Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masalah pada pasien kritis dengan penurunan kesadaran.

Salah satu kontraktur. Apa penyebabnya bisa kontraktur???

Data kontraktur pada pasien di ICU??

Penanganan/ solusi yang ditawarkan???

Salah satu efek dari pemberian sedasi pada pasien kritis yang dirawat di
ruang intensif adalah penurunan kesadaran. Hal tersebut bisa berdampak pada
penurunan mobilitas pada pasien sehingga dalam jangka waktu yang lama akan
menyebabkan pemendekan jaringan ikat dan otot sehingga bisa menyebabkan
kontraktur sendi (Sjamsuhidajat & de Jong, 2004) (diarahkan
yang sering mengalami kontraktur, adalah area plantar fleksi.)
Kontraktur adalah hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi
secara pasif maupun aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis jaringan penyokong,
otot dan kulit (Dorland, 2010). Penyebab utama kontraktur pada pasien kritis
adalah tidak ada atau kurangnya mobilisasi sendi akibat suatu keadaan antara lain
ketidakseimbangan kekuatan otot, penyakit neuromuskular, penyakit degenerasi,
luka bakar, luka trauma yang luas, inflamasi, penyakit kongenital, ankilosis dan
nyeri. Banyaknya kasus penderita yang mengalami kontraktur dapat dikarenakan
penderita yang kurang disiplin untuk melakukan mobilisasi sedini mungkin dan
kurangnya pengetahuan tenaga medis untuk memberikan terapi pencegahan. Efek
kontraktur menyebabkan terjadinya gangguan fungsional, gangguan mobilisasi
dan gangguan aktifitas kehidupan sehari-hari (Sjamsuhidajat & de Jong, 2004),
sehingga dapat menurunkan kualitas hidup seseorang (Meyers, Tina et al. 2008).
Pasien yang menjalani perawatan di ruang intensif memiliki resiko
mengalami kontraktur plantar fleksi. Kontraktur plantar fleksi merupakan output
negatif dari efek sedasi dalam tata laksana medis,. Hasil studi kasus yang
dilakukan pada pasien kritis yang dirawat di Intensive Care Unit RSUP Dr.
Kariadi Semarang menunjukkan bahwa pasien dengan penurunan kesadaran
mengalami imobilisasi atau keterbatasan rentang gerak. Fenomena yang
ditemukan yaitu pasien dengan penurunan kesadaran (coma) mengalami
kontraktur pada sendi kaki. Hal ini dapat disebabkan karena pasien dalam kondisi
tirah baring yang lama dan sendi kaki dalam keadaan kontraksi tanpa adanya
mobilisasi atau pergerakan dari pasien. Keterlambatan ambulasi dini pada pasien
akan menyebabkan kontraktur yang permanen, kehilangan daya tahan, penurunan
massa otot, atrofi, dan penurunan aktifitas. Jika hal di atas tidak ditanggulangi
maka akan memperpanjang proses pemulangan pasien dan berakibat fatal hingga
harus dilakukan pembedahan (Potter & Perry, 2005).
Penanganan untuk mencegah kontraktur dapat dilakukan dengan cara
konservatif. Salah satunya yaitu dengan positioning. Positioning penderita yang
tepat dapat mencegah terjadinya kontraktur dan keadaan ini harus dipertahankan
sepanjang waktu selama penderita dirawat di tempat tidur. Posisi dan penggunaan
program pemeliharaan kekuatan dan ketahanan diperlukan agar pemeliharaan
tercapai dan untuk mencegah kontraktur sendi yang rekuren (Hesperian, 2009;
Sjamsuhidajat & de Jong, 2004).
Perawat merupakan salah satu tenaga dari tim pelayanan kesehatan yang
keberadaannya paling dekat dengan pasien dan mempunyai peran penting dalam
mengatasi masalah melalui proses perawatan. Mengingat pasien di ruang Intensive
Care Unit merupakan satu kesatuan dari bio psiko sosial spiritual dan perlu
mendapatkan perhatian khusus dari perawat guna meningkatkan kesehatan dan
mencegah komplikasi lebih lanjut, perawat dituntut memiliki wawasan yang luas,
terampil, dan sikap professional dalam memberikan asuhan keperawatan.

