Anda di halaman 1dari 75

ExecutiveSummary 1

PENDAHULUAN




A. UMUM

Bencana tsunami yang melanda NAD dan Sumatra Utara serta Selatan Pulau
Jawa telah menyadarkan pentingnya ekosistem pantai dikelola secara bijaksana dan
berkelanjutan. Hal ini terbukti dari lokasi-lokasi yang terkena dampak tsunami paling
parah adalah lokasi yang pengelolaan ekosistem mangrovenya terabaikan atau tidak ada
pengelolaan sama sekali.
Di sisi lain kondisi hutan mangrove saat ini mengalami tekanan-tekanan akibat
pemanfaatan dan pengelolaan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian.
Berdasarkan data BPLHD Provinsi Jawa Barat tahun 2002 tingkat kerusakan hutan
mangrove di wilayah BPDAS Citarum-Ciliwung telah cukup parah. Untuk itu agar terwujud
multifungsi hutan mangrove secara proporsional dan lestari perlu dilakukan Inventarisasi
dan Identifikasi mangrove, sehingga diperoleh data dan informasi tentang kondisi dan
potensinya. Hal ini penting sebagai bahan perencanaan kedepan dalam pengelolaan
hutan mangrove di wilayah Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung dalam bentuk peta
kerusakan hutan mangrove serta rekomendasi penanganan dan rehabilitasinya.
Pelaksanaan kegiatan ini menggunakan dasar yuridis mulai dari Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Keppres, lnmendagri dan lain-lain. Adapun maksud dan tujuan
adalah untuk memperoleh data dan informasi yang akurat tentang kondisi dan potensi
hutan mangrove di Wilayah Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung sebagai bahan
perencanaan, pengembangan dan perlindungan hutan mangrove sedangkan tujuannya
adalah:
1. Memperoleh gambaran mengenai tingkat kerusakan mangrove.
2. Memperoleh gambaran mengenai penyebab terjadinya kerusakan hutan mangrove.
3. Memperoleh gambaran tentang potensi pengembangan, pemanfaatan dan
perlindungan kawasan hutan mangrove.
4. Menganalisis dan mengkaji hasil butir 1, 2 dan 3 serta merumuskannya menjadi
rekomendasi (teknologi dan pendekatan) terkait dengan upaya penanganan,
pengembangan dan perlindungan hutan mangrove.
5. Menyajikan peta kondisi dan potensi pengembangan mangrove skala 1: 50.000.
1




ExecutiveSummary 2
Ruang lingkup kegiatan dimulai dari studi pustaka, penentuan kriteria tingkat
kerusakan, pengamatan lapang (observasi) baik vegetasi maupun sosial ekonomi
masyarakat dan analisis penyusunan sampai pelaporan termasuk ekspos, dengan
sasaran lokasi adalah pesisir wilayah pelayanan BPDAS Citarum-Ciliwung.






































ExecutiveSummary 3

GAMBARAN UMUM WILAYAH BP-DAS
CITARUM-CILIWUNG



A. POSISI LOKASI KEGIATAN

Lokasi kegi atan Inventarisasi dan Identifikasi Hutan Mangrove di Wilayah DAS
Citarum-Ciliwung berada di 13 Kabupaten/Kota yaitu: Sebagian Kabupaten Indramayu,
Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kotamadya Jakarta Utara,
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang,
Kabupaten Pandegalang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur
dan Kota Cilegon.

B. WILAYAH KERJA

Berdasarkan wilayah DAS, wilayah pelayanan Balai Pengelolaan DAS Citarum
Ciliwung dibagi menjadi 3 (tiga) batas ekosistem Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (SWP DAS), yaitu SWP DAS Citarum (1.444.654,50 Ha), SWP DAS
Ciliwung-Cisadane (1.005.037 Ha) dan SWP DAS Ciujung Teluk Lada (753,51 Ha),
seperti terlihat pada Tabel 1. sebagai berikut:
Tabel 1. Luas Wilayah BP DAS Citarum Ciliwung Berdasarkan Sebaran
SWP DAS/DAS

No SWP DAS / DAS Luas (Ha)

I

CITARUM
1. Citarum
2. Cipanagara
3. Ciasem
4. Cibuni
5. Cilamaya
6. Cisadaea
7. Cisokan
8. Ciujung
9. Cipandak
10. Cidamar
11. Cilaki

1.448.654,50
811.944,00
129.850,50
101.162,50
140.608,25
78.024,25
51.704,00
24.032,00
17.500,25
18.485,50
30.201,75
44.766,75

II

CILIWUNG-CISADANE
1. Ciliwung
2. Cisadane
3. Cimandiri
4. Cikaso
5. Cileutuh

1.005.037,00
38.260,00
155.975,00
201.431,00
113.720,00
42.312,00
2




ExecutiveSummary 4
No SWP DAS / DAS Luas (Ha)
6. Cikarang
7. Cidurian
8. Cimanceuri
9. Kali Angke
10. Kali Bekasi
34.519,00
91.127,00
83.712,00
65.975,00
178.006,00

III

CIUJUNG TELUK LADA
1. Ciujung
2. Cidanau
3. Cibanten
4. Ciliman
5. Cibaliung
6. Cibareno
7. Cisiih
8. Cihara
9. Cikeruh
10. Cibungur
11. Cimadur

753.512,00
221.792,00
22.620,00
80.168,00
89.525,00
63.669,00
50.751,00
15.153,00
31.490,00
58.097,00
98.484,00
21.763,00
Total : 3.206.808,25
Sumber: BPDAS Citarum-Ciliwung, 2005

Berdasarkan wilayah administrasi, wilayah pelayanan Balai Pengelolaan DAS
Citarum Ciliwung terletak di :
1. Provinsi Banten dengan 4 (empat) Kabupaten yaitu; Serang, Pandeglang,
Tangerang dan Lebak serta 2 (dua) Kota yaitu; Tangerang dan Kota Cilegon.
2. Provinsi Jawa Barat dengan 7 (tujuh) Kabupaten yaitu; Bandung, Subang,
Purwakarta, Karawang, Cianjur, Bogor, Sukabumi dan Bekasi serta 6 (enam) Kota
yaitu; Bandung, Cimahi, Sukabumi, Bogor, Depok dan Bekasi.
3. Provinsi DKI Jakarta dengan 5 (lima) Kota yaitu ; Jakarta Pusat, Jakarta Utara,
Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan 1 (satu) Kabupaten yaitu
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

C. KEBERADAAN HUTAN MANGROVE

1. Luas Hutan
Luas hutan mangrove yang berada di wilayah Provinsi Jawa Barat (Wilayah BP-
DAS Citarum-Ciliwung) terdapat di Pantai Utara Jawa Barat yaitu dalam kawasan hutan
meliputi 2 KPH (Bogor dan Purwakarta), dan di luar kawasan hutan meliputi 5 Kabupaten
yaitu, (Kabupaten Serang, Kabupaten Tanggerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten
Karawang dan Kabupaten Subang) dengan luas keseluruhan adalah 35.560,10 Ha
(BPDAS Citarum-Ciliwung, 2005).






ExecutiveSummary 5
1.1. Luas di Dalam Kawasan Hutan
Luas hutan mangrove di dalam kawasan hutan di bawah pengelolaan Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat meliputi areal seluar 25.226,10 Ha, tersebar di 2 KPH yaitu
KPH Bogor dan KHP Purwakarta, secara rinci dapat pada Tabel 2. berikut ini.
Tabel 2. Luas Kawasan Hutan Mangrove Perum Perhutani Unit III Jawa Barat
Wilayah BP-DAS Citarum-Ciliwung.

No KPH/BKPH Luas Hutan (Ha)
1


2
BOGOR
- Tanjungkarang
- Tangerang

PURWAKARTA
- Cikiong
- Ciasem/Pamanukan

10.481,15
1.647,10
12.128,25

7.823,45
5.274,40
13.097,85
JUMLAH 25.226,10
Sumber: BPDAS Citarum-Ciliwung, 2005

1.2. Di Luar Kawasan Hutan
Luas tanaman mangrove dan tambak mangrove yang berada di luar kawasan
hutan, yang berupa lahan milik masyarakat maupun lahan lainya di luar kawasan hut an,
meliputi areal seluas 10.33 Ha, tersebar di 5 Kabupaten yaitu Kabupaten Serang,
Tanggerang, Bekasi, Karawang dan Subang, digambarkan pada Tabel 3. berikut ini:

Tabel 3. Luas Tanaman Mangrove dan Tambak di luar Kawasan Hutan
Negara di wilayah BP-DAS Citarum-Ciliwung.

No Kabupaten
Luas Tanaman
Mangrove
Luas Tambak Jumlah
1 Serang 299 - 299
2 Tangerang 63 - 63
3 Bekasi 196 - 196
4 Karawang 54 6.663 6.717
5 Subang 845 2.214 3.059
JUMLAH 1.46 8.877 10.334
Sumber: BPDAS Citarum-Ciliwung
2. Kondisi Hutan Mangrove
Ekosistem mangrove di jalur pantai Utara Jawa Barat wilayah BP-DAS Citarum-
Ciliwung, sebagian besar (25.226,10 Ha) berbentuk kawasan hutan dan sebagian yang
lain (10.334 Ha) berupa lahan milik masyarakat dan lahan lainnya yang digunakan untuk
areal pemukiman.




ExecutiveSummary 6
Pola pendayagunakan wilayah pant ai dengan mengkonversi hutan mangrove
menjadi areal pertambakan, pertanian, pemukiman, perindustrian dan lainnya menjadi
paktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove.
Wilayah Pantai Utara Jawa Barat sebagian besar merupakan daerah akresi, yaitu
daerah yang terus menerus bertambah luas karena proses pengendapan lumpur yang
berasal dari sungai-sungai yang bermuara di laut Jawa. Dari segi ekosistem hutan
mangrove, akresi membuka kesempatan berkembangnya hutan mangrove muda kearah
laut dengan menempati tanah timbul, akan tetapi bersamaan dengan terjadinya tanah
timbul, langsung dikuasai oleh masyarakat untuk dijadikan pertambakan baru.
Berdasarkan data yang tersedia di Badan Pertahanan Nasional (BPN) Provinsi
Jawa Barat, luas tanah timbul yang terjadi saat ini adalah seluas 13.542,63 ha, sedangkan
luas tanah yang hilang akibat terjadinya abrasi adalah seluas 4.480,08 ha.

3. Pemanfaatan yang Telah Dilakukan
Berdasarkan hasil data peta penelitian pemeliharaan desa pantai utara Jawa
Barat wilayah BP-DAS Citarum-Ciliwung seluas 106.533 ha, maka
pemanfaatan/penggunaan lahan pada saat ini meliputi tanaman mangrove 1.457 ha,
tambak mangrove 8.877 ha, tambak 33.156 ha, pertanian 56.638 ha, rawa 149 ha, lain-
lain 6.256 ha. Dari luas desa-desa pantai di wilayah BP-DAS Citarum-Ciliwung 106.533
ha, luas yang ditumbuhi tanaman bakau adalah 10.334 ha (9.70%).

4. Tata Batas/ Proses Penetapannya
Didalam kawasan hutan dari luas hutan mangrove 25.226,10 ha, telah dikukuhkan
dan ditata batas seluas 21.408,44 ha, dan diluar kawasan hutan kepemilikan lahan yang
dikuasai masyarakat, bukti kepemilikan masih berupa girik, apalagi terhadap tanah timbul
masih berupa surat izin dari desa, sedangkan untuk lahan yang dikuasai oleh para
pengusaha pada umumnya sudah bersertifikat.















ExecutiveSummary 7
METODE PENDEKATAN


A. KERANGKA PEMIKIRAN

Untuk mencapai maksud dan tujuan kegiatan yang telah ditetapkan diperlukan
suatu kerangka pendekatan yang akan bermanfat dalam penyusunan kerangka pemilikan
serta identifikasi masalah, yang selanjutnya dapat disusun metodologi pelaksanaan
kegiatan secara komprehensif yang diperlukan. Dalam penyusunan metodologi
pelaksanaan tersebut akan tercakup tahapan-tahapan dan metode-metode yang
digunakan serta rencana kegiatan yang diperlukan mulai dari persiapan sampai
penyelesaian kegiatan. Proses ini dilakukan secara seimbang dan terkait satu sama lain,
sehingga diperoleh metode pelaksanaan kegiatan yang dianggap akomodatif dan
konstruktif.
Secara umum kerangka pendekatan yang digunakan dalam kegiatan
Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove di Wilayah Balai Pengelolaan DAS Citarum-
Ciliwung tersusun dari beberapa tahapan persiapan, identifikasi masalah, penyusunan
metode dan keluaran. Untuk itu kerangka pendekatan yang digunakan sesuai tahapan-
tahapan yang dimaksud digambarkan seperti pada Gambar 1.
















Gambar 1. Kerangka Pendekatan Inventarisasi dan Identifikasi
Hutan Mangrove Tahun 2006.
3
Persiapan
Peraturan
Perundangan
Peta Lokasi
Rencana
Kepustakaan Penyediaan
Instrumen
Interpretasi dan
survey
Penyediaan
Citra Satelit
Interpretasi
Citra Satelit
Kondisi dan Potensi Ht.
Mangrove
Kondisi dan Potensi Ht.
Mangroveterkoreksi
Permasalahan
Pengolahan
Pelaporan
Survey
Lapangan
Sosial
Ekonomi
Rencana Tata
Ruang
Kelembagaan




ExecutiveSummary 8
B. METODE PENDEKATAN PELAKSANAN KEGIATAN

Tahapan Pelaksanaan Kegiatan adalah
1. Persiapan, meliputi pengumpulan data sekunder, penyiapan peta lokasi rencana
kegiatan, penyediaan citra satelit, studi kepustakaan dan penyediaan instrumen.
2. Pelaksanaan Kegiatan adalah :
a. Interpretasi Citra, dalam hal ini menggunakan analisis visual. Hasil analisis
digunakan sebagai panduan untuk survey lapang.
b. Survey Lapang
Kegiatan survey lapang yang dilakukan adalah survey vegetasi mangrove, survey
sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan dan survey kelembagaan.
Survey vegetasi mengunakan metode plot dengan arah jalur tegak lurus pantai
jika mangrove tebal dan sejajar pantai jika mangrove tipis. Plot yang dibuat
menggunakan ukuran standar, dan kriteria vegetasi juga menggunakan ketentuan
yang baku. Intensitas contoh adalah 0.1 % dengan lokasi-lokasi pengamatan
sesuai dengan analisis citra dan penelusuran sepanjang pantai. Survey sosial
ekonomi menggunakan kuesioner dengan intensitas contoh 1 %, dengan lokasi-
lokasi adalah desa-desa yang ada mangrove dan hutan pantainya. Survey
kelembagaan dilakukan dengan mendatangi intansi terkait dan diskusi.
c. Analisis Data
Data vegetasi di analisis dengan metode kuantitatif untuk vegetasi, analisis
kerusakan dengan metode yang disusun oleh Departemen Kehutanan. Analisis
sosial ekonomi dilakukan secara deskriptif. Analisis kesesuaian lahan dengan
kriteria yang disusun dari berbagai pustaka. Analsis kelembagaan dengan
metode deskriptif menggunakan pendekatan tupoksi. Analisis zonasi dengan
mengkaji Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kondisi lapang. Selanjutnya
berdasarkan data dan analisis yang telah dilakukan disusun strategi dan
kebijakan dalam pengelolaan mangrove dengan menggunakan met ode SWOT
yang diberi pembobot.
d. Penyusunan Laporan
Penyusunan laporan dilakukan dengan menuliskan hasil-hasil kegiatan dari
persiapan sampai hasil analisis. Selain itu juga disampaikan kesimpulan dan
rekomendasi kebijakan.









ExecutiveSummary 9
HASIL DAN PEMBAHASAN



A. KABUPATEN INDRAMAYU

Berdasarkan citra satelit, data dari Kantor Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten
Indramayu dan KPH Indramayu di dua Kecamatan lokasi kegiatan yaitu Kecamatan
Kandang Haur dan Kecamatan Sukra tidak ditemukan hutan mangrove. Untuk itu analisis
keberadaan hutan mangrove di Kabupaten Indramayu yang termasuk dalam wilayah
pelayanan BPDAS Citarum-Ciliwung tidak dapat diuraikan.
Secara hukum pengelola hutan mangorve di Kabupaten Indramayu adalah Kantor
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Indramayu, adapun intansi lain yang terkait
adalah Departemen Kehutanan, Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas
Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat, BPLHD
Provinsi Jawa Barat dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu. Dengan
banyaknya intansi terkait pengelolaan dapat menimbulkan konflik kepentingan antar
istansi yang diakibatkan karena lemahnya koordinasi, data yang tidak lengkap dan akurat
serta lemahnya partisifasi dan saling mengandalkan.
Walaupun tidak ditemukan mangrove alami namun pada wilayah Kabupaten
Indramayu masih berpotensi untuk pengembangan karena didukung oleh faktor-faktor
lingkungan berupa iklim, kondisi fisiografi pantai, gelombang dan arus di lokasi kegiatan
yang umumnya merupakan arus gabungan yang ditimbulkan oleh arus regional dan arus
pasang surut dan nilai salinitas. Dengan melihat kondisi tersebut maka tingkat kesesuaian
lahan untuk potensi pengembangan mangrove tergolong tinggi.
Kondisi sosial ekonomi manunjukan bahwa masyarakat di lokasi kegiatan
mengusahakan pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan sebagai mata
pencaharian mereka.
Walaupun secara nyata di Kabupaten Indramayu tidak ada hutan mangrove,
namun secara teoritis pembangunan hutan mangrove di lokasi ini penting untuk:
Perlindungan ekosistem pesisir, terutama abrasi pantai dan Peningkatan
keanekaragaman hayati baik flora maupun pauna.
Selanjutnya untuk pengembangan mangrove perlu disusun rencana, strategi dan
kebijakan yang didasarkan pada kondisi lingkungan internal dan eksternal lokasi.
a. Lingkungan Internal
1. Kekuatan
? Perhatian pemerintah cukup besar.
4




ExecutiveSummary 10
? Menjaga kelestarian ekosistem pesisir secara lestari.
? Dapat mencegah abrasi dan intrusi air laut.
? Dapat menjadi sumber mata pencaharian masyarakat .
? Memiliki potensi wisata
2. Kelemahan
? Pemahaman fungsi ekosistem mangrove baik dari aparat maupun
masyarakat masih rendah.
? Semakin berkurangnya vegetasi mangrove alami yang baik, sehingga tidak
ada contoh nyata kegunaan mangrove.
? Sosial ekonomi masyarakat rendah, sehingga lebih mengutamakan usaha
yang lebih cepat mendatangkan hasil (tambak).
? Kemampuan aparat dalam pengelolaan magrove rendah.
? Belum mengenal pola pengelolaan l ahan tambak dengan silvofishery.
b. Lingkungan Eksternal
1. Peluang
? Luasan daerah yang sesuai untuk mangrove cukup besar.
? Dapat meningkatkan kualitas lingkungan.
? Tersedianya pendanaan untuk rehabilitasi mangrove.
? Kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan tanaman mangrove meningkat.
? Terintegrasinya intansi pengelola ekosistem mangrove.
2. Kelemahan
? Rendahnya keinginan reboisasi.
? Menganggap nilai ekonomi mangrove rendah.
? Kebutuhan lahan untuk tambak tinggi.
? Tumpang tindihnya pengelolaan rehabilitasi mangrove.
? Pemulihan ekosistem alami sangat lambat .
Berdasarkan kedua kondisi tersebut maka srtategi dan kebijakan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan Ekosistem Mangrove;
? Rehabilitasi hutan mangrove dengan mengedepankan masyarakat sebagai
pelaku sehingga tercipta keinginan, kesadaran dan merasa memiliki.
? Menyebarkan data dan informasi tentang ekosistem mangrove untuk menjamin
perlindungan, konservasi, rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang lestari
secara ilmiah dan berdasarkan teknologi.
b. Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat;
? Meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan nilai-nilai sosial,
ekonomi dan ekologi serta fungsi hutan mangrove,




ExecutiveSummary 11
? Menciptakan partisipasi masyarakat yang tahu, aktif dan efektif dalam
pengelolaan mangrove secara lestari,
? Memberi keyakinan tentang penggunaan prinsip no net loss (tidak ada yang
hilang) dalam pengelolaan mangrove kepada masyarakat sekitar.
? Mencarikan solusi pemanfaatan mangrove yang berdampak langsung terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kemitraan dengan
pengusaha menggunakan pola-pola kemitraan tertentu seperti budidaya
sylvofishery.
? Pengembangan wisata.
c. Penguatan Kelembagaan dan Penegakkan Hukum;
? Mengitegrasikan intansi dan lembaga pengelola termasuk LSM dengan kejelasan
tupoksi dan legalitas formal dari pemerintah daerah setempat.
? Menciptakan pemahaman yang lebih baik, kerjasama dan koordinasi antar
intansi-intansi dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove,
terutama dibentuknya lembaga khusus untuk menangani mangrove di Kabupaten
Indramayu,
? Membuat kerangka kerja yang efektif dalam pengelolan mangrove dan zona
pantai secara lestari secara koordinatif dengan semua intansi yang terkait dengan
mangrove.
? Memperjelas masalah-masalah hukum yang terkait dengan pengelol aan
mangrove, termasuk hak penggunaan lahan, hak untuk menggarap, peraturan
nasional dan lokal tentang pemanfaatan mangrove. Terutama pengetatan aturan
penggunaan dan pemanfaatan sempadan pantai oleh masyarakat dan swasta.
? Memperjelas status hukum zona pantai dan mangrove secara khusus melalui
keputusan pemerintah daerah, dan sekaligus adanya kebijakan keharusan
penanaman mangrove kepada petani tambak, seperti kewajiban menanam
mangrove 100 pohon untuk satu hektar.















