Anda di halaman 1dari 20

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu transfer dana pemerintah kepada
pemerintahan daerah yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
DAU bersifat Block Grant yang berarti penggunaanya diserahkan kepada daerah
sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Menurut Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Dasar Hukum, DAU adalah :
1. UU No. 33. Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat
Dan Pemerintahan Daerah, berada pada Pasal 27-37
2. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, berada pada Pasal 37-49
3. UU No. 6 Tahun 2011 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi Dan
Kabupaten/Kota terdapat pada Pasal 1-6

Menurut Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pengalokasian DAU adalah
dialokasikan untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Besaran DAU ditetapkan sekurang-
kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negri (PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN.
Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai
dengan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.



Menurut Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Tahapan Penghitung DAU yaitu :
1. Tahapan Akademis
Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU dilakukan oleh Tim
Independen dari berbagai universitas dengan tujuan untuk memperoleh kebijakan penghitung
DAU yang sesuai dengan kebutuhan UU dan karakteristik Otonomi Daerah di Pemerintahan
Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.
2. Tahapan Administratif
Dalam tahapan ini Departemen Keuangan, DJPK melakukan koordinasi dengan instansi
terkait untuk penyiapan dana dasar perhitungan DAU termasuk didalamnya kegiatan
konsolidasi dan verifikasi dana untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran data yang
akan digunakan
3. Tahapan Teknis
Merupakan tahap pembuatan simulasi perhitungan DAU yang akan dikonsultasikan
Pemerintah kepada DPR RI dan dilakukan berdasarkan formula DAU sebagaimana
diamanatkan UU dengan menggunakan data yang tersedia serta memperhatikan hasil
rekomendasi pihak akademis
4. Tahapan Politis
Merupakan Tahap akhir, pembahasan perhitungan dan alokasi DAU antara Pemerintahan
dengan Belanja Daerah Panitia Angaran DPR RI untuk konsultasi dan mendapatkan
persetujuan hasil penghitungan DAU.
Bagaimana Pemerintah Daerah mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya
merupakan pertanyaan penelitian yang menarik sejak lama. Penelitian terdahulu mengunakan
berbagai pendekatan untuk menjelaskan perilaku pemda dalam mengalokasikan dana yang
dimilikinya, baik dana yang bersumber dari transfer pemerintahan diatasnya ataupun dari
pendapatan sendiri. Pemeritahan daerah biasa merespon transfer dari Pemerintahan pusat
secara simetris dan tidak simetris (Gamkha & Oates 1996). DAU merupakan transfer dari
pemerintahan pusat kepada daerah yang bersifat block grant yang wewenang peraturan
dan penggunaanya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan daerah dalam rangka
penyelengaraan daerah (Widjaja, 2002:47). DAU merupakan komponen terbesar dalam dana
perimbangan dan perananya sangat strategis dalam menciptakan yang luas, akan member
makna otonomi yang lebih nyata bagi pelaksanaan pemerintahan di daerah.

2.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf (a) UU No. 33
tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan PAD merupakan penerimaan yang diperoleh dari
sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri dipungut berdasarkan peraturan daerah dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut Halim (2007:96) menyatakan
bahwa PAD merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli
daerah. Menurut pasal 6 UU No. 32 tahun 2004 PAD berasal dari:
1) Pajak daerah
2) Retribusi daerah
3) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
4) Penerimaan dari dinas dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

2.2.1 Pajak Daerah
Pajak merupakan iuran yang dapat dipaksakan kepada wajib pajak oleh pemerintah dengan
balas jasa yang tidak langsung dapat ditunjuk. Pada pokoknya pajak memiliki dua peranan
utama yaitu sebagai sumber penerimaan negara (fungsi budget) dan sebagai alat untuk
mengatur (fungsi regulator) (Miyasto, 2009). Menurut UU No. 28 Tahun 2009, pajak daerah
yang selanjutnya disebut pajak yaitu kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Lebih lanjut Simanjuntak (2003:32) menyatakan bahwa Pajak Daerah adalah pajak-
pajak yang dipungut oleh daerah-daerah seperti Provinsi, Kabupaten maupun kotamadya
berdasarkan peraturan daerah masing-masing dan hasil pemungutannya digunakan untuk
pembiayaan rumah tangga daerahnya. Prakosa (2003:2) menyatakan bahwa pajak daerah
merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung
yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan UU yang berlaku, hasilnya digunakan
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Dari batasan atau definisi dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri dari pajak daerah adalah:
1) Iuran masyarakat kepada Negara
2) Berdasarkan Undang-Undang
3) Tanpa balas jasa secara langsung
4) Untuk membiayai pengeluaran pemerintah

Pembaharuan yang dilakukan pemerintah misalnya dengan diterbitkannya UU No. 28
Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi sebagai perubahan UU No. 18 Tahun 1997 dan UU
No. 34 Tahun 2000. Dengan diberlakukannya No. 28 Tahun 2009 jenis pajak daerah
jumlahnya menjadi bertambah. Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak
Provinsi dan 3 jenis pajak kabupaten/kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan
terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota.
Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota
yang baru adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan
Hak atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai catatan,
untuk kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya
merupakan pajak provinsi.
Berdasarkan UU No. 28 tahun 2009, jenis pajak daerah terdiri dari:
(1) Jenis pajak provinsi yang terdiri atas:
1. Pajak Kendaraan Bermotor
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
4. Pajak Air Permukaan, dan
5. Pajak Rokok
(2) Jenis pajak kabupaten/kota terdiri atas:
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Bantuan
7. Pajak Parkir
8. Pajak Air Tanah
9. Pajak Sarang Burung Walet
10. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, dan
11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pajak-pajak baru yang sebelumnya menjadi kewenangan pusat dan diserahkan kepada daerah
kabupaten untuk memungutnya adalah, PBB pedesaan dan perkotaan dan BPHTB. Selain itu
juga dimungkinkan dipungutnya pajak atas sarang burung walet, yang sebelumnya belum
pernah ada. Dengan bertambahnya jenis pajak tersebut tentunya akan menambah sumber
PAD apabila potensi di daerah semakin besar, terutama PBB dan BPHTB. Keberhasilan
dalam mengelola sumber-sumber penerimaan pajak daerah tergantung pada kemampuan
pemerintah daerah itu sendiri dalam mengoptimalkan faktor-faktor yang turut menentukan
keberhasilan tersebut.
Mardiasmo (2002:146-147) mengungkapkan bahwa:
untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah perlu diberikan otonomi dan keleluasaan daerah. Langkah penting yang harus
dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah adalah dengan menghitung potensi
penerimaan pajak daerah yang rill yang dimiliki oleh daerah tersebut, sehingga bisa diketahui
peningkatan kapasitas pajak (tax capacity) daerah. Peningkatan kapasitas pajak pada
dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber pendapatan daerah.

2.2.2 Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan paksa yang dilakukan pemerintah daerah terhadap wajib
retribusi dengan kontra prestasi langsung yang diberikan pemerintah daerah kepada wajib
retribusi (Miyasto, 2009). Pemungutan retribusi dibayar langsung oleh mereka yang
menikmati suatu layanan, dan biasanya dimaksudkan untuk menutup seluruh atau sebagian
dari biaya pelayanannya. Besarnya retribusi seharusnya sama dengan (lebih kurang) nilai
pelayanan yang diberikan. Lebih lanjut Mulyana dan Subhkan (2006:118) mengatakan bahwa
retribusi adalah:
Pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan
oleh pemda untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Dengan kata lain yang lebih
sederhana, retribusi adalah pungutan yang dibebankan kepada seseorang karena menikmati
jasa secara langsung.

Menurut UU No. 28 Tahun 2009 retribusi daerah yaitu pungutan daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan
oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Dari definisi di atas terlihat
bahwa ciri-ciri mendasar dari retribusi daerah adalah:
1) Retribusi dipungut oleh daerah
2) Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat
di tunjuk
3) Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan barang atau jasa yang
disediakan oleh daerah.
Retribusi daerah berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 mencakup tiga objek, yaitu jasa umum,
jasa usaha dan perizinan tertentu. Retribusi yang dikenakan atas jasa umum digolongkan
sebagai retribusi jasa umum. Retribusi yang dikenakan atas jasa usaha digolongkan sebagai
retribusi jasa usaha, sedangkan reribusi yang dikenakan atas perizinan tertentu digolongkan
sebagai retribusi perizinan tertentu.
(1) Retribusi Jasa Umum
Objek retribusi jasa umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah
Daerah untuk tujuan kepentingan dan pemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang
pribadi atau Badan. Jenis Retribusi Jasa Umum antara lain:
1. Retribusi Pelayanan Kesehatan
2. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil
4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
5. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
6. Retribusi Pelayanan Pasar
7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
1. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus
2. Retribusi Pengolahan Limbah Cair
3. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang
4. Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan
5. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.

