Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I
PENDAHULUAN
Sejak permulaan sejarah yang tersurat mengenai umat manusia, sudah dikenal
hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam zaman
modern, hubungan ini disebut hubungan kesepakatan terapeutik antara dokter dan penderita
(pasien) yang dilakukan dalam suasana saling percaya mempercayai (konfidensial) serta
senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.
Sejak terwujudnya sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta
mengetahui adanya beberapa sifat mendasar (fundamental) yang melekat secara mutlak pada
diri seorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran
budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan sosial, serta kesejawatan
yang tidak diragukan.
Inhotep dari Mesir, Hippocrates dari Yunani, Galenus dari Roma, merupakan
beberapa ahli pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan sendi-sendi permulaan untuk
terbinanya suatu tradisi kedokteran yang mulia. Beserta semua tokoh dan organisasi
kedokteran yang tampil ke forum internasional, kemudian mereka bermaksud mendasarkan
tradisi dan disiplin kedokteran tersebut alas suatu etik profesional. Etik tersebut, sepanjang
masa mengutamakan penderita yang berobat serta demi keselamatan dan kepentingan
penderita. Etik ini sendiri memuat prinsip-prinsip, yaitu: beneficence, non maleficence,
autonomy dan justice.
Etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan alas norma-norma etik yang mengatur
hubungan manusia umumnya, dan dimiliki asas-asasnya dalam falsafah masyarakat yang
diterima dan dikembangkan terus. Khusus di Indonesia, asas itu adalah Pancasila yang sama-
sama kita akui sebagai landasan Idiil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan
struktural.
Dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu
kedokteran, para dokter Indonesia baik yang tergabung secara profesional dalam Ikatan
Dokter Indonesia, maupun secara fungsional terikat dalam organisasi bidang pelayanan,
pendidikan serta penelitian kesehatan dan kedokteran, dengan Rakhmat Tuhan Yang Maha
Esa, telah merumuskan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).
2

BAB II
SKENARIO KASUS
Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya datang ke tempat praktek dokterA, seorang
dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter obsgin B sewaktu
melahirkan, dan anaknya menderita penyakit atau cedera sewaktu lahir dan dirawat disana.
Sepuluh hari pasca lahir orang tua bayi menemukan benjolan dipundak kanan bayi.
Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai
penunjangnya, pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah berbentuk
kalus. Kepada dokter A mereka meminta kepastian apakah benar terjadi patah tulang
klavikula, dan kapan kira-kira terjadinya. Bila benar bahwa patah tulang tersebut terjadi
sewaktu kelahiran, mereka akan menuntut dokter B karena telah mengakibatkan patah tulang
dan C karena lalai tidak dapat mendiagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C
kurang kompeten sehingga sebaiknya ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A
berpikir apa yang sebaiknya ia katakan.

3

BAB III
PEMBAHASAN

I. Aspek Hukum
Beberapa undang-undang yang mengatur mengenai kelalaian medik pada kasus ini adalah
sebagai berikut:
KUH Perdata Pasal 1365
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.

KUH Perdata Pasal 1366
Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-
hatiannya

KUH Perdata Pasal 1367
Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya.

Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 55
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan.

KUH Perdata Pasal 1371
Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena
kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-
biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau
cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan
kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan.
4


Pasal 7 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kewajiban
pelaku usaha adalah:

o Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
o Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Di bidang pidana juga ditemukan pasal-pasal yang menyangkut kelalaian, yaitu :

KUHP Pasal 360
(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-
luka sedemikianrupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda
paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

KUHP Pasal 361
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah
dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan,
dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.





5

II. Kode Etik
Etik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari moralitas.
1
Kata etik atau etika berasal
dari dua kata bahasa Latin, yaitu kata mores dan ethos. Umumnya sebagai rangkaian :
mores of community (kesopanan masyarakat) dan ethos of the people (akhlak manusia).
Mengenai etik kedokteran ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Etik jabatan kedokteran (medical ethics)
2. Etik asuhan kedokteran (ethics of the medical care)
Etik jabatan kedokteran menyangkut masalah yang berhubungan dengan sikap
para dokter terhadap sejawat, para pembantunya serta terhadap masyarakat dan
pemerintah. Dalam hal ini sebenarnya setiap profesi mempunyai etikanya masing-masing
sehingga dikenal juga etik kehakiman, etik kewartawanan, dan sebagainya. Etik asuhan
kedokteran, yang merupakan etik kedokteran dalam kehidupan sehari-hari, adalah
peraturan tentang sikap dan tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi
tanggung jawabnya.
Dapat dikatakan bahwa etik jabatan termasuk mores, sedangkan etik asuhan
termasuk ethos. Akan tetapi, harus ditekankan bahwa kedua istilah tersebut saling
berkaitan satu sama lain.
2
Etika menyangkut manusia secara pribadi atau sebagai individu dan etika
menyangkut juga manusia dalam hubungan-hubungan sosialnya. Dalam konteks sosial,
etika secara khusus penting dalam pelaksanaan profesi karena melalui profesinya
manusia mengerjakan sesuatu terhadap masyarakat atauy sesama tertentu yang bisa
membawa kebaikan atau keburukan untuk mereka.
3

