Anda di halaman 1dari 10

HIV DAN TB PARU

HIV DAN TB PARU




A. Pendahuluan
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang biasanya menyerang paru serta dapat menginfeksi organ atau jaringan dalam
tubuh. Tuberkulosis adalah penyebab terutama di dunia yang menyebabkan kematian dari satu
penyakit infeksi. Hal ini diakibatkan oleh:
(1,2)

1. Program yang tidak cukup untuk mengontrol penyakit dengan pengawasan yang kurang baik.
2. multiple drug resistance (MDR)
3. ko-infeksi dengan HIV
4. peningkatan dengan cepat populasi orang dewasa muda di dunia - kelompok umur dengan angka
mortalitas paling tinggi dari tuberkulosis.
5. Kepadatan dan nutrisi yang buruk.
Tuberkulosis adalah satu dari banyak penyakit yang biasanya pada seseorang yang
terinfeksi HIV. Pada penderita yang mengalami ko-infeksi M. Tuberculosis dan HIV meningkat
dari 0,4% menjadi 8% (20 kali lipat). Ko-infeksi HIV- TB telah menjadi ancaman kesehatan bagi
umat manusia, yang apabila tidak ditangani secara serius akan menyebabkan keduanya tidak
dapat lagi dikendalikan.
3,4


B. Etiologi dan Cara Penularan
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Yang tergolong dalam kuman
Mycobacterium tuberculosae complex adalah
2

1. M. tuberculosae
2. Varian Asian
3. Varian African I
4. Varian African II
5. M. bovis
Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru
merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini
sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang di dapat
dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam
(BTA). Penularan HIV adalah melalui kontak heteroseksual dan homoseksual, darah dan produk
darah dan oleh ibu yang terinfeksi ke bayi baik melalui intrapartum, perinatal atau air susu ibu.
Faktor resiko potensial pada tuberkulosis adalah individu yang mengalami ko-infeksi HIV,
dimana terjadi supresi imunitas seluler.
2,3


C. Patogenesis HIV
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengoordinasikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif. Virus dibawah oleh antigen-presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada
model ini virus dideteksi pada kelenjar getah bening maka dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel
individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan
hibridisasi insitu dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari
setelah infeksi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening
berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV.
2

Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara
umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level steady-
state.walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi
virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghidar dari netralisasi
antibodi dengan melakukan adaptasi pada amplop-nya. Termasuk kemampuan mengubah situs
glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang
diperantarai antibodi tidak dapat terjadi.
2

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala
yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare,
atau batuk setelah infeksi akut dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa
gejala ini umumnya berlangsung selam 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya
lambat (non-progressor).
2

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakan
gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain.
2


D. Patogenesis Tuberkulosis
Patogenesis dari infeksi M. tuberculosis dibagi menjadi 2 bagian besar yakni infeksi
primer (primary infection) dan infeksi post primer (post primary infection).
1

1. Infeksi primer (primary infection)
Infeksi pertama dari M. tuberculosis dikenal dengan infeksi primer. Dalam satu jam dapat
mencapai paru-paru, basil dapat melewati limfonodus pada hilum paru-paru dan beberapa masuk
ke dalam aliran darah.
(1)

Reaksi awal meliputi respons eksudatif dan infiltrasi granulosit-granulosit neutrofil. Ini
dengan cepat digantikan oleh makrofag-makrofag yang akan mencerna kuman tersebut dan
mengangkutnya ke dalam kelenjar limfe regional. Secara umum, ada 4 kemungkinan besar
terhadap nasib M. tuberculosis tersebut yakni, (1) dibunuh oleh sistem imun, (2) dapat
bermultifikasi dan menyebabkan TB primer, (3) dapat menjadi dormat dan asimptomatik, (4)
dapat berproliferasi sesudah periode laten (reaktivasi penyakit). Selain itu, terdapat 4 hal yang
dapat terjadi khususnya pada infeksi primer (gambar 1) yakni,
(1,5,6)

a. Menyebar dari focus primer ke hilus dan kelenjar limfe mediastinum membentuk kompleks
primer (primary complex), pada banyak kasus sembuh secara spontan.
b. Langsung meluas dari focus primer menjadi tuberculosis primer yang progresif.
c. Menyebar ke pleura menjadi tuberkulosis pleura dan efusi pleura.
d. Menyebar dalam aliran darah: sedikit basil pada paru, tulang, renal, infeksi urogenital sering
berbulan-bulan atau beberapa tahun belakangan, menyebar secara besar-besaran menjadi TB
milier dan meningitis.