ExecutiveSummary 12
B. KABUPATEN SUBANG

Berdasarkan analisis citra satelit Landsat tahun 2005/2006, maka luas hutan
mangrove di Kabupaten Subang diperkirakan sekitar 885,92 ha, yang terdiri dari 552,88
ha di Kecamaatan Blanakan dan 333,05 ha di Kecamatan Legon Kulon. Berdasarkan
hasil tumpang susun peta kawasan hutan Jawa Barat dengan peta hasil analisis citra,
teridentifikasi berada di dalam kawasan hutan.
Karakteristik Ekologi hutan mangrove di Kabupaten Subang ditemukan jenis
Avicenia marina, Soneratia alba dan Rhizophora stylosa, dengan dominasi dari jenis
Avicenia alba. Dengan demikian maka kekayaan jenis juga akan rendah,
keanekaragaman jenis juga rendah dan tingkat kemeratan pun rendah. Kondisi ini
menyebabkan karakteristik Ekologi tidak stabil dan tertekan. Namun dari jenis dominan
tampak bahwa jenis yang ada adalah jenis primer.
Sosial ekonomi masyarakat didominasi petani tambak dengan fasilitas
perekonomian cukup baik, status pemilikan lahan sewa (atau hak milik), kelembagaan
sosial cukup baik. Persepsi masyarakat terhadap mangrove baik, paham manfaatnya,
interaksi kuat, namun kurang dalam pengelolaannya.
Kelembagaan yang terkait dengan mangrove cukup banyak baik tingkat pusat,
provinsi maupun kabupaten dan desa dapat bersifat formal maupun informal
(masyarakat). Hal tersebut dapat menimbulkan masalah dalam pengelolaan sehingga
perlu sinkronisasi dan koordinasi yang lebih jelas.
Tingkat kerusakan menunjukan rusak, pada daerah yang lebih luas. Adapun
faktor penyebab kerusakan mangrove tersebut dapat berasal dari faktor Ekologi, sosial
ekonomi, kelembabagan maupun perundang-undangan.
Tingkat kerusakan yang tampak dengan menggunakan teknologi SIG
digambarkan pada Tabel 4. di bawah ini.
Tabel 4. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan SIG dan Penginderaan Jauh

No Lokasi
Jenis Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
1 Balanakan
Tambak
Tumpangsari
sedang
Asosiasi Aluvial Kelabu &
Aluvial Coklat Kekelabuan
(di daerah pantai)
220 Rusak
2 Langensari
Tambak
Tumpangsari
jarang
Asosiasi Aluvial Kelabu &
Aluvial Coklat Kekelabuan
(di daerah pantai)
185 Rusak
3 Tanjung Tiga
Tambak
Tumpangsari
jarang
Asosiasi Aluvial Kelabu &
Aluvial Coklat Kekelabuan
(di daerah pantai)
185 Rusak
4
Pangarengan
I
Tambak
Tumpangsari
jarang
Asosiasi Aluvial Kelabu &
Aluvial Coklat Kekelabuan
(di daerah pantai)
185 Rusak




ExecutiveSummary 13
No Lokasi
Jenis Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
5
Pangarengan
II
Tambak
Tumpangsari
jarang
Asosiasi Aluvial Kelabu &
Aluvial Coklat Kekelabuan
(di daerah pantai)
185 Rusak
Sumber: Hasil Analisis Data
Kemudian Penilaian kerusakan hutan mangrove melalui survey lapang
menggambarkan hasil selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan Survey Lapang

No Lokasi Penilaian
Tipe Penutupan
dan
Penggunaan
lahan
Jumlah
Pohon
Per
Hektar
Jumlah
Permudaan
Per Hektar
Lebar
Jalur Hijau
Mangrove
Tingkat
Abrasi
Nilai Kategori
1 Balanakan
Pengamatan
Tambak
Tumpangsari
210 7500 1588 > 5m

Skor
3 1 5 5 1 300 rusak
2 Langensari
Pengamatan
Tambak
Tumpangsari
95 1280 1315 > 5m

Skor
3 1 2 5 1 240 rusak
3 Tanjung Tiga
Pengamatan
Tambak
Tumpangsari
175 7500 927 > 5m



Skor
3 1 5 5 1 300 rusak
4
Pangarengan
I Pengamatan
Tambak
Tumpangsari
205 10000 941.4 > 5m



Skor
3 1 5 5 1 300 rusak
5
Pangarengan
II Pengamatan
Tambak
Tumpangsari
150 8500 941.4 > 5m


Skor
3 1 5 5 1 300 rusak
Sumber: Hasil analisis data

Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat tahun 2005/2006 dan SIG, diketahui
luas tingkat kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Subang, selengkapnya
diperlihatkan pada Tabel 6. berikut:
Tabel 6. Lokasi dan Luas Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Kabupaten Subang
Luas (Ha)
No. Kecamatan Desa
Dalam
Kawasan
Luar
Kawasan
Keterangan
Tingkat
Kerusakan
Lokasi
DAS
Blanakan
1,46

Rusak

143,18
Hutan Lindung
Rusak
Cilamaya Girang
27,48
Hutan Lindung
Rusak
Jayamukti
14,65

Rusak

97,62 Hutan Lindung Rusak
Langensari
106,51 Hutan Lindung Rusak
Muara
2,19

Rusak
1. Blanakan
Tanjungtiga
160,91

Rusak
Cipunagara
Legon Wetan
42,03

Rusak
Mayangan
169,01

Rusak 2. Legon Kulon
Pangarengan
121,99

Rusak
Cipunagara

Jumlah
374,80 512,26






ExecutiveSummary 14
Secara umum, kondisi hutan mangrove yang ada masih termasuk dalam kondisi
cukup baik. Adapun pelestarian dan pengembangan, hutan mangrove di lokasi ini penting
untuk:
a. Pemanfaatan;
a. Pengembangan kawasan budidaya sylvofishery,
b. Kawasan ekowisata mangrove
c. Pengembangan keanekaragaman hayati.
b. Perlindungan;
? Sempadan pantai untuk penahan abrasi,
? Peningkatan kualitas lingkangan pesisir.
Potensi pengembangan hutan mangrove untuk pemanfaatan dan perlindungan
selengkapnya disajikan pada Tabel 7. berikut:
Tabel 7. Potensi Pengembangan Untuk Pemanfaatan dan Perlindungan
Luas Pengembangan (Ha)
No Kecamatan
Status
Kawasan
Pemanfaatan Perlindungan
DK 150,84 4,20
1 Blanakan
LK 60,86 0,00
DK 156,09 4,61
2 Legon Kulon
LK 145,08 0,50
Jumlah 512,86 9,32
Sumber: Analisis Data
Adapun untuk pengembangan mangrove selanjutnya perlu disusun rencana,
strategi dan kebijakan yang didasarkan pada kondisi lingkungan internal dan eksternal
lokasi.
1. Lingkungan Internal
a. Kekuatan
? Perhatian pemerintah cukup besar.
? Menjaga kelestarian ekosistem pesisir secara lestari.
? Dapat memberikan pendapatan yang cukup tinggi.
? Meningkatkan kualitas lingkungan.
? Terdapat kelompok masyarakat pemerhati mangrove.
? Sudah dilaksanakan pemanfaatan ekosistem mangrove dengan sistem
Silvofishery.
? Adanya hubungan baik antara kelompok masyarakat dengan Perhutani
b. Kelemahan
? Jenis terbatas, sehingga keanekaragaman rendah akibatnya ekosistem labil.
? Pemahaman masyarakat fungsi ekosistem mangrove masih lemah.
? Sosial ekonomi masyarakat rendah.
? Adanya Ketidakjelasan pengelola kawasan mangrove




ExecutiveSummary 15
2. Lingkungan Eksternal
a. Peluang
? Kesesuaian lahan untuk mangrove cukup luas.
? Tersedianya pendanaan untuk rehabilitasi mangrove.
? Lahan cocok untuk kegiatan budidaya silvofishery.
? Munculnya tanah timbul.
? Memiliki potensi wisata.
b. Tantangan
? Adanya usaha pembukaan mangrove.
? Dianggap mempunyai nilai ekonomi rendah.
? Peluang pemasaran hasil produksi.
? Kebutuhan lahan untuk tambak tinggi.
? Tumpang tindihnya pengelolaan rehabilitasi mangrove.
? Pemulihan ekosistem alami sangat lambat
Berdasarkan kedua kondisi tersebut maka srtategi dan kebijakan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan Ekosistem Mangrove ;
? Menghentikan perusakan, penurunan dan penggunaan secara tidak lestari dari
ekosistem mangrove baik oleh masyarakat maupun pembukaan tambak baru.
? Memelihara dan mengelola hutan mangrove secara lestari dalam bentuk
kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan mangrove melalui peningkatan nilai
Ekologi, budaya dan sosial.
? Menyebarkan data dan informasi tentang ekosistem mangrove untuk menjamin
perlindungan, konservasi rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang lestari
secara ilmiah dan berdasarkan teknologi.
b. Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat
? Meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan nilai-nilai sosial,
ekonomi dan ekologi serta fungsi hutan mangrove,
? Menciptakan mata pencahrian alternatif bagi masyarakat,
? Menciptakan partisipasi masyarakat yang tahu, aktif dan efektif dalam
pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari.
? Mencarikan solusi pemanfaatan mangrove yang berdampak langsung terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kemitraan dengan
pengusaha menggunakan pola-pola kemitraan tertentu.
c. Penguatan Kelembagaan dan Penegakkan Hukum




ExecutiveSummary 16
? Menciptakan pemahaman yang lebih baik, kerjasama dankoordinasi antar intansi-
intansi dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove, terutama
dibentuknya lembaga khusus untuk menangani mangrove di Kabupaten Subang.
? Membuat kerangka kerja yang efektif dalam pengelolan mangrove dan zona
pantai secara lestari secara koordinatif dengan semua intansiyang terkait dengan
mangrove.
? Memperjelas masalah-masalah hukum yang terkait dengan pengelolaan
mangrove, termasuk hak penggunaan lahan, hak untuk menggarap, peraturan
nasional dan lokal tentang pemanfaatan mangrove. Terutama pengetatan aturan
pengguanaan dan pemanfaatan sempadan pantai oleh masyarakat dan swasta.
? Membuat jelas status hukum tentang zona pantai secara umum dan mangrove
secara khus us melalui keputusan pemerintah daerah, dan sekaligus adanya
kebijakan keharusan penanaman mangrove kepada petani tambak, seperti
kewajiban menanam mangrove 100 pohon untuk satu hektar.




























ExecutiveSummary 17
C. KABUPATEN KARAWANG

Berdasarkan hasil analisis citra Landsat tahun 2005/2006 luas hutan mangrove di
Kabupaten Karawang adalah 407,58 ha, tersebar di Kecamatan Cibuaya 18,34 ha, di
Kecamatan Cilamaya 2,15 ha, Kecamatan Tempuran 18,70 ha dan Kecamatan Tirtajaya
seluas 58,387. Dengan jumlah di dalam kawasan seluas 154,30 dan di Luar kawasan
seluas 253,30 ha.
Karakteristik Ekologi hutan mangrove di kabupaten Karawang tergolong miskin
jenis, dengan jenis yang ada yaitu Avicenia sp (Api -api), Xylocarpus granatum (Bogem),
Bruguiera gymnoriza (Tancang) dan Rhizophora sp (Bakau kacang). Tingkat kekayaan
jenis cukup baik untuk tingkat semai, keanekaragaman jenis rendah dan nilai kemerataan
juga rendah. Kondisi ini menybabkan karakteristik Ekologi tidak stabil dan tertekan.
Namun dari jenis dominan tampak bahwa jenis yang ada adalah jenis primer.
Pengelola hutan mangorve yaitu: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan
Kabupaten Karawang, KPH Purwakarta dan intansi lain yang terkait yaitu: Ditjen KP3K
Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Dinas
Kelautan dan Perikanan Jawa Barat, BPLHD Provinsi Jawa Barat dan Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Karawang.
Sosial ekonomi masyarakat lokasi kegiatan secara umum didominasi dengan
fasilitas perekonomian cukup baik, status pemilikan lahan sewa (atau hak milik) dan
kelembagaan sosial cukup baik. Persepsi masyarakat terhadap mangrove baik, paham
manfaatnya, interaksi kuat, namun kurang dalam pengelolaannya.
Tingkat kerusakan menunjukan sebagiaan kecil rusak hingga rusak berat, pada
daerah yang lebih luas. Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG, diketahui
luas tingkat kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Karawang, selengkapnya
diperlihatkan pada Tabel 8. berikut:
Tabel 8. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan Survey Lapang
No Lokasi Penilaian
Tipe
Penutupan
dan
Penggunaan
lahan
Jumlah
Pohon
Per
Hektar
Jumlah
Permudaan
Per Hektar
Lebar
Jalur
Hijau
Mangrove
Tingkat
Abrasi
Nilai
1
Muara
Lama
Pengamatan
tambak
tumpangsari
342 8928 386
10-20
m
300
Skor 3 1 5 5 1
2
Muara
Baru
Pengamatan
tambak
tumpangsari
270 5833 1.057
10-20
m
300
Skor 3 1 5 5 1
3 Sukakerta Pengamatan
tambak
tumpangsari
257 6785 354
10-20
m
300
Skor 3 1 5 5 1
Sumber: Hasil Analisis Data




ExecutiveSummary 18
Tabel 8. memperlihatkan bahwa tingkat kerusakan hutan mangrove di Kabupaten
Karawang termasuk kategori rusak. Tampaknya faktor konversi hutan mangrove untuk
perikanan dengan areal tambak terbuka dapat menjadi faktor utama dalam menentukan
kerusakan hutan mangrove tersebut. Selanjutnya disajikan Tabel 9. tingkat kerusakan
hutan mangrove berdasarkan SIG dan penginderaan jauh.
Tabel 9. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan SIG dan Penginderaan Jauh

No Lokasi
Jenis
Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
1 Muara Lama
tambak
tumpangsari
Sedang
Asosiasi Aluvial Kelabu & Aluvial
Coklat Kekelabuan (di daerah pantai)
265
Tidak
Rusak
2 Muara Baru
tambak
tumpangsari
Sedang
Asosiasi Aluvial Kelabu & Aluvial
Coklat Kekelabuan (di daerah pantai)
265
Tidak
Rusak
3 Sukakerta
tambak
tumpangsari
Sedang
Asosiasi Aluvial Kelabu & Aluvial
Coklat Kekelabuan (di daerah pantai)
265
Tidak
rusak
4
Ciparege
Jaya
tambak
tumpangsari
Sedang
Asosiasi Aluvial Kelabu & Aluvial
Coklat Kekelabuan (di daerah pantai)
265
Tidak
Rusak
5
Tambak
Sumur
tambak
tumpangsari
Jarang
Asosiasi Aluvial Kelabu & Aluvial
Coklat Kekelabuan (di daerah pantai)
230 rusak
6
Tanjung
Pakis
tambak
tumpangsari
Jarang
Asosiasi Aluvial Kelabu & Aluvial
Coklat Kekelabuan (di daerah pantai)
230 rusak
Sumber: Hasil Analisis Data
Selanjutnya untuk lokasi dan luas tingkat kerusakan hutan amngrove di
Kabupaten Karawang diperlihatkan pada Tabel 10 berikut ini:
Tabel 10. Lokasi dan Luas Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Kabupaten Karawang

Luas (Ha)
No. Kecamatan Desa
Dalam
Kawasan
Luar
Kawasan
Keterangan
Tingkat
Kerusakan
Lokasi
DAS/Sub-
DAS
Cemarajaya 18,23 Hutan Lindung rusak
1. Cibuaya
Sedari 0,11 Hutan Lindung rusak
DAS
Citarum
Manggungjaya 7,66 Hutan Lindung rusak
Muara 77,56 Hutan Lindung tidak rusak
Muarabaru 54,52 tidak rusak
Pasirjaya 127,68 rusak
Rawagempol
Kulon
15,59 rusak
2. Cilamaya
Sumurgede 29,15 rusak
DAS
Cilamaya
3 Tempuran Ciparagejaya 18,70 rusak
DAS
Citarum
4 Tirtajaya Tambaksari 58,39
DAS
Citarum
Jumlah 154,29 253,29
Sumber: Analisis Citra Landsat 2005/2006, Peta RBI dan Survey Lapang

Faktor-faktor penyebab kerusakan mangrove tersebut dapat berasal dari faktor
ekologi, sosial ekonomi, kelembabagan maupun perundang-undangan.
a. Secara Ekologi;




