Anda di halaman 1dari 18

1

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis atau
peradangan infeksi pada usus buntu (apendiks) yang terletak di perut kuadran
kanan bawah (Smelzer, 2002). Walaupun apendisitis dapat terjadi pada setiap
usia, namun paling sering terjadi pada remaja dan dewasa muda, angka
mortalitas penyakit ini tinggi sebelum era antibiotic (Sylvia & Loraine, 2005).
a. Anatomi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di
bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Namun demikian, pada
bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan mlebar pada
bagian ujung. apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan ini
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon
asendens, atau di tepi lateral kolon asendens (Snell, 2000).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X (Snell, 2000).
Perdarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan
arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis
pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren (Snell, 2000).
1
2

b. Histologi
Secara histologis, apendiks mempunyai basis stuktur yang sama
seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular
submucosa oleh mucosa muskularis. Bagian luar dari submukosa adalah
dinding otot yang utama. Apendiks terbungkus oleh tunika serosa yang
terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu
di mesoapendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal, maka apendik tidak
terbungkus oleh tunika serosa. Mukosa apendik terdiri atas sel-sel dari
gastrointestinal endokrin sistem. Sekresi dari mukosa ini adalah serotonin
dan terkenal dengan nama sel argentaffin. Tumor ganas paling sering
muncul pada apendik dan tumbuh dari sel ini (victor, 2003).


Gambar 1. Apendiks (pandangan menyeluruh, potongan melintang).
Pulasan: hematoksilin-eosin. Pembesaran lemah (victor, 2003)
c. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Pada keadaan
normal lendir ini dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke
3

sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan
pada pathogenesis apendisitis. Pada keadaan normal tekanan dalam lumen
apendiks antara 15-25 cmH
2
O dan meningkat menjadi 30-50 cmH
2
O pada
waktu kontraksi. Pada keadaan normal tekanan pada lumen sekum antara 3-
4 cmH
2
O, sehingga terjadi perbedaan tekanan berakibat cairan di dalam
lumen apendiks terdorong masuk ke sekum (Pieter,2005 &
Sherwood,2001).
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlah yang ada di saluran cerna dan di
seluruh tubuh ( Pieter,2005).
d. Epidemiologi
Apendisitis merupakan kedaruratan bedah paling sering di Negara-
negara Barat. Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari 2 tahun jarang
dilaporkan. Insiden apendisitis tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah umur 30 tahun insiden apendisitis mengalami penurunan jumlah.
Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada
umur 20-30 tahun, insidens laki-laki lebih sering (Pieter,2005).
e. Etiologi
Penyebab apendisitis akut yang paling sering adalah terjadinya
obstruksi lumen. Obstruksi lumen biasanya diakibatkan oleh fekalit (batu
tinja), hyperplasia jar limfe, tumor apendiks dan parasit yang ada di usus
4

besar. Parasit yang berperan menyebabkan obstruksi adalah cacing ascaris
dan strongiloides species.(Pieter, 2005; Jaffe & Berger, 2005)
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intralumen, yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya
apendisitis.
f. Patofisiologi
Secara patogenesis faktor penting terjadinya apendisitis adalah
adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit.
Obstruksi lumen apendiks merupakan faktor penyebab dominan pada
apendisitis akut. Peradangan pada apendiks berawal di mukosa dan
kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48
jam. Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan
stasis bagian distal apendiks, sehingga mukus yang terbentuk secara terus
menerus akan terakumulasi. Selanjutnya akan menyebabkan tekanan
intraluminal meningkat, kondisi ini akan memacu proses translokasi kuman
dan terjadi peningkatan jumlah kuman didalam lumen apendiks.
Selanjutnya terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan udem.
Kondisi ini memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus
mukosa dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks maka terjadi keaaan
yang disebut apendisitis fokal (Pieter,2005; Jaffe & Berger, 2005)
Obstruksi yang terus menerus menyebabkan tekanan intraluminer
semakin tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler.
Keadaan ini akan menyebabkan udem bertambah berat, terjadi iskemia, dan
invasi bakteri semakin berat sehingga terjadi pnumpukan nanah pada
dinding apendiks atau disebut dengan apendisitis akut supuratif. Pada
keadaan yang lebih lanjut, dimana tekanan intraluminer semakin tinggi,
udem menjadi lebih hebat, terjadi gangguan sirkulasi arterial. Hal ini
menyebabkan terjadi gangren. Gangren biasanya di tengah-tengah apendiks
5

dan berbentuk ellipsoid, keadaan ini disebut apendisitis gangrenosa. Bila
tekanan terus meningkat, maka akan terjadi perforasi yang mengakibatkan
cairan mukosa apendiks akan tercurah ke rongga peritoneum dan terjadilah
peritonitis local (Bedah UGM, ).
Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan
menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikular

(Pieter,2005). Apabila terjadi pernanahan
maka akan terbentuk suatu rongga yang berisi nanah di sekitar apendiks
disebut abses periapendikular.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan serangan
berulang di perut kanan bawah disebut dengan apendisitis rekurens. Pada
suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami
eksaserbasi akut

(Pieter,2005).

g. Klasifikasi
1. Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni

(medical jurnal,2005):
a) Apendisitis akut, dibagi atas :
1) Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh
akan timbul striktur lokal.
2) Appendisitis purulenta difus, yaitu sudah bertumpuk nanah.
b) Apendisitis kronik, dibagi atas:
1) Apendisitis kronik fokalis atau parsial, setelah sembuh akan
timbul striktur lokal.
2) Apendisitis kronik obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya
ditemukan pada usia tua.

6

2. Klasifikasi apendisitis menurut klinikopatologis (Bedah UGM, 2009):
a) Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah keadaan akut abdomen yang
memerlukan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang
lebih buruk jika telah terjadi perforasi, maka komplikasi dapat
terjadi seperti peritonitis umum, terjadinya abses, dan komplikasi
pasca operasi seperti fistula dan infeksi luka operasi (Jaffe &
Berger, 2005).
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang
didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan
tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsangan
peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di
sekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada
muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney (Bedah
UGM,2009; Burkit et al, 1992). Di sini nyeri dirasakan lebih tajam
dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatic
setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat
konstipasi sehingga penderita seperti memerlukan obat pencahar.
Bila dilakukan penekanan kemudian dilepaskan pada titik
MC. Burney maka pasien apendisitis akut akan merasa sangat
nyeri. Penekanan juga dapat dilakukan di abdomen kiri bawah,
dikatakan apendisitis bila merasa nyeri pada abdomen kanan
bawah (bedah UGM, 2009)
Klasifikasi apendisitis akut:
1) Apendisitis akut simple : peradangan baru terjadi di mukosa dan
sub mukosa. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah
7

umbilicus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam
ringan. Apendisitis hiperemia dan tidak ada eksudat serosa.
2) Apendisitis supuratif : Ditandai dengan rangsangan peritoneum
lokal seperti, nyeri tekan tekan, nyeri lepas di titik MC Burney,
defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif
3) Apendisitis akut Gangrenosa: didapatkan tanda-tanda supuratif,
apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding
apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
a) Apendisitis infiltrate
Apendisitis infiltrate adalah proses radang apendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum,
kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa
flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya
b) Apendisitis abses
Apendisitis abses terjadi bila massa local yang terbentuk berisi
nanah.
c) Apendisitis perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren
yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga
terjadi peritonitis umum
d) Apendisitis kronik
Apendisitis kronik adalah nyeri perut kanan bawah lebih
dari 2 minggu atau terjadi secara menahun . Apendisitis kronik
sangat jarang terjadi. Prevalensi hanya 1-5 %. Diagnosis apendisitis
kronik sulit ditegakkan. Terdapat riwayat nyeri perut kanan bawah
yang biasa terjadi secara berulang (Pieter, 2005). Pemeriksaan fisik
hampir sama dengan apendisitis akut. Walaupun ada beberapa
8

kriteria yg berbeda. Pada pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan radiologi terkadang menggambarkan hasil yang
normal. Setelah dilakukan apendektomi, gejala akan menghilang
pada 82-93% pasien (Jaffe & Berger, 2005).
Patologi anatomi digunakkan untuk menegakkan apendisitis
kronik karena diagnosis sebelum operasi sangat sulit ditetapkan
(Smink & Soybel, 2005). Ciri Apendisitis kronik adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan
infiltrasi sel inflamasi kronik (Pieter, 2005).
h. Gambaran klinis
Apendisitis sering ditandai dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsangan peritoneum lokal. Gejala klasik adalah
rasa nyeri samar samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di
daerah epigastrium di sekitar umbilicus. Gejala ini umumnya berlangsung
lebih dari 1 atau 2 hari (Pieter, 2005). Biasanya disertai keluhan tambahan
berupa mual dan muntah, nafsu makan menurun, anoreksia, pada beberapa
penderita kadang mengalami diare dan obstipasi. Demam ringan dan
leukositosis sedang dapat ditemukan. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney. Nyeri dirasakan lebih hebat
dan terlokalisir dengan tepat sehingga merupakan nyeri somatic setempat
(Jaffe & Berger, 2005).

i. Diagnosis
Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan lab dan pemeriksaan penunjang bila
diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis lain.

