Anda di halaman 1dari 24

1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1
BAB I PENDAHULUAN 2
BAB II LAPORAN KASUS 3
BAB III PEMBAHASAN
A. ASPEK HUKUM 4
B. ASPEK ETIKA 8
C. PROSEDUR TINDAKAN MEDIS 10
D. INFORMED CONSENT 11
E. REKAM MEDIS 15
F. PROSEDUR TERAPI 19
G. DAMPAK HUKUM 21
BAB IV KESIMPULAN 23
DAFTAR PUSTAKA 24

2

BAB I
PENDAHULUAN
Etika menyangkut manusia secara pribadi atau sebagai individu. Etika juga
menyangkut manusia dalam hubungan-hubungan sosial. Dalam konteks sosial, etika secara
khusus penting dalam pelaksanaan profesi karena melalui profesinya manusia mengerjakan
sesuatu terhadap masyarakat atau sesama tertentu yang bisa membawa kebaikan atau
keburukan untuk mereka berdasarkan keahlian dan sebagai tugas.
Sejak permulaan sejarah etika di Yunani kuno dan terutama pada Aristoteles, sudah
ditekankan bahwa etika merupakan cabang satu-satunya filsafat yang bersifat praktis, karena
bicara tentang tingkah laku manusia tentang yang boleh dilakukan atau tidak boleh
dilakukan.
1
Kode Etik kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969 dalam
Musyawarah Kerja Susila Kedokteran yang dilaksanakan di Jakarta. Bahan rujukan yang
digunakan adalah Kode Etik Kedokteran Internasional yang telah disempurnakan pada tahun
1968 melalui Muktamar ke-22 Ikatan Dokter Sedunia. Kata etik atau etika berasal dari dua
kata bahasa Latin, yaitu kata mores dan ethos. Umumnya sebagai rangkaian mores of
community (kesopanan masyarakat) dan ethos of the people (akhlak manusia). Mengenai etik
kedokteran ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu etik jabatan kedokteran (medical
ethics) dan etik asuhan kedokteran (ethics of the medical care).
Etik jabatan kedokteran menyangkut masalah yang berhubungan dengan sikap para
dokter terhadap sejawat, para pembantunya, serta terhadap masyarakat dan pemerintahan.
Etik asuhan kedokteran, yang merupakan etik kedokteran dalam kehidupan sehari-hari adalah
peraturan tentang sikap dan tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi
tanggung jawabnya.
2
3

BAB II
LAPORAN KASUS

Seorang pasien berusia 62 tahun datang ke rumah sakit dengan karsinoma kolon yang
telah terminal. Pasien masih cukup sadar berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar
posisi kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini. Ia juga memiliki
pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya di rawat di ICU dengan peralatan
bermacam-macam tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya
memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu ia meminta kepada dokter apabila dia
mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan
ICU dll), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia
menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.
4

BAB III
PEMBAHASAN

A. ASPEK HUKUM
Hak dan Kewajiban dokter-pasien
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 diatur hak dan
kewajiban dokter serta hak dan kewajiban pasien sebagai berikut:

1) Kewajiban Dokter (dalam Pasal 51)
- Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien
- Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan sesuatu
pemeriksaan atau pengobatan.
- Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal
- Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya
- Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi

2) Hak Dokter (dalam pasal 50)
- Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional
5

- Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional
- Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya
- Menerima imbalan jasa

3) Kewajiban Pasien (dalam pasal 53)
- Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
- Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter
- Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan
- Memberi imbalan jasa atas pelayanan yang diterima

4) Hak Pasien (dalam pasal 52)
- Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
- Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
- Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
- Menolak tindakan medis
- Mendapatkan isi rekam medis
3


Informed Consent
Informed consent diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No
585/MenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik pasal 1-15, berikut
dicantumkan salah satu pasalnya :
- Pasal 1
6

a. Persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
b. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien
berupa diagnostik atau terapeutik.
c. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh.
d. Dokter adalah dokter umum/dokter spesialis dan dokter gigi/dokter gigi
spesialis yang bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik atau praktek
perorangan/bersama.
3

Praktik Kedokteran
- Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45 ayat 3
Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat semua tindakan medis yang akan
dilakukan harus sesuai persetujuan. Dalam hal ini mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

- Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 52
Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
7

b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.