III. Etika Kedokteran

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu
sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas.
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu
keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules
dibawahnya. Keempat kaidah dasar moral tersebut adalah :
4

6


1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consent.
2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan
ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan
saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi
buruknya (mudharat).
3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan paasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau
above all do no harm.
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

Dari empat kaidah dasar moral tersebut, yang utama adalah prinsip non-maleficence
dimana terdapat makna do no harm artinya tindakan medis yang dilakukan oleh seorang
dokter tidak boleh memperburuk kondisi pasien. Namun dari semua prinsip tersebut yang
mempunyai peran paling penting adalah prinsip otonomi karena pada akhirnya prinsip
otonomi merupakan penentu suatu tindakan medis dilakukan atau tidak melalui adanya
informed consent.
Pada kasus ini, prinsip otonomi yang dimiliki pasien yang merupakan seorang bayi
tidak berlaku dan diambil alih oleh orang tuanya karena bayi tersebut dianggap belum
kompeten atau belum mampu mengambil keputusan. Sehingga dokter A harus membuat
informed consent dan menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai tindakan medis yang
akan dilakukan.

IV. Hubungan Dokter-Pasien
Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran,
sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau
rambu-rambu hubungan tersebut.
4

Pada awalnya hubungan dokter pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistik,
dengan prisip moral beneficience. Sifat hubungan paternalistik ini kemudian dinilai telah
7

mengabaikan nilai otonomi pasien, dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan
moral (orang barat) saat ini, sehingga berkembanglah teori kontraktual (sekitar tahun
1972-1975). Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori social contract di bidang
politik. Veatch (1972) mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang
bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas yang dalam membuat keputusan,
tetapi saling merhargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas segala keputusan
teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan yang penting, terutama yang
terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan
terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun
juga memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan
kepada dokter.
4

Walaupun hubungan dokter pasien ini bersifat kontraktual, namun mengingatkan sifat
praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut
bukanlah hasil yang akan dicapai (resultaat verbintennis) melainkan upaya nya sungguh-
sungguh (inspaining verbintennis). Hubungan kontrak semacam ini harus dijaga dengan
peraturan perundang-undangan dan mengacu kepada suatu standard. Oleh karena itu sejak
sebelum Masehi telah ada code of Hammurabi yang mengancam dengan pidana dokter
yang karena salahnya telah mengakibatkan cedera atau matinya pasien.
Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai
hubungan dokter-pasien maka smith dan newton (1984) lebih memilih hubungan yang
berdasarkan atas virtue sebagai ubungan yang paling cocok bagi hubungan dokter pasien.
Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter-pasien menjadi peraturan dan
kewajiban saja, sehingga dokter dianggap baik bila ia telah melakukan kewajiban
dan peraturan . Hubungan kontrak tidak lagi mengindahkan emphaty, compassion,
perhatian, keramahan, kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dan lain-lain
yang merupakan bagian dari virtue-based ethics.
Hubungan dokter-pasien yang virtue-based dirumuskan bahwa hubungan itu
bertumbuh dan berkembangsedemikian rupa sehingga tidak salah satupun ketentuan yang
ditentukan pada pemulaan dapat menentukan masa depan. Komunikasi yang baik dokter-
pasien membutuhkan prinsip-prinsip moral, termasuk informed concent yang berasal dari
prinsip autonomy.

8

V. Hubungan Rekan Sejawat
Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) terdapat 4 kewajiban seorang
dokter dalam menjalani profesinya dan salah satunya itu adalah mengenai kewajiban
terhadap teman sejawat. Pasal-pasal dalam KODEKI yang mengatur mengenai kewajiban
terhadap teman sejawat adalah sebagai berikut:
4

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan dalam menangani pasien.
Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak
tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia ingin
diperlakukan.
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

Dalam kasus ini, diketahui pasien (bayi) menderita fraktur klavikula kanan yang oleh
ibunya dicurigai disebabkan karena kelalaian medis yang telah dilakukan oleh dokter B
dan dokter C. Tindakan kita sebagai dokter A tidak boleh langsung menghakimi dan
menyatakan kedua dokter tersebut lalai dan mendukung si ibu untuk menuntut mereka,
karena kita tidak tahu pasti kejadian yang telah dialami pasien sebelumnya dan tindakan
apa yang telah dilakukan kedua dokter tersebut. Selain itu, dokter B yang merupakan
dokter obsgyn dan dokter C yang merupakan dokter anak seharusnya cukup kompeten
untuk dapat mendiagnosa kelainan tersebut, kecil kemungkinan mereka untuk melakukan
kelalaian berdasarkan keilmuan dan kompetensi yang sudah mereka miliki.

