancara dengan Ruslan. Tanggal 24 Pebruari 2005.
40
Hari raya ketupat, adalah Hari Raya yang terhitung tujuh hari setelah Hari Raya
Idul Fitri. Wawancara dengan Suli. Tanggal 07 Pebruari 2005
11

kuwaté, Jupén Kecamatan Larén. Waktu iku endi desa sing ana PKI-né ya di
pateni. 41

Berbekal informasi dari Haji Riduwan, Supadiq (dianggap sebagai


anggota/simpatisan PKI/BTI Desa Sungegeneng) mendapatkan penjelasan bahwa
wilayah Desa Sungegeneng yang akn disisir adalah gang Gubandil.42 Jumlah
orang yang akan di bunuh menjelang Hari Raya Ketupat adalah mencapai 200
orang.43 Selain itu, istilah atau slogan terhadap pembersihan kedua ini adalah
“Pembersihan anggota/simpatisan PKI atau BTI sampai akar-akarnya”. Artinya
Pembersihan tersebut akan menghabiskan semua orang yang diduga sebagai
anggota/simpatisan PKI/BTI. Berikut wawancara dengan Supadeq:
Sak desa Sungegeneng akhiré pada krungu yén bakal ana drop kedua,
bareng karo riyaya ketupat. Sak banjar Gubandil wong lanang di entéki. Aku
judeg, sedih. Aku piyé, aku melayu apa ora, aku melayu nyang endi, aku
séngidan na endi, dadi bingung. Aku séngidan nok ngisor jarak karo pasrah Gusti
Maha Kuwasa. Rasa suméléh, aku grégah éléng yén drop iku nék ora petuk wong
lanang, bojoné digawa, yén duwé anak, anaké digawa. Aku pamit maratuwa
mulih. Batinku, tinimbang bojoku digawa aluwung aku.44
Pada pembersihan kedua yang telah direncanakan sebelumnya, pihak
pengedrop mencatat sekitar 200 orang yang dianggap sebagai anggota/simpatisan
PKI/BTI.45 Pada malam hari, masyarakat dihimbau agar tidak keluar rumah oleh
Sa’ed selaku Kepala Desa Sungegeneng. Selain itu, bagi orang-orang yang akan
ditangkap sekitar pukul 1:00 sampai pukul 04:00 WIB, dilakukan teror dengan
menggedor-gedor rumah calon korban yang akan ditangkap. Teror tersebut
menimbulkan ketakutan dalam masyarakat yang hebat. Demikian wawancara
dengan Sutarjo:
“Waktu angkaté penjupukan iku, sakdurungé musyawarah nang balé desa.
Masyarakat ora oléh metu saka omah jaman sak mana iku séng kecatet-kecatet
iku. Jam siji (1), jam telu (3), jam papat (4), iku di tangi, ya gedéke, ya lawangé
di duor, duor, apa gak cilik atiné, akhiré ya ora metu blas. Akhiré ngiséng,
nguyoh, nang enggon. Terus akhiré ana séng njalok pertulungan nang Supangkat,
akhiré keduané arepé dijukuk-dijukuk iku mandek, ora sampék kedadian mergo
ana gerakan Ansor arepé ngedrop ngétan, terus ngana iku ditekani Supangkat sak
trek, di dang nak dalan kéné. Akhiré barés nak nggoné sawahé kaji Harno saiki,
41
Wawancara dengan Supadeq. Tanggal 03 Desember 2001.
42
Desa Sungegeneng terdiri dari RW 1 dan RW 2. RW 1 berada di sebelah Utara
Sungai Ombo yang terdiri dari 5 RT (RT 1 s/d RT 5). Sedangkan RW 2 berada di sebelah
selatan Sungai Ombo yang juga terdiri dari 5 RT (RT 6 s/d RT 11). Dalam setiap
lingkungan RT terbagi dalam beberapa gang yang sering disebut sebagai blok. Sehingga
masyarakat Desa Sungegeneng lebih sering menggunakan istilah blok daripada RT,
karena dalam satu RT kemungkinan terdapat dua blok yang berbeda. Gang Gubandil
merupakan bagian dari Desa Sungegeneng yang menempati posisi tengah dari Desa
Sungegeneng dan masuk RW 2 antara blok 6 dan 7.
43
Wawancara dengan Sutarjo. Tanggal 07 Pebruari 2005.
44
Wawancara dengan Supadeq. Tanggal 03 Desember 2001.
45
Wawancara dengan Sutarjo. Tanggal 07 Pebruari 2005.
12

sanding kidulé lapangan. Terus akhiré dikongkon balik. Nah iku titik awalé
pongkasan, oléhé lérén sarana didukung, dikuwati pertahanan karo Supangkat iku
maéng”.46
Sebagai upaya untuk mengantisipasi sesuatu yang buruk, pihak-pihak yang
merasa akan dijadikan korban, secepat mungkin mereka mencari perlindungan
dengan segala cara. Seperti halnya Watemo dan Kirno, mereka meminta bantuan
kepada famili di luar kota yaitu: Supangkat.47 Supangkat merupakan salah satu
anggota polisi Brigade Mobil (Brimob) yang sedang bertugas di Surabaya.48
Watemo dan Kirno, sejak dini hari memutuskan untuk pergi ke Surabaya 49 dengan
maksud meminta bantuan Supangkat. Selang dua hari sejak kepergian dua orang
tersebut ke Surabaya, pada sore hari tepatnya pukul 03:30, Supangkat datang
bersama satu kompi pasukan dengan kondisi siap tempur. Sampai di Desa
Sungegeneng, masing-masing anggota Brimob tersebut menyebar di penjuru Desa
Sungegeneng untuk mengantisipasi adanya pembersihan yang dilakukan oleh
Banser. Pengedropan kedua akhirnya dapat digagalkan.50

D. Konflik Keluarga melahirkan pembantaian massal


Dari beberapa tokoh yang terlibat dalam proses pembantaian massal di Desa
Sungegeneng, beberapa dari mereka masih memiliki hubungan kerabat. Suwarto
dan Sutompo berstatus saudara kandung. H. Sa’ed dan H. Ahmad Marzuqi
berstatus saudara ipar. Antara Suwarto dengan H. Ahmad Marzuqi, mereka
memiliki hubungan tertentu, dimana Isa sebagai istri H. Ahmad Marzuqi,
sebelumnya telah menikah dengan Suwarto dan dikaruniai 2 orang anak. Sampai
proses berikutnya, janda Isa menikah dengan H. Ahmad Marzuqi sembari
mengasuh anak -salah satu anak, hasil pernikahan dengan Suwarto- yang bernama
Jaiyah.
Suwarto, Sutompo dengan H. Ahmad Marzuqi, H. Sa’ed, memeliki jalannya
sendiri. Suwarto menjadi pengurus Comite Seksi (CS) PKI Kabupaten Lamongan
yang saat itu diketuai oleh Sudadi dari Desa Sungegeneng. Berikut pula Sutompo,
ia lebih memfokuskan pada gerakan yang lebih riil di lapangan dengan memimpin
BTI di Desa Sungegeneng. Berbeda dengan H. Ahmad Marzuqi dan H. Sa’ed.
Keduanya berafiliasi dengan NU. H. Sa’ed adalah ketua Gerakan Pemuda Anshor
se-kawedanan Sukodadi. Sedangkan H. Sa’ed merupakan pengurus NU Ranting
Desa Sungegeneng.
Perbedaan pilihan organisasi serta politik tersebut akhirnya memaksa
mereka semua kembali bertemu dalam sebuah arena pencalonan kepala desa
Sungegeneng. Suwarto dan Sutompo berangkat dari kelompok yang berbeda, akan
46
Wawancara dengan Sutarjo. Tanggal 07 Pebruari 2005.
47
Wawancara dengan Supadeq. Tanggal 03 Desember 2001.
48
Wawancara dengan Sutarjo. Tanggal 07 Pebruari 2005.
49
Jarak tempuh Desa Sungegeneng ke Surabaya 60-80 km. Perjalanan mencapai
1,5 jam ditempuh dengan kendaraan umum. Wawancara dengan Supadeq. Tanggal 03
Desember 2001.
50
Wawancara dengan Supadeq. Tanggal 03 Desember 2001.
13

tetapi keduanya afiliatif. Suwarto berangkat dari unsure PKI, sedangkan Sutompo
berangkat dari unsur BTI. Keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat
dengan kelompok lain seperti PNI. Jamal Mangunjojo, mantan ketua PNI Cabang
Lamongan adalah teman, dan apabila dirunut kebelakang dari beberapa istri Jamal
(berjumlah 9), mereka masih memiliki hubungan kerabat. Hubungan mereka
sangat dekat, sehingga hubungan Suwarto, Sutompo dengan putera Jamal yang
saat itu menjabat sebagai Ketua PNI Ranting Desa Sungegeneng juga baik. Pola
hubungan pertemanan serta unsure kerabat menjadikan ketiga organ tersebut
hamper sulid dipisahkan. Demikian pula para kadernya. Mereka dengan
seenaknya keluar-masuk dari setiap kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing
organ tersebut. Oleh karena itu, untuk membedakan apakah si A PNI atau si B
PKI atau BTI sangat sulit. Kondisi demikian ditambah dengan menyatunya
mereka dalam satu wadah kesenian yaitu Lekra. Sehingga sampai beredar istilah
bahwa PKI=PNI=BTI.
Berbeda dengan H. Sa’ed dan H. Ahmad Marzuqi. Mereka menetukan
pilihan yang sama yaitu Masyumi, akan tetapi ketika NU menarik diri dari
Masyumi, keduanya lebih menentukan pilihannya di NU. Keduanya juga
memiliki kesamaan dengan Suwarto dan Sutompo. H. Ahmad Marzuqi dan H.
Sa’ed pada dasarnya juga memiliki hubungan kerabat dengan Jamal Mangunjojo
dari pihak istri. Akan tetapi hubungan mereka tidak sedekat Suwarto dan
Sutompo. Dengan demikian, kelima tokoh tersebut masih memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat.
Konversi tanah pertanian yang digulirkan oleh BTI di Desa Sungegeneng,
selalu menempatkan dua organ (PKI,PNI,BTI vs NU) yang berbeda tersebut
selalu berseberangan. Konversi tanah tersebut pada dasarnya merupakan upaya
untuk menghalangi sertifikasi tanah pertanian yang dijalankan oleh H. Sa’ed tanpa
melakukan konversi tanah terlebih dahulu. Dari pengakuan Sutompo, bahwa
konversi tanah yang digulirkan oleh BTI, memilki motif pribadi, dimana antara
Sutompo dengan H. Sa’ed, masing-masing pernah mendapat giliran tanah
pertanian di tempat yang sama dan tanah tersebut saat itu dikelola oleh H. Sa’ed.
Apabila dirunut lebih lanjut tentang hak kelola pertama, tanah pertanian yang
dimaksud, merupakan hak kelola dari orang tua Sutompo. Berikut wawancara
dengan Sutompo:
Dadi nek tanahe dewe sawah nduwur kono yo balik nang sawah nduwur kono.
Lah sawah nduwur kan kurus, bumine kan lemu-lemu (sawah sebelah selatan
Mbajangan, red). Lah nek iku pancene di konversi temen balek asal, wes, dadine
tekke bapakku nomor pitu (7) yo balek nomer pitu (7), gak iso nomer siji, ngono
dek iku maksute.

Pada tahap berikutnya, konflik keluarga yang telah terpendam lama


bercampur dengan berbagai persoalan seperti tanah, perpolitikan di desa, agama,
dan lainnya. Sehingga emosi yang telah terpendam lama tumbuh menjadi dendam
yang sifatnya kesumat (laten). Ketika berbagai persoalan di tingkat nasional
memanas, dan beredarnya informasi bahwa PKI sebagai penghianat dan harus
14

ditumpas sampai ke akar-akarnya, menjadi pemicu dendam yang telah lama


disimpan. Luapan dendam serta adanya dukungan dari militer dan pemerintah
kecamatan Sekaran, maka pembantaian massal menjadi pilihan tunggal sebagai
jawaban.

E. Kesimpulan
Untuk mengakhiri tulisan ini, kesimpulan yang didapat adalah bahwa faktor
pendorong utama terhadap peristiwa pembantaian massal di Desa Sungegeneng
adalah konflik keluarga. Konflik keluarga bersinergi dengan proses politik serta
ekonomi di tingkat desa. pergeseran faktor keluarga menjadi faktor politik,
ekonomi dsb, merupakan hasil dari proses relasional yang dibangun masing-
masing pihak untuk memperkuat dirinya sebagai upaya untuk mencapai
kemenangan. Masing-masing kekuatan yang ada di balik para tokoh tersebut,
dengan sendirinya larut dan terseret dalam lingkaran konflik keluarga yang
sebelumnya telah terbentuk.

Lampiran

INFORMAN SEKALIGUS PELAKU SEJARAH


15

1. H. Sa’ed : Kepala Desa Sungegeneng, periode 1964-


2. H. Ahmad Marzuqi : Mantan Ketua Tanfidliyah NU
Ranting Desa Sungegeneng
3. Sutarjo : Anggota Banser Desa Sungegeneng
4. Suprapto Mangunsudarmo : Mantan Ketua PNI Ranting Desa Sungegeneng
periode 1964-1969
5. Supadeq : Ketua Penghayat Kepribaden Cabang Lamongan
6. Masykur : Petani
7. Sutompo : Mantan pengurus CS PKI Kabupaten Lamongan
dan Ketua BTI Desa Sungegeneng
8. Sutiani : Petani
9. Abdul Hamid : Mantan Ketua NU Ranting Desa Sungegeneng
10. Lasmiran : Mantan Tapol Pulau Buru
11. Ruslan : Mantan Ketua Banser Desa Manyar
12. Suli : Putri Sudadi, Mantan Ketua CS PKI
Kabupaten Lamongan.

Anda mungkin juga menyukai