Interaksi dengan limfosit T, dengan perkembangan imunitas selular dapat ditunjukan 3-8
minggu setelah infeksi awal oleh reaksi positif pada kulit pada injeksi intradermal protein dari
basil (PPD). Reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang terjadi, menghasilkan nekrosis jaringan
dan pada tingkat ini patologi klasik dari tuberkulosis dapat dilihat. Lesi granulomatosa yang
terdiri dari massa putih seperti keju di bagian sentral area nekrosis disebut nekrosis kaseosa,
dikelilingi oleh sel epiteloid dan giant sel langhans, kedua sel berasal dari makrofag. Limfosit
hadir dan di situ terjadi bermacam-macam derajat fibrosis. Sesudah itu, area nekrosis kaseosa
disembuhkan sama sekali dan mengeras.
(1)


2. Tuberkulosis post primer (post primary tuberculosis)
Diketahui paling sedikit 20% dari lesi primer yang telah mengeras tersebut mengandung basil
tuberkel, yang awalnya dormant tetapi mampu diaktivasi oleh menurunnya sistem imun host.
Reaktivasi menunjukan khas dari tuberkulosis post primer dengan kavitas, biasanya pada apeks
atau bagian atas paru. Tuberculosis post primer dihubungkan dengan semua bentuk tuberkulosis
yang terjadi setelah sedikitnya satu minggu pada infeksi primer ketika imunitas terhadap
mycobacterium dalam perkembangan.
(1)


Tabel 1. Perjalanan infeksi TB
(6)

Waktu infeksi Manifestasi
3-8 minggu
3-6 bulan
Sampai 3 tahun
Sekitar 8 tahun
3 tahun kedepan
Kompleks primer, tuberculin skin test positif
Meningeal, military dan pleura
Gastrointestinal, tulang dan sendi dan nodus limfatikus
Renal tract disease
Infeksi post primer yang berkaitan dengan reaktifasi
penyakit.

E. Interaksi HIV dan TB
HIV dan M. tuberculosis keduanya merupakan patogen intraseluler yang saling
berinteraksi baik pada tingkat populasi, klinis, maupun seluler. ODHA rentan terhadap TB.
Progresivitas TB menjadi aktif sejak awal paparan lebih besar pada ODHA (40%) dibandingkan
dengan pada non ODHA yang kurang dari 0,1% pertahun.
4

TB juga terbukti mempercepat perjalanan infeksi HIV. Angka mortalitas pertahun dari
HIV terkait TB yang diobati berkisar antara 20,35%. Angka mortalitas HIV TB empat
kali lebih tinggi dari pada angka mortalitas TB tanpa HIV. Tingginya angka mortalitas diantara
penderita TB disebabkan terutama oleh infeksi HIV yang progresif, walaupun mortalitas dini (
dalam 3 bulan pertama) kebanyakan disebabkan oleh karena TBnya sendiri. Tuberkulosis dapat
muncul pada setiap tahap infeksi HIV dan dengan presentasi yang bervariasi.
3,4


F. Gejala Klinis
1. Gejala Klinis Tuberkulosis
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak
pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Sebagian
besar orang yang mengalami infeksi primer tidak menunjukkan gejala yang berarti. Namun, pada
penderita infeksi primer yang menjadi progresif dan sakit (3-4% dari yang terinfeksi), gejalanya
berupa gejala umum dan gejala respiratorik. Perjalanan penyakit dan gejalanya bervariasi
tergantung pada umur dan keadaan penderita saat terinfeksi.
(2,7)

