Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DHF adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.
Sindrom renjatan dengue ( dengue shock syndrome) adalaha demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.
Etiologi:
Virus dengue, genus flavivirus, keluarga flaviviridae.
Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106
Terdapat 4 serotipe : DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Virus dengue dapat beriplikasi pada hewan mamalia, dan juga pada nyamuk genus aedes (stegomyia) dan Toxorhynchites.
Epidemiologi:
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah asia tenggara, pasifik, dan karibia. Indonesia merupakan endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air.
Indonesia : sejak abad ke 18 David Bylon (Belanda) Penyakit demam 5 hari = Demam Sendi demam hilang dalam 5 hari disertai nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala hebat penyakit ringan, kematian (-) Sejak tahun 1968 : Surabaya, Jakarta kematian meningkat Peningkatan dan penyebaran DBD faktor-faktor : 1. Pertumbuhan penduduk 2. Urbanisasi (tidak terencana/ terkontrol) 3. daerah endemik kontrol terhadap nyamuk (-)/ tak efektif 4. Peningkatan sarana transportasi (Mobilitas menigkat)
Faktor-faktor morbiditas/ mortalitas : Status imunologis pejamu (host) Kepadatan vektor nyamuk Transmisi virus dengue Keganasan virus Kondisi geografis Incidens Rate Meningkat : 0,005/ 100 penduduk (1968) 6 27/ 100 penduduk (tahun terakhir) Suhu panas (28 - 32C) serta kelembaban tinggi membuat nyamuk tahan hidup dalam jangka waktu yang lama Penyakit menular dan dpt menimbulkan wabah harus dilaporkan segera dalam waktu < 24 jam (sesuai dengan UU No. 4 th 1984, PERMENKES no 560 th 8.)
Cara Penularan:
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularka kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Patogenesis:
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya DBD.
Respon imun yang berperan dalam patogenesis DBD: a. Respon humoral berupa pembentukan antibodi. b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) (Respon imun seluler) c. Monosit dan Makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi
d. Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a
Hipotesis antibody dependent enhancement Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag
Hipotesis secondary heterologous infection (Halstead, 1973) DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan kosentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kedua hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Gambaran Klinis:
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue, atau sindrom syok dengue (SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat.
Laboratorium Pemerikasaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue melalui kadar Hb, Ht, Trombosit dan Hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti: Isolasi virus (cell culture) Deteksi antigen virus RNA : RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction) Tes serologis : mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG.
Parameter Laboratoris: Leukosit: dapat normal atau turun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru.
Trombosit: trombositopenia pada hari ke 3-8 Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukanannya peningkatan Ht 20% dari hematokrit awal, dimulai pada hari ke-3 demam. Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-dimer, atau FDP pada keadaan dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah. Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma SGOT/SGPT dapat meningkat Ureum , Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal Elektrolit: parameter pemantauan pemberian cairan Golongan darah dan cross match: bila akan diberikan tranfusi darah atau komponen darah IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat smapai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari IgG: infeksi primer IgG mulai terdeteksi hari ke-14, infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2 Uji HI: dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan survailens NS 1: Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63% - 93,4% dengan spesifisitas 100%. Hasil negatif NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue
Radiologis Foto Thorax: dapat didapatkan efusi pleura, terutama hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks USG: dapat mendeteksi adanya Asites dan efusi pleura
Diagnosis Klinis:
Masa inkubasi dalam tubuh manusia 4-6 hari (rentang 3-14 hari). gejala prodormal: nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah
Demam Dengue (DD) : Penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut: Nyeri kepala Nyeri retro-orbital Mialgia / artralgia Ruam kulit Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif) Leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif.
Demam Berdarah Dengue (DBD) : berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi: Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut: Uji bendung positif Petekie, ekimosis, atau purpura Perdaraha mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan tempat lain Hematemesis atau melena Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul) Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut: Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi plura, asites atau hipoproteinemia.
Sindrom Syok Dengue (SSD) seluruh kriteria untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan leman, tekanan darah turun ( 20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.
Klasifikasi dan Derajat:
Penatalaksanaan:
Tidak ada terapi spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif.
Pemeliharaan volume cairan: Volume carian kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut: 1500+ {20 x (BB dalam KG 20)}
Protokol pentalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria: Pentalaksanaan yang tepat dengan rancanga tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi. Praktis dalam penatalaksanaan. Mempertimbangkan cost effectiveness Protokol ini terbagi dalam 5 kategori
Protokol 1: Penanganan Tersangka (probable) DBD dewasa tanpa syok
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di instalasi gawat darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD unit gawat darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht), dan trombosit, bila:
Hb, Ht dan tombosit normal atau trombosit antara 100.000 150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan pasien memburuk segera kembali ke unit gawat darurat. Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk rawat. Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun dianjurkan rawat.
Protokol 2 : Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan massif dan tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid. Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, trombosit tiap 24 jam: Bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht, Trombosit dilakukan tiap 12 jam. Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan seasuai dengan protocol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht>20%.
Protokol 3 : Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Hematokrit >20%
Meningkatnya Ht >20% menunjukan bahwa tubuh mengalami deficit cairan sebanyak 5%. Terapi awal diberikan cairan infus kristaloid sebanyak 6-7 ml/Kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila perbaikan yang ditandai dengan Ht turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infuse dikurangi menjadi 5 ml/Kg/jam. 2 jam kemudia dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukan perbaikan makan jumlah cairan infuse dikurangi menjadi 3 ml/Kg/jam. Bila dalam pemantaun keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24 48 jam kemudian. Namun apabila setelah pemberian cairan awal keadaan tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/Kg/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/Kg/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukan perbaikan maka jumlah cairan infuse dinaikan menjadi 15 ml/Kg/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi buruk dan didapatkan tanda-tanda syok makan pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.
Protokol 4 : Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna, perdarahan saluran kencing, perdarahan otak atau perdarahan yang tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/KgBB/jam. Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostasis harus segera dilakukan dan sebaiknya diulang setiap 4-6 jam. Pemberian Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi intravascular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT) yang memanjang, PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dL. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan massif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
Protokol 5 : Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa
Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Cairan kristaloid adalah pilahan utama. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisa gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin. Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit, bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 x/menit dengan volume cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat, serta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setalah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan Ht tetap stabil serta dieresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan. Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan dearth hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah dieresis. Dieresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam.
Bila fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapan ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan tetapi bila nilai hematokri menurun, berarti terjadi perdahan (internal bleeding) maka penderita diberikan tranfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. Pemberian koloid mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentralm dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB dengan sasaran vena sentral 15-18 cm H2O. Bila tekana vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.