Karena itu, jalan keluar terbaik adalah meminta si ibu untuk datang kembali kepada
dokter B dan dokter C untuk menanyakan langsung serta meminta penjelasan terhadap
kelainan yang terjadi pada si bayi, apakah fraktur terjadi saat kelahiran atau terjadi karena
trauma setelah lahir.


9

VI. Informed Consent
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif
antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang
tidak akan dilakukan terhadap pasien. Tujuan dari informed consent adalah agar pasien
mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan
dilaksanakan. Jika dilihat dari aspek hukum, ini bukanlah perjanjian antara dua pihak,
melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.
4

Perkembangan terakhir di Indonesia mengenai PTM adalah ditetapkannya Peraturan
Menteri Kesehatan No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
(informed consent).
Informed consent dapat diberikan secara dua bentuk, yaitu:
Expressed atau dinyatakan.
o Dinyatakan secara lisan.
o Dinyatakan secara tertulis.
Implied atau tidak dinyatakan. Pada hal ini pasien tidak menyatakan baik secara lisan
maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku yang menunjukkan jawabannya.
Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah dinyatakan sebelumnya,
dan tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan dilakukan.
Dokter dapat bertindak melebihi dari yang telah disepakati hanya apabila dalam keadaan
gawat darurat dan keadaan tersebut membutuhkan waktu singkat untuk mengatasinya.
Informed consent memiliki tiga elemen, yaitu:
Threshold elements, yaitu pemberi consent harus seseorang yang kompeten, yang
berkapasitas untuk membuat keputusan medis. Secara hukum, seorang yang dianggap
kompeten adalah seorang yang telah dewasa (usia mencapai 21 tahun atau telah
pernah menikah), sadar, dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah
pengampuan. Keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila seorang
memiliki penyakit mental sedemikian rupa, atau perkembangan mental yang
terbelakang sehingga kemampuan membuat keputusannya terganggu.
10

Information elements, terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan
understanding (pemahaman). Informasi dapat dinilai baik untuk diberikan kepada
pasien dapat dilihat dari tiga standar, yaitu:
o Standar Praktek Profesi, bahwa kewajiban memberikan informasi dan criteria
keadekuatan informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam
komunitas tenaga medis.
o Standar Subjektif, bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang
dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus
memadai pasien tersebut dalam membuat keputusan.
o Standar pada Reasonable Person, merupakan hasil kompromi dari kedua
standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan
telah memenuhi kebutuhan orang awam.
Consent elements, terdiri dari dua bagian, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan)
dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan,
misrepresentasi ataupun paksaan.
Informed consent tidak berlaku pada beberapa keadaan, sebagai berikut:
Keadaan darurat medis.
Ancaman terhadap kesehatan masyarakat.
Pelepasan hak memberikan consent (waiver).
Clinical privilege.
Pasien yang tidak kompeten memberikan consent.
Pada keadaan contextual circumstances, yaitu contohnya pada seorang yang dianggap
sudah pikun, memiliki mental lemah untuk menerima kenyataan, dan dalam keadaan terminal
sering mempengaruhi pola perolehan informed consent. Selain itu, pengaruh budaya
Indonesia atau budaya Timur juga sangat terasa, karena dalam budaya ini cenderung terjadi
penyerahan kuasa kepada pendapat umum di kelompoknya. Umumnya, keputusan medis
dipahami sebagai proses dalam keluarga, sehingga persetujuan tindakan medis umumnya
diberikan oleh keluarga dekat pasien oleh karena pasien cenderung untuk menyerahkan
permasalahan medisnya kepada keluarga terdekatnya. Hal ini juga terlihat pada rahasia
kedokteran.

11

HAL-HAL YANG DIINFORMASIKAN
Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi
yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut.
Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi.
Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari
beberapa pilihan tersebut.
Rujukan/ konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan
dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien
tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu
melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter
lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.
Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan,
biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak
mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa
yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang
dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari
informed consent.