B. RUMUSAN MASALAH
Kontraktur merupakan suatu keadaan patologis tingkat akhir dari suatu
kontraksi. Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya mobilisasi
sendi akibat suatu keadaan antara lain ketidakseimbangan kekuatan otot, penyakit
neuromuskular, penyakit degenerasi, luka bakar, luka trauma yang luas, inflamasi,
penyakit kongenital, ankilosis dan nyeri.
Studi fenomena yang diperoleh pada pasien di ruang Intensive Care Unit
RSUP Dr. Kariadi Semarang yaitu terjadinya kontraktur pada sendi kaki akibat
tirah baring yang lama atau lebih dari 5 hari. Kontraktur (plantar fleksi) sendi kaki
tersebut terjadi pada pasien dengan penurunan kesadaran yaitu coma yang hanya
memungkinkan adanya sedikit pergerakan pada sendi kaki karena tidak adanya
perintah dari otak untuk menggerakkan kaki.
Pasien dengan keterbatasan gerak harus memperoleh perhatian khusus dari
perawat guna mencegah komplikasi lebih lanjut, salah satunya yaitu kontraktur.
Penulis tertarik untuk membuat suatu alat yang berfungsi untuk mencegah
terjadinya kontraktur pada pasien dengan keterbatasan maupun kurang gerak. Alat
yang dibuat berupa bantalan pada kaki yang membantu kaki dalam posisi
meregang. Bantalan ini membantu kaki tidak berada dalam posisi kontraksi yang
terus-menerus. Alat ini diharapkan dapat membantu mempertahankan posisi
optimal dan fungsi sendi khususnya sendi kaki pada pasien. Alat tersebut akan
diuji efektivitasnya pada pasien yang dirawat di ruang Intensive Care Unit
khususnya yang memiliki keterbatasan gerak.
Adanya masalah seperti yang telah diuraikan di atas serta ide pembuatan
bantalan kaki menarik peneliti untuk mengetahui efektivitas bantalan kaki untuk
mencegah terjadinya kontraktur pada sendi kaki di ruang Intensive Care Unit
RSUP Dr. Kariadi Semarang.

C. TUJUAN
Mengetahui efektivitas bantalan kaki untuk mencegah kontraktur pada sendi
kaki.
D. MANFAAT
1. Bagi profesi keperawatan
Hasil penelitian yang diperoleh dapat menjadi masukan bagi pelayanan
keperawatan untuk mencegah komplikasi pada pasien dengan keterbatasan
gerak melalui pemberian bantalan kaki ini.
2. Bagi rumah sakit
Hasil penelitian yang diperoleh dapat menjadi suatu inovasi yang digunakan
di rumah sakit untuk mencegah terjadinya kontraktur pada sendi kaki.
3. Bagi peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan
yang berharga bagi peneliti sehingga dapat menerapkan pengalaman ilmiah
yang diperoleh untuk penelitian di masa mendatang.














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Kontraktur
a. Definisi kontraktur
Kontraksi merupakan suatu proses yang normal pada proses
penyembuhan luka, sedangkan kontraktur merupakan suatu keadaan
patologis tingkat akhir dari suatu kontraksi. Umumnya kontraktur terjadi
apabila pembentukan sikatrik berlebihan dari proses penyembuhan luka.
Definisi kontraktur adalah hilangnya atau kurang penuhnya
lingkup gerak sendi secara pasif maupun aktif karena keterbatasan
sendi, fibrosis jaringan penyokong, otot dan kulit. ( sumber 1)
Kontraktur merupakan suatu keadaan patologis tingkat akhir dari
suatu kontraksi. Umumnya kontraktur terjadi apabila pembentukan
sikatrik berlebihan dari proses penyembuhan luka. Kontraktur adalah
hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi secara pasif
maupun aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis jaringan penyokong,
otot dan kulit.
Kontraktur didefinisikan sebagai pemendekan otot secara adaptif
dari otot/jaringan lunak yang melewati sendi sehingga menghasilkan
keterbatasan lingkup gerak sendi.
Banyaknya kasus penderita yang mengalami kontraktur
dikarenakan kurangnya disiplin penderita sendiri untuk sedini mungkin
melakukan mobilisasi dan kurangnya pengetahuan tenaga medis untuk
memberikan terapi pengegahan, seperti perawatan luka, pencegahan
infeksi, proper positioning dan mencegah immobilisasi yang lama. Efek
kontraktur menyebabkan terjadinya gangguan fungsional, gangguan
mobilisasi dan gangguan aktifitas kehidupan sehari-hari.
(2,8)


b. kontraktur plantar flexi
Plantar flexi adalah suatu kondisi posisi kaki dimana kaki menjadi lurus
pada pergelangan kaki atau membentuk posisi dengan sudut yang lebih
kecil. (anatomi dna fisiologi untuk pemula. Ethel Sloane. EGC :
Jakarta.2004). Plantar flexi terjadi akibat hilangnya rangsangan yang
mempersarafi otot tibia anterior yang bertanggung jawab untuk
mendorsofleksikan pergelangan kaki, sehingga terjadilah kelemahan
kaki. ketika kaki melemah maka akan mengikuti gaya grafitasi sehingga
kaki menjadi jatuh dan membentuk sudut yang kecil.