Rekam Medis dan Rahasia Kedokteran
- Permenkes No: 269/MENKES/PER/III/2008
Yang dimaksud rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen
antara lain identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan,
serta tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien

- Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Rekam Medis
Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteranwajib
membuat rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera
dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan
petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.

Pasal 47
(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan
milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi
rekam medis merupakan milik pasien.
8

(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan
dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Rahasia Kedokteran Pasal 48
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
wajib menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan
Pasien memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
perundangundangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan
Peraturan Menteri.
3


B. ASPEK ETIKA
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik-buruk atau benar-salahnya suatu
sikap atau perbuatan seseorang/ individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-
buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang
cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang, yaitu
teori deontologi dan teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, deontologi
mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri
(I Kant), sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat
hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan
9

kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teleologi lebih ke arah penalaran
(reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu
keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules
dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral tersebut adalah :
1. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai "primum non nocere" atau
"above all do no harm".
2. Princip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan
ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan
saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi
buruknya (mudharat);
3. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consent;
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka),
privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan
fidelity (loyalitas dan promise keeping).
Pada kasus ini, pasien meminta kepada dokter apabila ia mendekati ajalnya agar
menerima terapi yang minimal saja dan ingin mati dengan tenang dan wajar. Berdasarkan 4
kaidah dasar moral di atas, kita harus menghormati otonomi pasien sesuai dengan prinsip
otonomi pada poin ke-3. Dalam hal ini, juga perlu diperhatikan kompetensi pasien dalam
10

mengambil suatu keputusan. Pada skenario didapatkan informasi bahwa pasien masih cukup
sadar dan berpendidikan cukup tinggi, ini berarti pasien dianggap masih cukup kompeten
untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan pikiran jernih dan akal sehatnya.
Selain kaidah dasar moral, terdapat tiga masalah utama yang sering dihadapi di dalam
etika profesi kedokteran, yaitu keadilan distributif, keadilan sosial, dan dilema moral. Pada
kasus ini, masalah yang dialami dokter termasuk ke dalam dilema moral, dimana terdapat
dilema antara harus berbuat yang terbaik untuk menyelamatkan jiwa pasien dan menghormati
otonomi pasien. Tetapi perlu diingat pemanjangan hidup pasien tanpa diimbangi kualitas
hidup juga tidak baik. Menghormati otonomi pasien dengan tetap mengutamakan
kenyamanan pasien mungkin merupakan hal yang terbaik.
4


C. PROSEDUR TINDAKAN MEDIS
Prosedur tindakan medis adalah hal-hal yang harus dilakukan dalam tindakan medis.
Hal pertama yang dilakukan adalah pasien harus diperiksa oleh dokter untuk menentukan
penyakit yang diderita. Pada kasus ini yang diperiksa adalah apakah benar pasien ini
menderita kanker kolon stadium terminal. Setelah diagnosis ditegakkan, dokter akan
menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit, penatalaksaan dan prognosis penyakit
tersebut tetapi harus menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien. Informasi
mengenai penatalaksaan haruslah jelas dan detail. Pasien harus mengetahui apa yang akan
terjadi jika ia memilih penatalaksaan tersebut dan apa yang akan terjadi jika ia tidak memilih
penatalaksaan tersebut. Setelah pasien memahami mengenai penyakitnya, pasien boleh
memutuskan penatalaksaan apa yang ia ingin pilih. Pasien memang diberikan hak untuk
memilih penatalaksaan karena mengingat hak otonomi pasien (pasien berhak menentukan
11

nasibnya sendiri). Hak ini beraku juga dengan tindakan-tindakan medik yang bertujuan
diagnostik yang bersifat invasif harus mendapat persetujuan dari pasien terlebih dahulu.

