Anda di halaman 1dari 16

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. TUBERKULOSIS
2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex2. Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru
karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk
suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M.tuberculosis 8.
2.2 Etiologi
TB Paru diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
complex. Bakteri ini merupakan basil tahan asam yang ditemukan oleh Robert
Koch pada tahun 1882 9. Mycobacterium tuberculosis adalah kuman penyebab
TB yang berbentuk batang ramping lurus atau sedikit bengkok dengan kedua
ujungnya membulat. Koloninya yang kering dengan permukaan berbentuk bunga
kol dan berwarna kuning tumbuh secara lambat walaupun dalam kondisi optimal.
Diketahui bahwa pH optimal untuk pertumbuhannya adalah antara 6,8-8,0.
Untuk memelihara virulensinya harus dipertahankan kondisi pertumbuhannya
pada pH 6,8 10.
M. tuberculosis tipe humanus dan bovines adalah mikobakterium yang
paling banyak menimbulkan penyakit TB pada manusia. Basil tersebut berbentuk
batang, bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 80 C
dan 20 menit pada suhu 60C), dan mudah mati apabila terkena sinar ultraviolet
(sinar matahari). Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar
dan dalam ruangan yang lembab11.
2.3 Patogenesis

a)

Tuberkulosis Primer
Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau
afek primer disebut sebagai fokus Ghon. Sarang primer ini mungkin timbul di
bagian di mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang
primer akan terlihat peradangan pembuluh limfe menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran limfonodi di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer.

b) Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)


Kuman yang persisten pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa (tuberkulosis post primer = TB
pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. TB sekunder
terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, peyakit maligna,
diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang
berlokasi di region atas paru (bagian apical-posterior lobus superior atau
inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus
hiler paru. TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia
muda menjadi TB usia tua 13.
2.3. Patogenesis
a. Tahap 1:
Dimulai dari masuknya kuman TB ke alveoli. Kuman akan difagositosis oleh
makrofag alveolar dan umumnya dapat dihancurkan. Bila daya bunuh makrofag
rendah, kuman TB akan berproliferasi dalam sitoplasma dan menyebabkan lisis
makrofag. Pada umumnya pada tahap ini tidak terjadi pertumbuhan kuman.
b. Tahap 2:
Tahap simbiosis, kuman tumbuh secara logaritmik dalam non-activated
macrophage yang gagal mendestruksi kuman TB hingga makofag hancur dan kuman

TB difagositosis oleh makrofag lain yang masuk ke tempat radang karena faktor
kemotaksis komponen komplemen C5a dan monocyte chemoatractant protein (MPC1). Lama kelamaan makin banyak makrofag dan kuman TB yang berkumpul di
tempat lesi.
c. Tahap 3:
Terjadi nekrosis kaseosa, jumlah kuman TB menetap karena pertumbuhannya
dihambat oleh respon imun tubuh terhadap tuberculin-like antigen. Pada tahap ini,
delayed type of hypersensitivity (DTH) merupakan respon imun utama yang mampu
menghancurkan makrofag yang berisi kuman. Respon ini terbentuk 4-8 minggu dari
saat infeksi. Dalam solid caseous center yang terbentuk, kuman ekstraseluler tidak
dapat tumbuh, dikelilingi non-activated makrofag dan partly activated macrofag.
Pertumbuhan kuman TB secara logaritmik terhenti, namun respon imun DTH ini
menyebabkan perluasan caseous necrosis tapi tidak dapat berkembang biak karena
keadaan anoksia, penurunan pH dan adanya inhibitory fatty acid. Pada keadaan
dorman ini metabolism kuman minimal sehingga tidak sensitif terhadap terapi.
Caseous necrosis ini merupakan reaksi DTH yang berasal dari limfosit T, khususnya
T sitotoksik (Tc), yang melibatkan clotting factor, sitokin TNF-alfa, antigen reaktif,
nitrogen intermediate, kompleks antigen antibody, komplemen dan produk-produk
yang dilepaskan kuman yang mati. Pada reaksi inflamasi, endotel vaskuler menjadi
aktif menghasilkan molekul-molekul adesi (ICAM-1, ELAM-1, VCAM-1), MHC
klas I dan II. Endotel yang aktif mampu mempresentasikan antigen tuberkulin pada
sel Tc sehingga menyebabkan jejas pada endotel dan memicu kaskade koagulasi.
Trombosis lokal menyebabkan iskemia dan nekrosis dekat jaringan.
d. Tahap 4
Respon imun cell mediated immunity (CMI) memegang peran utama dimana CMI
akan mengaktifkan makrofag sehingga mampu memfagositosis dan menghancurkan
kuman. Activated macrophage menyelimuti tepi caseous necrosis untuk mencegah
terlepasnya kuman. Pada keadaan dimana CMI lemah, kemampuan makrofag untuk
menghancurkan kuman hilang sehingga kuman dapat berkembang biak di dalamnya
dan seanjutnya akan dihancurkan oleh respon imun DTH, sehingga caseous necrosis