c. etiologi kontraktur
Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya
mobilisasi sendi akibat suatu keadaan antara lain imbalance kekuatan
otot, penyakit neuromuskular, penyakit degenerasi, luka bakar, luka
trauma yang luas, inflamasi, penyakit kongenital, ankilosis dan nyeri.
(1,2,3,4,5,6)
Banyaknya kasus penderita yang mengalami kontraktur
dikarenakan kurangnya disiplin penderita sendiri untuk sedini mungkin
melakukan mobilisasi dan kurangnya pengetahuan tenaga medis untuk
memberikan terapi pencegahan, seperti perawatan luka, pencegahan
infeksi, proper positioning dan mencegah immobilisasi yang lama.
Efek kontraktur menyebabkan terjadinya gangguan fungsional,
gangguan mobilisasi dan gangguan aktifitas kehidupan sehari-hari.

d. Patofisiologi kontraktur
Apabila jaringan ikat dan otot dipertahankan dalam posisi
memendek dalam jangka waktu yang lama, serabut-serabut otot dan
jaringan ikat akan menyesuaikan memendek dan menyebabkan
kontraktur sendi. Otot yang dipertahankan memendek dalam 5-7 hari
akan mengakibatkan pemendekan perut otot yang menyebabkan
kontraksi jaringan kolagen dan pengurangan jaringan sarkomer otot.
Bila posisi ini berlanjut sampai 3 minggu atau lebih, jaringan ikat
sekitar sendi dan otot akan menebal dan menyebabkan kontraktur.

e. Pencegahan pada kontraktur
Hal utama yang dipertimbangkan untuk terapi kontraktur
adalah pengembalian fungsi dengan cara menganjurkan penggunaan
anggota badan untuk ambulasi dan aktifitas lain. Menyingkirkan
kebiasaan yang tidak baik dalam hal ambulasi, posisi dan penggunaan
program pemeliharaan kekuatan dan ketahanan, diperlukan agar
pemeliharaan tercapai dan untuk mencegah kontraktur sendi yang
rekuren. Penanganan kontraktur dapat dliakukan secara konservatif
dan operatif :
Konservatif
1. Proper positioning
Positioning penderita yang tepat dapat mencegah terjadinya
kontraktur dan keadaan ini harus dipertahankan sepanjang waktu
selama penderita dirawat di tempat tidur. Posisi yang nyaman
merupakan posisi kontraktur. Program positioning antikontraktur
adalah penting dan dapat mengurangi udem, pemeliharaan fungsi dan
mencegah kontraktur.
o Leher : ekstensi / hiperekstensi
o Bahu : abduksi, rolasi eksterna
o Antebrakii : supinasi
o Trunkus : alignment yang lurus
o Lutut : lurus, jarak antara lutut kanan dan kiri 20 derajat
o Sendi panggul tidak ada fleksi dan rolasi eksterna
o Pergelangan kaki : dorsofleksi

2. Tretching
Kontraktur ringan dilakukan strectching 20-30 menit,
sedangkan kontraktur berat dilakukan stretching selama 30 menit
atau lebih dikombinasi dengan proper positioning. Berdiri adalah
stretching yang paling baik, berdiri tegak efektif untuk stretching
panggul depan dan lutut bagian belakang.
3. Splinting/bracing
Mengingat lingkup gerak sendi exercise dan positioning
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan pada luka bakar,
untuk mempertahankan posisi yang baik selama penderita tidur atau
melawan kontraksi jaringan terutama penderita yang mengalami
kesakitan dan kebingungan.
5. Pemanasan
Pada kontraktur otot dan sendi akibat scar yang disebabkan
oleh luka bakar, ultrasound adalah pemanasan yang paling baik,
pemberiannya selama 10 menit per lapangan. Ultrasound
merupakan modalitas pilihan untuk semua sendi yang tertutup
jaringan lunak, baik sendi kecil maupun sendi besar.