Pada kasus ini, pasien menderita kanker kolon stadium terminal. Ini berarti kanker
sudah mengenai organ-organ lain. Dan pasien dengan sadar mengatakan yang ia pilih adalah
perawatan paliatif, yaitu perawatan yang hanya bertujuan untuk mengurangi penderitaan
hidup pasien dan demi kenyamanan pasien. Karena pasien sendiri yang memutuskan, sebagai
dokter harus menghargai hak pasien dan membantu pasien agak merasa lebih nyaman di
akhir hidupnya.
4

D. INFORMED CONSENT
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif
antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang
tidak akan dilakukan terhadap pasien. Tujuan dari informed consent adalah agar pasien
mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan
dilaksanakan. Jika dilihat dari aspek hukum, ini bukanlah perjanjian antara dua pihak,
melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.
Perkembangan terakhir di Indonesia mengenai PTM adalah ditetapkannya Peraturan
Menteri Kesehatan No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
(informed consent).
Informed consent dapat diberikan secara dua bentuk, yaitu:
Expressed atau dinyatakan.
o Dinyatakan secara lisan.
12

o Dinyatakan secara tertulis.
Implied atau tidak dinyatakan. Pada hal ini pasien tidak menyatakan baik secara lisan
maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku yang menunjukkan jawabannya.
Informed consent memiliki tiga elemen, yaitu:
Threshold elements, yaitu pemberi consent harus seseorang yang kompeten, yang
berkapasitas untuk membuat keputusan medis. Secara hukum, seorang yang dianggap
kompeten adalah seorang yang telah dewasa (usia mencapai 21 tahun atau telah
pernah menikah), sadar, dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah
pengampuan. Keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila seorang
memiliki penyakit mental sedemikian rupa, atau perkembangan mental yang
terbelakang sehingga kemampuan membuat keputusannya terganggu.
Information elements, terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan
understanding (pemahaman). Informasi dapat dinilai baik untuk diberikan kepada
pasien dapat dilihat dari tiga standar, yaitu:
o Standar Praktek Profesi, bahwa kewajiban memberikan informasi dan criteria
keadekuatan informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam
komunitas tenaga medis.
o Standar Subjektif, bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang
dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus
memadai pasien tersebut dalam membuat keputusan.
o Standar pada Reasonable Person, merupakan hasil kompromi dari kedua
standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan
telah memenuhi kebutuhan orang awam.
13

Consent elements, terdiri dari dua bagian, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan)
dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan,
misrepresentasi ataupun paksaan.
Informed consent tidak berlaku pada beberapa keadaan, sebagai berikut:
Keadaan darurat medis.
Ancaman terhadap kesehatan masyarakat.
Pelepasan hak memberikan consent (waiver).
Clinical privilege.
Pasien yang tidak kompeten memberikan consent.
Pada keadaan contextual circumstances, yaitu contohnya pada seorang yang dianggap
sudah pikun, memiliki mental lemah untuk menerima kenyataan, dan dalam keadaan terminal
sering mempengaruhi pola perolehan informed consent. Selain itu, pengaruh budaya
Indonesia atau budaya Timur juga sangat terasa, karena dalam budaya ini cenderung terjadi
penyerahan kuasa kepada pendapat umum di kelompoknya. Umumnya, keputusan medis
dipahami sebagai proses dalam keluarga, sehingga persetujuan tindakan medis umumnya
diberikan oleh keluarga dekat pasien oleh karena pasien cenderung untuk menyerahkan
permasalahan medisnya kepada keluarga terdekatnya. Hal ini juga terlihat pada rahasia
kedokteran.
4

HAL-HAL YANG DIINFORMASIKAN
Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
14

Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi
yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut.
Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi.
Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari
beberapa pilihan tersebut.
Rujukan/ konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan
dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien
tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu
melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter
lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.
Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan,
biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak
mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa
yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang
dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari
informed consent.
4
15

Komunikasi antara dokter kepada keluarga pasien juga merupakan hal yang sangat
penting. Keluarga perlu diberitahu mengenai :
Jaminan kenyamanan pasien
Informasi mengenai kondisi pasien
Informasi mengenai kematian yang mungkin datang