makin luas. Kuman TB yang terlepas akan masuk ke dalam kelenjar limfe
trakheobronkial dan menyebar ke organ lain.
e. Tahap 5
Terjadi likuifikasi caseous center dimana untuk pertama kalinya terjadi multiplikasi
kuman TB ekstraseluler yang dapat mencapai jumlah besar. Respon imun CMI sering
tidak mampu mengendalikannya. Progresivitas penyakit terjadi perlunakan caseous
necrosis, membentuk kavitas dan erosi dinding bronkus. Perlunakan ini disebabkan
oleh enzim hidrolisis dan respon DTH terhadap tuberkuloprotein, menyebabkan
makrofag tidak dapat hidup dan merupakan media pertumbuhan yang baik bagi
kuman. Kuman TB masuk ke dalam cabang-cabang bronkus, menyebar ke bagian
paru lain dan jaringan sekitarnya 12.
2.4 Diagnosis
Diagnosis pada TB dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan
fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui

pemeriksaan kultur

bakteriologi, pemeriksaan sputum BTA, radiologi dan pemeriksaan penunjang


lainnya2.
2.5 Gejala Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal adalah gejala
respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat) 2.
a. Gejala respiratori :
1) Batuk 2 minggu
2) Hemoptisis
3) Dyspneu
4) Nyeri dada
b. Gejala sistemik
1) Demam

2) Gejala sistemik lain ; malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan
menurun.
c.

Gejala TB ekstra paru

Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis
TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Pada pleuritis TB
terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan 2.
2.6 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung dengan organ yang
terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit
sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain
suara napas bronchial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-anda
penarikan paru, diafragma dan mediastinum2.
2.7 Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, LCS, bilasan bronkus,
bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan biopsi2.
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:
a.

3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif

b.

1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian, bila 1 kali positif, 2
kali negatif BTA positif bila 3 kali negatif BTA negatif 3 .

Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca


dengan skala International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUATLD). Skala IUATLD:
-

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.

Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++(3+)2.

2.8 Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi yaitu
foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah: Bayangan berawan/nodular
di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.
Kavitas terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular, bayangan bercak milier, efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral
(jarang). Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif: fibrotic, kalsifikasi.
2.9 Hubungan TB dan HIV
Ketika infeksi HIV berlanjut dan imunitas menurun, pasien menjadi rentan
terhadap berbagai infeksi. Beberapa di antaranya adalah TB, pneumonia, infeksi
jamur di kulit dan orofaring, serta herpes zoster. Infeksi tersebut dapat terjadi
pada berbagai tahap infeksi HIV dan imunosupresi 17.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/ AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang
terinfeksi TB menjadi sakit TB

. Menurut WHO, infeksi HIV terbukti

merupakan faktor yang memudahkan terjadinya proses pada orang yang telah

10

terinfeksi TB, meningkatkan risiko TB laten menjadi TB aktif dan kekambuhan,


menyulitkan diagnosis, dan memperburuk stigma. TB juga meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien pengidap HIV 7.
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada Gambar 2.