f. Dampak kontraktur
Plantar kaki (datar) dapat mengganggu gaya berjalan. kaki datar sering
menyebabkan pembentukan kalus pada kaput talus, dimana kulit
menekan sisi samping dari sepatu.

g. Alat pengukur kontraktur
pengkajian sistem persendian dengan pemeriksaan luas gerakan sendi
baik aktif maupun pasif menggunakan alat yang disebut goniometer.
cara menggunakan :
- jika sendi diekstensikan maksimal namun masih ada sisa fleksi, luas
gerakan ini dianggap terbatas. keterbatasan ini dapat disebabkan
oleh kontraktur
- jika gerakan sendi mengalami gangguan atau nyeri, harus diperiksa
adanya kelebihan cairan dalam kapsulnya (efusi), pembengkakan
dan inflamasi (Willms, 1994).

2. Foot board
a. Prinsip kerja alat
Foot board adalah sebuah papan penahan kaki yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya foot drop atau plantar fleksi. Pada pasien
dengan penurunan kesadaran posisi anatomis kaki akan terganggu
sehingga terjadi foot drop. Prinsip kerja alat ini adalah dengan
memposisikan kaki menjadi anatomis dengan memberikan tahanan
pada telapak kaki (plantar).
Posisi anatomis kaki adalah dorso plantar, dimana dengan
memberikan tahanan pada kaki akan membentuk posisi kaki menjadi
dorso plantar.


b. Teori yang mendasari
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, kemampuan
mempersarafi anggota tubuh akan berkurang juga, sehingga posisi
tubuh akan jatuh mengikutu gaya grafitasi bumi. Pada pergelangan
kaki posisi anatomis disebut dorsofleksi plantar dan posisi mengikuti
grafitasi disebut plantar fleksi.
Untuk menciptakan posisi yang anatomis maka kaki perlu di
posisikan dorsofleksi plantar secara pasif, dimana posisi anatomis ini
tidak dilakukan oleh saraf pada otot motorik kaki yaitu dengan
menggunakan bantalan atau tahanan yang di letakkan pada plantar
kaki. Tahanan berfungsi mencegah foot drop sehingga posisi kaki
tetap anatomis. Posisi kaki anatomis dorsofleksi membentuk derajat
90
0
, sudut ini bisa diciptakan secara pasif dengan bantuan tahan ini.

c. Alat dan bahan
Bahan yang dipilih untuk membuat foot board ini prinsipnya
padat namun empuk sehingga memberikan tahanan pada kaki namun
tikad menimbulkan tekanan friksi yang besar pada plantar.
Bahan yang akan digunakan berupa busa dengan pori-pori
kecil sehingga bentuk dan kepadatannya terjaga. Busa ini akan di
bungkus dengan menggunakan pelindung berbahan platik campuran
karet untuk mempermudah membersihkannya dan menjaga
kenyamanan kaki. selain itu untuk mencegah perubahan posisi kaki,
maka digunakan sabuk untuk menahan posisi kaki agar tidak berubah.












BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh
pemberian bantalan pada telapak kaki untuk memposisikan dorsal fleksi
terhadap rentang gerak sendi di pergelangan kaki. Penelitian ini merupakan
penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan penelitian Pre-
Experimental Designs dengan pendekatan One- Group Pretest-Posttest
Design. Rancangan tersebut merupakan penelitian yang tidak ada kelompok
pembanding (kontrol), tetapi sudah dilakukan observasi pertama (pre-test)
yang memungkinkan peneliti dapat menguji perubahan-perubahan yang
terjadi setelah adanya intervensi atau perlakuan (Notoatmodjo, 2010). Dimana
rentang gerak sendi pergelangan kaki pasien diukur menggunakan goniometer
sebelum dan setelah diberikan perlakuan berupa memposisikan dorsal fleksi
dengan bantal. Bentuk rancangan penelitiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 Rancangan Penelitian One- Group Pretest-Posttest Design di Ruang
ICU RSUP dr.Kariadi, Semarang.
Subjek Pre-test Perlakuan Post-tes
K O1 X O2
Keterangan:
K : subjek
O1 : Observasi pada saat pre-tes
O2 : Observasi setelah post-tes
X : Intervensi/perlakuan


B. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
1. Populasi
Populasi dalam penelitian adalah keseluruhan subjek penelitian yang
memenuhi seperangkat kriteria yang ditetapkan peneliti (Sugiyono,
2001). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien di ruang ICU
RSUP dr.Kariadi dengan gangguan mobilitas fisik.
2. Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 pasien di ruang
ICU RSUP dr.Kariadi dengan gangguan mobilitas fisik. Dalam suatu
penelitian keperawatan, kriteria sampel dibutuhkan agar tidak
menyimpang dari populasinya. Kriteria yang dicantumkan meliputi
kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang membantu peneliti dalam
mengambil sampel yang digunakan.
28

a. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi merupakan kriteria yang perlu dipenuhi subjek
penelitian agar dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010).
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Responden yang mengalami gangguan mobilitas fisik
2) Responden yang mengalami penurunan kesadaran
3) Responden yang mengalami kelemahan ekstremitas bawah
4) Responden menjadi subjek penelitian setelah penanggung
jawab pasien (keluarga) menandatangani persetujuan tertulis
yang telah dibuat (informed consent)
b. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi merupakan kriteria subjek penelitian yang tidak
dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010).

Hal ini
disebabkan antara lain subjek menolak berpartisipasi, hambatan
etis, adanya keadaan yang mengganggu pengukuran ataupun
interpretasi hasil dan keadaan subjek yang tidak mungkin dilakukan
penelitian atau sulit untuk ditindaklanjuti.
29
Kriteria eksklusi dalam
penelitian ini, yaitu:
1) pasien dengan kontraindikasi dilakukan gerakan dorsal fleksi
3. Teknik Pengambilan Sampel
Pemilihan subyek penelitian adalah secara purposive sampling dimana
pasien dengan hambatan mobilitas fisik di ruang ICU RSUP dr.Kariadi
Semarang. Sampel pada penelitian ini menggunakan total sampling dalam
pengambilan sampel penelitian dengan jumlah 3 responden (Supriyanto,
2007).
C. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Lokasi penelitian di ruang ICU RSUP dr.Kariadi Semarang. Penelitian ini
difokuskan kepada pasien dengan gangguan mobilitas fisik.
No Variabel
Definisi
Operasional
Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 Rentang
gerak sendi
Rentang gerak
sendi diukur
dalam derajat
lingkaran
dengan sendi
itu dipusatnya.
Goniometer Hasil ukur dalam satuan
derajat (
o
)

rasio

D. ALAT PENELITIAN DAN CARA PENGUMPULAN DATA
Alat ukur menggunakan Goniometer, sebelumnya peneliti melakukan
pengkajian terkait kondisi pasien yang memungkinkan dilakukan intervensi.
Peneliti melakukan pre-test dan melakukan pengukuran rentang gerak sendi
pada pergelangan kaki pasien sebelum diberikan perlakuan/intervensi.
Semua data yang sudah didapat yaitu data demografi pasien dan hasil
pengukuran rentang gerak sendi sebelum dan sesudah intervensi dilakukan.

E. TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA
1. Teknik pengolahan data
Pengolahan data hasil penelitian dilakukan melalui tahap-tahap
sebagai berikut:
a. Editing
Dalam hal editing, peneliti melakukan pemeriksaan
keseluruhan hasil pengukuran rentang gerak sendi dan data
demografi serta tidak terdapat kesalahan lain yang
mengganggu pengolahan data selanjutnya (Notoatmodjo,
2010).

Peneliti melakukan editing menyeluruh di lapangan
khususnya hasil ukur rentang gerak sendi.
b. Coding
Peneliti mengklasifikasi jawaban-jawaban yang ada
menurut macamnya. Klasifikasi dilakukan dengan jalan
menandai masing-masing jawaban yang ada dengan kode
berupa angka kemudian dimasukkan ke dalam tabel sehingga
mudah dibaca (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini,
peneliti memberi angka atau kode tertentu sehingga
memudahkan pada saat memasukkan data ke program
komputer. Misalkan untuk responden laki-laki diberi kode 1,
perempuan diberi kode 2.
c. Data Entry
Peneliti memasukkan data jawaban kuesioner sesuai
kode yang telah ditentukan pada setiap variabel dengan
menggunakan program computer (Sugiyono, 2001). Untuk
responden laki-laki diberi kode 1, perempuan diberi kode 2,
hasil ukur rentang gerak sendi berupa skala rasio.
d. Data Clearing
Pembersihan data dilakukan setelah semua data dari
responden selesai dimasukkan dan dicek kembali apakah ada
kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya hingga
dilakukan pembetulan atau koreksi (Arikunto, 2006).
2. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian kuantitatif ini
antara lain :
a. Analisis Univariat
Data yang telah diolah akan dianalisis secara deskriptif dengan
menggunakan program computer (Sugiyono, 2001). Pada
penelitian ini, dari analisis univariat yang dilakukan akan
didapatkan gambaran hasil ukur rentang gerak sendi dan
distribusi frekuensi karakteristik reponden.
b. Analisis Bivariat
Pada Peneliti melakukan uji normalitas sebelum
menganalisis data. Uji normalitas data dilakukan dengan
menggunakan uji shapiro-wilk jika data kurang dari 50, jika
jumlah data lebih dari 50 maka dapat dilakukan uji
Kolmogorov smirnov. Uji ini bertujuan untuk menguji apakah
sebaran data yang ada dalam distribusi normal atau tidak. Jika
data menunjukkan distribusi normal maka dapat dilakukan
teknik analisis uji t dependent/paired sampel t test , apabila
data berdistribusi tidak normal, maka menggunakan uji
Wilcoxon dengan taraf kesalahan 5%.

F. PROSEDUR QIP??????

G. ETIKA PENELITIAN
Kuesioner yang disebarkan pada responden menekankan prinsip etis dalam
penelitian meliputi:
1. Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Informed consent merupakan cara yang dipakai untuk perlindungan
kepada hak responden yang telah menyetujui untuk menjadi subjek
penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan yang telah dibuat
sebelumnya setelah peneliti menjelaskan prosedur penelitian. Perjanjian
ini memuat aspek hak keterlibatan responden, klarifikasi, publikasi dan
risiko potensial yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh bantalan pemberi dorongan dorsal flexi terhadap rentang gerak
sendi. (Nursalam, Pariati S, 2001).
2. Kerahasiaan (Confidentiality) dan Tanpa Nama (Anonimity)
Peneliti memberikan jaminan atas kerahasiaan dari hasil penelitian.
Jaminan kerahasiaan pada hasil penelitian merupakan bagian dari etika
keperawatan yang wajib dilakukan. Maka untuk menjaga kerahasiaan
nama responden diganti dengan kode atau nomor responden seperti R1,
R2, R3, dan seterusnya. Kode tersebut diisi sendiri oleh peneliti,
sehingga orang lain tidak mengetahuinya dan kerahasiaannya dapat
terjaga. Selain itu, file yang berisi informasi mengenai responden yang
tersimpan dalam komputer dilindungi oleh password yang hanya
diketahui oleh peneliti (Nursalam, Pariati S, 2001).
3. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination)
Responden mempunyai hak memutuskan apakah bersedia menjadi
responden ataupun tidak, tanpa adanya sangsi apapun. Pada prosesnya
terdapat beberapa responden yang menolak untuk tidak ikut dalam
penelitian. Peneliti kemudian mencari responden yang bersedia ikut
serta dalam penelitian ini (Nursalam, Pariati S, 2001).





REFERENSI
Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2004. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC

Dorland, W.A Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Ed.31 (Alih Bahasa:
AlbertusAgung Mahode). Jakarta: EGC

Potter, P.A, Perry, A.G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Edisi 4. Volume 2. Alih Bahasa : Renata Komalasari, dkk.
Jakarta :EGC

Hesperian. 2009. Contractures: Limbs That No Longer Straighten. Diakses dari
http://hesperian.org/wp-content/uploads/pdf/en_dvc_2009/en_dvc_2009_08.pdf pada
tanggal 17 Mei 2014.

Katalinic OM, Harvey LA, Herbert RD. 2011. On Effectiveness of stretch for the
treatment and prevention of contractures. Phys Ther. 2011;91:11-24. Downloaded
from http://ptjournal.apta.org/ by guest on May 18, 2014.

Meyers, Tina et al. 2008. Strategies to Prevent Heel Ulcers and Plantar Flexion
Contractures in the Ventilated Patient. Diakses dari http//:www.yumpu.com pada
tanggal 18 Mei 2014
Sugiyono. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. 2001.
Soekidjo Notoatmodjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
2010.
Supriyanto, J. Teknik Sampling untuk Survei & Eksperimen. Jakarta: Rineka Cipta.
2007.
Nursalam, Pariati S. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: CV
Sagung Seto. 2001.

Anda mungkin juga menyukai