ExecutiveSummary 19
? Faktor tanaman, yaitu adanya kemampuan regenerasi.
? Faktor lingkungan, terutama dari nilai gelombang dan arus.
b. Secara Sosial Ekonomi;
? Pemahaman fungsi mangrove dalam jangka panjang,
? Ekonomi masyarakat yang rendah.
c. Secara Kelembagaan;
? Belum tersedianya data dan informasi yang akurat,
? Masih lemahnya kemampuan aparatur dalam pengelolaan mangrove,
? Belum adanya koordinasi antar lembaga yang terkait dengan mangrove.
d. Secara Peraturan Perundang-Undangan
? Belum adanya aturan yang secara tegas mengatur pengelolaan mangrove,
? Penegakan hukum yang lemah,
Walaupun demikian wilayah Kabupaten Karawang cukup berpotensi untuk
pengembangan yang didukung oleh faktor-faktor lingkungan berupa iklim, kondisi
fisiografi pantai, kondisi pasang surut, gelombang dan arus dan nilai salinitas yang
optimum, dengan kondisi tersebut menggambarkan tingkat kesesuaian lahan yang tinggi
sehingga berdasarkan analisis tingkat kesesuaian tergolong tinggi. secara teoritis
pengembangan hutan mangrove di lokasi ini penting untuk:
a. Pemanfaatan;
? Pengembangan kawasan budidaya sylvofishery,
? Kawasan ekowisata mangrove
? Pengembangan keanekaragaman hayati.
b. Perlindungan;
? Sempadan pantai untuk penahan abrasi,
? Peningkatan kualitas lingkangan pesisir.
Selanjutnya potensi pengembangan hutan mangrove selengkapnya disajikan
pada Tabel 11.
Tabel 11. Potensi Pengembangan Untuk Pemanfaatan dan Perlindungan
Luas Pengembangan (Ha)
No Kecamatan
Status
Kawasan
Pemanfaatan Perlindungan
1 Batujaya DK 32,04 0,56
DK 266,54 2,32
2 Cibuaya
LK 426,35 5,70
DK 93,90 3,14
3 Cilamaya
LK 401,36 7,24
Pakisjaya DK 151,35 5,87
4
LK 225,29
5 Pedes LK 463,81 7,07
6 Tempuran LK 288,82 3,29
7 Tirtajaya DK 235,49 5,14




ExecutiveSummary 20
Luas Pengembangan (Ha)
No Kecamatan
Status
Kawasan
Pemanfaatan Perlindungan
LK 113,97 1,27
Jumlah 2698,91 41,60
Sumber: Analisis Data

Selanjutnya untuk pengembangan mangrove di lokasi kegiatan perlu disusun
strategi dan kebijakan yang didasarkan pada kondisi baik internal maupun eksternal.
1. Lingkungan Internal
a. Kekuatan
? Perhatian pemerintah cukup besar.
? Menjaga kelestarian ekosistem pesisir secara lestari.
? Dapat memberikan pendapatan yang cukup tinggi.
? Menjaga kualitas lingkungan.
? Dapat mencegah abrasi dan intrusi air laut.
b. Kelemahan
? Jenis terbatas, sehingga keanekaragaman rendah akibatnya ekosistem labil.
? Pemahaman ekosistem mangrove masih lemah.
? Sosial ekonomi masyarakat rendah.
? Tanaman mangrove alami sangat jarang.
2. Lingkungan Eksternal
a. Peluang
? Kesesuaian lahan untuk mangrove cukup luas.
? Tersedianya pendanaan untuk rehabilitasi mangrove.
? Dapat dikembangkan sistem silvofishery sebagai mata pencahariaan
masyarakat.
? Kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan tanaman mangrove meningkat .
? Terintegrasinya intansi pengelola ekosistem mangrove.
b. Tantangan
? Adanya usaha pembukaan mangrove
? Dianggap mempunyai nilai ekonomi rendah
? Terdapat ketidak jelasan kepemilikan lahan, khususnya tanah timbul
? Kebutuhan lahan untuk tambak tinggi.
? Tumpang tindihnya pengelolaan rehabilitasi mangrove.
? Pemulihan ekosistem alami sangat lambat
Berdasarkan kedua faktor tersebut maka strategi dan kebijakan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan Ekosistem Mangrove;




ExecutiveSummary 21
? Rehabilitasi hutan mangrove dengan mengedepankan masyarakat sebagai
pelaku sehingga tercipta keinginan, kesadaran dan rasa memiliki.
? Menghentikan perusakan, penurunan dan penggunaan secara ti dak lestari dari
ekosistem mangrove baik oleh masyarakat maupun pembukaan tambak baru.
? Memelihara dan mengelola hutan mangrove secara lestari dalam bentuk
kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan mangrove melalui peningkatan nilai
Ekologi, budaya dan sosial.
? Memberi keyakinan tentang pengggunaan prinsif no net loss (tidak ada yang
hilang) dalam pengelolaan mangrove kepada masyarakat sekitar.
? Menyebarkan data dan informasi tentang ekosistem mangrove untuk menjamin
perlindungan, konservasi rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang lestari
secara ilmiah dan berdasarkan teknologi.
b. Peningkatan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat
? Meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan nilai-nilai sosial,
ekonomi dan ekologi serta fungsi hutan mangrove.
? Menciptakan partisipasi masyarakat yang tahu, aktif dan efektif dalam
pengelolaan mangrove secara lestari.
? Mencarikan solusi pemanfaatan mangrove yang berdampak langsung terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kemitraan dengan
pengusaha menggunakan pola-pola kemitraan tertentu.
c. Penguatan Kelembagaan dan Penegakkan Hukum
? Menciptakan pemahaman yang lebih baik, kerjasama dankoordinasi antar intansi-
intansi dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove, terutama
dibentuknya lembaga khusus untuk menangani mangrove di Kabupaten
Karawang.
? Membuat kerangka kerja yang efektif dalam pengelolan mangrove dan zona
pantai secara lestari secara koordinatif dengan semua intansi yang terkait dengan
mangrove.
? Memperjelas masalah-masalah hukum yang terkait dengan pengelolaan
mangrove, termasuk hak penggunaan lahan, hak untuk menggarap, peraturan
nasional dan lokal tentang pemanfaatan mangrove. Terutama pengetatan aturan
pengguanaan dan pemanfaatan sempadan pantai oleh masyarakat dan swasta.
? Membuat jelas status hukum tentang zona pantai secara umum dan mangrove
secara khusus melalui keputusan pemerintah daerah, dan sekaligus adanya
kebijakan keharusan penanaman mangrove kepada petani tambak, seperti
kewajiban menanam mangrove 100 pohon untuk satu hektar.





ExecutiveSummary 22
D. KABUPATEN BEKASI

Kawasan hutan mangrove di Kabupaten Bekasi berada pada kawasan hutan
lindung Ujung Karawang (Muara Gembong) seluas 10481.15 ha meliputi Kecamatan
Muara Gembong 9049,90 ha, Kecamatan Cabang Bungin 850 ha, Kecamatan Babelan
437,50 ha, dan Kecamatan Tarumajaya 143,75 ha. Namun tahun 2005 sesuai SK Menteri
Kehutanan No: SK.475/Menhut -II/2005 hutan mangrove tersebut dialih fungsikan menjadi
kawasan hutan produksi tetap seluas 5.170 ha.
Namun hasil analisis citra landsat menunjukan, bahwa luas hutan mangrove di
Kabupaten Bekasi adalah 824,66 ha, tersebar di Kecamatan Muara Gembong seluas
742,08 ha dan Kecamatan Babelan 82,56 ha. Selanjutnya hasil analisis tumpang susun
dengan peta kawasan hutan, seluruh lokasi hutan berada di luar kawasan hut an.
Karakteristik Ekologi hutan mangrove di Kabupaten Bekasi tergolong miskin jenis,
dengan jenis yang ada yaitu Avicenia marina (Api -api), dengan tingkat kekayaan jenis
sangat rendah, keanekaragaman jenis juga sangat rendah dan nilai kemerataan juga
rendah. Kondisi ini menybabkan karakteristik Ekologi tidak stabil dan tertekan. Namun dari
jenis dominan tampak bahwa jenis yang ada adalah jenis primer.
Secara hukum dan fakta lapangan, pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten
Bekasi adalah KPH Bogor-Perhutani Unit III Jawa Barat dan Dinas Pertanian Kabupaten
Bekasi serta intansi terkait lain yaitu: Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi
Jawa Barat, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, BPLHD Provinsi Jawa
Barat serta Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bekasi.
Sosial ekonomi masyarakat didominasi sebagai petani dengan fasilitas
perekonomian cukup baik, status pemilikan lahan sewa (atau hak milik), kelembagaan
sosial cukup baik. Persepsi masyarakat terhadap mangrove baik, paham manfaatnya,
interaksi sedikit, namun kurang dalam pengelolaannya.
Tingkat kerusakan menunjukan sebagiaan kecil rusak hingga rusak berat, pada
daerah yang lebih luas. Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG, diketahui
luas tingkat kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Bekasi masuk pada kategori rusak
berat, selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 12. berikut:
Tabel 12. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan SIG dan Penginderaan Jauh

No Lokasi Penilaian
Jenis
Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
1
Muara
Gembong
Pengamatan
Tambak non-
tumpangsari
Jarang
Asosiasi Aluvial
Kelabu & Aluvial
Coklat Kekelabuan
(di daerah pantai)
150
Rusak
Berat
Sumber: Hasil Analisis Data




ExecutiveSummary 23
Penilaian kerusakan hutan mangrove melalui survey lapang menggambarkan
hasil yang sama yaitu dalam kondisi rusak berat, selengkapnya penilaian kerusakan
vegetasi mangrove diperlihatkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan Survey Lapang

No Lokasi Penilaian
Tipe Penutupan
dan
Penggunaan
lahan
Jumlah
Pohon
Per
Hektar
Jumlah
Permudaan
Per Hektar
Lebar
Jalur
Hijau
Mangr
ove
Tingkat
Abrasi
Nilai Kategori
1
Muara
Gembong
Pengamatan
Tambak non-
tumpangsari
585 8900 100 m > 5 m 325
Tidak
Rusak
Sumber: Hasil Analisis Data
Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG, ananlisis peta RBI dan
survey lapang diketahui luas tingkat kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Bekasi,
selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 14. berikut:
Tabel 14. Lokasi dan Luas Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Kabupaten Bekasi

Luas (Ha)
No. Kecamatan Desa
Dalam
Kawasan
Luar
Kawasan
Keterangan
Tingkat
Kerusakan
Lokasi DAS
1. Babelan Bahagia 82,58 Hutan Lindung Rusak Cilingcing
Pantai
Harapanjaya
25,90 Rusak Berat
50,03 Hutan Lindung Rusak Berat
Pantai
Bahagia
367,16 Hutan Lindung Rusak Berat
Pantai
Bakti
25,78 Hutan Lindung Rusak Berat
Pantai
Mekar
82,63 Hutan Lindung Rusak Berat
2.





Muara Gembong





Pantai
Sederhana
191,40 Hutan Lindung Rusak Berat
Citarum
Jumlah 799,57 25,90


Sumber: Analisis Citra Satelit Landsat 2005/2006, dan Survey Lapang

Beberapa faktor yang dapat diperkkirakan menjadi penyebab kerusakan hutan
mangrove:
a. Secara Ekologi;
? Faktor tanaman,
? Faktor lingkungan, terutama dari nilai gelombang dan arus.
b. Secara Sosial Ekonomi;
? Pemahaman fungsi mangrove dalam jangka panjang,
? Ekonomi masyarakat yang rendah.
c. Secara Kelembagaan;
? Belum tersedianya data yang akurat,
? Belum adanya koordinasi antar lembaga yang terkait dengan mangrove.
d. Secara Peraturan Perundang-Undangan




ExecutiveSummary 24
? Belum adanya aturan yang secara tegas mengatur pengelolaan mangrove,
? Penegakkan hukum yang lemah, terlihat dari tidak adanya sanksi terhadap
perusak mangrove.
Walaupun demikian wilayah Kabupaten Bekasi cukup berpotensi untuk
pengembangan yang didukung oleh faktor-faktor lingkungan berupa suhu udara yang
berkisar 28-32
0
C. curah hujan tahunan sekitar 13078 mm/th, jenis tanah dilokasi kegiatan
dominan Asosiasi Aluvial Kelabu & Aluvial Coklat Kekelabuan (di daerah pantai), kondisi
fisiografi pantai antara 0-6 mdpl dan kemiringan antara 0-8%, kondisi pasang surut
termasuk kategori campuran mengarah ke semidiurnal, gelombang dan arus di lokasi
kegiatan umumnya merupakan arus gabungan yang ditimbulkan oleh arus regional dan
arus pasang surut. Nilai salinitas berkisar antara 30-34 ppm, dengan kondisi tersebut
menggambarkan tingkat kesesuaian lahan yang tinggi sehingga berdasarkan analisis
tingkat kesesuaian tergolong tinggi. secara teoritis pengembangan hutan mangrove di
lokasi ini penting untuk:
a. Pemanfaatan;
? Pengembangan kawasan budidaya sylvofishery,
? Kawasan ekowisata mangrove
? Pengembangan keanekaragaman hayati.
b. Perlindungan;
? Sempadan pantai untuk penahan abrasi,
? Peningkatan kualitas lingkangan pesisir.
Adapun luas potensi pengembangan untuk pemanfaatan dan perlindungan di
wilayah Kabupaten Bekasi, selengkapnya disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Potensi Pengembangan Untuk Pemanfaatan dan Perlindungan
Luas Pengembangan (Ha)
No Kecamatan
Status
Kawasan
Pemanfaatan Perlindungan
DK 110,03 0,05
1 Babelan
LK 49,40
DK 752,50 6,91
2 Muara Gembong
LK 75,06
3 Tarumajaya LK 71,26 1,48
Jumlah 1058,24 8,44
Sumber: Analisis Data
Selanjutnya untuk pengembangan mangrove perlu disusun rencana dan strategi
dan kebijakan yang didasarkan pada kondisi baik internal maupun eksternal.
1. Lingkungan Internal
a. Kekuatan
? Adanya perhatiaan dari pemerintah
? Menjaga kelestarian ekosistem pesisir secara lestari.




ExecutiveSummary 25
? Dapat memberikan pendapatan yang cukup tinggi.
? Menjaga kualitas lingkungan.
? Terdapat kawasan mangrove yang masih alami
? Terdapat tanaman mangrove di kawasan lindung
b. Kelemahan
? Jenis terbatas, sehingga keanekaragaman rendah akibatnya ekosistem labil.
? Pemahaman ekosistem mangrove masih lemah.
? Sosial ekonomi masyarakat rendah
? Pencemaran limbah Industri terrhadap ekosistem mangrove.
? Konversi lahan untuk pemukiman
2. Lingkungan Eksternal
a. Peluang
? Keseauaian lahan untuk mangrove cukup luas.
? Tersedianya pendanaan untuk rehabilitasi mangrove.
? Sedimentasi tinggi.
? Munculnya tanah timbul.
? Memiliki potensi wisata.
b. Tantangan
? Adanya usaha pembukaan mangrove.
? Dianggap mempunyai nilai ekonomi rendah.
? Aksessibilatas terbatas.
? Konversi lahan tinggi.
? Pemulihan ekosistem alami sangat lambat .
Berdasarkan kedua faktor tersebut maka strategi dan kebijakan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan Ekosistem Mangrove ;
? Menghentikan perusakan, penurunan dan penggunaan secara tidak lestari dari
ekosistem mangrove baik oleh masyarakat maupun pembukaan tambak baru.
? Memelihara dan mengelola hutan mangrove secara lestari dalam bentuk
kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan mangrove melalui peningkatan nilai
Ekologi, budaya dan sosial.
? Memberi keyakinan tentang pengggunaan prinsif no net loss (tidak ada yang
hilang) dalam pengelolaan mangrove kepada masyarakat sekitar.
? Menyebarkan data dan informasi tentang ekosistem mangrove untuk menjamin
perlindungan, konservasi rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang lestari
secara ilmiah dan berdasarkan teknologi.
b. Peningkatan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat




ExecutiveSummary 26
? Meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan nilai-nilai sosial,
ekonomi dan ekologi serta fungsi hutan mangrove.
? Menciptakan partisipasi masyarakat yang tahu, aktif dan efektif dalam
pengelolaan mangrove secara lestari.
? Mencarikan solusi pemanfaatan mangrove yang berdampak langsung terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kemitraan dengan
pengusaha menggunakan pola-pola kemitraan tertentu.
c. Penguatan Kelembagaan dan Penegakkan Hukum
? Menciptakan pemahaman yang lebih baik, kerjasama dan koordinasi antar
intansi-intansi dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove,
terutama dibentuknya lembaga khusus untuk menangani mangrove di Kabupaten
Bekasi.
? Membuat kerangka kerja yang efektif dalam pengelolan mangrove dan zona
pantai secara lestari secara koordinatif dengan semua intansi yang terkait dengan
mangrove.
? Memperjelas masalah-masalah hukum yang terkait dengan pengelolaan
mangrove, termasuk hak penggunaan lahan, hak untuk menggarap, peraturan
nasional dan lokal tentang pemanfaatan mangrove. Terutama pengetatan aturan
pengguanaan dan pemanfaatan sempadan pantai oleh masyarakat dan swasta.
? Membuat jelas status hukum tentang zona pantai secara umum dan mangrove
secara khusus melalui keputusan pemerintah daerah, dan sekali gus adanya
kebijakan keharusan penanaman mangrove kepada petani tambak, seperti
kewajiban menanam mangrove 100 pohon untuk satu hektar.



















ExecutiveSummary 27
E. KODYA JAKARTA UTARA

Data sekunder dari BKSDA DKI Jakarta, hutan mangrove di Jakarta Utara yang
dikelola oleh Intansi tersebut adalah Suaka Margasatwa Muara Angke seluas 165,50 ha,
dan Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk seluas 94 ha. TWA Ankge Kapuk terdiri
dari Blok Perlindungan seluas 38 ha.
Kelembagaan pengelola adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI
Jakarta, dan Sisanya termasuk Blok Pemanfaatan dikelola oleh BKSDA DKI Jaya dari PT.
Murinda Karya Lestari. Analisis citra menunjukan daerah berhutan hanya 9, 81 ha
sedangkan lainnya bervegetasi non-hutan. Sementara itu berdasarkan data citra satelit
landsat 2005/2006 terdapat hutan mangrove yang berada di wilayah Kecamatan
Penjaringan seluas 157,22 ha dan di Kecamatan Tanjungpriok seluas 8,28 ha.
Karakteristik Ekologi hutan mangrove di Kodya Jakarta Utara tergolong miskin
jenis, dengan jenis Rhizophora stylosa (Bakau merah) dan Soneratia casiolaris (Pidada).
Kemudian di kawasan Hutan lindung Indah Kapuk ditemukan jenis yang dominan yaitu
Avicenia marina (Api-api), Xylocarpus granatum (Pidada) dan Rhizophora mucronata
(Bakau besar) dan di Taman Wisata Alam Angke Kapuk jenis yang dominan adalah
Avicenia marina (Api -api). dengan tingkat kekayaan jenis sangat rendah, keanekaragaman
jenis juga sangat rendah dan nilai kemerataan juga rendah. Kondisi ini menybabkan
karakteristik Ekologi tidak stabil dan tertekan. Namun dari jenis dominan tampak bahwa
jenis yang ada adalah jenis primer.
Sosial ekonomi masyarakat didominasi sebagai petani dengan fasilitas
perekonomian cukup baik, status pemilikan lahan sewa (atau hak milik), tetapi
kelembagaan sosial cukup baik. Persepsi masyarakat terhadap mangrove baik, paham
manfaatnya, interaksi sedikit, namun kurang dalam pengelolaannya.
Tingkat kerusakan menunjukan sebagiaan kecil tidak rusak hingga rusak, pada
daerah yang lebih luas. Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG, diketahui
tingkat kerusakan hutan mangrove di Kodya Jakarta Utara masuk pada kategori tidak
rusak hingga rusak, selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 16. berikut:
Tabel 16. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan SIG dan Penginderaan Jauh

No Lokasi
Jenis
Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
1 HL Indah Kapuk Kawasan Hutan Sedang Lumpur 300 tidak rusak
2 TWA Angke Kapuk Tumpangsaari Jarang Campur 185 Rusak
3 SM Muara Angke Kawasan Hutan Sedang Lumpur 265 tidak rusak
Sumber: Analisis Data
Adapun penilaian kerusakan hutan mangrove melalui survey lapang
menghasilkan kategori tidak rusak sampai rusak berat. Selengkapnya penilaian
kerusakan vegetasi mangrove berasarkan survey lapang diperlihatkan pada Tabel 17.