9

1. Pemeriksaan Fisik
Saat melakukan inspeksi, pasien terlihat sakit ringan
dan biasanya suhu dan pulse mengalami peningkatan. Pada
abdomen biasanya tidak ditemukan gambaran spesifik. Bila
sudah terjadi komplikasi massa atau abses periapendikular
maka perut kanan bawah akan terlihat menonjol (Pieter,
2005).
Tanda kunci diagnosis apendisitis yaitu bila terdapat
nyeri tekan kuadran kanan bawah atau pada titik Mc.Burney.
Saat melakukan penekanan yang perlahan dan dalam pada
titk Mc. Burney kemudian secara tiba tiba dilepaskan, akan
dirasakan nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah, disebut
dengan Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) (+)
(Lindseth,2005).
Rovsing sign (+) apabila dilakukan penekanan
abdomen kiri bawah dan nyeri dirasakan pada abdomen
kanan bawah. Hal ini terjadi karena tekanan marangsang
peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakkan
peritoneum sekitar apendiks yang meradang (somatic pain)
(Jaffe & Berger, 2005).
Defans muscular (+) merupakan nyeri tekan seluruh
lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale. Psoas sign dapat (+) terjadi karena
adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang
terjadi pada apendiks (Jarrel,1991).
Pada pemeriksaan perkusi di bagian abdomen
didapatkan nyeri ketok (+). Auskultasi memperlihatkan
peristaltik yang normal, peristaltik (-) pada ileus paralitik
karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
10

Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan
diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis
maka tidak terdengar bunyi peristaltik. Rectal toucher colok
dubur, nyeri tekan pada jam 9-12 (Bedah UGM, 2009).
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian
penting untuk menilai awal keluhan nyeri kuadran kanan
bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut.
Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan
memberikan gambaran laboratorium yang terkadang sulit
dibedakan dengan apendisitis akut. Pemeriksaan laboratorium
merupakan alat bantu diagnosis. Pada pasien dengan
apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan
neutrofil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang
karakteristik.
Hitung Leukosit
Hitung leukosit adalah menghitung jumlah leukosit
per milimeterkubik atau mikroliter darah. Leukosit
merupakan bagian penting dari sistem pertahanan tubuh,
terhadap benda asing, mikroorganisme atau jaringan asing,
sehingga hitung jumlah leukosit merupakan indikator yang
baik untuk mengetahui respon tubuh terhadap infeksi.
Jumlah leukosit dipengaruhi oleh umur,
penyimpangan dari keadaan basal dan lain-lain. Pada bayi
baru lahir jumlah leukosit tinggi, sekitar 10.000-30.000/l.
Jumlah leukosit tertinggi pada bayi umur 12 jam yaitu antara
13.000-38.000 /l. Setelah itu jumlah leukosit turun secara
bertahap dan pada umur 21 tahun jumlah leukosit berkisar
antara 4500-11.000/l. Pada keadaan basal jumlah leukosit
11

pada orang dewasa berkisar antara 5000 10.000/l. Jumlah
leukosit meningkat setelah melakukan aktifitas fisik yang
sedang, tetapi jarang lebih dari 11.000/l. Peningkatan
jumlah leukosit di atas normal disebut leukositosis,
sedangkan penurunan jumlah leukosit di bawah normal
disebut lekopenia.
Terdapat dua metode yang digunakan dalam
pemeriksaan hitung leukosit, yaitu cara automatik
menggunakan mesin penghitung sel darah (hematology
analyzer) dan cara manual dengan menggunakan pipet
leukosit, kamar hitung dan mikroskop.
Cara automatik lebih unggul dari cara pertama karena
tekniknya lebih mudah, waktu yang diperlukan lebih singkat
dan kesalahannya lebih kecil yaitu 2%, sedang pada cara
manual kesalahannya sampai 10%. Keburukan cara
automatik adalah harga alat mahal dan sulit untuk
memperoleh reagen karena belum banyak laboratorium di
Indonesia yang memakai alat ini.
dewasa/ anak-anak > 2 tahun 5000 10.000/ mm
3
Anak-anak < 2 tahun 6.200 17.000/ mm
3
Bayi baru lahir 9.000 30.000/ mm
3
Tabel 1. jumlah leukosit