Gejala umum berupa demam dan malaise. Biasanya subfebril menyerupai demam
influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41. Gejala demam ini bersifat
hilang timbul. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya
infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. Gejala malaise yang ditemukan berupa anoreksia, badan
makin kurus, berat badan menurun, sakit kepala, lelah, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain.
Gejala malaise makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara teratur. Pada wanita
dapat terjadi amenorea.
(2,7)

Gejala respiratorik berupa batuk kering/nonproduktif kemudian setelah timbul
peradangan menjadi batuk produktif (menghasilkan sputum) merupakan gejala yang paling
sering terjadi dan merupakan indikator yang sensitive untuk penyakit tuberkulosis paru aktif.
Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini sering bersifat persisten karena
perkembangan penyakitnya lambat. Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah.
(2,7)

Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan
timbul pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-
paru. Nyeri dada biasanya bersifat nyeri pleuritik karena terlibatnya pleura dalam proses
penyakit. Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke
pleura sewaktu pasien menarik/menghembuskan napasnya.
(2,7)

Pada reaktivasi tuberkulosis, gejalanya berupa demam menetap yang naik dan
turun (hectic fever), berkeringat pada malam hari yang menyebabkan basah kuyup (drenching
night sweat), kaheksia, batuk kronik, dan hemoptisis. Pemeriksaan fisik sangat tidak sensitive
dan sangat nonspesifik terutama pada fase awal penyakit. Pada fase lanjut diagnosis lebih mudah
ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, terdapat demam, penurunan berat badan, crackle, mengi,
dan suara bronchial. Tidak jarang terjadi pada efusi pleura.
(7)


2. Gejala Klinis Tuberkulosis paru dan HIV
Gejala TB pada populasi HIV umumnya non spesifik. Penderita penderita yang
mempunyai riwayat batuk lebih dari 3 minggu, sputum produktif dan berat badan turun harus
dicurigai TB. Namun gejala gejala tersebut ( demam, keringat malam, berat badan turun,
kelelahan) dapat juga disebabkan oleh AIDS (AIDS Waisting Syndrome ), infeksi
Mycoyacterium Avium Complex (MAC), infeksi Citomegalovirus (CMV), keganasan atau infeksi
oportunistik lainnya.
4

Ketika cell-mediated imunity sebagian terganggu, tuberkulosis paru muncul dalam bentuk
khusus, dengan infiltrat pada lobus atas dan kavitas dan tanpa limfadenopati yang signifikan atau
efusi pleura. Pada stadium akhir infeksi HIV, pola seperti tuberkulosis primer, dengan infiltrat
milier atau difus interstitial, sedikit atau tidak berkavitas dan limfadenopati intratoraks yang
lebih sering.
3

Tabel 2. Gambaran klinis pada kecurigaan koinfeksi HIV TB
4

Riwayat Penyakit
Dahulu
IMS
Herpes Zoster ( shingles)
Pnemonia berulang
Bakteriemia ( terutama salmonella typhimurium)
Gejala Berat badan turun (>10kg atau >20% dari berat semula)
Diarhe (>1bulan)
Nyeri waktu menelan ( gejala kandidiasis esophagus)
Rasa terbakar di kaki ( neropati perifer)
Tanda tanda Jaringan parut Herpes Zoster
Ruam popular yang gatal
Sarkoma Kaposi
Lifomo generalisata persisten ( PGL)
Kandidiasis Oral Hairy Leukoplakia oral
Ulkus genital yang persisten dan nyeri
Catatan : diagnosis pasti tergantung pada hasil tes HIV positif

G. Pendekatan Diagnostik
Pendekatan diagnostik TB pada ODHA tidak berbada dengan non ODHA. Penderita yang
diduga TB paru atas dasar keluhan dan pemeriksaan fisik harus diperiksa sediaan hapusan
sputum 3 kali di bawah mikroskop. Kemungkinan untuk menemukan BTA lebih besar bila
diperiksa 3 kali dibandingkan dengan pemeriksaan BTA 2 atau 1 kali. Hasilnya lebih baik
apabila sputum diambil pagi dini hari. Jika mungkin penderita harus mengumpulkan sputum
sekurang kurangnya semalam untuk dianalisis dan pemeriksaan sputum harus dilakukan
kurang dari 4 jam setelah sputum diserahkan. Ada 2 pemeriksaan pokok untuk menentukan TB:
4