ExecutiveSummary 28
Tabel 17. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan Survey Lapang

No Lokasi
Tipe Penutupan
dan Penggunaan
lahan
Jumlah
Pohon Per
Hektar
Jumlah
Permudaan
Per Hektar
Lebar
Jalur Hijau
Mangrove
Tingkat
Abrasi
Nilai Kategori
1
HL Indah
Kapuk
Mangrove murni 105 6500 76,9 3 s/d 5 395
Tidak
Rusak
2
TWA Angke
Kapuk
Tumpangsaari 154 7857 15,3 3 s/d 5 190
Rusak
Berat
3
SM Muara
Angke
Mangrove murni 100 125 76,9 2 s/d 3 340
Tidak
Rusak
Sumber: Analisis Data
Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG, analisis pada peta RBI yang
di validasi dengan survey lapangan diperoleh data kerusakan hutan mangrove di
Kotamadya Jakarta Utara, yang selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 18. berikut:
Tabel 18. Lokasi dan Luas Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Kotamadya Jakarta
Utara

Luas (Ha)
No Kecamatan Desa
Dalam
Kawasan
Luar
Kawasan
Keterangan
Tingkat
Kerusakan
Lokasi
DAS
Kamal Muara
0,51

TWA. Angke Kapuk
Rusak


1321
Tidak Rusak

8,23
Hutan Lindung
Tidak Rusak
Kapuk Muara
2,68
SM. Muara Angke
Tidak Rusak

11,07

Tidak Rusak

57,09
Hutan Lindung
Tidak Rusak
Penjaringan
13,77

Tidak Rusak
Pluit
6,62
SM. Muara Angke
Tidak Rusak

37,72

Tidak Rusak

6,17
Hutan Lindung
Tidak Rusak
1. Penjaringan

0,67
HP
Tidak Rusak
K. Angke
Papango 1,17 Tidak Rusak
Sunter Agung 5,24 Tidak Rusak 2.
Tanjung
Priok
Warakas 1,87 Tidak Rusak
Ciliwung
Jumlah 81,96 84,05
Sumber: Ananlisis Citra Landsat 2005/2006, Peta RBI dan Groundcek
Diperkirakan beberapa faktor penyebab kerusakah hutan mangrove:
a. Secara Ekologi;
? Faktor tanaman,
? Faktor lingkungan, terutama dari nilai gelombang dan arus pada musim barat,
serta nilai salinitas musim kemarau.
? Faktor pencemaran terutama logam berat.
b. Secara Sosial Ekonomi;
? Pemahaman fungsi mangrove dalam jangka panjang,
? Kebutuhan lahan untuk pemukiman.
c. Secara Kelembagaan;




ExecutiveSummary 29
? Belum adanya kemuan praktek yang kuat untuk pengelolaan mangrove tertutama
pada Kawasan TWA Angke Kapuk.
? Masih lemahnya kemampuan aparatur dalam pengelolaan mangrove,
d. Secara Peraturan Perundang-Undangan
? Belum adanya aturan yang secara tegas mengatur pengelolaan mangrove,
? Penegakan hukum yang lemah, terlihat dari tidak adanya sanksi terhadap
perusak mangrove.
Secara teoritis pengembangan hutan mangrove di lokasi ini penting untuk:
a. Pemanfaatan;
? Pengembangan kawasan budidaya sylvofishery,
? Kawasan ekowisata mangrove
? Pengembangan keanekaragaman hayati.
b. Perlindungan;
? Sempadan pantai untuk penahan abrasi,
? Peningkatan kualitas lingkangan pesisir.
Adapun luas potensi pengembangan untuk pemanfaatan dan perlindungan di
wilayah Kotamadya Jakarta Utara, selengkapnya disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Luas dan Lokasi Pengembangan untuk Pemanfaatan dan Perlindungan
Luas Pengembangan (Ha)
No Kecamatan
Status
Kawasan
Pemanfaatan Perlindungan
1 Cilincing LK 41,77 0,99
DK 5,27 10,23
2 Penjaringan
LK 48,91 0,14
Jumlah 95,95 11,36

Selanjutnya untuk pengembangan mangrove perlu disusun rencana dan strategi
dan kebijakan yang didasarkan pada kondisi baik internal maupun eksternal.
1. Lingkungan Internal
a. Kekuatan
? Perhatian pemerintah cukup besar.
? Menjaga kelestarian ekosistem pesisir secara lestari.
? Menjaga kualitas lingkungan.
? Suplay oksigen dan paru-paru kota
b. Kelemahan
? Jenis terbatas, sehingga keanekaragaman rendah akibatnya ekosistem labil.
? Pemahaman ekosistem mangrove masih lemah.
? Pencemaran tinggi.
? Pengembangan Pemukiman dan industri.
2. Lingkungan Eksternal




ExecutiveSummary 30
a. Peluang
? Barrier penahan intrusi air laut, abrasi, tsunami dan pencemaran logam berat.
? Tersedianya pendanaan untuk rehabilitasi mangrove.
? Pengembangan pariwisata
b. Tantangan
? Tekanan konversi lahan sangat tinggi.
? Sulit untuk pengembangan
? Kerusakan karena pencemaran dan perambahan tinggi
Berdasarkan kedua faktor tersebut maka strategi dan kebijakan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pemantapan Ekosistem Mangrove;
? Menghentikan perusakan, penurunan dan penggunaan secara tidak lestari dari
ekosistem mangrove baik oleh masyarakat maupun pembukaan tambak baru.
? Memelihara dan mengelola hutan mangrove secara lestari dalam bentuk
kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan mangrove melalui peningkatan nilai
Ekologi, budaya dan sosial.
? Menyebarkan data dan informasi tentang ekosistem mangrove untuk menjamin
perlindungan, konservasi rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang lestari
secara ilmiah dan berdasarkan teknologi.
b. Peningkatan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat;
? Meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan nilai-nilai sosial,
ekonomi dan ekologi serta fungsi hutan mangrove pada TWA Angke Kapuk.
? Menciptakan partisipasi masyarakat yang tahu, aktif dan efektif dalam
pengelolaan mangrove secara lestari terutama pada Hutan Lindung dan Cagar
Alam.
c. Penguatan Kelembagaan dan Penegakkan Hukum
? Menciptakan pemahaman yang lebih baik, kerjasama dan koordi nasi antar
intansi-intansi dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove,
terutama dalam pemantapan ekosistem.
? Membuat kerangka kerja yang efektif dalam pengelolan mangrove dan zona
pantai secara lestari secara koordinatif dengan semua intansi yang terkait dengan
mangrove.
? Memperjelas masalah-masalah hukum yang terkait dengan pengelolaan
mangrove, baik peraturan nasional maupun lokal tentang pengelolaan ekosistem
mangrove. Terutama pengetatan aturan perlindungan sempadan pantai.




ExecutiveSummary 31
? Membuat jelas status hukum tentang zona pantai secara umum dan mangrove
secara khusus melalui keputusan pemerintah daerah, dan sekaligus adanya
kebijakan keharusan penanaman mangrove kepada pemangku kepentingan.







































ExecutiveSummary 32
F. KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU

Berdasarkan hasil analisis citra satelit landsat 2005/2006 dan analisis pada Peta
RBI untuk wilayah Kepulauan Seribu menunjukan keadaan luas hutan mangrove sebagai
berikut:
Tabel 20. Kondisi Luas Hutan Mangrove Di Beberapa Pulau di Kepulaun Seribu
Luas (Ha)
No Nama Pulau
Dalam
Kawasan
Luar
Kawasan
Keterangan
1 P. Kongsi Timur 0.57 -
2 P.Tengah 9.12 -
3 P. Burung 3.75 -
4 P. Sebaru Besar 3.81 -
5 P. Melintang Besar 18.96 -
6 P. Lancang Besar 2.53 -
7 P. Untung Jawa 5.53 -
8 P. Pramuka 4.31 -
9 P. Lancang Kecil 5.99 -
10 P. Laki 2.39 -
11 P. Rambut 36.97 - SML Pulau Rambut
12 P. Melintang Besar 18.96 -
Jumlah 112.89 -
Sumber: Analisis Citra, Peta RBI dan Survey Lapang

Karakteristik Ekologi hutan mangrove di Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu ditemukan jenis yaitu; Rhizophora mucronata (Bakau besar/gandul), Rhizophora
stylosa (Bakau merah), Phemphis acidula (Sentigi/cantigi), Excoecaria agalloha
(Gegetah/buta-buta), Xylocarpus granatum (Nyirih) dengan tingkat kekayaan jenis sangat
rendah, keanekaragaman jenis juga sangat rendah dan nilai kemerataan juga rendah.
Kondisi ini menybabkan karakteristik Ekologi tidak stabil dan tertekan. Namun dari jenis
dominan tampak bahwa jenis yang ada adalah jenis primer.
Pengelola hutan mangorve ini, yaitu BKSDA DKI Jakarta dan Balai Taman
Nasional Kepulauan Seribu dan Dinas Pertanian & Kehutanan Provinsi DKI Jakarta.
Sosial ekonomi masyarakat kepualauan Seribu dominan berprofesi sebagai
dengan fasilitas perekonomianrelatif rendah, status pemilikan lahan sewa (atau hak milik),
dengan kelembagaan sosial cukup baik. Persepsi masyarakat terhadap mangrove baik,
paham manfaatnya, interaksi sedikit, namun kurang dalam pengelolaannya.
Tingkat kerusakan menunjukan sebagiaan kecil tidak rusak hingga rusak, pada
daerah yang lebih luas. Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG, diketahui
luas tingkat kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
masuk pada kategori tidak rusak hingga rusak, selengkapnya diperlihatkan pada Tabel
21. berikut:




ExecutiveSummary 33
Tabel 21. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan SIG dan Penginderaan Jauh

No Lokasi
Jenis Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
1
PL. Putri Barat Kawasan Hutan Lebat Tanah Pasir dan Coral 260 tidak rusak
2
PL. Untung
Jawa I
Pemukiman Lebat Tanah Pasir dan Coral 170 Rusak
3
PL. Untung
Jawa II
Pemukiman Lebat Tanah Pasir dan Coral 170 Rusak
4
PL. Melintang Pemukiman Lebat Tanah Pasir dan Coral 170 Rusak
5
PL. Rambut Kawasan Hutan Lebat Tanah Pasir dan Coral 260 tidak rusak
6
PL. Penjaliran
Barat
Kawasan Hutan Lebat Tanah Pasir dan Coral 260 tidak rusak
7
PL. Sebaru Pemukiman Lebat Tanah Pasir dan Coral 170 Rusak
Sumber: Analisis Data
Hasil yang sama untuk penilaian kerusakan hutan mangrove melalui survey
lapang dengan kategori tidak rusak samapi rusak. Hasil selengkapnya penilaian
kerusakan vegetasi mangrove diperlihatkan pada Tabel 22.

Tabel 22. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan Survey Lapang

No Lokasi Penilaian
Tipe
Penutupan
dan
Penggunaan
lahan
Jumlah
Pohon
Per
Hektar
Jumlah
Permudaa
n Per
Hektar
Lebar
Jalur
Hijau
Mangro
ve
Tingkat
Abrasi
Nilai Kategori
1
PL. Putri
Barat
Pengamatan
Campur
48 5625 20m 1 s/d 2
Skor
4
1 5 1 4 300 tidak rusak
2
PL. Untung
Jawa I
Pengamatan
Pemukiman
57 360 50m 3 s/d 5
Skor
2
1 1 1 2 140
Rusak
berat
3
PL. Untung
Jawa II
Pengamatan
Pemukiman
48 453 150m 3 s/d 5
Skor
2
1 1 5 2 200
Rusak
berat
4
PL.
Melintang
Pengamatan
Pemukiman
67 4167 20m 1 s/d 2
Skor
2
1 4 1 4 220 tidak rusak
5
PL.
Rambut
Pengamatan
Campur
191 5648 100m 3 s/d 5
Skor
4
1 5 3 2 310 tidak rusak
6
PL.
Penjaliran
Barat
Pengamatan
Campur
50 0 150m 1 s/d 2
Skor
4
1 0 3 4 230 rusak
7 PL. Sebaru Pengamatan
Pemukiman
160 5500 100 m 1 s/d 2
Skor
2
1 5 3 4 270 rusak
Sumber: Analisis Data




ExecutiveSummary 34
Adapun luas kerusakan diperkirakan berdasarkan analisis citra Satelit Landsat
dan SIG, diperlihatkan pada Tabel 23. berikut.

Tabel 23. Lokasi dan Luas Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu

Sumber : Peta RBI & Pengecekan Lapang

Faktor penyebab kerusakah hutan mangrove berupa:
a. Secara Ekologi;
? Faktor tanaman,
? Faktor lingkungan, terutama dari nilai gelombang dan arus.
b. Secara Sosial Ekonomi;
? Pembukaan hutan mangrove untuk pemikiman, khususnya pulau berpenghuni.
c. Secara Kelembagaan;
? Belum tersedianya data dan informasi yang akurat,
? Masih lemahnya kemampuan aparatur dalam pengelolaan mangrove,
d. Secara Peraturan Perundang-Undangan
? Belum adanya aturan yang secara tegas mengatur pengelolaan mangrove,
? Penegakan hukum yang lemah, terlihat dari tidak adanya sanksi terhadap
perusak mangrove.
Secara nyata di lokasi kegiatan ada hutan mangrove dan secara teoritis
pembangunan hutan mangrove di lokasi ini penting untuk:
a. Perlindungan;
? Ekosistem pulau kecil,
? Keanekaragaman Hayati.
Luas (Ha)
No Nama Pulau
Dalam
Kawasan
Luar
Kawasan
Keterangan Tingkat Kerusakan
1 P. Kongsi Timur 0,57 Tidak Rusak
2 P.Tengah 9,12 Tidak Rusak
3 P. Burung 3,75 Tidak Rusak
4 P. Sebaru Besar 3,81 Rusak
5 P. Melintang Besar 18,96 Rusak
6 P. Lancang Besar 2,53 Tidak Rusak
7 P. Untungjawa 5,53 Rusak
8 P. Pramuka 4,31 Rusak
9 P. Lancang Kecil 5,99 Rusak
10 P. Laki 2,39 Tidak Rusak
11 P. Rambut 36.97
SML Pulau
Rambut
Tidak Rusak
Jumlah 36.974




ExecutiveSummary 35
Adapun luas potensi pengembangan untuk perlindungan yang dapat
dilakukan di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, selengkapnya
disajikan pada Tabel 24. di bawah ini.
Tabel 24. Potensi Pengembangan Untuk Perlindungan
No Nama Pulau
Potensi Pengembangan
(Kawasan Lindung)
1 P. Kongsi Timur 0.566
2 P. Sebaru Besar 3.805
3 P. Laki 2.387
4 P. Lancang Besar 2.534
5 P. Lancang Kecil 5.985
6 P. Melintang Besar 18.959
7 P. Pramuka 4.31
8 P. Rambut 36.974
9 P. Untungj awa 5.527
10 P. Burung 3.753
11 P.Tengah 9.119
Jumlah 93.919
Sumber: Analisis Data
Selanjutnya untuk pengembangan mangrove perlu disusun rencana dan strategi
dan kebijakan yang didasarkan pada kondisi baik internal maupun eksternal
1. Lingkungan Internal
a. Kekuatan
? Perhatian pemerintah cukup besar.
? Menjaga keberadaan pulau kecil.
? Menjaga kualitas lingkungan.
? Status kawasan merupakan kawasan lindung.
? Sebagai habitat berbagai macam jenis burung dan biota laut
b. Kelemahan
? Jenis terbatas, sehingga keanekaragaman rendah akibatnya ekosistem labil.
? Pemahaman ekosistem mangrove masih lemah.
? Arus dan gelombang tinggi.
? Pemilikan pulau-pulau oleh individu/kelompok.
? Pengawasan lemah karena luasnya daerah
2. Lingkungan Eksternal
a. Peluang
? Sesuai untuk mangrove pada pulau-pulau yang ada.




ExecutiveSummary 36
? Barier penahan intrusi air laut dan abrasi.
? Tersedianya pendanaan untuk rehabilitasi mangrove.
? Pengembangan wisata bahari.
? Sebagai daerah suaka margasatwa.
b. Tantangan
? Abrasi tinggi pada musim tertentu.
? Koordinasi sulit.
? Kesulitan dalam teknik rehabilitasi.
? Jumlah pulau banyak dan lokasi menyebar.
Berdasarkan kedua faktor tersebut maka strategi dan kebijakan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pemantapan Ekosistem Mangrove;
? Memelihara dan mengelola hutan mangrove secara lestari dalam bentuk
kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan mangrove melalui peningkatan nilai
Ekologi, budaya sosial dan pariwisata.
? Menyebarkan data dan informasi tentang ekosistem mangrove untuk menjamin
perlindungan, konservasi rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang lestari
secara ilmiah dan berdasarkan teknologi.
b. Peningkatan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat;
? Meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan nilai-nilai sosial,
ekonomi dan ekologi serta fungsi hutan mangrove pada TN Kepulauan Seribu.
? Menciptakan partisipasi masyarakat yang tahu, aktif dan efektif dalam
pengelolaan mangrove secara lestari.
c. Penguatan Kelembagaan dan Penegakkan Hukum
? Menciptakan pemahaman yang lebih baik, kerjasama dan koordinasi antar
intansi-intansi dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove,
terutama dalam pemantapan ekosistem.
? Membuat kerangka kerja yang efektif dalam pengelolan mangrove dan zona
pantai secara lestari secara koordinatif dengan semua intansi yang terkait dengan
mangrove.
? Memperjelas masalah-masalah hukum yang terkait dengan pengelolaan
mangrove, baik peraturan nasional maupun lokal tentang pengelolaan ekosistem
mangrove. Terutama pengetatan aturan perlindungan sempadan pantai.
? Membuat jelas status hukum tentang zona pantai secara umum dan mangrove
secara khusus melalui keputusan pemerintah daerah, dan sekaligus adanya
kebijakan keharusan penanaman mangrove kepada pemangku kepentingan.




ExecutiveSummary 37
? Memperjelas aturan penguasaan pulau-pulau kecil yang dimiliki baik perorangan
maupun kelompok.








































ExecutiveSummary 38
G. KABUPATEN TANGERANG

Menurut data dari KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jabar-Banten, luas hutan
mangrove yang ada di kabupaten Tangerang adalah 1592,55 ha, tersebar di RPH Mauk
616,65 ha, RPH Teluk Naga 734,90 ha dan dari tanah timbul 241 ha. Hasil analisis citra
satelit Landsat tahun 2005/2006 menunjukan luas hutan mangrove yang ada di
Kabupaten Tangerang adalah 371,23 Ha. Terdiri dari Kemiri seluas 7,96 Ha, di
Kecamatan Kosambi seluas 66,23 ha, di Kecamatan Mauk seluas 10,37 Ha, di
Kecamatan Pakuhaji seluas 6,022 Ha, di Kecamatan Sukadiri seluas 137,49 Ha dan di
Kecamatan Telukanga seluas 118,43 Ha.
Karakteristik Ekologi hutan mangrove di Kabupaten Tangerang tergolong miskin
jenis, jenis dominan yaitu Soneratia alba dan Avicenia alba, dengan tingkat kekayaan jenis
sangat rendah, keanekaragaman jenis juga sangat rendah dan nilai kemerataan juga
rendah. Kondisi ini menybabkan karakteristik Ekologi tidak stabil dan tertekan. Namun dari
jenis dominan tampak bahwa jenis yang ada adalah jenis primer.
Pengelola, yaitu KPH Bogor Unit III Jawa Barat dan Dinas Lingkungan Hidup
Kabupaten Tangerang, intansi terkait lain yaitu: Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan
Perikanan, Dinas Kehutanan Provinsi Banten, Dinas Kelautan dan Perikanan Banten,
BPLHD Provinsi Banten.
Sosial ekonomi masyarakat didominasi sebagai petani dan nelayan dengan
fasilitas perekonomian cukup baik, status pemilikan lahan sewa (atau hak milik), tetapi
kelembagaan sosial cukup baik. Persepsi masyarakat terhadap mangrove baik, paham
manfaatnya, interaksi sedikit, namun kurang dalam pengelolaannya.
Tingkat kerusakan menunjukan sebagiaan kecil tidak rusak hingga rusak, pada
daerah yang lebih luas. Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG, diketahui
luas tingkat kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Tangerang dengan kategori tidak
rusakhingga rusak, selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 25. berikut:

Tabel 25. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan SIG dan Penginderaan Jauh

No Lokasi Penilaian
Jenis
Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
1 Kronjo Pengamatan
Tambak
Tumpangsari
Jarang
Asosiasi Aluvial Kelabu &
Aluvial Coklat Kekelabuan
(di daerah pantai)
185 Rusak
2 Kohod Pengamatan
Tambak
Tumpangsari
Jarang
Asosiasi Aluvial Kelabu &
Aluvial Coklat Kekelabuan
(di daerah pantai)
185 Rusak




ExecutiveSummary 39
No Lokasi Penilaian
Jenis
Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
3
Kali
Muara
Pengamatan
Tambak
Tumpangsari
Jarang
Asosiasi Aluvial Kelabu &
Aluvial Coklat Kekelabuan
(di daerah pantai)
185 Rusak
Sumber: Hasil Analisis Data
Penilaian kerusakan hutan mangrove melalui survey lapang termasuk kategori
tidak rusak sampai rusak berat. Selengkapnya penilaian kerusakan vegetasi mangrove
diperlihatkan pada Tabel 26.
Tabel 26 Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan Survey Lapang
No Lokasi Penilaian
Tipe Penutupan
dan Penggunaan
lahan
Jumlah
Pohon
Per
Hektar
Jumlah
Permudaan
Per Hektar
Lebar
Jalur
Hijau
Mangrove
Tingkat
Abrasi
Nilai Kategori
1 Kronjo Pengamatan Campur Tambak
140 4000 23,07 1-2 m

Skor 3
1 3 1 4 230
Rusak
2 Kohod Pengamatan Campur Tambak
45 2500 11,53 3-5m

Skor 3
1 2 1 2 190
Rusak
Berat
3
Kali
Muara Pengamatan Campur Tambak
57 2500 >100 0-1 m

Skor 3
1 2 5 5 280
rusak
4
Tanjung
Pasir Pengamatan Campur Tambak
70 0 >100 0-1 m


Skor 3 1 1 5 5 260 rusak

Sumber: Hasil Analisis Data
Adapun luas tingkat kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Tangerang
selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 27. berikut.
Tabel 27. Lokasi dan Luas Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Kabupaten Tangerang

Luas (Ha)
No. Kecamatan Desa
Dalam
Kawasan
Luar
Kawasan
Keterangan
Tingkat
Kerusakan
Lokasi
DAS/Sub-
DAS
1. Kemiri Karang Anyar 7.96 Hutan Lindung rusak
DAS
Cimanceuri
2. Kosambi Salembaran 55.81 Hutan Lindung rusak
Salembaran Jati 10.42 Hutan Lindung rusak
DAS
Cisadane
3. Kronjo Kronjo 7.53 rusak
Pagedangan Ilir 17.22 rusak
DAS
Cidurian
4. Mauk Ketapang 6.52 rusak
Mauk Barat 3.85 rusak
DAS
Cimanceuri
5. Pakuhaji Kohod 60.55 rusak
Kramat 45.32 rusak
Sukawali 0.41 rusak
6.00 Hutan Lindung rusak
DAS
Cisadane
6. Sukadiri Pekayon 27.12 Hutan Lindung rusak
Rawa Kidang 4.12 Hutan Lindung rusak
DAS
Cisadane
7. Teluknaga Muara 13.36 Hutan Lindung rusak DAS




ExecutiveSummary 40
Luas (Ha)
No. Kecamatan Desa
Dalam
Kawasan
Luar
Kawasan
Keterangan
Tingkat
Kerusakan
Lokasi
DAS/Sub-
DAS
Tanjung Burung 105.07 rusak Cisadane
Jumlah 124.78 246.46
Sumber: Analisis Citra Landsat 2005/2006, Peta RBI, Survey Lapang

Beberapa faktor penyebab kerusakah hutan mangrove berupa :
a. Secara Ekologi;
? Faktor tanaman.
? Faktor lingkungan, terutama dari nilai gelombang dan arus pada musim barat,
serta nilai salinitas musim kemarau.
b. Secara Sosial Ekonomi;
? Pemahaman yang rendah dari fungsi mangrove dalam jangka panjang,
? Ekonomi masyarakat yang rendah sehingga mengusahakan budidaya tambak
terbuka.
? Pola pemilikan lahan terbatas.
c. Secara Kelembagaan;
? Belum tersedianya data dan informasi yang akurat,
? Masih lemahnya kemampuan aparatur dalam pengelolaan mangrove,
? Belum adanya koordinasi antar lembaga yang terkait dengan mangrove.
d. Secara Peraturan Perundang-Undangan
? Belum adanya aturan yang secara tegas mengatur pengelolaan mangrove,
? Penegakan hukum yang lemah, terlihat dari tidak adanya sanksi terhadap
perusak mangrove.
Walaupun dengan kondisi demikian di lokasi kegiatan baik Kabupaten Tangerang
maupun Kota Tangerang berpotensi untuk dikembangakan, secara teoritis pembangunan
hutan mangrove di lokasi ini penting untuk:
b. Pemanfaatan;
? Pengembangan kawasan budidaya sylvofishery,
? Kawasan ekowisata mangrove
? Pengembangan keanekaragaman hayati.
b. Perlindungan;
? Sempadan pantai untuk penahan abrasi,
? Peningkatan kualitas lingkangan pesisir.
Adapun luas potensi pengembangan untuk pemanfaatan dan perlindungan yang
dapat dilakukan di wilayah Kabupaten Tangerang, selengkapnya data luas potensi
pengembangan disajikan pada Tabel 28. di bawah ini.






ExecutiveSummary 41
Tabel 28. Luas Potensi Pemanfaatan dan Perlindungan Kabupaten Tangerang

Luas Pengembangan (Ha)
No Kecamatan
Status
Kawasan
Pemanfaatan Perlindungan
DK 12,47
1 Kemiri
LK 55,54
DK 49,88 3,37
2 Kosambi
LK 61,76
3 Kronjo LK 92,52 0,13
DK 8,90
4 Mauk
LK 281,78 3,53
DK 10,89 1,03
5 Pakuhaji
LK 281,86 1,09
DK 36,24
6 Sukadiri
LK 254,93 0,74
7 Teluknaga DK 41,23 1,23
LK 70,50 0,01
Jumlah 1258,49 11,12
Sumber: Analisis Data
Selain wilayah Kabupaten Tangerang disampaikna pula luas potensi
pengembangan untuk pemanfaatan dan perlindungan di wilayah Kota Tangerang adalah
sebagai berikut:
Tabel 29. Luas Potensi Pengembangan untuk Pemanfaatan dan Perlindungan Kota
Tangerang

Luas Pengembangan (Ha)
No Kecamatan
Status
Kawasan
Pemanfaatan Perlindungan
DK 12.47
1 Kemiri
LK 55.54
DK 49.88 3.37
2 Kosambi
LK 61.76
3 Kronjo LK 92.52 0.13
DK 8.90
4 Mauk
LK 281.78 3.53
DK 10.89 1.03
5 Pakuhaji
LK 281.86 1.09
DK 36.24
6 Sukadiri
LK 254.93 0.74
7 Teluknaga DK 41.23 1.23
LK 70.50 0.01
Jumlah 1258.49 11.12
Sumber: Analisis Data

Selanjutnya untuk pengembangan mangrove disusun rencana dan strategi dan
kebijakan yang didasarkan pada kondisi baik internal maupun eksternal :
1. Lingkungan Internal
a. Kekuatan




ExecutiveSummary 42
? Dapat melindungi terhadap terjadinya abrasi.
? Dapat memberikan pendapatan yang cukup tinggi.
? Meningkatkan kualitas lingkungan.
? Adanya pemeliharaan terhadap tanaman hasil rehabilitasi.
? Perhatian pemerintah cukup besar.
b. Kelemahan
? Jenis terbatas, sehingga keanekaragaman rendah akibatnya ekosistem labil.
? Pemahaman fungsi ekosistem mangrove masih lemah.
? Sosial ekonomi masyarakat rendah.
? Perhatian masyarakat tentang manfat ekosistem mangrove sangat rendah.
? Tanaman mangrove alami yang ada sangat sedikit.
2. Lingkungan Eksternal
a. Peluang
? Kesesuaian lahan untuk mangrove cukup luas.
? Dapat dikembangkan nilai estetika kawasan mangrove (pemanfaatan
kawasan mangrove untuk pariwisata).
? Pendanaa untuk rehabilitasi tinggi.
b. Tantangan
? Adanya usaha pembukaan mangrove untuk tambak masyarakat.
? Dianggap mempunyai nilai ekonomi rendah.
? Penegakkan hukum rendah.
Berdasarkan kedua faktor tersebut maka strategi dan kebijakan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan Ekosistem Mangrove;
? Menghentikan perusakan, penurunan dan penggunaan secara tidak lestari dari
ekosistem mangrove baik oleh masyarakat maupun pembukaan tambak baru.
? Memelihara dan mengelola hutan mangrove secara lestari dalam bentuk
kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan mangrove melalui peningkatan nilai
Ekologi, budaya dan sosial.
? Memberi keyakinan tentang pengggunaan prinsif no net loss (tidak ada yang
hilang) dalam pengelolaan mangrove kepada masyarakat sekitar.
? Menyebarkan data dan informasi tentang ekosistem mangrove untuk menjamin
perlindungan, konservasi rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang lestari
secara ilmiah dan berdasarkan teknologi.
? Melakukan upaya rehabilitasi hutan mangrove nernasis masyarakat.
b. Peningkatan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat




ExecutiveSummary 43
? Meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan nilai-nilai sosial,
ekonomi dan ekologi serta fungsi hutan mangrove.
? Menciptakan partisipasi masyarakat yang tahu, aktif dan efektif dalam
pengelolaan mangrove secara lestari.
? Mencarikan solusi pemanfaatan mangrove yang berdampak langsung terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kemitraan dengan
pengusaha menggunakan pola-pola kemitraan tertentu.
c. Penguatan Kelembagaan dan Penegakkan Hukum
? Menciptakan pemahaman yang lebih baik, kerjasama dankoordinasi antar intansi-
intansi dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove, terutama
dibentuknya lembaga khusus untuk menangani mangrove di Kabupatean
Tangerang.
? Membuat kerangka kerja yang efektif dalam pengelolan mangrove dan zona
pantai secara lestari secara koordinatif dengan semua intansiyang terkait dengan
mangrove.
? Memperjelas masalah-masalah hukum yang terkait dengan pengelolaan
mangrove, termasuk hak penggunaan lahan, hak untuk menggarap, peraturan
nasional dan lokal tentang pemanfaatan mangrove. Terutama pengetatan aturan
pengguanaan dan pemanfaatan sempadan pantai oleh masyarakat dan swasta.
? Membuat jelas status hukum tentang zona pantai secara umum dan mangrove
secara khusus melalui keputusan pemerintah daerah, dan sekaligus adanya
kebijakan keharusan penanaman mangrove kepada petani tambak, seperti
kewajiban menanam mangrove 100 pohon untuk satu hektar.



















ExecutiveSummary 44
H. KABUPATEN SERANG

Tidak diperoleh data sekunder luas hutan mangrove di Kabupaten Serang.
Namun berdasarkan data citra satelit landsat tahun 2005/2006 menunjukan luas hutan
total 431,37 ha, terdiri dari 18,406 Ha berada di Desa Bojonegara; 3,231 Ha di Desa
Margasari; 39,537 Ha di Desa Sawah Luhur; 10,879 Ha di Desa Terate; 56,661 ha di
Desa Domas; 22,470 Ha di Desa Linduk; 5,790 di Desa Sukajaya; 77,418 Ha di Desa
Wanayasa; 58,764 di Desa Argawana; 26,678 Ha di Desa Pedaleman; 45,257 di Desa
Tenjolayu; 35,315 Ha di Desa Lontar; 6,449 Ha di Desa Sujung; 16,870 di Desa Susukan
dan 7,631 Ha di Desa Tengkurak. Dari hasil tumpang susun dengan peta kawasan hutan
Jawa Barat, hutan mangrove tersebut semuanya berada di luar kawasan hutan.
Karakteristik Ekologi hutan mangrove di Kabupaten Serang tergolong miskin jenis,
secara umum jenis yang ditemukan yaitu; Soneratia alba, Rhizophora mucronata dan
Avicenia alba, dengan tingkat kekayaan jenis sangat rendah, keanekaragaman jenis juga
sangat rendah dan nilai kemerataan rendah. Kondisi ini menybabkan karakteristik Ekologi
tidak stabil dan tertekan. Namun dari jenis dominan tampak bahwa jenis yang ada adalah
jenis primer.
Pengelola hutan mangorve ini, yaitu Dinas Pertanian Kabupaten Serang & intansi
terkait lain yaitu: Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan
Provinsi Banten, Dinas Kelautan dan Perikanan Banten, BPLHD Provinsi Banten.
Sosial ekonomi masyarakat didominasi sebagai petani dan nelayan dengan
fasilitas perekonomian cukup baik, status pemilikan lahan sewa (atau hak milik) dan
kelembagaan sosial cukup baik. Persepsi masyarakat terhadap mangrove baik, paham
manfaatnya, interaksi sedikit, namun kurang dalam pengelolaannya.
Tingkat kerusakan menunjukan sebagian kecil tidak rusak hingga rusak, pada
daerah yang lebih luas. Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG, diketahui
tingkat kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Serang masuk pada kategori tidak rusak
hingga rusak, selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 30. berikut:

Tabel 30. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan SIG dan Penginderaan Jauh

No Lokasi
Jenis Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
1 Tanara
Tambak Non-
tumpangsati, sawah
Jarang
Asosiasi Alv
Klabu & Alv Cklt
Kklabuan
140
Rusak
Berat
2 PL. Burung Hutan Lebat Pasir 259
Tidak
rusak
3 PL. Sanghiang Hutan Lebat pasir berlumpur 279
Tidak
rusak
4 Bojonegara
Tambak Non-
tumpangsati,
sawah, industri
Jarang
Asosiasi Alv
Klabu & Alv Cklt
Kklabuan
140
Rusak
Berat




ExecutiveSummary 45
No Lokasi
Jenis Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
5 Lontar
Tambak
tumpangsati, sawah
Jarang
Asosiasi Alv
Klabu & Alv Cklt
Kklabuan
185 Rusak
6 Domas
Tambak
tumpangsati, sawah
Jarang
Asosiasi Alv
Klabu & Alv Cklt
Kklabuan
185 Rusak
7 Tengkurak
Tambak
tumpangsati, sawah
Jarang
Lauvial
Hidromof
Kelabu Tua
185 Rusak
Sumber: Hasil Analisis Data

Penilaian kerusakan mangrove berdasarkan survey lapangan menyebutkan tidak
rusak, selengkapnya hasil penilaian kerusakan vegetasi mangrove diperlihatkan pada
Tabel 31.
Tabel 31. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan Survey Lapang

No Lokasi Penilaian
Tipe
Penutupan
dan
Penggunaan
lahan
Jumlah
Pohon
Per
Hektar
Jumlah
Permudaan
Per Hektar
Lebar
Jalur Hijau
Mangrove
Tingkat
Abrasi
Nilai Kategori
1 Tanara Pengamatan
Tambak Non-
tumpangsati,
sawah
96 4118 230,76 0-1 m
Skor 1 1 4 5 5
260
Rusak
2
PL.
Burung
Pengamatan Hutan 200 3571 76,92 0-1 m


Skor 3 1 3 3 5
270
Rusak
3
PL.
Sanghi
ang
Pengamatan Hutan 113 4375 230,76 0-1 m


Skor 3 1 4 5 5
320
Tidak
Rusak
4
Bojone
gara
Pengamatan
Tambak Non-
tumpangsati,
sawah,
industri
88 5166 23,07 1-2 m


Skor 1 1 5 1 4
210
Rusak
5 Lontar Pengamatan
Tambak
tumpangsati,
sawah
19 4687 11,53 1-2 m


Skor 2 1 4 1 4
220
Rusak
6 Domas Pengamatan
Tambak
tumpangsati,
sawah
120 6666 38,46 2-3 m


Skor 2 1 5 1 3
230
Rusak
7
Tengku
rak
Pengamatan
Tambak
tumpangsati,
sawah
35 3000 15,38 1-2 m
Skor 2 1 2 1 4
180
Rusak
berat
Sumber: Hasil Analisis Data

Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG, luas tingkat kerusakan hutan
mangrove di Kabupaten Serang diperlihatkan pada Tabel 32. berikut:




ExecutiveSummary 46
Tabel 32. Lokasi dan Luas Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Kabupaten Serang.