(Kathleen, 1998)
Bila jumlah leukosit lebih dari nilai rujukan, maka
keadaan tersebut disebut leukositosis. Leukositosis dapat
terjadi secara fisiologik maupun patologik. Leukositosis yang
fisiologik dijumpai pada kerja fisik yang berat, gangguan
emosi, kejang, takhikardi paroksismal, partus dan haid.
12

Peningkatan leukosit juga dapat menunjukan adanya
proses infeksi atau radang akut, misalnya pneumonia,
meningitis, apendisitis, tuberkolosis, tonsilitis, dll. Dapat juga
terjadi miokard infark, sirosis hepatis, luka bakar, kanker,
leukemia, penyakit kolagen, anemia hemolitik, anemia sel
sabit , penyakit parasit, dan stress karena pembedahan
ataupun gangguan emosi. Peningkatan leukosit juga bisa
disebabkan oleh obat-obatan, misalnya: aspirin, prokainmid,
alopurinol, kalium yodida, sulfonamide, haparin, digitalis,
epinefrin, litium, dan antibiotika terutama ampicillin,
eritromisin, kanamisin, metisilin, tetracycline, vankomisin,
dan streptomycin.
Leukopenia adalah keadaan dimana jumlah leukosit
kurang dari 5000/L darah. Karena pada hitung jenis
leukosit, netrofil adalah sel yang paling tinggi persentasinya
hampir selalu leukopenia disebabkan netropenia.
Penurunan jumlah leukosit dapat terjadi pada
penderita infeksi tertentu, terutama virus, malaria, alkoholik,
SLE, reumaotid artritis, dan penyakit hemopoetik(anemia
aplastik, anemia perisiosa). Leokopenia dapat juga
disebabkan penggunaan obat terutama aetaminofen,
sulfonamid, PTU, barbiturat, kemoterapi kanker, diazepam,
diuretika, antidiabetika oral, indometasin, metildopa,
rimpamfin, fenotiazin, dan antibiotika (penicilin,
cefalosporin, dan kloramfenikol).
Pada penderita dengan keluhan dan pemeriksaan
fisik yang karakteristik apendisitis akut, akan ditemukan pada
pemeriksaan darah adanya leukositosis 11.000-14.000/mm
3
,
dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran ke
kiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm
3

13

maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis
(Raffensperger, 1990). Kombinasi antara kenaikan angka
leukosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman
menentukan diagnosa appendisitis akut (Doraiswamy,1979).
Tes laboratorium untuk appendisitis bersifat kurang spesifik.,
sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai
konfirmasi penegakan diagnosa. Jumlah lekosit untuk
appendisitis akut adalah >10.000/mm, sehingga gambaran
leukositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai
pedoman untuk appendisitis akut. Kontroversinya adalah
beberapa penderita dengan appendisitis akut, memiliki
jumlah leukosit dan granulosit tetap normal (Bolton et al,
1975).
3. Foto Polos abdomen
Pada apendisitis, pemeriksaan foto polos abdomen
tidak banyak membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit
pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan
lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus.
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema
hanya digunakan pada kasus-kasus menahun, pada apendisitis
kronik. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat
menentukan penyakit lain yang menyertai apendisitis
Barium enema adalah suatu pemeriksaan x-ray
dimana barium cair dimasukkan ke kolon dari anus untuk
memenuhi kolon. Tes ini dapat sekaligus menggambarkan
keadaan kolon di sekitar appendik dimana peradangan yang
terjadi juga didapatkan pada kolon. Barium enema juga dapat
menyingkirkan masalah-masalah intestinal lainnya yang
menyerupai appendiks, misalnya penyakit Chrons, inverted
appendicel stump, intususepsi, neoplasma benigna/maligna.
14