(2) Retribusi Jasa Usaha
Objek retribusi jasa usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan
menganut prinsip komersial yang meliputi pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan
kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal dan/atau pelayanan oleh
Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta. Jenis
retribusi jasa usaha antara lain:
1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
2. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan
3. Retribusi Tempat Pelelangan
4. Retribusi Terminal
5. Retribusi Tempat Khusus Parkir
6. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
7. Retribusi Rumah Potong Hewan
8. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan
9. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
1. Retribusi Penyeberangan di Air, dan
2. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

(3) Retribusi Perizinan Tertentu
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah
Daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan
pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan SDA, barang, prasarana, sarana,
atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian
lingkungan. Jenis retribusi perizinan tertentu antara lain:
1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
2. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
3. Retribusi Izin Gangguan
4. Retribusi Izin Trayek, dan
5. Retribusi Izin Usaha Perikanan.

Koswara (2001:191) memaparkan bahwa:
Mengenai potensi retribusi daerah, seperti halnya dengan pajak daerah, hanya dengan
beberapa jenis retribusi yang secara efektif berperan sebagai sumber pendapatan daerah.
Dalam dimensi potensi daerah yang demikian, pemerintah daerah hendaknya dapat
mengembangkan inisiatif dan upaya untuk meningkatkan penerimaan retribusi daerah. Upaya
ini antara lain dilakukan dengan cara memberikan pelayanan publik secara profesional dan
mampu memberikan kepuasan kepada setiap penerima pelayanan.

2.2.3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Menurut Mulyana dan Subhkan (2006:101-102), hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan adalah:
Komponen kekayaan daerah yang pengelolaannya diserahkan kepada Badan Usaha
Miliki Daerah (BUMD). Kekayaan daerah yang dipisahkan, dalam praktiknya dikelola oleh
perusahaan milik daerah, yaitu perusahaan yang mayoritas atau seluruh modal/sahamnya
dimiliki oleh daerah. Perusahaan ini disebut BUMD. Dalam hal ini, ada dua aspek dalam
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, yaitu (1) kekayaan daerah dikelola secara
tersendiri menurut ketentuan yang berlaku bagi suatu perusahaan oleh manajemen BUMD
dan (2) pemerintah bertindak sebagai pemegang saham yang memiliki perwakilan dam Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS).
Hasil pengeloaan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan bagian dari PAD daerah
tersebut, yang bersumber dari:
1) Bagian laba dari perusahaan daerah
2) Bagian laba dari lembaga keuangan bank (contoh Bank Daerah)
3) Bagian laba atas penyertaan modal kepada badan usaha lainnya.
Sedangkan Halim (2007:98) menyebutkan:
Bahwa hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah
yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini dirinci
menurut objek pendapatan yang mencakup:
1) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/ BUMD
2) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/ BUMN
3) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat.
2.2.4 Pendapatan Lain-Lain yang Disahkan
Jenis pendapatan lain-lain yang sah sesuai UU No. 33 Tahun 2004 disediakan untuk
menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi
daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut objek
pendapatan, antara lain hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan secara tunai
atau angsuran/cicilan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian
daerah, penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagaimana akibat dari penjualan
atau pengadaan barang dan jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing.
Penerimaan lain-lain membuka kemungkinan bagi pemerintah daerah untuk
melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan, baik yang berupa materi dalam hal
kegiatan yang bersifat bisnis, maupun dalam hal kegiatan non materi untuk menyediakan,
melapangkan atau memantapkan suatu kebijakan pemerintah daerah dalam suatu bidang
tertentu.

2.2.5 Fungsi Pendapatan Asli Daerah
Dalam satu pendapatan daerah adalah berasal dari PAD. Dana-dana yang bersumber dari
PAD tersebut merupakan salah satu faktor penunjang dalam melaksanakan kewajiban daerah
untuk membiayai belanja rutin serta biaya pembangunan daerah. PAD juga merupakan alat
untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas daerah guna menunjang pelaksanaan
pembangunan daerah. Serta untuk mengatur dan meningkatkan kondisi sosial ekonomi
pemakaian jasa tersebut. Tentu dalam hal ini tidak terlepas dari adanya badan yang
menangani atau yang diberi tugas untuk mengatur hal tersebut.


2.3 Belanja Modal
Menurut Kementrian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Anggaran, Belanja
Modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh
atau menanbah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode
akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainya yang
ditetapkan pemerintahan.
Belanja modal merupakan belanja Pemerintahan Daerah yang manfaat melebihi 1
tahun anggaran dan akan menambahkan aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan
menambahkan belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja
administrasi umum. Belanja modal digunakan untuk memperoleh aset tetap pemerintahan
daerah seperti peralatan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Cara mendapatkan belanja
modal dengan membeli melalui proses lelang atau tender.
Aset yang dimiliki pemerintahan daerah sebagai akibat adanya belanja modal
merupakan syarat utama dalam meberikan pelayanan publik. Untuk menambahkan aset tetap,
pemerintahan daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam
APBD. Setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintahan daerah sesuai denagan
prioritas anggaran dalam pelayanan publik yang yang memberikan danpak jaka panjang
secara finansial.
Belanja modal dapat dikategorikan dalam 5 (lima) kategori utama (Syaiful, 2006) :
1. Belanja Modal Tanah
Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan/pembelian/pembebasan penyelesaian, baik nama dan sewa tanah, pengosongan,
pengurungan, perataan, pematangan tanah, pembuat sertifikat, dan pengeluaran lainnya
sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap
pakai.
2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Belanja Modal peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan/penambahan/pengantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta
inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari
12 dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimasud dalam kodisi siap
pakai.
3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan/penambahan/penggantian, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan,
pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambahkan
kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/ biaya yang digunakan untuk
pengadaan/ penambahan/ pengantian/ peningkatan pembangun- an/ pembuatan serta
perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk, perencanaan, pengawasan dan pengelolaan
jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan
dimaksud dalam kondisi siap pakai.
5. Belanja Modal Fisik Lainnya.
Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan/penanmbahan/penggantian pembangunan/pembuatan serta perawatan fisik lainnya
yang tidak dikategorikan kedalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung
dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan, termasuk dalam belanja ini adalah belanja
modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang
untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah.

2.4 Hubungan Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal
Sejak diterapkannya desentralisasi fiskal, pemerintahan pusat mengharapkan daerah dapat
mengelola daya yang dimiliki sehingga tidak hanya mengandalkan DAU. Dibeberapa daerah
peran DAU sangat signifikan karena kebijakan belanja daerah lebih di dominasi oleh jumlah
DAU dari pada PAD (Sidik et al, 2002).
Pada studi yang dilakukan oleh Legrenzi dan Milas (2001) dalam Abdulah dan Halim
(2003) menemukan bukti empiris bawasanya dalam jangka panjang transfer berpengaruh
terhadap belanja modal dan pengurangan jumlah transfer dapat menyebabkan penurunan
dalam pengeluaran belanja modal. Setiap transfer DAU yang diterima daerah akan
ditunjukkan untuk belanja pemerintahan daerah, maka tidak jarang apabila pemerintah daerah
menetapkan rencana daerah secara pesimis dan rencana belanja cendrung optimis supaya
transfer DAU yang diterima daerah lebih besar (www.Balipost.co.id)
Hampir sama dengan PAD, DAU merupakan salah satu sumber pembiayaan untuk
belanja modal guna pengadaan sarana dan prasaran dalam rangka pemberiana pelayana
publik yang baik dari pemerintahan daerah (agen) kepada masyarakt (prinsipal). Bedanya,
kalau PAD berasal dari uang masyarakat sedangkan DAU berasal dari transfer APBN oleh
pemerintahan pusat untuk pemerintahan daerah.