1. BTA
2. Kultur Sputum
Kultur bakteri memerlukan waktu yang lama ( umumnya 3 4 minggu ) untuk
menumbuhkan koloni dengan media mikobakteriumtredisional seperti Lowenstein Jensen. Hasil
pemeriksaan kultur dengan sistem pemeriksaan BACTEC biasanya sudah dapat diperoleh
hasilnya dalam 2 minggu tetapi biayanya lebih mahal. Cara lain yang yang inovatif dan lebih
cepat untuk pemeriksaan sensitivitas obat sedang dikembangkan.
4


H. Penatalaksanaan
1. Terapi Tuberkulosis
Secara umum, pada ODHA dengan TB yang masih sensifit terhadap pengobatan, regimen
standar selama 6 bulan sudah memberi hasil sputum negatif secara tepat dan angka kegagalannya
rendah sama dengan hasil pengobatan pada penderita HIV negatif. Diantara semua pasien TB
yang diterapi, angka kematian tinggi pada pasien dengan HIV positif lebih dari pasien dengan
HIV negatif. Prioritas pertama untuk pasien TB dengan HIV positif diawali dengan terapi TB,
diikuti dengan kotrimoksasole dan ART.
4,8

Secara umum tetap di anjurkan terapi TB selama 6 bulan, namun bila respon klinis atau
bakteriologisnya lambat harus diberikan sekurang kurangnya 9 bulan, atau 4 bulan setelah hasil
biakan BTAnya menjadi negatif. Pasien TB baru dengan HIV sebaiknya diterapi dengan regimen
diberikan pada tabel 3.
4,8

Tabel 3. Regimen standar untuk pasien TB baru
8

Terapi fase intensif Terapi fase lanjutan

2 bulan 4 FDC (RHZE) 4 bulan 2 FDC (RH)

Jumlat tablet yang ditelan sesuai berat badan
Berat Badan 30-37 kg 38-54 kg 55-70 kg 71 kg
Jumlah tablet 2 tablet 3 tablet 4 tablet 5 tablet
Untuk pasien kurang dari 30 kg, gunakan tabel dosis anak sebagai acuan

Aspek penting lain dari terapi TB adalah penerapan system directy observed
therapy (DOT). Penelitian terakhir menunjukan pentingnya DOT dalam mencegah terjadinya
relaps dan resistensi obat. WHO sangat menekankan penerapan sistem DOTS (Directly observed
therapy and short course chemotherapy) dalam program pemberantasan TB di seluruh dunia.
4



2. Terapi ODHA dengan koinfeksi TB
Terapi infeksi dan pengendalian TB merupakan prioritas utama pengobatan penderita
dengan koinfeksi HIV- TB. Tatalaksana koinfeksi HIV TB begitu rumit oleh karena beberapa
obat ART menghasilkan interaksi yang tidak diinginkan dengan obat anti TB dan / atau
meningkatkan toksisitas OAT.
3
Standar regimen ART yang disederhanakan digunakan untuk
mendukung program pengobatan HIV sehingga dapat menjangkau banyak orang yang hidup
dengan HIV.
8

Prinsip dalam pemberian ARV adalah sebagai berikut.
9

- Panduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam dosis
terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektifitas penggunaan obat.
- Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses pelayanan
ARV
- Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen logistik yang
baik.
WHO merekomendasikan bahwa lini pertama regimen ART mengandung dua nucleoside
reverse transcriptase inhibitor(NRTI) ditambah satu non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI). Kombinasi ini bagus, relatif lebih murah, memiliki formulasi generik dan
FDC, dan menjaga kelas baru yang ampuh (Protease Inhibitor) untuk regimen lini kedua.
8


Tabel 4. Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum pernah
mendapat terapi ARV.
9