Luas (Ha)
No Kecamatan Desa
Dalam
Kawasan
Luar
Kawasan
Tingkat
Kerusakan
Lokasi DAS
1. Bojonegara Bojonegara 18.41 rusak
Margagiri 3.23 rusak
Cibanten
2. Kasemen Sawah Luhur 39.54 rusak Cibanten
3. Kramatwatu Terate 10.88 rusak Cibanten
4. Pontang Domas 56.66 rusak
Linduk 22.47 rusak
Sukajaya 5.79 rusak
Wanayasa 77.42 rusak
Ciujung
5. Puloampel Argawana 58.76 rusak Cibanten
6. Tanara Pedaleman 26.68 tidak rusak
Tenjo Ayu 45.28 tidak rusak
Ciujung
7. Tirtayasa Lontar 35.32 rusak
Sujung 6.45 rusak
Susukan 16.87 rusak
Tengkurak 7.63 rusak
Ciujung
Jumlah 431.37
Sumber: Analisis Citlra Landsat 2005/2006, RBI dan Survey Lapang
Beberapa faktor penyebab kerusakah hutan mangrove yang teridentifikasi
diperkirakan :
a. Secara Ekologi;
? Faktor tanaman,.
? Faktor lingkungan, terut ama dari nilai gelombang dan arus pada musim barat,
serta nilai salinitas musim kemarau.
b. Secara Sosial Ekonomi;
? Pemahaman fungsi mangrove dalam jangka panjang,
? Ekonomi masyarakat yang rendah sehingga mengusahakan budidaya tambak
terbuka.
c. Secara Kelembagaan;
? Belum tersedianya data yang akurat,
? Belum adanya koordinasi antar lembaga yang terkait dengan mangrove.
d. Secara Peraturan Perundang-Undangan
? Belum adanya aturan yang secara tegas mengatur pengelolaan mangrove,
? Penegakan hukum yang lemah, terlihat dari tidak adanya sanksi terhadap
perusak mangrove.
Walaupun demikian berdasarkan analisis kesesuaian tumbuh mangrove, di lokasi
tersebut masuk kategori sedang sampai tinggi. Secara teoritis pembangunan hutan
mangrove di lokasi ini penting untuk:
a. Pemanfaatan;




ExecutiveSummary 47
? Pengembangan kawasan budidaya sylvofishery,
? Pengembangan fungsi lindung kawasan pesisir.
b. Perlindungan;
? Ekosistem pesisir,
? Keanekaragaman Hayati.
Adapun luas potensi pengembangan untuk pemanfaatan dan perlindungan yang
dapat dilakukan di wilayah Kabupaten Serang, selengkapnya data luas potensi
pengembangan disajikan pada Tabel 33. di bawah ini.
Tabel 33. Luas Potensi Pengembangan Untuk Pemanfaatan dan Perlindungan

Luas Pengembangan (Ha)
No Kecamatan
Status
Kawasan
Pemanfaatan Perlindungan
1 Anyar LK 16.99 1.04
2 Bojonegara LK 28.79 3.19
3 Cinangka LK 25.40 9.70
4 Kasemen LK 177.96 1.69
5 Kramatwatu LK 198.47 4.53
6 Pontang LK 269.23 0.54
7 Puloampel LK 6.23 2.86
8 Tanara LK 269.25 1.23
9 Tirtayasa LK 382.42 7.71
Jumlah 1374.73 32.47
Sumber: Analisis Data

Selanjutnya untuk pengembangan mangrove perlu disusun rencana strategi dan
kebijakan yang didasarkan pada kondisi baik internal maupun eksternal :
2. Lingkungan Internal
a. Kekuatan
? Adanya Perhatian pemerintah terhadap pemulihan ekosistem mangrove.
? Dapat memberikan pendapatan yang cukup tinggi.
? Menjaga kualitas lingkungan.
? Adanya beberapa kawasan mangrove yang alami dan masih terjaga dengan
baik.
? Terdapat kelompok masyarakat yang sangat memperhatikan kelestariaan
ekosistem mangrove.
? Melindungi pantai dari abrasi.
b. Kelemahan
? Jenis terbatas, sehingga keanekaragaman rendah akibatnya ekosistem labil.
? Sangat tingginya pengalihan ekosistem mangrove menjadi tambak.
? Pemahaman ekosistem mangrove masih lemah.
? Banyaknya tambak yang diterlantarkan pemiliknya.




ExecutiveSummary 48
? Persentase tumbuh tanaman rehabilitasi sangat kurang.
? Kurangnya pemeliharaan terhadap tanaman rehabilitasi.
3. Lingkungan Eksternal
a. Peluang
? Sesuai untuk mangrove.
? Barier penahan intrusi air laut, abrasi dan tsunami.
? Tersedianya pendanaan untuk rehabilitasi mangrove.
? Mulai adanya perhatian dan pengawasan terhadap kelestarian mangrove.
b. Tantangan
? Luasan terbatas.
? Nilai ekonomi rendah.
? Tekanan konversi lahan tinggi.
? Penegakkan hukum rendah.
Berdasarkan kedua faktor tersebut maka strategi dan kebijakan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan Ekosistem Mangrove;
? Menghentikan perusakan, penurunan dan penggunaan secara tidak lestari dari
ekosistem mangrove baik oleh masyarakat maupun pembukaan tambak baru.
? Memelihara dan mengelola hutan mangrove secara lestari dalam bentuk
kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan mangrove melalui peningkatan nilai
Ekologi, budaya dan sosial.
? Menyebarkan data dan informasi tentang ekosistem mangrove untuk menjamin
perlindungan, konservasi rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang lestari
secara ilmiah dan berdasarkan teknologi.
? Melakukan upaya rehabilitasi berbasis masyarakat.
b. Peningkatan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat
? Meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan nilai-nilai sosial,
ekonomi dan ekologi serta fungsi hutan mangrove.
? Menciptakan partisipasi masyarakat yang tahu, aktif dan efektif dalam
pengelolaan mangrove secara lestari.
? Mencarikan solusi pemanfaatan mangrove yang berdampak langsung terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kemitraan dengan
pengusaha menggunakan pola-pola kemitraan tertentu.
c. Penguatan Kelembagaan dan Penegakkan Hukum
? Menciptakan pemahaman yang lebih baik, kerjasama dankoordinasi antar intansi-
intansi dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove, terutama
dibentuknya lembaga khusus untuk menangani mangrove di Provinsi Banten.




ExecutiveSummary 49
? Membuat kerangka kerja yang efektif dalam pengelolan mangrove dan zona
pantai secara lestari secara koordinatif dengan semua intansiyang terkait dengan
mangrove.
? Memperjelas masalah-masalah hukum yang terkait dengan pengelolaan
mangrove, termasuk hak penggunaan lahan, hak untuk menggarap, peraturan
nasional dan lokal tentang pemanfaatan mangrove. Terutama pengetatan aturan
pengguanaan dan pemanfaatan sempadan pantai oleh masyarakat dan swasta.
? Membuat jelas status hukum tentang zona pantai secara umum dan mangrove
secara khusus melalui keputusan pemerintah daerah, dan sekaligus adanya
kebijakan keharusan penanaman mangrove kepada petani tambak, seperti
kewajiban menanam mangrove 100 pohon untuk satu hektar.































ExecutiveSummary 50
I. KOTA CILEGON

Data dari Puslit Oceanografi LIPI-Jakarta tahun 2002 menunjukan bahwa di Kota
Cilegon terdapat hutan mangrove seluas 89,6 ha yang berada di sekitar areal PLTU
Suryalaya Kota Cilegon dalam kompleks Krakatau Steel. Habiat pertumbuhan sudah tidak
mendukung karena berdekatan dengan outlet limbah PLTU. Data hasil interpretasi Citra
satelit landsat 2005/2006 diketahui luas hutan mangrove di Kota Cilegon seluas 345,625
Ha, terdiri dari 340,569 Ha berada di Kecamatan Ciwandan dan 5,056 berada di
Kecamatan Pulomerak.
Karakteristik Ekologi hutan mangrove di Kota Cilegon tergolong miskin jenis, yaitu
Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba, dengan tingkat kekayaan jenis sangat
rendah, keanekaragaman jenis juga sangat rendah dan nilai kemerataan juga rendah.
Kondisi ini menybabkan karakteristik Ekologi tidak stabil dan tertekan. Namun dari jenis
dominan tampak bahwa jenis yang ada adalah jenis primer.
Pengelola yaitu Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi Kota Cilegon
dan intansi terkait lain yaitu: Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas
Kehutanan Provinsi Banten, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, BPLHD
Provinsi Banten.
Sosial ekonomi masyarakat didominasi sebagai petani dengan fasilitas
perekonomian cukup baik, status pemilikan lahan sewa (atau hak milik), kelembagaan
sosial cukup baik. Persepsi masyarakat terhadap mangrove baik, paham manfaatnya,
interaksi sedikit, namun kurang dalam pengelolaannya.
Ti ngkat kerusakan menunjukan sebagiaan kecil tidak rusak hingga rusak, pada
daerah yang lebih luas. Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG, diketahui
luas tingkat kerusakan hutan mangrove di Kota Cilegon termasuk kategori rusak berat,
hasil analisis selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 34. berikut:

Tabel 34. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan SIG dan Penginderaan Jauh

No Lokasi
Jenis
Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
1 Ciwandan
Mangrove
bercampur
Pemukiman
Jarang
Aluvial kelabu
tua
140
Rusak
Berat

Adapun analisis dengan survey lapangan dihasilkan kondisi mangrove yang rusak
berat terlihat pada Tabel 35. berikut:






ExecutiveSummary 51
Tabel 35. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan Survey Lapang

No Lokasi
Tipe Penutupan
dan Penggunaan
lahan
Jumlah
Pohon Per
Hektar
Jumlah
Permudaan
Per Hektar
Lebar Jalur
Hijau
Mangrove
Tingkat
Abrasi
(m)
Nilai Kategori
1 Ciwandan Pemukiman 0 0 20 -30 63,02 140
Rusak
berat
Sumber: Hasil Analisis Data
Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG serta suvey lapang, diketahui
luas tingkat kerusakan hutan mangrove di Kota Cilegon, selengkapnya diperlihatkan pada
Tabel 36. berikut:

Tabel 36. Lokasi dan Luas Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Kota Cilegon

Luas (Ha)
No Kecamatan Desa
Dalam
Kawasan
Luar
Kawasan
Keterangan
Tingkat
Kerusakan
1. Ciwandan Kubangsari 0.43 rusak
Samangraya 129.21 rusak

Warnasari 210.93
TWA. P.
Sangiang rusak
2. Pulo Merak Rawa Arum 5.06 rusak
Jumlah 210.93 134.70
Sumber: Analisais Citra Landsat 2005/2006,RBI dan Survey Lapang

Beberapa faktor penyebab kerusakah hutan mangrove yang teridentifikasi
berupa:
a. Secara Ekologi;
? Faktor tanaman
? Faktor lingkungan, terutama dari nilai gelombang dan arus pada musim barat,
serta nilai salinitas musim kemarau.
b. Secara Sosial Ekonomi;
? Pemahaman fungsi mangrove dalam jangka panjang,
? Ekonomi masyarakat yang rendah sehingga mengusahakan budidaya tambak
terbuka.
c. Secara Kelembagaan;
? Belum tersedianya data yang akurat,
? Belum adanya koordinasi antar lembaga yang terkait dengan mangrove.
d. Secara Peraturan Perundang-Undangan
? Belum adanya aturan yang secara tegas mengatur pengelolaan mangrove,
? Penegakan hukum yang lemah, terlihat dari tidak adanya sanksi terhadap
perusak mangrove.




ExecutiveSummary 52
Berdasarkan analisis kesesuaian lahan untuk mangrove, lokasi kegiatan
termasuk kategori rendah hingga tinggi, sehingga secara teoritis pembangunan hutan
mangrove di lokasi ini penting untuk:
a. Pemanfaatan;
? Pengembangan kawasan wisata,
? Pengembangan fungsi lindung kawasan pesisir.
b. Perlindungan;
? Ekosistem pesisir,
? Keanekaragaman Hayati.
Adapun luas potensi pengembangan untuk pemanfaatan dan perlindungan yang
dapat dilakukan di wilayah Kota Cilegon, selengkapnya disajikan pada Tabel 37. di bawah
ini.
Tabel 37. Luas Potensi Pengembangan Untuk Pemanfaatan dan Perlindungan

Luas Pengembangan (Ha)
No Kecamatan
Status
Kawasan
Pemanfaatan Perlindungan
1 Cilegon LK 3.06
2 Ciwandan LK 1.79 0.42
3 Pulo Merak LK 2.21 1.10
Jumlah 7.06 1.52
Sumber: Analisis Data
Selanjutnya untuk pengembangan mangrove perlu disusun rencana strategi &
kabijakan yang didasarkan pada kondisi baik internal maupun eksternal:
1. Lingkungan Internal
b. Kekuatan
? Perhatian pemerintah cukup besar.
? Menjaga kelestarian ekosistem pesisir secara lestari.
? Dapat memberikan pendapatan yang cukup tinggi.
? Meningkatkan kualitas lingkungan.
c. Kelemahan
? Jenis terbatas, sehingga keanekaragaman rendah akibatnya ekosistem labil.
? Belum dikembangkan secara serius.
? Pemahaman ekosistem mangrove masih lemah.
? Konversi lahan tinggi
2. Lingkungan Eksternal
a. Peluang
? Kesesuaian lahan untuk mangrove cukup tersedia.
? Barier penahan intrusi air laut, abrasi dan tsunami.
? Tersedianya pendanaan untuk rehabilitasi mangrove.




ExecutiveSummary 53
b. Tantangan
? Luasan terbatas.
? Nilai ekonomi rendah.
? Tekanan konversi lahan tinggi.
Selanjutnya untuk pengembangan mangrove perlu disusun rencana dan strategi
dan kebijakan yang didasarkan pada kondisi baik internal maupun eksternal yang dimiliki
seperti yang disajikan pada Tabel berikut:
a. Pengembangan Ekosistem Mangrove;
? Memelihara dan mengelola hutan mangrove secara lestari dalam bentuk
kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan mangrove melalui peningkatan nilai
Ekologi, budaya dan sosial.
? Menyebarkan data dan informasi tentang ekosistem mangrove untuk menjamin
perlindungan, konservasi rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang lestari
secara ilmiah dan berdasarkan teknologi.
b. Peningkatan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat
? Meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan nilai-nilai sosial,
ekonomi dan ekologi serta fungsi hutan mangrove.
? Menciptakan partisipasi masyarakat yang tahu, aktif dan efektif dalam
pengelolaan mangrove secara lestari.
? Mencarikan solusi pemanfaatan mangrove yang berdampak langsung terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kemitraan dengan
pengusaha menggunakan pola-pola kemitraan tertentu.
c. Penguatan Kelembagaan Pengelolaan dan Penegakkan Hukum
? Menciptakan pemahaman yang lebih baik, kerjasama dan koordinasi antar
intansi-intansi dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove,
terutama dibentuknya lembaga khusus untuk menangani mangrove di Provinsi
Banten.
? Membuat kerangka kerja yang efektif dalam pengelolan mangrove dan zona
pantai secara lestari secara koordinatif dengan semua intansi yang terkait dengan
mangrove.
? Memperjelas masalah-masalah hukum yang terkait dengan pengelolaan
mangrove, termasuk hak penggunaan lahan, hak untuk menggarap, peraturan
nasional dan lokal tentang pemanfaatan mangrove. Terutama pengetatan aturan
pengguanaan dan pemanfaatan sempadan pantai oleh masyarakat dan swasta.
? Membuat jelas status hukum tentang zona pantai secara umum dan mangrove
secara khusus melalui keputusan pemerintah daerah, dan sekaligus adanya




ExecutiveSummary 54
kebijakan keharusan penanaman mangrove kepada petani tambak, seperti
kewajiban menanam mangrove 100 pohon untuk satu hektar.








































ExecutiveSummary 55
J. KABUPATEN PANDEGLANG

Data luas hutan mangrove yang ada di Kabupaten Pandeglang tidak tersedia.
Namun hasil analisis citra landsat tahun 2005/2006 menunjukan data luas hutan
mangrove adalah 1.956,240 ha, terdiri dari 1.872,984 ha hutan mangrove dalam kawasan
TN Ujung Kulon yang secara administrasi berada di Kecamatan Sumur, 1,224 ha berada
di Kecamatan Cigeulis yaitu di Desa Banyusih seluas 7,763 Ha di Kecamatan Pagelaran
berada di desa Margagiri; 3,224 dan di Desa Tegalpapak; 6,76 di Kecamatan Panimbang
berada di Desa Citeureup; 25,353 ha, di Desa Mekarsari; 4,954 Ha dan di Desa
Tanjungjaya; 40,738 Ha di Kecamatan Patia berada di Desa Sidamukti seluas 40.74 ha.
Karakteristik Ekologi hutan mangrove di Kabupaten Pandeglang tergolong miskin
jenis, ditemukan beberapa jenis yaitu; Avicenia sp (Api-api), Sonneratia alba (Pedada),
Bruguiera gymnoriza (Tancang) dan Rhizophora mucronata (Kijingkang). dengan tingkat
kekayaan jenis sangat rendah, keanekaragaman jenis juga sangat rendah dan nilai
kemerataan juga rendah. Kondisi ini menybabkan karakteristik Ekologi tidak stabil dan
tertekan. Namun dari jenis dominan tampak bahwa jenis yang ada adalah jenis primer.
Secara hukum dan fakta lapangan, pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten
Pandeglang adalah Balai Taman Nasional Ujung Kulon, untuk lokasi hutan mangrove
yang berada di kawasan hutan Negara. Namun di luar kawasan hutan, hutan mangrove
dikelola oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pandeglang.
Di Kabupaten Pandelang terdapat beberapa instansi yang terkait dengan
pengelolaan ekosistem mangrove yaitu: Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Provinsi Banten, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Banten, BPLHD
Provinsi Banten, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pandelang, Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandelang
Sosial ekonomi masyarakat didominasi sebagai petani dengan fasilitas
perekonomian cukup baik, status pemilikan lahan sewa (atau hak milik), tetapi
kelembagaan sosial cukup baik. Persepsi masyarakat terhadap mangrove baik, paham
manfaatnya, interaksi sedikit, namun kurang dalam pengelolaannya.
Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG, diketahui rusak sampai rusak
berat dapat dilihat pada Tabel 38. berikut;
Tabel 38. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan SIG dan Penginderaan
Jauh
No Lokasi Penilaian
Jenis
Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis
Tanah
Nilai Kategori
1
Handeuleum
tengah
Pengamatan
Kawasan
Hutan
Lebat Lempung 300
Tidak
rusak
2
Handeuleum
tengah
Pengamatan
Kawasan
Hutan
Lebat Lempung 300
Tidak
rusak
3
P. Kalong
Pengamatan
Kawasan
Hutan
Lebat Lempung 300
Tidak
rusak




ExecutiveSummary 56
No Lokasi Penilaian
Jenis
Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis
Tanah
Nilai Kategori
4
P. Reungit
Pengamatan
Kawasan
Hutan
Lebat Lempung 300
Tidak
rusak
5
P. Panaitan/
Cibaring
Pengamatan
Kawasan
Hutan
Lebat Lempung 300
Tidak
rusak
6
P. Panaitan/
Pamageran
Pengamatan
Kawasan
Hutan
Lebat Lempung 300
Tidak
rusak
7
P. Panaitan/
Legon Haji.
Pengamatan
Kawasan
Hutan
Lebat Lempung 300
Tidak
rusak

Penilaian kerusakan vegetasi mangrove berdasarkan hasil survey lapangan
menyebutkan rusak hingga rusak berat, selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 39.
Tabel 39. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan Survey Lapang

No Lokasi Penilaian
Tipe
Penutupan
dan
Penggunaan
lahan
Jumlah
Pohon
Per
Hektar
Jumlah
Permudaan
Per Hektar
Lebar
Jalur
Hijau
Mangrove
Tingkat
Abrasi
Nilai Kategori
1 Handeuleum, Pengamatan
Mangrove
campur teg.
lain
92 5000 80 60 300
Tidak
Rusak
2
Handeuleum
tengah
Pengamatan
Mangrove
campur teg.
Lain
75 5625 57,34 60 285
Tidak
Rusak
3 P. Kalong Pengamatan
Mangrove
Murni
92 6667 81 27 330
Tidak
Rusak
4 P. Reungit Pengamatan
Mangrove
Murni
25 1000 50,55 27 235
Tidak
Rusak
5
P. Panaitan/
Cibaring
Pengamatan
Mangrove
Murni
88 6667 384,6 27 360
Tidak
Rusak
6
P. Panaitan/
Pamageran
Pengamatan
Mangrove
Murni
83 3500 256 27 320
Tidak
Rusak
7
P. Panaitan/
Legon Haji.
Pengamatan
Mangrove
Murni
83 3500 417 27 320
Tidak
Rusak


Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit untuk lokasi dan luas tingkat kerusakan
hutan yang mengalami kerusakan diperlihatkan tabel berikut:
Tabel 40. Lokasi dan Luas Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Kabupaten
Pandeglang

Luas (Ha)
No Kecamatan Desa
Dalam
Kawasan
Luar
Kawasan
Keterangan
Tingkat
Kerusakan
1 Cigeulis
Banyuasih 1.22
rusak
2 Pagelaran
Margagiri 7.76
rusak

Tegalpapak 3.22
rusak
3 Panimbang
Citeureup 6.76
rusak

Mekarsari 25.35
rusak

Tanjungjaya 4.95
rusak
4 Patia
Sidamukti 40.74
rusak
5 Sumur

1872.98
TN. Ujung
Kulon
tidak rusak

Jumlah 90.02


Sumber: Analisis Citra Satelit Landsat 2005/2006, RBI dan Survey lapang





ExecutiveSummary 57
Walaupun demikian hasil analisis tingkat kesesuaian lahan untuk mangrove di
lokasi kegiatan mulai rendah hingga tinggi dan secara teoritis pembangunan hutan
mangrove di lokasi ini penting untuk:
a. Pengembangan;
? Iptek dalam pengelolaan mangrove,
? Adanya kebijakan pemerintah untuk pengembangan mangrove.
b. Pemanfaatan;
? Pengembangan kawasan budidaya ikan dan wisata,
? Pengembangan fungsi lindung kawasan pesisir.
c. Perlindungan;
? Ekosistem pesisir,
? Keanekaragaman Hayati.
Adapun luas potensi pengembangan untuk pemanfaatan dan pemanfaatan yang
dapat dilakukan di wilayah Kabupaten Pandeglang, selengkapnya disajikan pada Tabel
41. di bawah ini.

Tabel 41. Potensi Luas Pengembangan Untuk Pemanfaatan dan Perlindungan

Luas Pengembangan (Ha)
No Kecamatan
Status
Kawasan
Pemanfaatan Perlindungan
1 Cibaliung LK 1.42 0.00
2 Cigeulis LK 29.16 6.32
3 Cikeusik LK 161.81 0.07
DK 0.08
4 Cimanggu
LK 23.74 3.00
DK 0.62
5 Labuan
LK 64.83 9.03
6 Pagelaran LK 203.30 1.99
7 Panimbang LK 306.50 16.74
8 Patia LK 181.27 0.01
DK 165.05
9 Sumur
LK 91.29 19.29

Jumlah

1063.95 221.57
Sumber: Analisis Data
Selanjutnya untuk pengembangan mangrove perlu disusun rencana, strategi dan
kebijakan yang didasarkan pada kondisi baik internal maupun eksternal :
1. Lingkungan Internal
a. Kekuatan
? Dapat mengendalikan bencana khususnya tsunami dan abrasi.
? Sebagai pusat keanekaragaman hayati.
? Bertindak sebagai habitat ikan dan burung.
? Memanfaatkan stabilitas ekosistem pesisir.




ExecutiveSummary 58
b. Kelemahan
? Perhatian pemerintah dan masyarakat kurang.
? Potensi pengembangan terbatas.
? Lemahnya kelembagaan pengelolan mangrove.
? Belum tersedia aturan pengelolaan mangrove.
2. Lingkungan Eksternal
a. Peluang
? Tersedianya pendanaan untuk rehabilitasi.
? Dapat dijasikan areal pengembangan perikanan dan wisata.
? Memperluas daratam melalui tanah timbul (sedimentasi).
? Dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
b. Tantangan
? Lingkungan kurang mendukung.
? Rentan terhadap gangguan masyarakat.
? Rendahnya kemapuan pengelolaan mangrove.
? Rendahnya kesadaran konservasi mangrove.
Berdasarkan kedua faktor tersebut maka strategi dan kebijakan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan Ekosistem Mangrove;
? Menghentikan perusakan, penurunan dan penggunaan secara tidak lestari dari
ekosistem mangrove baik oleh masyarakat.
? Memelihara dan mengelola hutan mangrove secara lestari dalam bentuk
kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan mangrove melalui peningkatan nilai
Ekologi, budaya dan sosial.
? Menyebarkan data dan informasi tentang ekosistem mangrove untuk menjamin
perlindungan, konservasi rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang lestari
secara ilmiah dan berdasarkan teknologi.
? Melakukan upaya rehabilitasi mangove berbasis masyarakat.
b. Peningkatan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat
? Meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan nilai-nilai sosial,
ekonomi dan ekologi serta fungsi hutan mangrove.
? Menciptakan partisipasi masyarakat yang tahu, aktif dan efektif dalam
pengelolaan mangrove secara lestari.
? Mencarikan solusi pemanfaatan mangrove yang berdampak langsung terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kemitraan dengan
pengusaha menggunakan pola-pola kemitraan tertentu.
c. Penguatan Kelembagaan dan Penegakkan Hukum




ExecutiveSummary 59
? Menciptakan pemahaman yang lebih baik, kerjasama dankoordinasi antar intansi-
intansi dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove, terutama
dibentuknya lembaga khusus untuk menangani mangrove di Provinsi Banten.
? Membuat kerangka kerja yang efektif dalam pengelolan mangrove dan zona
pantai secara lestari secara koordinatif dengan semua intansi yang terkait dengan
mangrove.
? Memperjelas masalah-masalah hukum yang terkait dengan pengelolaan
mangrove, termasuk hak penggunaan lahan, hak untuk menggarap, peraturan
nasional dan lokal tentang pemanfaatan mangrove. Terutama pengetatan aturan
pengguanaan dan pemanfaatan sempadan pantai oleh masyarakat dan swasta.
? Membuat jelas status hukum tentang zona pantai secara umum dan mangrove
secara khusus melalui keputusan pemerintah daerah, dan sekaligus adanya
kebijakan keharusan penanaman mangrove kepada petani tambak, seperti
kewajiban menanam mangrove 100 pohon untuk satu hektar.




























ExecutiveSummary 60
K. KABUPATEN LEBAK

Tidak diperoleh data sekunder luas hutan mangrove di Kabupaten Lebak.
Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit landsat tahun 2005/2006 yang di dukung oleh
peta RBI dan survey lapangan menunjukan keberadaan luas hutan magrove yang masih
ada sekitar 16,13 Ha, yang berada di Kecamatan Malingping dan berada dalam kondisi
yang rusak.
Karakteristik Ekologi hutan mangrove di Kabupaten Lebak tergolong miskin jenis,
ditemukan beberapa jenis yaitu; Avicenia sp (Api-api), Sonneratia alba (Pedada),
Bruguiera gymnoriza (Tancang) dan Rhizophora mucronata (Kijingkang). Dengan tingkat
kekayaan jenis sangat rendah, keanekaragaman jenis sangat rendah dan nilai kemerataan
juga rendah. Kondisi ini menybabkan karakteristik Ekologi tidak stabil dan tertekan.
Namun dari jenis dominan tampak bahwa jenis yang ada adalah jenis primer.
Secara hukum dan fakta lapangan, pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten
Lebak dikelola oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak. Namun apabila
dikaji secara mendalam maka banyak Instansi yang terkait dengan hutan mangrove ini
baik dengan alasan yuridisi maupun tupoksinya. Berikut disampaikan instansi terkait
dengan hutan mangrove di Kabupaten Lebak yaitu: Departemen Kehutanan, Dinas
Kehutanan Provinsi Banten, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Banten, BPLHD
Provinsi Banten.
Sosial ekonomi masyarakat didominasi sebagai petani dengan fasilitas
perekonomian cukup baik, status pemilikan lahan sewa (atau hak milik), tetapi
kelembagaan sosial cukup baik. Persepsi masyarakat terhadap mangrove baik, paham
manfaatnya, interaksi sedikit, namun kurang dalam pengelolaannya.
Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG, tidak rusak dapat dilihat pada
Tabel 42. berikut;

Tabel 42. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan SIG dan Penginderaan Jauh

No Lokasi Penilaian
Jenis
Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
1
Muara
Binuangeun
Pengamatan
Mangrove &
tanah
kosong
Jarang
Lumpur
berpasir
140
Rusak
Berat
2
Danau Apel,
Kecamatan .
Malingping
Pengamatan
Mangrove &
tanah
kosong
Jarang
Podsolik
Kerah Kuning
120
Rusak
Berat
3
Muara Sungai
Cimadur,
Kecamatan .
Bayah
Pengamatan
Mangrove &
tanah
kosong
Jarang
Lumpur
berpasir
140
Rusak
Berat




ExecutiveSummary 61
No Lokasi Penilaian
Jenis
Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
4
Muara Sungai
Cipangubulan,
Kecamatan .
Bayah
Pengamatan
Mangrove &
tanah
kosong
Jarang
Lumpur
berpasir
140
Rusak
Berat

Penilaian kerusakan hutan mangrove melalui survey lapang menggambarkan tingkat
kerusakan pada kategori rusak berat. Tingkat kerusakan hutan mangrove berdasarkan
survey lapang secra lengkap disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 43. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan Survey Lapang

No Lokasi Penilaian
Tipe
Penutupan
dan
Penggunaan
lahan
Jumlah
Pohon Per
Hektar
Jumlah
Permudaan
Per Hektar
Lebar
Jalur Hijau
Mangrove
Tingkat
Abrasi
Nilai Kategori
1
Muara
Binuangeun
Pengamatan
Mangrove
bercampur
teg. Ht lain
100 100 89,22 27,5 275 Rusak
2
Danau Apel,
Kecamatan .
Malingping
Pengamatan Perkebunan 100 100 89,22 30,7 220 Rusak
3
Muara Sungai
Cimadur,
Kecamatan .
Bayah
Pengamatan
Perkebunan

100 100 89,22 30,7 229 Rusak
4
Muara Sungai
Cipangubulan,
Kecamatan .
Bayah
Pengamatan Perkebunan 100 0 20 30,7 170
Rusak
Berat


Adapun luas tingkat kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Lebak,
selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 44. berikut:

Tabel 44. Lokasi dan Luas Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Kabupaten Lebak

Luas (Ha)
No Kecamatan Desa
Dalam
Kawasan
Luar
Kawasan
Keterangan
Tingkat
Kerusakan
1 Malingping
Muara 16.13
Rusak

Jumlah 16.13
Sumber:Analisis Citra Landsat 2005/2006, RBI dan Survey Lapang

Beberapa faktor penyebab kerusakah hutan mangrove:
a. Secara Ekologi;
? Faktor tanaman, yaitu adanya kemampuan regenerasi yang rendah tampak dari
jumlah semai yang rendah,
? Faktor lingkungan, terutama dari nilai gelombang dan arus pada musim barat,
serta nilai salinitas musim kemarau.




ExecutiveSummary 62
b. Secara Sosial Ekonomi;
? Pemahaman fungsi mangrove dalam jangka panjang,
? Ekonomi masyarakat yang rendah sehingga mengusahakan budidaya tambak
terbuka.
c. Secara Kelembagaan;
? Belum tersedianya data yang akurat,
? Belum adanya kemuan praktek yang kuat untuk pengelolaan mangrove,
? Masih lemahnya kemampuan aparatur dalam pengelolaan mangrove,
? Belum adanya koordinasi antar lembaga yang terkait dengan mangrove.
d. Secara Peraturan Perundang-Undangan
? Belum adanya aturan yang secara tegas mengatur pengelolaan mangrove,
? Penegakan hukum yang lemah, terlihat dari tidak adanya sanksi terhadap
perusak mangrove.
Berdasarkan analisis kesesuaian lahan untuk mangrove di lokasi kegiatan
memilik itingkat kesesuaian sedang hingga tinggi. secara teoritis pembangunan hutan
mangrove di lokasi ini penting untuk:
a. Pemanfaatan;
? Pengembangan kawasan budidaya sylvofishery,
? Pengembangan fungsi lindung kawasan pesisir.
b. Perlindungan;
? Ekosistem pesisir,
? Keanekaragaman Hayati.
Adapun luas potensi pengembangan untuk pemanfaatan dan perlindungan yang
dapat dilakukan di wilayah Kabupaten Lebak, selengkapnya disajikan pada Tabel 45. di
bawah ini.
Tabel 45. Luas Potensi Pengembangan Untuk Pemanfaatan dan Perlindungan
Luas Pengembangan (Ha)
No Kecamatan
Status
Kawasan
Pemanfaatan Perlindungan
1 Bayah LK 39.87 15.85
2 Malingping LK 469.11 3.73
3 Panggarangan LK 48.04 16.66
Jumlah 557.01 36.23
Sumber: Analisis Data
Selanjutnya untuk pengembangan mangrove perlu disusun rencana, strategi dan
kebijakan yang didasarkan pada kondisi baik internal maupun eksternal :
1. Lingkungan Internal
a. Kekuatan
? Perhatian pemerintah cukup besar.




ExecutiveSummary 63
? Menjaga kelestarian ekosistem pesisir secara lestari.
? Dapat memberikan pendapatan yang cukup tinggi.
? Menjaga kualitas lingkungan.
? Menjaga Abrasi pantai
b. Kelemahan
? Jenis terbatas, sehingga keanekaragaman rendah akibatnya ekosistem labil.
? Belum dikembangkan secara serius.
? Pemahaman ekosistem mangrove masih lemah.
? Sosial ekonomi masyarakat rendah.
? Banyak terdapat tambak yang terlantar.
2. Lingkunan Eksternal
a. Peluang
? Lahan sesuai untuk mangrove cukup luas.
? Barier penahan intrusi air laut, abrasi dan tsunami.
? Tersedianya pendanaan untuk rehabilitasi mangrove.
b. Tantangan
? Luasan pengembangan terbatas.
? Nilai ekonomi rendah.
? Tekanan konversi lahan tinggi.
Berdasarkan kedua faktor tersebut maka strategi dan kebijakan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan ekosistem mangrove;
? Menghentikan perusakan, penurunan dan penggunaan secara tidak lestari dari
ekosistem mangrove baik oleh masyarakat maupun pembukaan tambak baru.
? Memelihara dan mengelola hutan mangrove secara lestari dalam bentuk
kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan mangrove melalui peningkatan nilai
Ekologi, budaya dan sosial.
? Memberi keyakinan tentang pengggunaan prinsif no net loss (tidak ada yang
hilang) dalam pengelolaan mangrove kepada masyarakat sekitar.
? Menyebarkan data dan informasi tentang ekosistem mangrove untuk menjamin
perlindungan, konservasi rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang lestari
secara ilmiah dan berdasarkan teknologi.
b. Peningkatan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat
? Meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan nilai-nilai sosial,
ekonomi dan ekologi serta fungsi hutan mangrove.
? Menciptakan partisipasi masyarakat yang tahu, aktif dan efektif dalam
pengelolaan mangrove secara lestari.




ExecutiveSummary 64
? Mencarikan solusi pemanfaatan mangrove yang berdampak langsung terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kemitraan dengan
pengusaha menggunakan pola-pola kemitraan tertentu.
c. Penguatan Kelembagaan dan Penegakkan Hukum
? Menciptakan pemahaman yang lebih baik, kerjasama dankoordinasi antar intansi-
intansi dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove, terutama
dibentuknya lembaga khusus untuk menangani mangrove di Provinsi Banten.
? Membuat kerangka kerja yang efektif dalam pengelolan mangrove dan zona
pantai secara lestari secara koordinatif dengan semua intansiyang terkait dengan
mangrove.
? Memperjelas masalah-masalah hukum yang terkait dengan pengelolaan
mangrove, termasuk hak penggunaan lahan, hak untuk menggarap, peraturan
nasional dan lokal tentang pemanfaatan mangrove. Terutama pengetatan aturan
pengguanaan dan pemanfaatan sempadan pantai oleh masyarakat dan swasta.
? Membuat jelas status hukum tentang zona pantai secara umum dan mangrove
secara khusus melalui keputusan pemerintah daerah, dan sekaligus adanya
kebijakan keharusan penanaman mangrove kepada petani tambak, seperti
kewajiban menanam mangrove 100 pohon untuk satu hektar.
























ExecutiveSummary 65
L. KABUPATEN SUKABUMI

Data sekunder luas hutan mangrove di Kabupaten Sukabumi tidak tersedia.
Berdasarkan analisis citra satelit Landsat tahun 2005/2006 menunjukan luas hutan
mangrove Kabupaten Sukabumi adalah sekitar 167,74 ha. Adapun sebaran hutan
mangrove berada di Kecamatan Ciemas yang berada di Desa Cibenda seluas 16,73 Ha,
dan di Desa Ciwaru seluas 11,98 Ha, di Kecamatan Simpenan yang berada di Desa
Cidadap seluas 13,91 Ha. dan di Desa Loji seluas 125,12 ha.
Karakteristik Ekologi hutan mangrove di Kabupaten Sukabumi tergolong miskin
jenis, ditemukan beberapa jenis yaitu; Soneratia alba dan Bruguiera gymnoriza dengan
tingkat kekayaan jenis sangat rendah, keanekaragaman jenis juga sangat rendah dan nilai
kemerataan juga rendah. Kondisi ini menybabkan karakteristik Ekologi tidak stabil dan
tertekan. Namun dari jenis dominan tampak bahwa jenis yang ada adalah jenis primer.
Secara hukum dan fakta lapangan, pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten
Sukabumi adalah Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi. Namun apabila dikaji
secara mendalam maka banyak Instansi yang terkait dengan hutan mangrove ini baik
dengan alasan yuridisi maupun tupoksinya, instansi tersebut adalah Departemen
Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Perikanan dan Kelautan
Provinsi Jawa Barat, BPLHD Provinsi Jawa Barat, Dinas Kehutanan Kabupaten
Sukabumi.
Sosial ekonomi masyarakat didominasi sebagai petani dengan fasilitas
perekonomian cukup baik, status pemilikan lahan sewa (atau hak milik), tetapi
kelembagaan sosial cukup baik. Persepsi masyarakat terhadap mangrove baik, paham
manfaatnya, interaksi sedikit, namun kurang dalam pengelolaannya.
Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG serta survey lapang, kondisi
hutan mangrove di Kabupaten Sukabumi diketahui rusak secara lengkap dapat dilihat
pada Tabel 46. berikut ;

Tabel 46. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan SIG dan Penginderaan Jauh

No Lokasi
Jenis
Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
1
Muara
Cikaso /
Cibeureum
Perkebunan jarang
Asosiasi Latosol
Coklat & Regosol
Kelabu
185 Rusak
2 Cihaur Duri Perkebunan jarang
Asosiasi Latosol
Coklat & Regosol
Kelabu
185 Rusak





ExecutiveSummary 66
Penilaian kerusakan hutan mangrove melalui survey lapang menunjukan hutan
mangrove di Kabupaten Sukabumi dalam kondisi rusak berat, Hasil selengkapnya
penilaian kerusakan vegetasi mangrove diperlihatkan pada Tabel 47.
Tabel 47. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan Survey Lapang

No Lokasi
Tipe Penutupan
dan Penggunaan
lahan
Jumlah
Pohon Per
Hektar
Jumlah
Permudaan
Per Hektar
Lebar
Jalur Hijau
Mangrove
Tingkat
Abrasi
Nilai Kategori
1
Muara
Cikaso /
Cibeureum
perkebunan 179 14 30 170
Rusak
berat
2
Cihaur
Duri
perkebunan 214 133 30 170
Rusak
berat

Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG, diketahui tingkat kerusakan
hutan mangrove di Kabupaten Sukabumi, yang selengkapnya diperlihatkan pada Tabel
48. berikut:
Tabel 48. Lokasi dan Luas Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove di Kabupaten Kabupaten
Sukabumi
Luas (Ha)
No Kecamatan Desa Dalam
Kawasan
Luar
Kawasan
Ti ngkat
Kerusakan
1. Ciemas 82.71 rusak
2. Simpenan 139.03 rusak
Jumlah 167.74
Sumber: Analisis Citra Satelit Landsat 2005/2006, Peta RBI dan Survey Lapang
Selanjutnya untuk pengembangan mangrove perlu disusun rencana, strategi dan
kebijakan yang didasarkan pada kondisi baik internal maupun eksternal :
1. Lingkungan Internal
a. Kekuatan
? Dapat mengendalikan bencana khususnya tsunami dan abrasi.
? Sebagai pusat keanekaragaman hayati.
? Bertindak sebagai habitat ikan dan burung.
? Memanfaatkan stabilitas ekosistem pesisir.
b. Kelemahan
? Perhatian pemerintah dan masyarakat kurang.
? Potensi pengembangan terbatas.
? Lemahnya kelembagaan pengelolan mangrove.
? Belum tersedia aturan pengelolaan mangrove.
? Tanaman mangrove alami sangat sedikit.
2. Lingkungan Eksternal
a. Peluang
? Tersedianya pendanaan untuk rehabilitasi.