2.5 Hubungan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Pengalokasian
Belanja Moda
PAD merupakan sumber pembiayaan untuk anggaran belanja modal. PAD didapatkan dari
iuran langsung dari masyarakat, seperti pajak, retribusi, dan lain sebagainya. Tanggung jawab
agen (pemerintah daerah) kepada prinsipal (masyarakat) adalah memberikan pelayanan
publik (public service) yang baik kepada masyarakat melalui anggaran belanja modal, karena
masyarakat telah memberikan sebagaian uangnya kepada pemerintah daerah. Bentuk
pelayanan publik yang berikan pemerintahan kepada masyarakat denagn penyediaan sarana
dan prasarana yang memadai di daerahnya. Pengadaan infrastruktur atau sarana prasana
tersebut dibiayai dari alokasi anggaran belanja modal dalam APBD tiap tahunnya. Dengan
demikian, ada hubungan antara PAD dengan pengalokasian belanja modal. Tetapi tidak
semua daerah yang berpendapat tinggi diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang baik pula.




















BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja
Modal

DAU dan PAD secara bersama-sama berpengaruh terhadap prediksi belanja modal, semakin
tinggi jumlah transfer pemerintah pusat dalam bentuk DAU maka akan meningkatkan PAD
pada daerah otonomi. Temuan ini memberikan indikasi penting adanya peningkatan
pembiayaan daerah yang sangat tinggi. Peningkatan PAD yang tinggi, diimbangi pemerintah
dengan melakukan alokasi belanja yang lebih tinggi, sehingga pada gilirannya pemerintah
daerah bisa memperoleh transfer pemerintah pusat yang semakin tinggi.
Penelitian ini dilakukan oleh Prakosa (2004) tentang Analisis Pengaruh Dana Alokasi
Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Prediksi Belanja Daerah: Studi
Empiris di Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan DIY menyimpulkan bahwa DAU dan PAD
berpengaruh signifikan terhadap belanja daerah, baik dengan lag maupun tanpa lag. Ketika
tidak menggunakan lag, pengaruh PAD terhadap Belanja daerah lebih kuat dari pada DAU,
tetapi ketika menggunakan lag, pengaruh DAU terhadap belanja daerah justru lebih kuat dari
pada PAD.
Penelitian lain yang mendukung penelitian ini adalah Darwanto dan Yulia Yustikasari
(2007) tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi, PAD, dan DAU terhadap pengalokasian
anggaran Belanja Modal yang menilai tentang pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi
positif namun tidak signifikan terhadap Belanja Modal. Pertumbuhan ekonomi kurang
memiliki pengaruh yang nyata terhadap belanja modal. PAD memiliki korelatif dan
signifikan terhadap belanja modal, artinya PAD memiliki pengaruh yang nyata terhadap
belanja modal dan hubungannya positif.
Seryawan dan Adi (2008) juga melakukan penelitian tentang pengaruh Fiscal
StressTerhadap Pertumbuhan PAD dan Belanja Modal (Studi Empiris pada Kabupaten/Kota
Se-Jawa Tengah). Dalam menghadapi Otonomi daerah, pemerintahan daerah harus lebih
meningkatkan pelayanan publiknya. Upaya perbaikan sepanjang didukung oleh tingkat
pembiayaan daerah yang memadai. Alokasi belanja yang memadai untuk meningkatkan
pelayanan publik diharapkan memberikan timbal balik berupa peningkatan penerimaan PAD.
Baik yang berasal dari retribusi, pajak daerah maupun penerimaan lainnya. Implementasi
undang-undang otonomi daerah diharapkan dapat memberikan motivasi bagi daerah untuk
meningkatkanPAD.
Pemerintah diharapkan mengali potensi yang ada didaerahnya, sehingga PAD dapat
digunakan untuk membiayai belanja daerah, khususnya yang berkaitan langsung dengan
pelayanan publik ataupun peningkatan prasarana yang mendukung pencepatan pertumbuhan
ekonomi daerah.