Populasi target Pilihan yang direkomendasikan Catatan
Dewasa dan anak AZT atau TDV + 3TC (atau FTC) +
EFV atau NVP
Merupakan pilihan panduan yang sesuai
untuk sebagian besar pasien.
Gunakan FDC jika tersedia
Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau NVP Tidak boleh menggunakan EFV pada
trimester pertama
TDF bias merupakan pilihan
Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC (FTC) + EFV Mulai terapi ARV segera setelah terapi
TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu
hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV
tidak dapat digunakan.
Ko infeksi
HIV/Hepatitis B kronik
aktif
TDF + 3TC (FTC) + EFV atau NVP Pertimbangkan pemeriksaan HBsAg
terutama bila TDF merupakan panduan
lini pertama. diperlukan

Pada penderita yang sudah menerima ARV bila kemudian terjangkit TB, maka regumen
harus disesuaikan agar cocok dengan OAT yang dipilih itu. Setelah terapi TB lengkap, maka
ARV dapat diteruskan atau diganti tergantung keadaan klinis dan imunologis penderita. Waktu
yang optimal untuk memulai ART dalam kaitannya dengan awal terapi TB belum jelas.
4,8

Prioritas utama pada pasien dengan ko-infeksi TB-HIV adalah memulai terapi TB, diikuti
dengan kotrimoksasol dan ARV.
9

a. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV
Bila belum dalam pengobatan ARV, pengobatan TB dapa segera dimulai. Jika pasien dalam
pengobatan TB maka teruskan pengobatan Tbnya sampai dapat ditoleransi dan setelah itu diberi
pengobatan ARV. Keputusan untuk pengobatan ARV pada pasien dengan pengobatan TB
sebaiknya dilakukan oleh dokter yang telah mendapat pelatihan tatalaksana pasien TB-HIV.
b. Pengobatan pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB dimulai minimal di RS
yang petugasnya telah dilatih TB-HIV, untuk diatur rencana pengobatan TB bersama dengan
pengobatan ARV. Hal ini penting karena ada kemungkinan masalah yang harus
dipertimbangkan, antara lain interaksi obat (rifampisin dengan beberapa jenis obat ARV), gagal
pengobatan ARV, IRIS atau perlu subtitusi obat ARV.

Tabel 5. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV.
9

CD4 Panduan yang diajurkan Keterangan
Berapapun
jumlah CD4
Mulai terapi TB
Gunakan panduan yang mengandung (AZT
atau TDV)+ 3TC + EFV (600 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu EFV
dapat di ganti dengan NVP.
Pada keadaan dimana panduan berbasis
NVP terpaksa digunakan bersamaan dengan
pengobatan TB maka NVP diberikan
tanpa lead-in dose(NVP diberikan tiap 12
jam sejak awal terapi)
Mulai terapi ARV segera
setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2 minggu
hingga 8 minggu)
CD4 tidak
mungkin
diperiksa
Mulai terapi TB Mulai terapi ARV segera
setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2 minggu
hingga 8 minggu)

Tabel 6. Panduan ARV bagi ODHA yang kemudian muncul TB aktif.
9

Panduan ARV
Panduan ARV pada saat
TB muncul
Pilihan terapi ARV
Lini pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP Ganti dengan EFV atau Teruskan dengan
2 NRTI + NVP. Triple NRTI dapat
dipertimbangkan digunakan selama 3
bulan jika NVP dan EFV tidak dapat
digunakan
Lini kedua 2 NRTI + Pls Mengingan rifampisin tidak dapat
digunakan bersamaan dengan LPV/r,
dianjurkan menggunakan panduan OAT
tanpa rifampisin. Jika rifampisin perlu
diberikan maka pilihan lain adalah
menggunakan LPV/r dengan dosis 100
mg/200 mg dua kali sehari. Perlu
memantau fungsi hati ketat jika
menggunakan rifampisin dan dosis ganda
LPV/r


3. Terapi pencegahan dengan kotrimoksasol
Semua pasien TB dengan HIV positif, terapi pencegahan kotrimoksasol sebaiknya
dimulai sesegera mungkin. Terapi pencegahan kotrimoksazol secara substansial mengurangi
kematian pada pasien TB HIV-positif. Kotrimoksazol dikenal untuk mencegah Pneumocystis
jirovecii dan malaria dan kemungkinan akan berdampak pada berbagai infeksi bakteri pada
pasien TB-HIV-positif.
8