E. REKAM MEDIS
Dalam pelayanan kedokteran/kesehatan, terutama yang dilakukan para dokter baik di
rumah sakit maupun praktik pribadi, peran pencatatan rekam medis (RM) sangat penting dan
sangat melekat dengan kegiatan pelayanan tersebut. Dengan demikian, ada ungkapan bahwa
rekam medis adalah orang ketiga pada saat dokter menerima pasien. Hal tersebut dapat
dipahami karena catatan demikian akan berguna untuk merekam keadaan pasien, hasil
pemeriksaan serta tindakan pengobatan yang diberikan pada waktu itu. Catatan atau rekaman
itu menjadi sangat berguna untuk mengingatkan kembali dokter tentang keadaan, hasil
pemeriksaan, dan pengobatan yang telah diberikan bila pasien datang kembali untuk berobat
ulang setelah beberapa hari, beberapa bulan, bahkan setelah beberapa tahun kemudian.
Dengan adanya rekam medis, ia bisa mengingat atau mengenali keadaan pasien saat diperiksa
sehingga lebih mudah melanjutkan strategi pengobatan dan perawatannya. Namun, kini
makin dipahami bahwa peran rekam medis tidak terbatas pada asumsi yang dikemukakan di
atas, tetapi jauh lebih luas. Oleh karena itu, para tenaga kesehatan masa kini harus memahami
dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan rekam medis.
Kewajiban dokter untuk membuat rekam medis dalam pelayanan kesehatan dipertegas
dalam UUPK seperti terdapat pada pasal 46: (1). Setiap dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis. (2) Rekam medis sebagaimana
16

dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan
kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas
yang memberikan pelayanan atau tindakan. Selanjutnya dalam pasal 79 diingatkan tentang
sanksi hukum yang cukup berat, yaitu denda paling banyak Rp.50.000.000,- bila dokter
terbukti sengaja tidak membuat rekam medis.
Adapun beberapa definisi dari rekam medis, yaitu antara lain:
1. Menurut Permenkes No.749a/Menkes/Per/XII/1898
Rekam Medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen mengenai identitsa
pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lainnya yang
diterima pasien pada sarana kesehatan, baik rawat jalan maupun rawat inap.
2. Menurut Permenkes No.269/Menkes/Per/2008
Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen mengenai
identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang
telah diberikan kepada pasien.
3. IDI
Rekam Medis adalah rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran aktifitas
pelayanan yang diberikan oleh pemberi medis pelayanan kepada seorang pasien.
Isi Rekam Medis
Di rumah sakit didapat dua jenis RM, yaitu:
RM untuk pasien rawat jalan
RM untuk pasien rawat inap
Untuk pasien rawat jalan, termasuk pasien gawat darurat, RM memiliki informasi pasien,
antara lain:
17

a. Identitas dan formulir perizinan (lembar hak kuasa)
b. Riwayat penyakit (anamnesis) tentang :
keluhan utama
riwayat sekarang
riwayat penyakit yang pernah diderita
riwayat keluarga tentang penyakit yang mungkin diturunkan
c. Laporan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, scanning,
MRI, dan lain lain.
d. Diagnosis dan/atau diagnosis banding
e. Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan yang
berwenang.
Untuk rawat inap, memuat informasi yang sama dengan yang terdapat dalam rawat jalan,
dengan tambahan :
Persetujuan tindakan medik
Catatan konsultasi
Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya
Catatan observasi klinik dan hasil pengobatan
Resume akhir dan evaluasi pengobatan.
Secara umum kegunaan RM adalah:
1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil
bagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien. Dengan membaca
RM, dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang terlibat dalam merawat pasien (misalnya,
pada pasien rawat bersama atau dalam konsultasi) dapat mengetahui penyakit,
18

perkembangan penyakit, terapi yang diberikan, dan lain-lain tanpa harus berjumpa satu
sama lain. Ini tentu merupa-kan sarana komunikasi yang efisien.
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada
pasien. Segala instruksi kepada perawat atau komunikasi sesama dokter ditulis agar
rencana pengobatan dan perawatan dapat dilaksanakan.
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan
selama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit. Bila suatu waktu diperlukan bukti
bahwa pasien pernah dirawat atau jenis pelayanan yang diberikan serta perkembangan
penyakit selama dirawat, tentu data dari RM dapat mengungkapkan dengan jelas.
4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada
pasien. Baik buruknya pelayanan yang diberikan tercermin dari catatan yang ditulis atau
data yang didapati dalam RM. Hal ini tentu dapat dipakai sebagai bahan studi ataupun
evaluasi dari pelayanan yang diberikan.
5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga
kesehatan lainnya. Bila timbul permasalahan (tuntutan) dari pasien kepada dokter
maupun rumah sakit, data dan keterangan yang diambil dari RM tentu dapat diterima
semua pihak. Di sinilah akan terungkap aspek hukum dari RM tersebut. Bila catatan dan
data terisi lengkap, RM akan menolong semua yang terlibat. Sebaliknya, bila catatan
yang ada hanya sekedarnya saja, apalagi kosong pasti akan merugikan dokter dan rumah
sakit. Penjelasan yang bagaimanapun baiknya tanpa bukti tertulis, pasti sulit dipercaya.
6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan
pendidikan. Setiap penelitian yang melibatkan data klinik pasien hanya dapat diper-
gunakan bila telah direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena itu, RM di rumah sakit
pendidikan biasanya tersusun lebih rinci karena sering digunakan untuk bahan penelitian.
19

7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien. Bila
pasien mau dipulangkan, bagian administrasi keuangan cukup melihat RM, dan segala
biaya yang harus dibayar pasien/keluarga dapat ditentukan.
8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan.
Data dan infomasi yang didapat dari RM sebagai bahan dokumentasi, bila diperlukan
dapat digunakan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban atau laporan kepada pihak yang
memerlukan masa mendatang.
4,5

F. PROSEDUR TERAPI
Berdasarkan permintaan dan keinginan pasien untuk mendapatkan terapi yang
minimal, maka terapi yang diberikan bersifat paliatif. Tujuan dari terapi paliatif bukan untuk
menyembuhkan pasien melainkan untuk mengurangi penderitaan pasien, menimbulkan
kenyamanan, mempersiapkan psikologis dan spiritual pasien, dan memberikan support pada
keluarganya.
Prinsip-prinsip perawatan paliatif itu sendiri yaitu menghargai setiap kehidupan;
menganggap kematian sebagai proses yang normal; tidak mempercepat atau menunda
kematian; menghargai keinginan pasien dalam mengambil keputusan; menghilangkan nyeri
dan keluhan lain yang mengganggu; mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual
dalam perawatan pasien dan keluarga; menghindari tindakan medis yang sia-sia; memberikan
dukungan yang diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai dengan kondisinya sampai akhir
hayat; memberikan dukungan pada keluarga dalam masa dukacita. Perawatan paliatif dapat
dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan homecare, daycare, dan respite care (layanan
yang bersifatpsikologis).
20

Home Care
Home care dilakukan dengan melakukan kunjungan ke rumah-rumah penderita, terutama
yang karena alasan-alasan tertentu tidak dapat datang ke rumah sakit. Kunjungan
dilakukan oleh tim yang terdiri atas dokter paliatif, psikiater, perawat, dan relawan, untuk
memantau dan memberikan solusi atas masalah-masalah yang dialami penderita kanker
dan keluarganya, bukan hanya menyangkut masalah medis/biologis, tetapi juga masalah
psikis, sosial, dan spiritual. Perawatan paliatif membolehkan pasien di rawat di rumah
didampingi keluarga tercinta. Saat di rawat di rumah, pasien biasanya akan merasa lebih
nyaman dan bisa membantu meringankan beban dan pikiran sehingga lebih siap
menghadapi penyakitnya.
Day Care
Day care merupakan layanan untuk tindakan medis yang tidak memerlukan rawat inap,
misalnya perawatan luka, kemoterapi, dsb.
Respite Care
Respite Care merupakan layanan yang bersifat psikologis. Di sini penderita maupun
keluarganya dapat berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater, bersosialisasi dengan
penderita kanker lain, mengikuti terapi musik, atau sekedar bersantai dan beristirahat.
Bisa juga menitipkan penderita kanker (selama jam kerja), jika pendamping atau
keluarga yang merawatnya ada keperluan lain.