transmisi
transmisi
Jumlah kasus TB BTA +
Faktor lingkungan:
- Ventilasi
- Kepadatan
- Dalam ruangan
Faktor perilaku

Risiko menjadi TB bila


dengan HIV:
- 5-10% setiap
tahun
- > 30% lifetime

HIV (+)

TERPAJAN

SEMBUH

TB

INFEKSI

Diagnosis tepat
dan cepat
Pengobatan tepat
dan lengkap
Kondisi
kesehatan
mendukung

MATI

10%

Konsentrasi Kuman
Lama Kontak

Malnutrisi
Penyakit DM,
imunosupresan

Keterlambatan diagnosis
dan pengobatan
Tatalaksana tak memadai
Kondisi kesehatan

Gambar 2. Faktor Risiko Kejadian TB3


A. Patogenesis
Pada orang yang imunokompeten, ketika terinfeksi M. tuberculosis,
organisme disajikan kepada makrofag melalui ingesti dimana setelah diproses,
antigen mikobakteri disajikan ke sel-T. Sel CD4 mengeluarkan limfokin yang
meningkatkan kapasitas makrofag untuk menelan dan membunuh mikobakteri.
Pada sebagian besar orang terjadi infeksi dan TB tidak berkembang, meski
sejumlah basil tetap dorman tubuh. Hanya 10% dari kasus yang berkembang

11

menjadi TB klinis, segera setelah infeksi primer atau bertahun-tahun kemudian


sebagai reaktivasi TB. Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan pada fungsi
dari sel T dan makrofag5.
Deplesi dan disfungsi sel CD4 yang progresif, ditambah dengan
adanya kerusakan pada fungsi makrofag dan monosit, membentuk ciri infeksi
HIV. Disfungsi ini pada odha (orang dengan HIV dan AIDS) sebagai
predisposisi terjadinya infeksi TB baik primer maupun reaktivasi. Bukti
epidemiologis menunjukkan bahwa infeksi HIV meningkatkan risiko reaktivasi
laten TB dan juga risiko penyakit progresif dari infeksi baru5.
B. Diagnosis
Tuberkulosis pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran
klinis yang berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan
karena rendahnya reaksi imunologik penderita AIDS. Seperti diketahui
manifestasi klinis TB sebenarnya merupakan reaksi imunologik terhadap
Mycobacterium tuberculosis7. Banyak ditemukan diagnosis TB pada pasien HIV
berbeda dengan diagnosis TB pada umumnya, dimana gejala TB pada pasien
HIV tidaklah spesifik. TB ekstra paru lebih sering ditemukan pada pasien dengan
HIV dibandingkan pasien tanpa HIV sehingga bila ditemukan TB ekstraparu
harus dipikirkan kemungkinan adanya HIV. Tb ekstraparu yang sering
ditemukan adalah limfadenopati pada leher, abdomen atau aksila; efusi pleura;
efusi pericardial; efusi peritoneal; meningitis dan Tb mediastinum. Deteksi dini
HIV pada pasien TB juga harus dilaksanakan dengan baik dan telah diatur dalam
International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) yaitu : Uji HIV dan
konseling harus direkomendasikan pada semua pasien yang menderita atau yang
diduga menderita TB 18.
Ketika infeksi HIV berlanjut, limfosit T CD4+ mengalami penurunan baik
dalam jumlah maupun fungsinya. Sel ini memerankan peranan penting dalam
pertahanan tubuh terhadap M. tuberculosis. Dengan demikian, kemampuan

12

sistem imunitas menurun dalam mencegah pertumbuhan dan penyebaran lokal


bakteri tersebut17.
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diketahui dalam diagnosis pada pasien
TB dengan HIV18:
i.

Gambaran klinis TB paru, gambaran klinis TB paru secara umum

diawali dengan batuk lebih dari 2-3 minggu, sedangkan TB pada pasien
HIV/AIDS batuk bukan merupakan gejala umum. Pada TB dengan HIV demam
dan penurunan berat badan merupakan gejala yang penting.
ii.

Sputum BTA, karena sulitnya diagnosis TB paru pada pasien HIV

secara klinis dan pemeriksaan sputum BTA lebih sering ditemuakan BTA
negatif, maka diperlukan pemeriksaan kultur BTA. Pemeriksaan biakan sputum
merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB paru. Pada ODHA dengan gejala
klinis TB paru yang hasil pemeriksaan mikroskopik dahak BTA nya negatif,
pemeriksaan biakan dahak sangat dianjurkan karena hal ini dapat membantu
diagnosis TB paru. Selain itu, pemeriksaan biakan dan resistensi juga dilakukan
untuk mengetahui adanya MDR-TB, dimana pasien HIV merupakan salah satu
faktor risiko MDR-TB. Dalam rangka memperbaiki tata laksana pasien TB-HIV,
akhir-akhir ini telah ditemukan alat penunjang TB secara tepat yakni kultur
resistensi BTA dengan Genexpert, namun alat tersebut belum ada disetiap
layanan kesehatan, hanya ada pada sentral layana yang direkomendasi.
iii.

Foto thoraks, gambaran foto thoraks bervariasi dalam hal lokasi

maupun bentuknya. Umumnya gambaran foto thoraks pada TB terdapat di apeks,


namun pada TB-HIV bukan diapeks terutama pada HIV lanjut. Pada HIV yang
masih awal gambaran foto thoraks dapat sama pada gambaran foto thoraks pada
umunya, namun pada HIV lanjut gambaran foto thoraks sangat tidak spesifik.
Pada pasien TB-HIV tidak jarang ditemukan gambaran TB milier.
iv.

Pemeriksaan Tes Mantoux. Pemeriksaan tes mantoux dapat membantu

pada suspek TB dengan BTA negatif dan foto thoraks yang tidak khas dan
gambaran klinis yang kurang menunjang. Pada pasien suspek TB pada

13

umumnya, tes mantoux dinyatakan positif apabila diameter >= 10mm, namun
pada pasien dengan HIV positif diameter > 5 mm sudah dapat dinyatakan positif.
v.

Gambaran klinis TB ekstraparu. TB ekstraparu perlu diwaspadai pada

odha karena kejadiannya lebih sering dibandingkan pada TB dengan HIV negatif.
Diagnosis pasti dari TB ekstraparu sangat kompleks dan sulit terutama di daerah
dengan fasilitas yang terbatas. Berdasarkan ISTC, diagnosis TB ekstraparu dapat
dilakukan dengan mengambil lesi dan pemeriksaan patologi untuk menemukan
BTA dari jaringan apabila memungkinkan. Namun, apabila lesi sulit didapat,
diagnosis TB ekstraparu dapat ditegakkan dengan dugaan klinis yang menunjang.
Adanya TB ekstraparu pada pasien HIV merupakan tanda bahwa penyakitnya
sudah lanjut.
vi.

Penggunaan antibiotik pada pasien suspek TB dengan HIV positif.

Pemberian antibiotic pada pasien suspek TB paru sebagai alat bantu diagnosis
TB paru tidak direkomendasikan lagi karena dapat menyebabkan diagnosis TB
terlambat dengan konsekuensi pengobatan juga terlambat sehingga meningkatkan
risiko kematian. Penggunaan antibiotik kuinolon sebagai terapi infeksi sekunder
pada TB dengan HIV positif harus dihindari sebab golongan antibiotik ini
respons terhadap mikobakterium TB sehingga dikhawatirkan menghilangkan
gejala sementara. Disamping itu dikhawatirkan timbulnya resistensi, sementara
antibiotic golongan kuinolon dicadangkan sebagai OAT lini kedua. Alur
pendiagnosisan TB paru pada ODHA yang berobat jalan, secara ringkas
digambarkan pada Gambar 3.

14

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama

: Ny. Amelia

Tanggal Lahir / Umur : 18 Juli 1988/ 46 tahun


Alamat

: Panteriek

Suku

: Medan

Nomor CM

: 1-01-49-89

Jaminan

: JKRA

Tanggal pemeriksaan : 19 September 2014


Berat Badan

: 45 kg

Tinggi Badan

: 158 cm

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Batuk (sesekali)
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari Klinik VCT dengan keluhan batuk sesekali.
Batuk dikeluhkan sejak 2 minggu terakhir. Batuk tidak berdahak. Selain itu
pasien juga mengeluhkan kadang kadang perut terasa kembung, namun hilang
timbul, Pasien tidak mengeluhkan berat badan menurun, berkeringat di malam
hari (-), demam tidak ada, diare(-), BAK dan BAB tidak ada keluhan.
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah menderita penyakit TB
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Suami pasien menderita TB dan HIV
3.2.5 Riwayat Pemakaian Obat
Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan.
Riwayat penggunaan OAT(-)

15

3.2.6 Riwayat Kebiasaan Sosial


Pasien tidak pernah merokok, namun suami pasien adalah perokok.

Vital Sign
Kesadaran

: Compos Mentis

TD

: 120/60 mmHg

: 88 x/menit

RR

: 22 x/menit

: 36,5 0C

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum

: Baik

Kesadaran

: E4M6V5 (Compos Mentis)

Mata

: Konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-), sklera ikterik


(-/-), mata cekung (-/-), pupil bulat isokor, RCL (+/+),
RCTL (+/+)

Telinga

: Normotia, serumen (-)

Hidung

: NCH (-), sekret (-)

Mulut

: Mukosa bibir lembab, leukoplakia(-)

Leher

: Pembesaran KGB (-)

Thoraks

I: Simetris, retraksi (-)


P: fremitus taktil kanan=kiri, nyeri tekan (-)
P: sonor (+/+)

16

A: ves (+/+), rh (-/-) , wh (-/-)


Cor

: BJ I > BJ II, reguler (+), bising (-)

Abdomen

I: simetris, distensi (-)


P: soepel, nyeri tekan (-), H/L/R/ tak teraba
P: timpani (+)
A: peristaltik (+) kesan normal
Ekstremitas

Superior : Edema (-/-), pucat (-/-), sianosis (-/-), akral hangat

Inferior : Edema (-/-), pucat (-/-), sianosis (-/-), akral hangat

3.4

Pemeriksaan Penunjang
Lab DarahRutin (15/09/2014)
Hb

: 10,1 gr/dl

Ht

: 32%

Eritrosit

: 4,5 x 106/mm3

Leukosit

: 7,8 x 103/mm3

Trombosit

: 444.000 U/L

Hitung jenis

: 0/0/0/54/39/7 %

Na/K/Cl

: 139/4,6/98 mmol/L

Ur/Cr

: 18/0,49 mg/dl

Bilirubin Total

: 0,27 mg/dl

Bilirubin Direct

: 0,21 mg/dl

SGOT

: 17 U/l

SGPT

: 6 U/l

17

Alk. Posfatase

: 111 U/l

Protein total

: 6,6 U/l

Albumin

: 3,6 gr/dl

Globulin

: 3,0 gr/dl

Foto Thoraks

Ekspertise: cor/aorta : normal,


lung: normal
Soft tissue dan skeletal normal.
Kesimpulan: chest x ray normal
3.5 Diagnosa Banding
Susp. TB paru pada HIV

18

3.6

Diagnosa Sementara
Susp. TB paru pada HIV

3.7

Terapi

Terapi Nonmedikamentosa

Istirahat yang cukup

Hindari diri dari asap rokok

Terapi Medikamentosa

Vectrine cap 3x1

Cotrimoxazol 960 mg 1x1

3.8

Planning

Sputum mikroorganisme

Sputum BTA SPS

Kultur sputum

Uji tuberkulin

3.9

Prognosis
Quo ad vitam

: Dubia ad Bonam

Quo ad functionam

: Dubia ad Bonam

Quo ad Sanactionam

: Dubia ad Bonam

19

Anda mungkin juga menyukai