4. Pemantauan Pasien selama terapi
Efek samping obat yang sering terjadi pada pasien TB HIV-positif, dan beberapa
toksisitas yang biasanya untuk ART dan obat TB. Tumpang tindih antara toksisitas ART, terapi
TB dan kotrimoksazol termasuk ruam, dan disfungsi hati, dan pemantauan efek samping
lainnya.
8


I. Kesimpulan
HIV dan M. tuberculosis keduanya merupakan patogen intraseluler yang saling
berinteraksi baik pada tingkat populasi, klinis, maupun seluler. Progresivitas TB menjadi aktif
sejak awal paparan lebih besar pada ODHA dibandingkan dengan pada non ODHA.
Gejala TB pada populasi HIV umumnya non spesifik. Penderita penderita yang
mempunyai riwayat batuk lebih dari 3 minggu, sputum produktif dan berat badan turun harus
dicurigai TB. Namun gejala gejala tersebut ( demam, keringat malam, berat badan turun,
kelelahan) dapat juga disebabkan oleh AIDS (AIDS Waisting Syndrome ), infeksi
Mycoyacterium Avium Complex (MAC), infeksi Citomegalovirus (CMV), keganasan atau infeksi
oportunistik lainnya.
Panduan obat yang ditetapkan WHO untuk lini pertama adalah yang mengandung dua
Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) ditambahkan dengan satu Non Nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Prioritas utama pada pasien dengan ko-infeksi TB-HIV
adalah memulai terapi TB, diikuti dengan kotrimoksasol dan ARV.
Pada laporan kasus ini, sebelumnya pasien telah mendapat terapi TB sejak tanggal
06/09/2012, kemudian mendapat pengobatan ARV tanggal 06/12/12 atau 3 bulan setelah terapi
TB. Pengobatan ARV yang diberikan ketika pengobatan OAT telah ditoleransi (regimen
AZT+3TC+EFV/Zidovudin, lamivudine, Efavirenz dengan hasil lab: HB = 11, SGOT/SGPT =
33/17). Tetapi, keadaan pasien yang kemudian MRS akibat putus OAT dan ARV, dalam
perawatan belum dapat diberikan OAT dan ARV karena mengalami gangguan fungsi hati yang
terlihat pada hasil laboratorium SGOT/SGPT 148/171 U/L dan bilirubin T/D/I 3,6/2,8/0,8 mg/dl.

DAFTAR PUSTAKA


1. Kumar P, Clark M. Clinical Medicine. 6
th
ed. London: Elsevier; 2006. p. 930, 932
2. Amin Z, Bahar A. Tuberculosis paru. In: Sudoyo AW, Setiyohadi S, Alwi I, Simadibrata M,
Setiadi S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid III. Jakarta: InternaPublishing;
2009. p. 2231-8
3. Fauci AS et al. Harrison's principles of internal medicine. 17th ed. Phildelphi: 2008; The
McGraw-Hill Companies.
4. Wulandari L. Diagnosis dan tatalaksana ko-infeksi HIV dan TB aktif. Dalam: Wibisono MJ,
Winariani, Hariadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit paru 2010. Surabaya: Departemen Ilmu
Penyakit Paru FK Unair RSUD Dr. Soetomo; 2010. Hal: 257
5. Herchline T. Tuberculosis. [Online]. 2010 Apr 14 [cited 2010 Apr 25];[5 screens]. Available
from:
URL: http://emedicine.medscape.com/article/230802-overview
6. Innes JA, Reid PT. Respiratory disease. In: Davidsons Principles and practice of medicine.
20
th
ed. Churchill; Livingstone; 2007. p. 696, 650, 700, 702
7. Djojodibroto RD. Respirologi. Jakarta: EGC; 2009. p. 156-7.
8. WHO. Treatment of tuberculosis Guidelines. 4th ed. Geneva: WHO press; 2010. Hal: 67.
9. Ajmala IE, Wulandari L. Update ARV on HIV-TB coinfection. Proceeding book seminar dan
workshop TB Update VII-2013 di Shangri-La Hotel Surabaya 4-5 Mei 2013. Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK Unair RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai