Anda di halaman 1dari 30

1

SIFILIS
I. Definisi
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum,
merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat
menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit,
mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin.(1)
Meskipun insidens sifilis kian menurun, penyakit ini tidak dapat diabaikan,
karena merupakan penyakit berat. Hampir semua organ tubuh dapat diserang,
termasuk sistem kardiovaskular dan saraf. Selain itu wanita hamil yang menderita
sifilis dapat menularkan penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan sifilis
kongenital yang dapat menyebabkan kelainan bawaan dan kematian. Istilah untuk
penyakit ini yaitu raja singa sangat tepat karena keganasannya. (1)

II. Epidemiologi
Asal penyakit ini tak jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di Eropa.
Ada yang menganggap penyakit ini berasal dari penduduk Indian yang dibawa
oleh anak buah Columbus waktu mereka kembali ke Spanyol pada tahun 1492.
Pada tahun 1494 terjadi epidemi di Napoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa
penularan sifilis dan gonore disebabkan oleh sanggama dan keduanya dianggap
disebabkan oleh infeksi yang sama.(1)

Sampai tahun 1980, prevalensi sifilis menurun dan tetap rendah selama
hampir satu dekade. Namun, kejadian sifilis kemudian meningkat di seluruh
dunia. Dalam kelompok risiko tertentu, prevalensi telah meningkat dengan faktor
selama 5 tahun terakhir.(2)

Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar
antara 0,04 -0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di
Amerika Selatan. Di Indonesia insidensnya 0,61%. (1)
Cenderung menurun pada usia 20-39 tahun, 15-19 tahun, dan 40-49 tahun.
Insiden Di Amerika Serikat, jarang dengan 36.000 kasus primer dan sekunderpada
tahun 2006. Semua ras di Amerika Serikat, insiden meningkat di Afrika, Amerika
dan Hispanik. Pria lebih banyak daripada wanita 2:01- hingga 04:01.(3)

2


III. Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman
ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia
Spirochaetaceae, dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur,
panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri atas delapan sampai dua puluh
empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti
gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium
aktif.(1)
Venereal Sifilis adalah Treponema pallidum ssp. pallidum (T. pallidum). T.
pallidum mempunyai spirochete tipis dan halus dengan 6-14 spiral. Tempat alami
T. pallidum adalah manusia. Pada Frambusia terdapat T. pallidum ssp. pertenue.
Pada Sifilis endemik (bejel) yaitu T. pallidum ssp. endemicum dan pada Pinta
yaitu T. caratium.(3)

Sifilis disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum. Hal ini
ditularkan dari satu orang ke orang lain, baik melalui kontak langsung dengan
infeksi lesi (biasanya terjadi selama hubungan seksual), selama kehamilan dari ibu
ke anak atau melalui produk darah yang terinfeksi.(4)


IV. Patogenesis
a. Stadium dini
T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir,
biasanya melalui sanggama. Kuman tersebut membiak, jaringan bereaksi dengan
membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel- sel plasma, terutama
di perivaskular, pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh
T. pallidum dan sel-sel radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium
kapiler dan jaringan perivaskular di sekitarnya. Enarteritis pembuluh darah kecil
menyebabkan perubahan hipertrofik endotelium yang menimbulkan obliterasi
lumen (enarteritis obliterans). Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi,
pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S I.(1)
3

Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional
secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen
dan menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak
kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai S II, yang terjadi
enam sampai delapan minggu sesudah S I. S I akan sembuh perlahan-lahan karena
kuman di tempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-
fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. S II juga mengalami regresi
perlahan-lahan dan lalu menghilang.(1)
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif
masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan
bayi dengan sifilis kongenital.(1)


b. Stadium lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam
keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita.
Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat sekonyong-konyong berubah,
sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor presipitasi.
Pada saat itu muncullah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut
tidak dapat ditemukan T. pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan
berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma
tersebut timbul di tempat-tempat lain.(1)

V. Gambaran klinis
1. Sifilis dini
a. Sifilis primer (S I)
Sifilis primer ditandai dengan ulkus (chancre) dan regional limfadenopati.
Chancre biasanya terdapat di daerah anogenital, tunggal, tanpa rasa sakit dan tidak
ada batasan durasi. Namun, chancre mungkin ada beberapa yang menyakitkan,
purulen, merusak, ekstragenital dan dapat menyebabkan sifilis yang balanitis.
Mungkin juga ada campuran dari penyebab sifilis. Setiap ulkus anogenital harus
dianggap karena sifilis kecuali terbukti sebaliknya.(4)

4

Kelainan kulit dimulai sebagai papul lentikular yang permukaannya segera
menjadi erosi, umumnya kemudian menjadi ulkus. Ulkus tersebut biasanya bulat,
solitar, dasarnya ialah jaringan granulasi berwarna merah dan bersih, diatasnya
hanya tampak serum. Dindingnya tak bergaung, kulit disekitarnya tidak
menunjukkan tanda-tanda radang akut. Yang khas ialah ulkus tersebut indolen dan
teraba indurasi karena itu disebut ulkus durum.(1)
Kelainan tersebut dinamakan afek primer. Pada pria tempat yang sering
dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor.
Selain itu juga dapat di ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus.(1)

Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah
bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks primer.
Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak, besamya biasanya lentikular, tidak
supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya tidak menunjukkan
tanda-tanda radang akut.(1)

Gambar 1. Lesi sifilis primer(3)

Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu.
Istilah syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke
jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfusi darah atau suntikan.(1)

b. Sifilis sekunder (S II)
Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan
sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan
bulan. Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat
disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya umumnya
tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan, malaise, nyeri kepala, demam
yang tidak tinggi, dan artralgia.(1)
5

Manifestasi kulit sifilis sekunder terjadi pada 80% atau lebih pada kasus
sifilis sekunder. Lesi awal simetris, lebih atau kurang dari seluruh tubuh,
superfisial, tidak destruktif, ringan berupa eksantema, sementara, dan makula;
kemudian menjadi makulopapular atau erupsi papular, yang biasanya polimorfik,
dan sering bersisik, berjerawat, atau berpigmen. Manifestasi awal cenderung
didistribusikan ke seluruh wajah, bahu, panggul, telapak tangan dan kaki, dan anal
atau daerah genital. Keparahan bervariasi. Adanya lesi pada telapak tangan dan
kaki sangat sugestif. Namun, sifilis umumnya cenderung dapat terjadi pada
telapak tangan dan telapak kaki. Lesi individu umumnya kurang dari 1 cm,
kecuali di kemudian hari lesi sekunder atau kekambuhan lesi sekunder.(5)
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit,
selaput lendir, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya
kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata
pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula,
papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustul. Jarang dijumpai keluhan gatal.
Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital.(5)
Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut
the
.
great imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, S II dapat juga memberi
kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf.(1)

Gambar 2. Sifilis sekunder, makula, papul, dan lesi anular(5)

6


Gambar 3. Sifilis sekunder condyloma lata(3)

Rambut rontok, termasuk pada daerah pelipis dan pada daerah parietal kulit
kepala. Gambaran Patchy, "dimakan ngengat" alopesia pada kulit kepala dan
daerah jenggot. Kehilangan bulu mata, bagian lateral alis. Bercak lendir, yaitu,
kecil, tanpa gejala, bulat atau oval, sedikit lebih tinggi, makula datar atasnya dan
papula 0,5-1 cm, ditutupi oleh putih abu-abu hiperkeratotik membran, terjadi pada
mukosa oral atau genital. Papula yang berpisah pada sudut mulut.(3)
Seperti syphilids lain, erupsi papul cenderung tersebar di seluruh tubuh
tetapi juga dapat dilokalisasi, asimetris, konfigurasi, hipertrofi, atau mungkin
konfluent.(5)

c. Sifilis laten
Selama periode laten, tidak ada tanda-tanda klinis sifilis, tetapi tes serologi
untuk sifilis reaktif. Selama awal laten tetap ada periode infektivitas
minimal 2 tahun. Seorang wanita dengan sipilis laten dini mungkin menginfeksi
anaknya yang masih dalam kandungan.(5)
Sifilis laten adalah infeksi T. pallidum didiagnosis pada tes serologi tanpa
gejala atau tanda-tanda. Dalam dua tahun pertama infeksi ini adalah awal sifilis
laten.(4)
Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuor serebrospinalis negatif. Tes
yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA.(1)





7

2. Sifilis lanjut
a. Sifilis laten lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes
serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan dapat
seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan
neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat, apakah ada
aorititis.(1)


b. Sifilis tersier (S III)
Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah SI.
Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya
melunak, dan destruktif.(1)
Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar telur ayam. Kulit
diatasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut dan dapat
digerakkan. Setelah beberapa bulan mulai melunak, biasanya mulai dari tengah,
tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta
melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah cairan
seropurulen, kadang-kadang sanguinolen. Pada beberapa kasus disertai jaringan
nekrotik.(1)


Gambar 4. Guma(6)

Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat,
dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar. Beberapa ulkus
berkonfluensi sehingga membentuk pinggir yang polisiklik. Jika telah menjadi
ulkus, maka infiltrat yang terdapat dibawahnya yang semula sebagai benjolan
menjadi datar. Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa bulan
8

hingga beberapa tahun. Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel,
umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma
multipel dan perlunakannya cepat, dapat disertai demam.(1)
Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula- mula di kutan
kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan
dan umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus tersebut dalam
perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis ditengah dan membentuk
ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik. Perbedaannya dengan
guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar hingga lentikular), lebih
banyak, mempunyai kecenderungan untuk bergerombol atau berkonfluensi; selain
itu tersebar (diseminata). Warnanya merah kecoklatan.(1)
Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terus secara serpiginosa.
Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan disebut
psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak membesar. Kelainan yang
jarang ialah yang disebut nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus subkutan
yang fibrotik, tidak melunak, indolen, biasanya pada sendi besar.(1)


Gambar 5. Sifilis tersier noduloulcerative(3)


1. S III pada mukosa
Guma juga ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar.
Yang setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti
biasanya akan melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat
merusak tulang rawan septum nasi atau palatum mole hingga terjadi perforasi.
Pada lidah yang tersering ialah guma yang nyeri dengan fisur-fisur tidak teratur
serta leukoplakia.(1)


9

2. S III pada tulang
Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan humerus.
Gejala nyeri, biasanya pada malam hari. Terdapat dua bentuk, yakni periostitis
gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat didiagnosis dengan sinar-
X.(1)

3. S III pada alat dalam
Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang. Guma
bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami retraksi,
membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar lobatum.(1)
Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma dapat
menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat terjadi didalam
atau diluar bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan menyebabkan bronkiektasi.
Guma dapat menyerang ginjal, vesika urinaria, dan prostat, meskipun jarang. S III
pada ovarium jarang, pada testis kadang-kadang berupa guma atau fibrosis
interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata dan unilateral. Kadang-kadang
memecah ke bagian anterior skrotum.(1)

A. Sifilis kardiovaskuler
Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-30
tahun. Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih banyak tiga
kali daripada wanita.(1)
Sifilis kardiovaskular biasanya terjadi 15-30 tahun setelah sifilis primer dan
dapat terjadi pada setiap pembuluh darah besar. Karakteristik, bagaimana, aortitis
biasanya mempengaruhi aorta proksimal. Hal itu dapat menyebabkan
inkompetensi aorta (yang mungkin dapat terjadi gagal jantung), Stenosis ostial
koroner (menunjukkan sebagai angina), dan nekrosis aorta medial menyebabkan
aneurisma aorta.(6)
Lesi khas sifilis kardiovaskular adalah aortitis yang mempengaruhi aorta
dan muncul 10-30 tahun setelah infeksi. Aortitis mungkin tanpa gejala dan
terdeteksi sebagai dilatasi aorta di dada, sering disertai dengan kalsifikasi linear
10

dari dinding aorta, atau mungkin menyebabkan peregangan dan ketidakmampuan
katup aorta, kegagalan ventrikel kiri, atau formasi aneurisma. Aneurisma dapat
berhubungan dengan berbagai sindrom yang disebabkan oleh tekanan pada
struktur yang berdekatan di mediastinum, dan mereka dapat menyebabkan
kematian mendadak akibat pecah. Gejala lain termasuk angina pektoris dari
stenosis koroner ostial. Sifilis kardiovaskular lebih sering dikaitkan dengan
neurosifilis dibandingkan dengan penyakit guma.(7)

B. Neurosifilis
Neurosifilis dibagi menjadi empat macam:(1)
1. Neurosifilis asimtomatik.
2. Sifilis meningovaskular (sifilis serebrospinalis), misalnya meningitis,
meningomielitis, endarteritis sifilitika.
3. Sifilis parenkim: tabes dorsalis dan demensia paralitika.
4. Guma.

1. Neurosifilis asimtomatik
Neurosifilis asimtomatik perkembangan klinis penyakit jelas dan sepertiga
dari semua neurosifilis. Hal ini terjadi pada 10% dari pasien dengan penyakit laten
dan memiliki puncak insiden infeksi pada 12-18 bulan setelah infeksi. Itu beralih
secara spontan pada 70% pasien.(7)

2. Sifilis meningovaskular
Terjadi inflamasi vaskular dan perivaskular. Pembuluh darah di otak dan
medula spinalis mengalami endarteritis proliferatif dan infiltrasi perivaskular
berupa limfosit, sel plasma, dan fibroblas.(1)

Pembentukan jaringan fibrotik menyebabkan terjadinya fibrosis sehingga
perdarahannya berkurang akibat mengecilnya lumen. Selain itu juga dapat terjadi
trombosis akibat nekrosis jaringan karena terbentuknya guma kecil multipel.(1)
Sifilis meningovaskular paling sering terjadi antara 4 dan 7 tahun setelah
11

infeksi. Gambaran klinis hemiparesis, kejang dan refleks afasia beberapa daerah
infark dari difus.(7)

3. Sifilis parenkim
Termasuk golongan ini ialah tabes dorsalis dan demensia paralitika.(1)
a. Tabes dorsalis
Timbulnya antara delapan sampai dua belas tahun setelah infeksi pertama.
Kira-kira seperempat kasus neurosifilis berupa tabes dorsalis. Kerusakan terutama
pada radiks posterior dan funikulus dorsalis daerah torako-lumbalis. Selain itu
beberapa saraf otak dapat terkena, misalnya nervus optikus, nervus trigeminus,
dan nervus oktavus. Gejala klinis di antaranya ialah gangguan sensibilitas berupa
ataksia, arefleksia, gangguan virus, gangguan rasa nyeri pada kulit, dan jaringan
dalam. Gejala lain ialah retensi dan inkontinensia urin. Gejala tersebut terjadi
berangsur-angsur terutama akibat demielinisasi dan degenerasi funikulus
dorsalis.(1)

b. Demensia paralitika
Penyakit ini biasanya timbul delapan sampai sepuluh tahun sejak infeksi
primer, umumnya pada umur antara tiga puluh sampai lima puluh tahun.
Sejumlah 10-15% dari seluruh kasus neurofili s berupa demensia
paralitik.(1)
Prosesnya ialah meningoensefalitis yang terutama mengenai otak,
ganglia basal, dan daerah sekitar ventrikel ketiga. Lambat laun terjadi atrofi pada
korteks dan substansi alba sehingga korteks menipis dan terjadi hidrosefalus.(1)
Gejala klinis yang utama ialah demensia yang terjadi berangsur-angsur
dan progresif. Mula-mula terjadi kemunduran intelektual, kemudian kehilangan
dekorum, bersikap apatis, euforia, waham megaloman, dan dapat terjadi
depresif atau maniakal.(1)
Gejala lain di antaranya ialah disartria, kejang-kejang umum atau fokal,
muka topeng, dan tremor terutama otot-otot muka. Lambat laun terjadi
kelemahan, ataksia, gejala-gejala piramidal, inkontinensia urin, dan akhirnya
12

meninggal.(1)

4. Guma
Ini adalah lesi destruktif lokal granulomatosa yang biasanya terjadi tiga
sampai 12 tahun setelah sifilis primer. Dapat terjadi di hampir semua jaringan
tetapi kebanyakan biasanya muncul ketika mempengaruhi kulit atau tulang.(6)
Plak nodular atau papuloskuamous yang mungkin memborok, bentuk
lingkaran. Berkembang pesat menyebabkan kerusakan. Indolen dan jaringan parut
dan solitar. Kulit terutama pada kulit kepala, wajah, dada (sternoklavikular), betis.
Pada bagian dalam sistem kerangka (tulang kaki), orofaring, saluran pernapasan
atas (perforasi dari septum hidung, langit-langit), laring, hati, perut.(3)

C. Sifilis kongenital
Sifilis kongenital diperoleh dalam rahim dari ibu, yang biasanya memiliki
sifilis dari awal. Infeksi melalui plasenta biasanya terjadi setelah bulan keempat,
sehingga pengobatan ibu sebelum waktu ini akan mencegah infeksi pada janin.
Jika ibu memiliki sifilis dari awal dan infeksi kongenital terjadi segera setelah
bulan keempat, janin dapat mengalami kematian dan keguguran terjadi pada
sekitar 40% kehamilan.(5)
Wanita hamil dengan sifilis dapat menularkan infeksi ke janin. Transmisi
biasanya transplasental dan sangat mungkin selama dua tahun pertama infeksi.
Sekitar sepertiga dari bayi yang lahir dari ibu dengan sifilis awal lahir tanpa
infeksi dan sifilis kongenital, sepertiga kehamilan akan mengakibatkan keguguran
atau bayi lahir mati. Antara setengah juta dan satu juta kasus sifilis kongenital
terjadi setiap tahun di seluruh dunia, dan di beberapa negara miskin sumber daya
sampai seperlima kematian neonatal.(6)
Hampir semua kasus sifilis kongenital mudah dicegah oleh pemeriksaan
antenatal untuk sifilis dan pengobatan selama kehamilan. Bahkan di negara-
negara lain di mana ini adalah kondisi yang tidak biasa, peningkatan
dalam kasus-kasus baru dilaporkan. Sifilis kongenital diklasifikasikan baik
sebagai awal atau akhir sifilis kongenital tergantung apakah itu menunjukkan
13

sebelum atau setelah usia 2 tahun. Prognosis sangat buruk jika gejala sifilis yang
hadir dalam beberapa minggu pertama setelah kelahiran.(6)

1. Sifilis kongenital dini
Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula
bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada
tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T. pallidum. Bayi tampak
sakit. Bentuk ini adakalanya disebut pemfigus sifilitika.(1)
Manifetasi kulit yang paling umum terdiri dari lesi makulopapular merah
kecil, tangan dan kaki yang paling sering terkena. Deskuamasi dan pengerasan
kulit terjadi selama 1 sampai 3 minggu. Rhinitis mungkin merupakan awal
bagaimana gejala muncul setelah minggu pertama bayi lahir dan biasanya
sebelum akhir bulan ketiga. Lendir sering berupa darah dan infeksi bakteri
sekunder dapat terjadi. " Saddle nose " deformitas adalah salah satu stigmata akhir
dari penyakit, dan dapat terjadi ketika ulserasi mukosa hidung melibatkan hidung
tulang rawan. Semua lesi mukokutan dan pembuangan mengandung spiroket
berlimpah dan sangat menular. Setelah yang 2 atau 3 bulan usia pertama, perioral
dan daerah perineal mungkin dipengaruhi oleh lesi seperti kutil atau flat disebut
kondiloma lata yang dapat menyebabkan celah dalam dan dapat menyebabkan
bekas luka disebut rhagades. Lesi petekie dapat dilihat jika trombositopenia
hadir.(8)
Keterlibatan tulang sangat sering. Metafisis dan diapiseal bagian tulang
panjang yang biasanya dipengaruhi oleh periostitis dan demineralisasi kortikal,
sementara osteokondritis melibatkan sendi, terutama lutut, pergelangan kaki,
pergelangan tangan, dan siku. Osteokondritis dan periostitis mungkin
menyakitkan dan menunjukkan pseudoparalisis dari tungkai, yang mempengaruhi
lebih sering ekstremitas atas. Sebuah sindrom nefrotik dapat muncul pada 2 atau 3
bulan usia, dan dapat menyebabkan edema umum.(8)



14

2. Sifilis kongenital lanjut
Meskipun tidak ada batasa antara awal dan akhir sifilis kongenital, anak-
anak yang tampak normal saat lahir dan menunjukkan tanda-tanda pertama dari
penyakit setelah usia 2 tahun, menunjukkan gambaran klinis yang berbeda. Lesi
akhir sifilis kongenital terdiri dari dua jenis yaitu malformasi jaringan yang
mempengaruhi pertumbuhan dan suatu peradangan persisten.(5)
Termasuk stigmata, keratitis interstisial, sendi Clutton, gigi seri Hutchinson,
geraham murbei, lengkungan langit-langit yang tinggi, rhagades, tuli, bagian
frontal pada kepala, rahang yang pendek, tonjolan mandibula, deformitas
saddlenose, penebalan sternoklavikularis, haemoglobinuria paroksismal,
neurologis atau keterlibatan guma.(4)

3. Stigmata
Perubahan dalam bentuk bekas luka dan cacat yang disebabkan oleh infeksi
kongenital untuk kepentingan diagnostik dalam membedakan itu sifilis diperoleh.
7
A. Stigmata lesi dini.(1)
1. Gambaran muka yang menunjukkan saddlenose.
2. Gigi menunjukkan gambaran gigi insisor Hutchinson dan gigi
Mullberry
3. Ragades
4. Atrofi dan kelainan akibat peradangan
5. Koroidoretinitis, membentuk daerah parut putih dikelilingi pigmentasi
pada retina.

B. Stigmata dan lesi lanjut.(1)
1. Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels
2. Lesi tulang: sabre tibia, akibat osteoeriostitis
3. Atrofi optik, tersendiri tanpa iridoplegia
4. Ketulian syaraf
15


Gambar 6. Gigi Hutchinson(3)

VI. Pemeriksaan penunjang
Sebagai pembantu diagnosis ialah:
1. Pemeriksaan T.Pallidum
2. Tes Serologik Sifilis (T.S.S.)
3. Pemeriksaan yang lain(1)

1. Pemeriksaan T.Pallidum
Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari lesi kulit dan dilihat
bentuk dan pergerakannya dengan mikroskop lapangan gelap. Pemeriksaan
dilakukan tiga hari berturut-turut. Jika hasil pada hari I dan II negatif. Sementara
itu lesi dikompres dengan larutan NaCl. Bila negatif bukan selalu berarti
diagnosisnya bukan sifilis, mungkin kumannya terlalu sedikit. Treponema tampak
berwarna putih pada latar belakang gelap. Pergerakannya memutar terhadap
sumbunya, bergerak perlahan-lahan melintasi lapangan pandangan, jadi tidak
bergerak cepat seperti Borrelia vincentii penyebab stomatitis.(1)

2. Tes Serologik Sifilis (T.S.S.)

T.S.S. atau Serologic tests for Syphilis (S.T.S) merupakan pembantu
diagnosis yang penting bagi sifilis. T.S.S. dibagi menjadi dua berdasarkan antigen
yang dipakai:
a. Non Treponemal ( Tes reagin)
Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik, yaitu kardiolipin yang
dikombinasikan dengan lesitin dan kolesterol, karena itu tes ini dapat memberi
reaksi biologik semu. Contoh tes non treponemal: tes fiksasi komplemen
16

(Wasserman, Kolmer), tes flokulasi (VDRL, Kahn, RPR, ART dan RST).
Diantara tes- tes tersebut, yang dianjurkan ialah VDRL dan RPR secara
kuantitatif, karena teknis lebih mudah dan lebih cepat daripada tes fiksasi
komplemen, lebih sensitif daripada tes Kolmer/Wasserman, dan baik untuk
menilai terapi.(1)


b. Treponemal
1. Tes imobilisasi: TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test).
2. Tes fiksasi komplemen: RPCF (Reiter Protein Complement Fixation
Test).
3. Tes imunofluoresen: FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antibody
Absorbtion Test).
4. Tes hemoglutinasi: TPHA (Treponemal Pallidum Haemoglutination
Assay), 19S IgM SPHA (Solid-phase Hemabsorbtion Assay), HATTS
(Hemagglutination Treponemal Test for Syphilis), MHA-TP
(Microhemaglutination Assay for Antibodies to Treponema
pallidum).(1)
TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai kekurangan:
biayanya mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak. Selain itu juga
reaksinya lambat, baru positif pada akhir stadium primer, tidak dapat digunakan
untuk menilai hasil pengobatan, hasil dapat negatif pada sifilis dini dan sangat
lanjut.(1)

RPCF sering digunakan untuk tes screening karena biayanya murah;
kadang-kadang didapatkan reaksi positif semu.

FTA-Abs paling senstive (90%),
terdapat dua macam yaitu untuk IgM dan IgG sudah positif pada waktu timbul
kelainan S-I. TPHA merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena teknis dan
pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan sensitif, menjadi reaktifnya cukup
dini.(1)




17

3. Pemeriksaan yang lain
Sinar Rontgen dipakai untuk melihat kelainan khas pada tulang, yang
dapat terjadi pada S II, S III, dan sifilis kongenital. Juga pada sifilis
kardiovaskular, misalnya untuk melihat aneurismus aorta.(1)
Pada neurosifilis, tes koloidal emas sudah tidak dipakai lagi karena tidak
khas. Pemeriksaan jumlah set dan protein total pada likuor serebrospinalis hanya
menunjukkan adanya tanda inflamasi pada susunan saraf pusat dan tidak selalu
berarti terdapat neurosifilis. Harga normal ialah 0-3 sel/mm
3
, jika limfosit
melebihi 5/mm
3
berarti ada peradangan. Harga normal protein total ialah /20-40
mg/100 mm
3
, jika melebihi 40 mg/mm
3
berarti terdapat peradangan.(1)


a. Histopatologi
Perubahan patologis mendasar dalam sifilis sama pada awal dan akhir
penyakit. Terjadi didalam dan sekitar pembuluh darah infiltrasi perivaskuler
dibentuk dari limfosit dan plasma sel, disertai dengan proliferasi intimal di kedua
arteri dan vena (endarteritis obliterans).(7)

Pada lesi awal, infiltrasi perivaskuler oleh limfosit dan sel plasma disertai
dengan proliferasi intimal di arteri dan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
iskemia dan ulserasi. Organisme yang paling banyak pada dinding kapiler dan
pembuluh limfatik. Dapat ditunjukkan oleh noda perak Levaditi atau oleh
teknik fluoresens antibodi. Lesi kulit papular dari sifilis sekunder juga
menunjukkan endotel pembengkakan di kulit.(7)

Pada lesi, lesi karakteristik permukaan mukokutaneus adalah guma sifilis.
Granulasi bentuk jaringan dengan histiosit, fibroblas dan sel epiteloid. Obliterans
endarteritis dan daerah nekrosis. Guma paling sering berasal dalam jaringan
subkutan dan menyebar ke segala arah. Spirokat tidak mudah dibuktikan dalam
lesi ini.(7)

Arteritis Heubner yang terjadi pada jantung dan meningovaskular
sifilis. Hal ini ditandai dengan infiltrasi dari limfosit dan sel plasma dari vasorum
vasa dan adventisia besar. Oklusi hasil vasa vasorum di medial nekrosis dan
18

proliferasi fibroblas. Ada dikaitkan proliferasi subintimal, yang mengarah ke
luminal oklusi dan trombosis.(7)

Beberapa manifestasi sifilis (misalnya neuropati) yang immunecomplex
dimediasi.(7)


VII. Diagnosis
Organisme penyebab sifilis yaitu Treponema spirochete pallidum, tidak
dapat dengan mudah diidentifikasi di bawah mikroskop standar karena itu
diagnosis sangat tergantung pada teknik khusus dan serologi. Eksudat dari
chancre primer atau dari lesi selaput lendir sifilis sekunder dapat diperiksa
menggunakan mikroskop lapangan gelap untuk gerakan karakteristik dan
morfologi. Demonstrasi langsung spiroket menggunakan mikroskop lapangan
gelap memungkinkan diagnosis dini sifilis tetapi bergantung pada dokter yang
mencurigai dan melakukan pengujian pada lesi. Mikroskop lapangan gelap
kurang dapat diandalkan pada lesi selaput lendir karena adanya sapropitik yang
morfologisnya mirip spiroket. Immunofluoresen lebih sensitif dan tidak harus
segera dilakukan. Sementara pemeriksaan mikroskop lapangan gelap dan
immunofluoresen memberikan bukti langsung dari infeksi tidak tersedia secara
luas. Lebih umum sifilis didiagnosis dengan menggunakan kombinasi treponemal
dan serologi non- treponemal tes. Tes serologis hanya akan memberikan hasil
organisme tidak langsung diidentifikasi.(9)
Pengujian non treponemal termasuk pemeriksaan Veneral Disease Research
Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagin (RPR) tes. Ini adalah tes sensitif
yang mudah dianalisis, murah dan dapat diandalkan.(9)
Tes treponemal adalah Treponemal Enzim Immunoassay (EIA), T. Pallidum
Haemagglutination Assay (TPHA), T. Pallidium Particle Agglutination (TPPA ),
Fluorescent Treponemal Antibody Test (FTA - abs), dan T. pallidum recombinant
antigen line immunoassay. Enzim immunoassays Treponema pallidum antigen
menjadi lebih umum digunakan untuk skrining untuk sifilis. (9)


19

VIII. Diagnosis banding
1. Diagnosis banding S I
Dasar diagnosis S I sebagai berikut. Pada anamnesis dapat diketahui masa
inkubasi; gejala konstitusi tidak terdapat, demikian pula gejala setempat yaitu
tidak ada rasa nyeri. Pada afek primer yang penting ialah terdapat erosi/ulkus
yang bersih, solitar, bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi: T. pallidum
positif. Kelainan dapat nyeri jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional dapat
membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa supurasi. Tes
serologik setelah beberapa minggu bereaksi positif lemah.(1)

Sebagai diagnosis banding dapat dikemukakan berbagai penyakit.
a. Herpes simpleks
Penyakit ini residif dapat disertai rasa gatal nyeri, lesi berupa vesikel di alas
kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah tampak kelompok erosi,
sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat indurasi.(1)


Gambar 7. Herpes simpleks(3)

2. Ulkus piogenik
Akibat trauma misalnya garukan dapat terjadi infeksi piogenik. Ulkus
tampak kotor karena mengandung pus, nyeri, tanpa indurasi. Jika terdapat
limfadenitis regional disertai tanda-tanda radang akut dapat terjadi supurasi yang
serentak, dan terdapat leukositosis pada pemeriksaan darah tepi.(1)


Gambar 8. Ulkus piogenik(10)

20

3. Skabies
Pada skabies lesi berbentuk beberapa papul atau vesikel di genitalia
eksterna, terasa gatal pada malam hari. Kelainan yang sama terdapat pula pada
tempat predileksi, misalnya lipat jari, tangan, perianal. Orang-orang yang serumah
juga akan menderita penyakit yang sama.(1)


Gambar 9. Skabies(3)


4. Balanitis
Pada balanitis, kelainan berupa erosi superficial pada glans penis disertai
eritema, tanpa indurasi. Faktor predisposisi: diabetes melitus dan yang tidak
disirkumsisi.(1)


Gambar 10. Balanitis(3)


5. Limfogranuloma venereum (L.G.V.)
Afek primer pada L.G.V. tidak khas, dapat berupa papul, vesikel, pustul,
ulkus, dan biasanya cepat hilang. Yang khas ialah limfadenitis regional, disertai
tanda-tanda radang akut, supurasi tidak serentak, terdapat periadenitis. L.G.V.
disertai gejala konstitusi: demam, malaise, dan artralgia.(1)
21


Gambar 11. Limfogranuloma venereum(10)