12

PASIEN INKOMPETEN
Pada beberapa keadaan, pasien tidak dapat memutuskan sendiri. Karena dianggap tidak
berkompeten. Pasien yang tidak berkompeten atau inkompeten adalah mereka yang tidak
mampu membuat keputusan untuk diri mereka sendiri seperti anak, individu dengan
gangguan psikologi atau neurologi berat dan pasien yang tidak sadar. Mengikuti WMA
declaration of the patient, apabila pasien tidak mampu membuat keputusan untuk dirinya
sendiri, perlulah mendapat kebenaran dari wakilnya. Apabila tidak dapat ditemukan wakil
dan pasien memerlukan tindak medis segera,dokter perlulah memikirkan bahwa pasien sudah
bersetuju dengan tindakan yang bakal dilakukan melainkan telah tercatat bahwa pasien tidak
bersetuju dengan tindakan tersebut sebelumnya. Apabila pasien adalah anak, hak diberikan
kepada mereka yang bertanggung jawab terhadapnya. Namun, pasien harus ikut serta dalam
pembuatan keputusan dan memahami tindakan yang bakal dilakukan.

VII. Kelalaian Medik
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus merupakan
bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi bila
seseorang melakukan sesuatu yang seharusnta tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang mempunyanyai kualifikasi yang sama pada
keadaan yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-
orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum kecuali apabila dilakukan oleh
orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati dan telah
mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.
1,5

Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut
World Medical Association (1992), yaitu: medical malpractice involves the physicians
failure to conform to the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of
skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to
the patient. WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat
malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya
(unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi
mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek. An
injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not
13

the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward
result, for which the physician should not bear any liability.
Sebagaimana diuraikan di atas, di dalam suatu layanan medik dikenal gugatan ganti
kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian medik. Suatu perbuatan atau tindakan medis disebut
sebagai kelalaian apabila memenuhi empat unsur di bawah ini:
1) Duty. Dasar dari adanya kewajiban ini adalah adanya hubungan kontraktual-
profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban
umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga
medis tersebut.
2) Dereliction of the duty. Dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu standar
pelayanan tertentu, harus ditentukan terlebih dahulu tentang kualifikasi si pemberi
layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana.
Suatu standar pelayanan umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang harus
diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-kadang suatu standar juga
melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (das sollen). Dalam hal ini
harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan What is right (or wrong)
for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an
identical situation.
3) Damage. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu yang dirasakan oleh
pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh
pemberi layanan. Jadi, unsur kerugian ini sangat berhubungan erat dengan unsur
hubungan sebab-akibatnya. Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan kerugian
immateriel. Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa kerugian yang nyata dan
kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian yang nyata adalah real
cost atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan/pengobatan penyakit atau cedera
yang diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan sampai saat gugatan diajukan maupun
biaya yang masih akan dikeluarkan untuk perawatan/pemulihan. Kerugian juga dapat
berupa kerugian akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of
opportunity). Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel
sebagai akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang.
14

4) Direct causal relationship. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara
penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan proximate
cause.
Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya keempat
unsur di atas, dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat dibuktikan maka gugatan
tersebut dapat dinilai tidak cukup bukti.

VIII. Dampak Penuntutan Hukum
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa
melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggungjawaban (etik dan disiplin
profesinya). Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas,
profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi
yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan
kedokteran. MKEK dalam perjalanannya telah diperkuat dengan landasan hukum yang diatur
dalam UU No.18 tahun 2002 tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI),
lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No.29/2004, akan menjadi majelis yang
menyidangkan dugaan/pelanggaran disiplin profesi kedokteran. MKDKI bertujuan
menegakkan disiplin dokter atau dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran.
Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah disiplin pofesi, yaitu permasalahan yang timbul
akibat dari pelanggaran seseorang professional atas peraturan internal profesinya, yang
menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya
menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut
kepada MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses
persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya
berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI,sedangkan gugatan
perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan
15

umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat
diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa dipengadilan tanpa adanya keharusan saling
berhubungan diantara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK
belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan
anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai
penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian
sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap
berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh:
Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya
yang dibutuhkan.
Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah / brevet
dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin
Praktek Tenaga Medis, Perijinan Rumah Sakit tempat kejadian, bukti hubungan
dokter dengan Rumah Sakit, hospital by laws SOP dan SPM setempat, rekam medis,
dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak
dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam
bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan
kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan
tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Eksekusi Putusan MKEK Wilayah
dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi
yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan
setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah
menjalankan putusan.



16

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

Etik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari moralitas. Etik harus dibedakan dengan
sains yang mempelajari moralitas, yaitu etik deskriptif. Etik deskriptif mempelajari
pengaturan empiris tentang moralitas atau menjelaskan pandangan moral yang saat itu
berlaku tentang issue-issue tertentu.
Etik terbagi ke dalam etik normatif dan metaetik (etik analitik). Pada etik normatif,
para filosof mencoba menegakkan apa yang benar secara moral dan mana yang salah secara
moral dalam kaitannya dengan tindakan manusia. Pada metaetik, para filosof memperhatikan
analisis kedua konsep moral di atas.
Bioetika adalah salah satu cabang dari etik normatif di atas. Bioetik atau biomedical
ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran dan atau penelitian di bidang
biomedics.
Etika kedokteran
Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain
mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar (kebutuhan fisiologis, kebutuhan psikologis,
kebutuhan sosial, kebutuhan kreatif dan spiritual), keputusan hendaknya juga
mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan
juga pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas, terutama kebutuhan kreatif dan spiritual
pasien.
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu
sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian
baik, buruk, benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang
cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah
teori deontologi dan teleologi. Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu
perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan teleologi
mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasilnya atau akibatnya (D
huma, J Bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan pada ajaran agama, tradisi, dan
budaya, sedangkan teleologi lebih kepada azas manfaat (aliran utilitarian).
17

Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu
keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules
dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral tersebut adalah
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consent.
2. Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficience tidak hanya dikenal perbuatan
untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih
besar daripada sisi buruknya.
3. Prinsip non-maleficience, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau
above all do no harm.
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur, dan terbuka), privacy
(menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien), fidelity
(loyalitas dan promise keeping).
Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman dalam
mengambil keputusan klinis, professional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai
panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Nilai-nilai dalam etika
profesi tercermin di dalam sumpah dokter dank ode etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan
suatu kontrak moral antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik
kedokteran berisikan kontrak kewajiban moral antara dokter dengan peer-groupnya, yaitu
masyarakat profesinya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia
Kodeki terdiri dari 4 kewajiban, yaitu kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien,
kewajiban terhadap teman sejawat dan kewajiban terhadap diri sendiri. Bunyi pasal-pasalnya
adalah sbb:
1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah
dokter.
18

2. Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar yang tertinggi.
3. Dalam melaksanakan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
4. Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
5. Setiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemakan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.
6. Setiap dokter senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-
hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
7. Setiap dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.
7a. Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa
kasih sayang (compassion) dan penghormatan atau martabat manusia.
7b. Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien.
7c. Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.
7d. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani.
8. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang
menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative), baik fisik maupun
psiko-sosial,, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang
sebenar-benarnya
19

9. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
10. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib
merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
11. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam
masalah lainnya.
12. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
13. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
14. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia ingin
diperlakukan
15. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atauberdasarkan prosedur yang etis.
16. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik.
17. Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran/kesehatan.








20

BAB V
KESIMPULAN

Pada kasus ini, didapatkan orang tua dari pasien bayi baru lahir yang diduga
menderita fraktur klavikula kanan yang tidak diketahui kapan terjadinya. Orangtua bayi
datang ke dokter A untuk meminta kejelasan apakah fraktur tersebut disebabkan oleh
kelalaian dokter B dan C dan jika memang benar, orangtua bayi akan menuntut kedua dokter
tersebut.
Yang dapat kita lakukan sebagai dokter A adalah menjalankan prosedur pemeriksaan
secara benar untuk memastikan apakah benar terjadi patah tulang klavikula pada bayi, dan
menjelaskan kondisi pasien sejujurnya pada orangtua bayi tanpa menyalahkan pihak tertentu.
Sebagai dokter, kita tidak boleh menyalahkan rekan sejawat karena itu melanggar kewajiban
dokter terhadap teman sejawat. Yang dapat kita lakukan adalah menginformasikan kepada
orang tua tentang kondisi pasien dan selanjutnya menyarankan orang tua untuk kembali pada
dokter B dan C agar mengklarifikasikan kondisi yang terjadi pada pasien bayi tersebut.












21

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik Dan Hukum Kedokteran. 2
nd
ed. Jakarta:
Pustaka Dwipar; 2007. p.24
2. Samil RS. Etika Kedokteran Indonesia. 2
nd
ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2001. p.6
3. Bertens K. Etika Biomedis. Yogyakarta: Kanisius; 2011. P. 35-6
4. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik Dan Hukum Kedokteran. 2
nd
ed. Jakarta:
Pustaka Dwipar; 2007. p. 79-85.
5. Sampurna B. Kelalaian Medik. Available at: http://www.freewebs.com/kelalaianmedik.
Accessed on April 18, 2013.

Anda mungkin juga menyukai