ExecutiveSummary 67
? Dapat dijasikan areal pengembangan perikanan dan wisata.
? Memperluas daratan melalui tanah timbul (sedimentasi).
? Dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
b. Tantangan
? Lingkungan kurang mendukung.
? Rentan terhadap gangguan masyarakat.
? Rendahnya kemapuan pengelolaan mangrove.
? Rendahnya kesadaran konservasi mangrove.
Berdasarkan analisis kesesuaian lahan untuk mangrove di lokasi kegiatan
memilik itingkat kesesuaian sedang hingga tinggi. secara teoritis pembangunan hutan
mangrove di lokasi ini penting untuk:
a. Pemanfaatan;
? Pengembangan kawasan budidaya sylvofishery,
? Pengembangan fungsi lindung kawasan pesisir.
b. Perlindungan;
? Ekosistem pesisir,
? Keanekaragaman Hayati.
Adapun luas potensi pengembangan unt uk pemanfaatan dan perlindungan yang
dapat dilakukan di wilayah Kabupaten Lebak, selengkapnya data luas potensi
pengembangan disajikan pada Tabel 49. di bawah ini.
Tabel 49. Luas dan Lokasi Pengembangan Untuk Pemanfaatan dan Perlindungan
Luas Pengembangan (Ha)
No Kecamatan
Status
Kawasan
Pemanfaatan Perlindungan
DK 0.68
1 Cibitung
LK 2.84
DK 4.25 36.52
2 Ciemas
LK 73.00 15.32
3 Cikakak LK 4.44 0.52
DK 19.39
4 Ciracap
LK 48.27 10.46
5 Cisolok LK 1.81 8.97
6 Pelabuhan Ratu LK 24.61 3.41
7 Simpenan LK 41.90 7.26
8 Surade LK 5.67 3.76
9 Tegal Buleud LK 55.80
Jumlah 263.26 105.61

Berdasarkan kedua faktor tersebut maka strategi dan kebijakan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:






ExecutiveSummary 68
a. Pengembangan Ekosistem Mangrove;
? Menghentikan perusakan, penurunan dan penggunaan secara tidak lestari dari
ekosistem mangrove baik oleh masyarakat.
? Memelihara dan mengelola hutan mangrove secara lestari dalam bentuk
kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan mangrove melalui peningkatan nilai
Ekologi, budaya dan sosial.
? Memberi keyakinan tentang pengggunaan prinsif no net loss (tidak ada yang
hilang) dalam pengelolaan mangrove kepada masyarakat sekitar.
? Menyebarkan data dan informasi tentang ekosistem mangrove untuk menjamin
perlindungan, konservasi rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang lestari
secara ilmiah dan berdasarkan teknologi.
b. Peningkatan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat
? Meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan nilai-nilai sosial,
ekonomi dan ekologi serta fungsi hutan mangrove.
? Menciptakan partisipasi masyarakat yang tahu, aktif dan efektif dalam
pengelolaan mangrove secara lestari.
? Mencarikan solusi pemanfaatan mangrove yang berdampak langsung terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kemitraan dengan
pengusaha menggunakan pola-pola kemitraan tertentu.
c. Penguatan Kelembagaan dan Penegakkan Hukum
? Menciptakan pemahaman yang lebih baik, kerjasama dan koordinasi antar
intansi-intansi dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove,
terutama dibentuknya lembaga khusus untuk menangani mangrove di Kabupaten
Sukabumi.
? Membuat kerangka kerja yang efektif dalam pengelolan mangrove dan zona
pantai secara lestari secara koordinatif dengan semua intansi yang terkait dengan
mangrove.
? Memperjelas masalah-masalah hukum yang terkait dengan pengelolaan
mangrove, termasuk hak penggunaan lahan, hak untuk menggarap, peraturan
nasional dan lokal tentang pemanfaatan mangrove. Terutama pengetatan aturan
pengguanaan dan pemanfaatan sempadan pantai oleh masyarakat dan swasta.
? Membuat jelas status hukum tentang zona pantai secara umum dan mangrove
secara khusus melalui keputusan pemerintah daerah, dan sekaligus adanya
kebijakan keharusan penanaman mangrove kepada petani tambak, seperti
kewajiban menanam mangrove 100 pohon untuk satu hektar.






ExecutiveSummary 69
M. KABUPATEN CIANJUR

Berdasarkan hasil analisis data citra satelit menunjukan luas hutan mangrove di
Kabupaten Cianjur hanya ada di Kecamatan Agrabinta, desa Sukamanah seluas 107,88
Ha, yang dalam kondisi rusak.
Karakteristik Ekologi hutan mangrove di Kabupaten Cianjur tergolong miskin
jenis, ditemukan beberapa jenis yaitu; Sonneratia alba (Pedada), Bruguiera gymnoriza
(Tancang). dengan tingkat kekayaan jenis sangat rendah, keanekaragaman jenis juga
sangat rendah dan nilai kemerataan juga rendah. Kondisi ini meny ebabkan karakteristik
ekologi tidak stabil dan tertekan. Namun dari jenis dominan tampak bahwa jenis yang ada
adalah jenis primer.
Secara hukum dan fakta lapangan, pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten
Cianjur adalah Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah Kabupaten Cianjur dan Dinas
Perikanan dan Peternakan Kabupaten Cianjur. Namun apabila dikaji secara mendalam
maka banyak Instansi yang terkait dengan hutan mangrove ini baik dengan alasan yuridisi
maupun tupoksinya. Berikut disampaikan instansi terkait dengan hutan mangrove di
Kabupaten Cianjur yaitu: Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat,
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
Sosial ekonomi masyarakat didominasi sebagai petani dengan fasilitas
perekonomian cukup baik, status pemilikan lahan sewa (atau hak milik), tetapi
kelembagaan sosial cukup baik. Persepsi masyarakat terhadap mangrove baik, paham
manfaatnya, interaksi sedikit, namun kurang dalam pengelolaannya.
Berdasarkan analisis citra Satelit Landsat dan SIG, diketahui kondisi hutan
mangrove di Kabupaten Cianjur dalam kondisi rusak berat dapat dilihat pada Tabel 50.
berikut;
Tabel 50. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan SIG dan Penginderaan Jauh
No Lokasi
Jenis Penggunaan
Lahan
Kerapatan
Tajuk
Jenis Tanah Nilai Kategori
1 Muara Cibiuk
Tambak non-
tumpangsari, sawah
Jarang
Kompleks Podsolik
Merah Kuning, Podsolik
Kuning & Regosol
120
Rusak
Berat
2
Muara
Ciujung
Tambak non-
tumpangsari, sawah
Jarang
Kompleks Podsolik
Merah Kuning, Podsolik
Kuning & Regosol
120
Rusak
Berat
3
Talancah
Talaga Sari
Tambak non-
tumpangsari, sawah
Jarang
Kompleks Podsolik
Merah Kuning, Podsolik
Kuning & Regosol
120
Rusak
Berat
4
Sungai
Cisokan
Tambak non-
tumpangsari, sawah
Jarang
Kompleks Podsolik
Merah Kuning, Podsolik
Kuning & Regosol
120
Rusak
Berat
5 Sungai Citoe
Tambak non-
tumpangsari, sawah
Jarang
Kompleks Podsolik
Merah Kuning, Podsolik
Kuning & Regosol
120
Rusak
Berat




ExecutiveSummary 70
Hasil survey lapang menggambarkan kondisi hutan mangrove di Kabupaten
Cianjur rusak berat, selengkapnya penilaian kerusakan vegetasi mangrove diperlihatkan
pada Tabel 51.
Tabel 51. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan Survey Lapang
Lokasi Penilaian
Tipe Penutupan
dan
Penggunaan
lahan
Jumlah
Pohon
Per
Hektar
Jumlah
Permudaan
Per Hektar
Lebar
Jalur
Hijau
Mangrove
Tingkat
Abrasi
Nilai Kategori
Muara Cibiuk Pengamatan
Campur Tegakan
hutan lain
200 100 20 3-5 200
Rusak
berat
Muara
Ciujung
Pengamatan
Campur Tegakan
hutan lain
183 67 25 3-5 200
Rusak
berat
Talancah
Talaga Sari
Pengamatan
Campur Tegakan
hutan lain
220 60 20 3-5 200
Rusak
berat
Sungai
Cisokan
Pengamatan
Campur Tegakan
hutan lain
215 25 20 3-5 200
Rusak
berat
Sungai Citoe Pengamatan
Campur Tegakan
hutan lain
194 20 20 3-5 200
Rusak
berat


Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan untuk mangrove, lokasi kegiatan
termasuk baik yaitu mulai dari sedang hingga tinggi, secara teoritis pembangunan hutan
mangrove di lokasi ini penting untuk:
a. Pengembangan;
? Pengendalian ekosistem pasisir yang lestari,
? Kebijakan pemerintah untuk pengembangan mangrove dalam rangka
pengendalian bencana tsunami.
b. Pemanfaatan;
? Pengembangan kawasan wisata,
? Pengembangan fungsi lindung kawasan pesisir.
c. Perlindungan;
? Ekosistem pesisir,
? Keanekaragaman Hayati.
Adapun luas potensi pengembangan untuk pemanfaatan yang dapat dilakukan di
wilayah Kabupaten Cianjur, selengkapnya data luas potensi pengembangan disajikan
pada Tabel 52. di bawah ini.
Tabel 52. Luas Potensi Pengembangan Untuk Pemanfaatan dan Perlindungan

Luas Pengembangan (Ha)
No Kecamatan
Status
Kawasan
Pemanfaatan Perlindungan
DK 6.67
1 Agrabinta
LK 61.14
2 Cidaun LK 36.53 0.28




ExecutiveSummary 71
Luas Pengembangan (Ha)
No Kecamatan
Status
Kawasan
Pemanfaatan Perlindungan
3 Sindangbarang LK 81.60
Jumlah 185.84 0.28
Sumber: Analisis Data
Selanjutnya untuk pengembangan mangrove perlu disusun rencana, strategi dan
kebijakan yang didasarkan pada kondisi baik internal maupun eksternal :
1. Lingkungan Internal
a. Kekuatan
? Dapat mengendalikan bencana khususnya tsunami dan abrasi.
? Sebagai pusat keanekaragaman hayati
? Bertindak sebagai habitat ikan dan burung.
? Memanfaatkan stabilitas ekosistem pesisir.
b. Kelemahan
? Perhatian pemerintah dan masyarakat kurang.
? Potensi pengembangan terbatas.
? Lemahnya kelembagaan pengelolan mangrove.
? Belum tersedia aturan pengelolaan mangrove.
2. Lingkungan Eksternal
a. Peluang
? Tersedianya pendanaan untuk rehabilitasi.
? Dapat dijasikan areal pengembangan perikanan dan wisata.
? Memperluas daratan melalui tanah timbul (sedimentasi).
? Dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
b. Tantangan
? Lingkungan kurang mendukung.
? Rentan terhadap gangguan masyarakat.
? Rendahnya kemapuan pengelolaan mangrove.
? Rendahnya kesadaran konservasi mangrove.
Berdasarkan kedua faktor tersebut maka strategi dan kebijakan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Pengembangan Ekosistem Mangrove;
? Memelihara dan mengelola hutan mangrove secara lestari dalam bentuk
kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan mangrove melalui peningkatan nilai
Ekologi, budaya dan sosial.
? Menyebarkan data dan informasi tentang ekosistem mangrove untuk menjamin
perlindungan, konservasi rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang lestari
secara ilmiah dan berdasarkan teknologi.




ExecutiveSummary 72
? Melakukan upaya rehabilitasi mangrove berbasis masyarakat.
b. Peningkatan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat
? Meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan nilai-nilai sosial,
ekonomi dan ekologi serta fungsi hutan mangrove.
? Menciptakan partisipasi masyarakat yang tahu, aktif dan efektif dalam
pengelolaan mangrove secara lestari.
? Mencarikan solusi pemanfaatan mangrove yang berdampak langsung terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kemitraan dengan
pengusaha menggunakan pola-pola kemitraan tertentu.
c. Penguatan Kelembagaan dan Penegakkan Hukum
? Menciptakan pemahaman yang lebih baik, kerjasama dan koordinasi antar
intansi-intansi dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove,
terutama dibentuknya lembaga khusus untuk menangani mangrove di Kabupaten
Cianjur.
? Membuat kerangka kerja yang efektif dalam pengelolan mangrove dan zona
pantai secara lestari secara koordinatif dengan semua intansi yang terkait dengan
mangrove.
? Memperjelas masalah-masalah hukum yang terkait dengan pengelolaan
mangrove, termasuk hak penggunaan lahan, hak untuk menggarap, peraturan
nasional dan lokal tentang pemanfaatan mangrove. Terutama pengetatan aturan
pengguanaan dan pemanfaatan sempadan pantai oleh masyarakat dan swasta.
? Membuat jelas status hukum tentang zona pantai secara umum dan mangrove
secara khusus melalui keputusan pemerintah daerah, dan sekaligus adanya
kebijakan keharusan penanaman mangrove kepada petani tambak, seperti
kewajiban menanam mangrove 100 pohon untuk satu hektar.

















ExecutiveSummary 73



Berdasarkan data yang tersedia dan analisis yang telah dilakukan diperoleh
kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut :

A. KESIMPULAN
1. Lingkungan tempat tumbuh mangrove sesuai untuk pesisir pantura, setempat -
setempat di pantai selatan terutama di tempat-tempat terlindung.
2. Kependudukan masyarakat pesisir tergolong padat, tingkat pendidikan dan kesehatan
rendah.
3. Telah terjadi kerusakan hutan mangrove di beberapa lokasi kegiatan kecuali kawasan-
kawasan lindung
4. Interaksi masyarakat dengan hutan mangrove tinggi, tetapi pola pemilikan lahannya
rendah ada keinginan untuk berpartisifasi dalam pengelolaan mangrove di pantura
sedangkan di pantai selatan sebaliknya.
5. Tingkat kesesuaian lahan tergolong tinggi di pantai utara dan rendah sampai sedang
di pantai selatan, kecuali tempat-tempat terlindung.
6. Kelembagaan pengeloaan mangrove rendah.
7. Belum tersusunya tata ruang detail untuk kawasan pesisir
8. Pemahaman terhadap hutan mangrove masih rendah
9. Tingkat kepedulian pemangku kepentingan juga lemah.
10. Penegakkan hukum terhadap pelanggar hutan lemah.

B. REKOMENDASI
1. Melaksanakan penyusunan tata ruang detail kawasan pesisir.
2. Melakukan upaya peningkatan sosial ekonomi masyarakat pesisir
3. Menyusun master plann penglolaan hutan mangrove.
4. Melakukan upaya penguatan kelembagaan hutan mangrove.
5. Penegakkan hukum dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pul au kecil.
6. Melakukan Rehabilitasi Mangrove.







KESIMPULAN & REKOMENDASI
5




ExecutiveSummary 74
DAFTAR PUSTAKA




Badan Pusat Statistik Kabupaten Indramayu, 2005. Kabupaten Indramayu Dalam Angka
Tahun 2005/2006. BPS Indramayu, Indramayu.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang, 2005. Kabupaten Subang Dalam Angka Tahun
2005/2006. BPS Subang, Subang .

Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang, 2005. Kabupaten Karawang Dalam Angka
Tahun 2005/2006. BPS Karawang, Karawang.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi, 2005. Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun
2005/2006. BPS Bekasi , Bekasi .

Badan Pusat Statistik Kodya Jakarta Utara, 2005. Kodya Jakarta Utara Dalam Angka
Tahun 2005/2006. BPS Jakarta Utara, Jakarta Utara.

Badan Pusat Statistik Kepulauan Seribu, 2005. Kepulauan Seribu Dalam Angka Tahun
2005/2006. BPS Kepulauan Seribu, Kepulauan Seribu .

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang, 2005. Kabupaten Tangerang Dalam Angka
Tahun 2005/2006. BPS Tangerang, Tangerang

Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang, 2005. Kabupaten Serang Dalam Angka Tahun
2005/2006. BPS Serang, Serang.

Badan Pusat Statistik Kota Cilegon, 2005. Kota Cilegon Dalam Angka Tahun 2005/2006.
BPS Cilegon , Cilegon.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang, 2005. Kabupaten Pandeglang Dalam
Angka Tahun 2005/2006. BPS Pandeglang, Pandeglang.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lebak, 2005. Kabupaten Lebak Dalam Angka Tahun
2005/2006. BPS Lebak, Lebak.

Direktorat Bina Pesisir, 2004. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Direktorat
Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departeman Kelautan dan Perikanan,
Jakarta.

Field. C. D. 1984. Lands in Mangrove, School of Life Science. The New South Walles
Institute of Technology, Gore Hill, Sydney. Australia.

Hilmi, E dan C. Kusmana, 1999. Ekosistem Mangrove Antara Karakteristik, Tehnik
Sampling dan Analisa Sistem. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor.

Istomo, 1992. Tinjauan Ekologi Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya di Indonesia.
Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.

Kusmana, C. 1995. Tehnik Pengambilan Contoh Data Biofisik Sumber Daya Vegetasi
Wilayah Pesisir. Laboratorium Ekologi Hutan, IPB. Bogor.

Kusmana, C. 1997. Ekologi dan Sumberdaya Ekosistem Mangrove. PKSPL-LP IPB,
Bogor.




ExecutiveSummary 75

Mufahir, 1994. Pengaruh Penutupan Vegetasi Pantai Terhadap Kemungkinan Intrusi Air
Laut, di Pesisir Pantai Pangandaran. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta.

Rudjiman, 1993. Evaluasi Penerapan Jalur Hijau di Segara Anakan Cilacap. Duta
Rimba, Agustus 1993.

Soegiarto, A. 1984. The Mangrove Ecosystem in Indonesia, its Problems and
Management. National Institute of Oceanology. Jakarta-Indonesia.

Sugiarto dan W. Ekariyono, 1995. Penghijauan Pantai. PT. Penebar Swadaya, Bogor.

Wahyono, A. 1999. Status Kawasan Pantai dan Hutan Mangrove. Duta Rimba, Februari
1999.

Anda mungkin juga menyukai