6. Karsinoma sel skuamosa
Umumnya terjadi pada orang usia lanjut yang tidak disirkumsisi. Kelainan
kulit berupa benjolan-benjolan, terdapat indurasi, mudah berdarah. Untuk
diagnosis, perlu biopsi.(1)


Gambar 12. Karsinoma sel skuamosa(3)

7. Penyakit Behcet
Ulkus superficial, multipel, biasanya pada skrotum/labia. Terdapat pula
ulserasi pada mulut dan lesi pada mata.(1)


Gambar 13. Penyakit Behcet(3)


2. Diagnosis banding S II
Dasar diagnosis S II sebagai berikut. S II timbul enam sampai delapan
minggu sesudah S I. Seperti telah dijelaskan, S II ini dapat menyerupai berbagai
22

penyakit kulit. Untuk membedakannya dengan penyakit lain ada beberapa
pegangan. Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah pernah menderita luka
di alat genital (S I) yang tidak nyeri.(1)
Klinis yang penting umumnya berupa kelainan tidak gatal. Pada S II dini
kelainan generalisata, hampir simetrik, telapak tangan/kaki juga dikenai. Pada S II
lambat terdapat kelainan setempat, berkelompok, dapat tersusun menurut susunan
tertentu, misalnya: arsinar, polisiklik, korimbiformis. Biasanya terdapat
limfadenitis generalisata. Tes serologik positif kuat pada S II dini, lebih kuat lagi
pada S II lanjut.(1)

Seperti telah diterangkan, sifilis dapat menyerupai berbagai penyakit karena
itu diagnosis bandingnya sangat banyak, tetapi hanya sebagian yang akan
diuraikan.(1)
a. Erupsi obat alergik
Pada anamnesis dapat diketahui timbulnya alergi karena obat yang dapat
disertai demam. Kelainan kulit bermacam-macam, di antaranya berbentuk eritema
sehingga mirip roseala pada S II. Keluhannya gatal, sedangkan pada sifilis
biasanya tidak gatal.(1)


Gambar 14. Erupsi obat(2)


b. Morbili
Kelainan kulit berupa eritema seperti pada S II. Perbedannya: pada morbili
disertai gejala konstitusi (tampak sakit, demam), kelenjar getah bening tidak
membesar.(1)

23


Gambar 15. Morbili (3)

c. Pitiriasis rosea
Terdiri atas banyak bercak eritematosa terutama di pinggir dengan skuama
halus, berbentuk lonjong, lentikular, susunannya sejajar dengan lipatan kulit.
Penyakit ini tidak disertai limfadenitis generalisata seperti pada S II.(1)


Gambar 16. Pitiriasis Rosea(3)


d. Psoriasis
Persamaannya dengan S II: terdapat eritema dan skuama. Pada psoriasis
tidak didapati limfadenitis generalisata; skuama berlapis-lapis serta terdapat tanda
tetesan lilin dan Auspitz.(1)


Gambar 17. Psoriasis(3)

24

e. Dermatitis seboroika
Persamaannya dengan S II ialah terdapatnya eritema dan skuama.
Perbedaannya pada dermatitis seboroik; tempat predileksinya pada tempat
seboroik, skuama berminyak dan kekuning-kuningan, tidak disertai limfadenitis
generalisata.(1)

Gambar 18. Dermatitis seboroika(3)


f. Kondiloma akuminatum
Penyakit ini mirip kondiloma lata, kedua-duanya berbentuk papul.
Perbedaannya: pada kondiloma akuminata biasanya permukaannya runcing-
runcing, sedangkan papul pada kondiloma lata permukaannya datar serta
eksudatif.(1)


Gambar 19. Kondiloma akuminatum(5)


g. Alopesia areata
25

Kebotakan setempat; penyakit ini mirip alopesia areolaris pada S II.
Perbedaannya: pada alopesia areata lebih besar (numular) dan hanya beberapa,
sedangkan alopesia areolaris lebih kecil (lentikular) dan banyak serta seperti
digigit ngengat.(1)


Gambar 20. Alopesia areata(3)


3. Diagnosis banding S III
Kelainan kulit yang utama pada S III ialah guma. Guma juga terdapat pada
penyakit lain: tuberkulosis, frambusia, dan mikosis profunda. Tes serologik pada
S III dapat negatif atau positif lemah, karena itu yang penting ialah anamnesis,
apakah penderita tersangka menderita S I atau S II dan pemeriksaan
histopatologik.(1)
Mikosis dalam yang dapat menyerupai S III ialah sporotrikosis dan
aktinomikosis. Perbedaannya: pada sporotrikosis berbentuk nodus yang terletak
sesuai dengan perjalanan pembuluh getah bening, dan pada pembiakan akan
ditemukan jamur penyebabnya. Aktinomikosis sangat jarang di Indonesia.
Penyakit ini juga terdiri atas infiltrat yang melunak seperti guma S III.
Lokalisasinya khas yakni di leher, dada, dan abdomen. Kelainan kulitnya berbeda,
yakni terdapat fistel multipel; pada pusnya tampak butir-butir kekuningan yang
disebut sulfur granules. Pada biakan akan tumbuh Actinomyces.(1)
Tuberkulosis kutis gumosa mirip gums S III. Cara membedakannya dengan
pemeriksaan histopatologik. Demikian pula frambusia stadium lanjut. Guma S III
bersifat kronis dan destruktif, karena itu kelainan tersebut mirip keganasan. Cara
membedakannya dengan pemeriksaan histopatologik.(1)

26






Gambar 21. Sporotrikosis(10) Gambar22. Aktinomikosis(10)








Gambar 23. Tuberkulosis kutis(10) Gambar 24. Frambusia(10)


IX. Penatalaksanaan
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan
selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini
mungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi bermaksud
mencegah proses lebih lanjut.(1)
Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain.(11-13)
1. PENISILIN
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat menembus
placenta sehingga mencegah infeksi. Pada janin dan dapat menyembuhkan janin
yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis.(1)
Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:(1)
a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat
jam, jadi bersifat kerja singkat.
b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat
(PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
27

c. Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juta unit akan bertahan dalam
serum dua sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.
Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral tidak
dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan
suntikan.

Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-
masing; yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan yang
ketiga biasanya setiap minggu.(1)

Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G
benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu.
Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua
18-24 juta unit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.

Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam
akua 100.000-150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg
B.B., i.m., setiap hari selama 10 hari.(1)

Sifilis Pengobatan
Sifilis primer

1.Penisilin G benzatin 4,8 juta unit secara I.M satu kali
seminggu
2.Penisilin G prokain dalam akua 0,6 juta unit/hari selama
10 hari
3.PAM 1,2 juta unit/kali , 2 kali seminggu
Sifilis laten

1.Penisilin G benzatin dosis total 7,2 juta unit
2.Penisilin G prokain dalam akua 0,6 juta unit/hari
3.PAM 1,2 juta unit/kali , 2 kali seminggu
Sifilis III

1.Penisilin G benzatin dosis total 9,6 juta unit
2.Penisilin G prokain dalam akua 0,6 juta unit/hari
3.PAM 1,2 juta unit/kali , 2 kali seminggu
Tabel 1. Penatalaksanaan Sifilis(1)


Reaksi Jarish-Herxheimer
Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer.
Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh
28

hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T. paffidum yang
coati. Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi
setelah enam sampai dua belas jam pada suntikan penisilin yang pertama.(1)
Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya
ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi,
nyeri kepala, artralgia, malaise, berkeringat, dan kemerahan pada muka. Gejala
lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat
agak nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh sampai dua belas
jam tanpa merugikan penderita pada S I.(1)
Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema
glotis pada penderita dengan guma di laring, penyempitan arteria koronaria pada
muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu juga
dapat terjadi ruptur aneurisma atau ruptur dinding aorta yang telah menipis yang
disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang berlebihan akibat
penyembuhan yang cepat.(1)
Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid,
contohnya dengan prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan
sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta
dan diberikan dua sampai tiga hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan
dua sampai tiga hari kemudian.(1)


2. ANTIBIOTIK LAIN
a. Tetracyclin 4 x 500 mg/hari selama 30 hari
b. Eritromisin 4 x 500 mg/hari selama 30 hari
c. Doksisiklin 2 x 100 mg/hari selama 30 hari
d. Sefaleksin 4 x 500 mg sehari selama 15 hari
e. Sefaloridin I.M 2 gr sehari selama 10-14 hari
f. Azitromisin 500 mg sehari sebagai dosis tunggal selama 10 hari(1)



29

X. PROGNOSIS
Tingkat penyembuhan sifilis dengan pengobatan awal lebih baik
dari 95%. Pengobatan jangka panjang bisa membuahkan hasil yang sangat baik.
Pada sifilis lanjut, infeksi biasanya ditemukan meskipun bakteri mungkin bertahan
di tempat yang tersembunyi (misalnya mata dan sistem saraf). Selama fungsi
kekebalan tubuh baik, sifilis jarang mengakibatkan gejala sisa. Pada HIV-positif
dan pasien immunocompromised lainnya memiliki prognosis buruk, namun
dibutuhkan studi jangka panjang pada pasien tersebut.(7)























30

DAFTAR PUSTAKA

1. Natahusada EC, Djuanda A. Sifilis. In: Djuanda PDdA, Hamzah dM, Aisah PDdS,
editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 5 ed2010. p. 393-413.
2. Kim SJ, Lee JH, Lee ES, Kim IH, Park HJ, Shin C, et al. A case of secondary
syphilis presenting as multiple pulmonary nodules. The Korean Association of Internal
Medicine. 2013;28:231-5.
3. K W, A.J.R, D S. Diseases Due To Microbial Agent. Fitzpatrick's Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology. 5 ed2007. p. 919-31.
4. Kingston M, French P, Goh B, Goold P, Higgins S, Sukthankar A, et al. UK
National Guidelines on the Management of Syphilis International Journal of STD/AIDS.
2008;19:729-40.
5. James WD, G.Berger T, M.Elston D. Syphilis. Andrew's Diseases of The Skin:
Clinical Dermatology. 10 ed2006. p. 353-62.
6. French P. Syphilis. BMJ Clinical Review. 2007:143-7.
7. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Syphilis and Bacterial Sexually
Transmitted Infections. Rook's Textbook of Dermatology. 8 ed2010. p. 34.1-.24.
8. Santis MD, Luca CD, Mappa I, Spagnuolo T, Licameli A, Straface G, et al.
Syphilis Infection during Pregnancy: Fetal Risk and Clinical Management. Infection
Diseases in Obstetrics and Gynecology. 2012:1-5.
9. R.Emerson C. Syphilis : A Review of the Diagnosis and Treatment. The Open
Infection Diseases Journal. 2009:143-7.
10. Prof.Dr.R.S. Siregar SKK. Syphilis. Atlas Berwarna SARIPATI Penyakit Kulit. 2
ed2002. p. 301-6.

Anda mungkin juga menyukai