Pengobatan yang diberikan pada pasien ini bersifat simptomatik seperti analgesik
contohnya morfin untuk menghilangkan rasa nyeri dan mengurangi penderitaan, cairan IV
untuk hidrasi, pemberian komponen darah jika terjadi perdarahan. Selain itu, nutrisi pasien
21

juga perlu diperhatikan, jika masih memungkinkan, nutrisi diberikan per oral, namun jika
tidak memungkinkan, dapat diberikan parenteral atau enteral. Selain itu, dapat diberikan
tanda DNR (do not resuscitate)/ AND (allow natural death) - hanya tindakan untuk
kenyamanan, pada status pasien.
5


G. DAMPAK HUKUM
Dampak hukum yang muncul dapat dilihat dari kewajiban dan hak yang dimiliki oleh
dokter serta hubungannya dengan pasien saat seorang dokter mengambil keputusan.
Dalam menjalankan kewajibannya, seorang dokter wajib menjaga rahasia kedokteran
sesuai dengan pasal 322 KUHP dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966. Pasal 322
mengatur siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan
atau pencahariannya, baik sekarang atau dahulu, bila membuka rahasia akan di penjara paling
lama 9 bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah, sedangkan PP No. 10 tahun
1966 berisi tentang definisi rahasia kedokteran dan siapa saja yang diwajibkan menyimpan
rahasia tersebut.
Namun, profesi dokter juga perlu mendapatkan jaminan perlindungan hukum dalam
rangka memberikan kepastian dalam melakukan upaya kesehatan kepada pasien, peraturan
perundang-undangan yang memberikan dasar perlindungan hukum bagi dokter, yaitu :
1

1. Pasal 50 UU No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran yaitu dokter
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional
2. Pasal 27 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, yaitu bahwa tenaga kesehatan
berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas
sesuai dengan profesinya
22

3. Pasal 24 PP No 32 tahun 1996 yaitu perlindungan hukum diberikan kepada tenaga
kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga
kesehatan.
Tindakan medik terhadap pasien diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No
585/MenKes/Per/XI/1989 tentang persetujuan tindakan medik. Dampak hukum yang
mungkin timbul dari keputusan dokter diantaranya jika dokter melakukan tindakan medis
tanpa pemberitahuan dan penjelasan kepada pasien terlebih dahulu/tanpa informed consent
maka dokter dapat dikenakan dengan pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dan jika dengan
sengaja tidak membuat rekam medis maka akan dipidana sesuai pasal 79 UU Praktik
Kedokteran.
6











23

BAB IV
KESIMPULAN

Kesimpulan, sebagai dokter yang bermatabat tidak hanya berpegang pada keilmuan
saja tetapi harus mempunyai etika dalam memutuskan suatu tindakan. Seorang dokter harus
memahami kaidah etika profesi kedokterannya serta harus mengetahui apa hak dan
kewajibannya. Seorang dokter juga harus paham hak dan kewajiban pasien, seperti pada
kasus ini jika pasien tersebut hanya meminta pengobatan yang minimal, dokter tidak boleh
melarangnya namun sebelumnya dokter tersebut wajib memberikan segala informasi
mengenai penyakit pasien baik terapi alternative maupun resikonya. Jika dokter dapat
mengambil keputusan medis dan keputusan etis dengan baik dan cermat maka hubungan
pasien dan dokter akan tercipta sesuai apa yang diharapkan. Selain itu, pada kasus kali ini
prosedur terapi untuk pasien ini dapat berupa home care, day care dan repetitive care namun
dengan seizin pasien yang dapat sesuai dengan rekam medis dan tertulis dalam informed
consent serta berjalan sesuai dengan perundang undangan negara ataupun kode etik
kedokteran.






24

DAFTAR PUSTAKA

1. Bertens K. Etika Biomedis. Yogyakarta: Kanisius; 2011, p. 27-36
2. Samil RS. Etika Kedokteran Indonesia. 2nd ed. Jakarta: Yayasan bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2001. p.6-7
3. Wiradharma D. Etika Profesi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.
2008. p. 36-8, 80-84
4. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta:
Pustaka Dwipar; 2007. p. 79-8
5. Idries AM, Tjiptomartono AL. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyelidikan. Jakarta: Sagung Seto. 2011. p. 243-55
6. Nuryanto A, Harun, Wardiono K. 2012. Model Perlindungan Hukum Profesi Dokter.
Available at: http://jurisprudence-journal.org/2012/06/model-perlindungan-hukum-
profesi-dokter/. Accessed on April 15
th
2013.

Anda mungkin juga menyukai