4. Ultrasonografi
Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk
diagnosis apendisitis akut maupun apendisitis dengan abses.
Apendiks yang normal jarang tampak dengan pemeriksaan
ini. Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler,
diameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik pada
penampakan longitudinal, dan gambaran target pada
penampakan transversal. Keadaan awal apendisitis akut
ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks,
lumen yang utuh, dan diameter 9 11 mm. Keadaan apendiks
supurasi atau gangren ditandai dengan distensi lumen oleh
cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa
apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan
tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas
intraperitonial, dan abses tunggal atau multiple (Bedah UGM,
2009).
Ultrasound dapat mengidentifikasi appendik yang
membesar atau abses. Walaupun begitu, appendik hanya
dapat dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis.
Oleh karena itu, dengan tidak terlihatnya apendiks selama
ultrasound tidak menyingkirkan adanya appendisitis. Hasil
USG dapat dikategorikan menjadi normal, non spesifik,
kemungkinan penyakit kelainan lain, atau kemungkinan
appendik. Hasil USG yang tidak spesifik meliputi adanya
dilatasi usus, udara bebas, atau ileus (Bedah UGM, 2009).
5. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi
dengan pemeriksaan skening ini. Gambaran penebalan diding
apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat,
mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-Scan
15

sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau
flegmon

Tabel 2. Perbandingan pemeriksaan penunjang apendisitis akut (Erik K, 2003).
Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah
appendik sangat berguna untuk mendiagnosis appendisitis
dan abses periappendikular sekaligus menyingkirkan adanya
penyakit lain dalam rongga perut dan pelvis yang menyerupai
appendicitis (Bedah UGM, 2009).
6. Laparoskopi (Laparoscopy)
Dibidang bedah, laparoskopi dapat berfungsi sebagai
alat diagnostik dan terapi. Disamping dapat mendiagnosis
apendisitis secara langsung, laparoskopi juga dapat

Ultrasonografi CT-Scan
Sensitivitas 85% 90 100%
Spesifisitas 92% 95 - 97%
Akurasi 90 94% 94 100%
Keuntungan Aman Lebih akurat

relatif tidak mahal Mengidentifikasi abses dan flegmon
lebih baik

Dapat mendiagnosis
kelainan lain pada
wanita
Mengidentifikasi apendiks normal
lebih baik

Baik untuk anak-anak
Kerugian Tergantung operator Mahal

Sulit secara tehnik Radiasi ion

Nyeri Kontras

Sulit di RS daerah Sulit di RS daerah
16

digunakan untuk melihat keadaan organ intraabdomen
lainnya. Hal ini sangat bermanfaat terutama pada pasien
wanita. Pada apendisitis akut laparoskopi diagnostik biasanya
dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi (Smink &
Soybel, 2005).
j. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah
ditegakkan. Penundaan apendektomi yang lama dengan memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Antibiotik dan cairan
IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. Sebelum operasi dilakukan,
pasien apendisitis perlu dipersiapkan secara fisik maupun psikis, disamping
itu juga pasien perlu diberikan pengetahuan tentang peristiwa yang akan
dialami setelah dioperasi dan diberikan latihan-latihan fisik (pernafasan
dalam, gerakan kaki dan duduk) untuk digunakan dalam periode post
operatif. Hal ini penting oleh karena banyak pasien merasa cemas atau
khawatir bila akan dioperasi dan juga terhadap penerimaan anastesi.
k. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan apendisitis.
Factor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis.
Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan
mortalitas.komplikasi paling sering pada anak dan orang tua. Adapun jenis
komplikasi diantaranya (Bedah UGM,2009):
1. Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba
massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa
ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga
yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila apendisitis gangren
atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
2. Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga
bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam
17

12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah
24 jam. Perforasi dapa berlanjut ke peritonitis.
3. Peritonitis merupakan komplikasi yang berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronik. Bila infeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum menyebabkan peritonitis
umum. Gejala-gejalanya: peristaltic usus (-), dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi
l. pencegahan
pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko
terhadap kejadian apendisitis. Upaya dilakukan secara menyeluruh kepada
masyarakat. Salah satu upaya pencegahan adalah dengan mengkonsumsi
serat untuk membantu mempercepat pengeluaran sisa-sisa makanan
sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada
dinding kolon. Selain itu, defekasi yang teratur akan membantu
pengurangan angka kejadian apendisiis (Smink & Soybel, 2005).









18

2.2 Kerangka Berfikir













2.3 Hipotesis
H1 : Ada perbedaan jumlah leukosit antara apendisitis akut dan
kronik

Kel utama: nyeri
perut kanan bawah
pemeriksaan lab: leukosit
normal : 5000-
10000/mm
3
Mengarah
apendisitis Kronik

Meningkat :
>10000/mm
3
Mengarah
apendisitis Akut

Apendisitis Konik
Pembedahan
Patologi anatomi
Apendisitis Akut

Anda mungkin juga menyukai