3.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal
DAU tidak berpengaruh terhadap Prediksi Belanja Modal. Pemerintahan Kabupaten/Kota
masih tergantung oleh DAU dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dimaksudkan untuk
menutup kesenjangan fiskal dan pemerataan kemampuan fiskal antar daerah dalam rangka
membantu kemandirian pemerintah daerah menjalankan fungsi dan tugasnya melayani
masyarakat. DAU merupakan sumber penerimaan daerah yang paling besar.
Pelimpahan kewenangan pada pemerintah daerah juga diikuti dengan pelimpahan
dalam bidang keuangan. Pelimpahan dalam bidang keuangan mengakibatkan terjadinya
perubahan-perubahan dalam struktur keuangan, diantaranya: (1) Penerimaan Daerah dari
Dana Bagi Hasil, SDA dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan fiskal bagi daerah yang
memiliki SDA seperti minyak, gas alam, hasil pertambangan, kehutanan, perkebunan, serta
perikanan; (2) Penerimaan Daerah dari Bagi Hasil Pajak; (3) skema bantuan pemerintah
dalam bentuk transfer yakni DAU (Maulida, 2007).
Kebijakan otonomi daerah merupakan pendelagasian kewenangan yang disertai
denagn menyerahkan dan pengalihan pendapatan, secara dan prasarana serta SDM dalam
kerangka desentralisasi fiskal. Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan
kemandirian daerah, pemerintahan daerah otonomi mempunyai kewewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar
aspirasi masyarakat (UU No. 32/2004). Kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan
yang berasal dari daerah sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi
tersebut menjadi kegiatan bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan
perguliran dana untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Sejak di terapkannya desentralisasi fiscal, pemerintahan pusat mengharapkan daerah
dapat mengalokasikan sumber daya yang dimiliki sehingga tidak hanya mengandalkan DAU.
Dibeberapa daerah peran DAU sangat signifikan karena kebijakan daerah lebih di domisilin
oleh jumlah DAU dari PAD (sidik et al, 2002). Temuan penelitian yang telah dilakukan oleh
Abdullah dan Halim (2003) yang menyatakan DAU berpengaruh signifikan terhadap belanja
modal. Dan penelitin yang telah dilakukan Prakoso (2004) yang membuktikan secara empiris
bahwa besarnya jumlah belanja modal dipengaruhi oleh DAU yang di terima dari pemerintah
pusat.

3.3 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal
PAD berpengaruh terhadap prediksi belanja modal, merupakan sumber pembiayaan untuk
anggaran belanja modal. PAD didapatkan dari iuran langsung dari masyarakat, seperti pajak,
retribusi, dan lain sebagainya. Tanggung jawab agen (pemerintah daerah) kepada prinsipal
(masyarakat) adalah memberikan pelayanan publik (public service) yang baik kepada
masyarakat melalui anggaran belanja modal, karena masyarakat telah memberikan sebagaian
uangnya kepada pemerintah daerah.
Hasil penelitian Setiaji dan Adi (2007) menunjukkan fakta empiris yang menarik,
yaitu selama era otonomi PAD mengalami peningkatan yang sangat signifikan dibanding
dengan periode sebelum otonomi, namun demikian kontribusi PAD terhadap pembiayaan
daerah justru mengalami penurunan yang berarti. Temuan ini memberikan indikasi penting
adanya peningkatan pembiayaan daerah yang sangat tinggi. Peningkatan PAD yang tinggi,
diimbangi pemerintah dengan melakukan alokasi belanja yang lebih tinggi, sehingga pada
gilirannya pemerintah daerah bisa memperoleh transfer pemerintah pusat yang semakin
tinggi.
Studi Abdullah (2004) menemukan adanya perbedaan preferensi antara eksekutif dan
legislatif dalam pengalokasian spread PAD kedalam belanja sektoral. Alokasi untuk
infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk pendidikan dan kesehatan
justru mengalami penurunan. Abdullah (2004) menduga power legislatif yang sangat besar
menyebabkan diskresi atas pengunaan spread PAD tidak sesuai dengan preferensi publik.
Pertumbuhan belanja modal /pembagunan merupakan salah satu usaha pemerintahan
Kabupaten/Kota untuk mengoptimalkan potensi-potensi yang ada di daerah masing-masing.
Pertumbuhan belanja modal/pembagunan merupakan cirri positif bahwa pemerintahan
Kabupaten/Kota telah berusaha mengurangi ketergantungan terhadap pemerintahan pusat.
Dalam era otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayayaan
pembagunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian(sharing) dari
pemerintah pusat dan mengunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi
masyarakat (Mardiasmo, 2002).

Anda mungkin juga menyukai