Anda di halaman 1dari 69

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Derajat kesehatan manusia banyak dipengaruhi oleh interaksi manusia
dengan lingkungannya terutama pengetahuan, sikap, dan perilaku atau tindakan
manusia. Rendahnya derajat kesehatan disebabkan oleh interaksi manusia dengan
lingkungan yang tidak menunjang kesehatan, ketidaktahuan dan pendidikan yang
rendah (bintaro roekmono dalam koenjtoroninggrat, 2004). Tingkat pengetahuan
seseorang mempengaruhi kesadaran akan pentingnya kesehatan bagi diri dan
lingkungan yang dapat mendorong kebutuhan akan pelayanan kesehatan
(Notoatmodjo, 2010).
World Health Organization (WHO) memperkirakan insiden Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita diatas
40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita.
Menurut WHO kurang lebih 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun
dan sebagian besar kematian terebut terdapat di negara berkembang, dimana
pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh
kurang lebih 4 juta anak balita setiap tahun (Depkes, 2006).
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007, menunjukkan prevalensi nasional ISPA 25,5%, dimana angka kesakitan
(morbiditas) pneumonia pada bayi 2,2%, pada balita 3%, sedangkan angka
kematian (mortalitas) pada bayi 23,8% dan balita 15,5% (Kemenkes RI,2010).
2

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara dalam 3
tahun terakhir menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada balita Tahun 2009 adalah
6.960 kasus (41,63 %) dari 16.717 jumlah balita, Pada tahun 2010 adalah 8.829
kasus (52,48%) dari 16.815 jumlah balita, pada tahun 2011 mengalami peningkatan
yaitu 22.554 kasus (65,90%) terjadi pada balita dari 34.221 jumlah balita (Dinkes
Propinsi Sultra).
Penderita ISPA pada balita di Kabupaten Konawe Selatan dalam 3 tahun
terakhir yaitu tahun 2009 sebanyak 1.563 kasus (34,98%) dari 4.467 jumlah balita,
pada tahun 2010 yaitu sebanyak 3.177 kasus (73,83%) dari 4.303 jumlah balita,
pada tahun 2011 sebanyak 3.172 kasus (67,14%) dari 4724 jumlah balita.
Data yang di peroleh dari Puskesmas Mowila Kabupaten Konawe Selatan
selama 2 tahun terakhir penderita ISPA pada balita tahun 2011 sebanyak 280 kasus
(61,00 %) dari 459 jumlah balita, pada tahun 2012 sebanyak 320 kasus (67,65%)
dari 473 jumlah balita. Sedangkan dilihat hasil laporan bulanan pada bulan
November - Desember 2012 sampai januari 2013 dari jumlah kunjungan 118 orang
dengan jumlah penderita ISPA pada balita sebanyak 73 orang (Puskesmas Mowila).
Berdasarkan uraian diatas, penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit
dengan angka morbiditas yang cukup tinggi, peningkatan jumlah penderita ISPA
memerlukan penanganan yang serius, sehingga dalam penanganan tersebut
diperlukan kesadaran tinggi baik dari keluarga, masyarakat maupun petugas
melalui berbagai cara dan upaya yang dilakukan untuk memberantas ISPA di
indonesia, upaya-upaya tersebut meliputi pencegahan dan peningkatan tatalaksana
ISPA (Depkes RI, 2006).
3

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah
satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Sasaran utama Pemberantasan
Penyakit Infeksi Saluran Nafas Akut (P2 ISPA) balita adalah ibu dan keluarganya.
Keluarga sebagai bagian inti dari masyarakat merupakan unsur yang sangat penting
dalam upaya menurunkan angka kematian dan kesakitan akibat ISPA terutama
pneumonia (Sulistiyoningsih, 2010).
Salah satu fungsi keluarga yang sangat penting adalah fungsi pemeliharaan
kesehatan. Menurut Leavell, fungsi kesehatan keluarga sangat penting untuk
mempertahankan status kesehatan keluarga. Fungsi pemeliharaan kesehatan terdiri dari
pencegahan primer, yang meliputi peningkatan kesehatan dan tindakan preventif
khusus yang dirancang untuk menjaga anggota keluarga bebas dari penyakit dan cedera
pencegahan sekunder yang terdiri atas deteksi dini, diagonsa dan pengobatan dan
pencegahan tersier yang mencakup tahap penyembuhan dan rehabilitasi, yaitu
bertujuan untuk meminimalkan ketidakmampuan klien dan memaksimalkan tingkat
fungsinya (Slistiyonoingsih, 2010).
Peran aktif keluarga dalam menangani ISPA sangat penting, karena penyakit
ISPA merupakan penyakit yang sangat sering terjadi dalam kehidupan keluarga. Hal ini
perlu mendapatkan perhatian serius, karena biasanya keluarga menganggap ISPA pada
balita merupakan penyakit biasa yang sering timbul dan tidak berbahaya serta bisa
menghilang dengan sendirinya. Padahal ISPA merupakan penyakit berbahaya karena
bila keluarga membiarkan saja anaknya terkena ISPA dan tidak memberikan
penanganan yang baik, dapat mengakibatkan penyebaran infeksi yang lebih luas,
sehingga akhirnya infeksi menyerang saluran nafas bagian bawah dan selanjutnya akan
4

menyebabkan radang paru-paru atau pneumonia yang sangat berbahaya dan
menyebabkan kematian (Depkes RI, 2006).
Kesembuhan seorang anak dengan infeksi pernafasan sangat tergantung dari
penanganan yang diberikan, salah satunya adalah penanganan di rumah yang diberikan
oleh keluarga terutama oleh ibu. Selain itu perawatan kesehatan yang baik oleh
keluarga juga dapat mencegah kekambuhan infeksi saluran pernafasan. Oleh karena itu,
orangtua khususnya ibu, atau orang yang dekat dengan balita, harus melakukan
pencegahan untuk mengurangi resiko terjadinya pneumonia pada balita dan
memberikan penanganan di rumah yang baik ketika anaknya menderita (Depkes RI,
2006).
Diharapkan melalui ibu-ibu yang mempunyai balita yang menderita ISPA dapat
memberikan informasi tentang penanganan pada saat anaknya menderita ISPA.
Sehingga di dapatkan gambaran sejauh mana penanganan yang telah dilakukan. Hal ini
dapat mmenjadi salah satu masukan dalam menindaklanjuti penanganan ISPA pada
balita oleh petugas kesehatan khussnya perawat di wilayah kerja puskesmas Mowila,
dan pada akhirnya menurunkan angka kesakitan dan kematian yang diakibatkan oleh
penyakiy ISPA.
Beberapa masalah kesehatan sangat berhubungan dengan perilaku setelah
lingkungan. Konsep Perilaku K-A-P (Knowledge-Attitude-Practice) bahwa tindakan
seseorang sangat dipengaruhi oleh sikapnya yang mendukung terhadap sesuatu hal.
Sikap (Attitude) dipengaruhi oleh pengetahuan (Knowledge) tentang sesuatu. Dari hal
tersebut dapat diartikan bahwa tindakan (Practice) seorang ibu dalam memberikan
penanganan terhadap balita yang menderita ISPA dapat disebabkan karena sikap dan
pengetahuannya. Pengetahuan seseorang akan sangat berpengaruh pada pola pikir
terhadap sesuatu hal yang akhirnya akan mempengaruhi terjadinya perubahan tindakan.
5

Semakin baik pengetahuannya maka sikap dan tindakannya dapat baik pula sehingga
akan lebih cenderung memperhatikan masalah kesehatan baik untuk dirinya maupun
keluarganya. (Notoatmodjo S, 2010).
Pada tahun 2011-2012 data kunjungan di Puskesmas Mowila menunjukkan
ISPA berada pada urutan pertama dari 10 besar penyakit terbanyak yang datang
berkunjung dan berobat di Puskesmas Mowila. Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan oleh calon peneliti hasil wawancara dengan 20 Ibu Balita di temukan bahwa
sebanyak (65%) memiliki pengetahuan kurang dimana 9 Orang ibu mengatakan bahwa
penyakit ISPA merupakan penyakit biasa terjadi pada anak balita terutama jika anak
mengalami perubahan, seperti akan berdiri, belajar berjalan dan lain-lain serta 4 orang
ibu belum mengetahui bahaya penyakit ISPA dan menganggap ISPA tidak memerlukan
penanganan segera karena dapat hilang dengan sendirinya. Sebanyak (20%) memiliki
pengetahuan cukup dimana 4 Orang ibu mengatakan bahwa penyakit anaknya karena
tertular dari orang lain yang menderita batuk, flu. Sebanyak (15%) memiliki
pengetahuan baik dimana 3 orang ibu mengatakan bahwa penyakit anaknya disebabkan
virus dan debu. Pada saat ditanyakan mengapa mereka membawa anaknya ke
Puskesmas, mereka mengatakan bahwa takut sakit anaknya lebih berat. Untuk kasus
dirumah Sebanyak 3 orang (15%) ibu memberikan kompres dan obat penurun panas
(paracetamol) yang dibeli di warung. Sebanyak 4 Orang (20%) ibu memberikan obat
tradisional. Sebanyak 4 orang (20%) ibu memberikan minum dengan air yang di tiup
dan dibacakan doa terlebih dahulu sesuai kepercayaan mereka dan sebanyak 9 orang
(45%) ibu tidak memberi apa-apa. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan ibu
tentang penanganan ISPA pada balita masih kurang.
Hal ini yang mendasari penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul
Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Penanganan ISPA Pada Balita Oleh Ibu
6

Di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe
Selatan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas rumusan masalah
penelitian ini adalah:
1. Apakah ada hubungan pengetahuan ibu dengan penanganan ISPA pada balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila?
2. Apakah ada hubungan antara sikap ibu dengan penanganan ISPA pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Mowila?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan penanganan
ISPA pada balita oleh ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila Kecamatan
Mowila Kabupaten Konawe Selatan.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu dengan penanganan ISPA
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila.
b. Untuk mengetahui hubungan sikap ibu dengan penanganan ISPA pada
balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. IPTEK
7

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan
dapat menjadi bahan bacaan bagi peneliti berikutnya.
b. Institusi Pendidikan
Sebagai sumber informasi bagi STIKES Mandala Waluya Kendari tentang
faktor-faktor yang berhubungan dengan penanganan ISPA pada balita oleh
ibu.
2. Manfaat praktis
a. Puskesmas
Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam usaha kegiatan
pencegahan dan cara pengobatan dari permasalahan kesehatan yang terjadi
yang berhubungan dengan penyakit ISPA pada balita.
b. Petugas kesehatan
Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan sebagai pedoman dalam
upaya melakukan tindakan dalam rangka peningkatan derajat kesehatan.
c. Dinas Kesehatan
Sebagai salah satu sumber informasi dalam upaya penentu kebijakan bagi
Dinas kesehatan yang terkait dalam penentu prioritas perencanaan program
dan menentukan arah kebijakan dalam proses penanggulangan penyakit
ISPA pada balita.






8








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teknis
1. Definisi Puskesmas
Puskesmas menurut Kepmenkes RI No. 128/Menkes/SK/II//2004
adalah UPTD Kesehatan/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja itu sendiri. Sedangkan menurut
Depkes RI 1991 adalah organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat
pembangunan kesehatan masyarakat dan memberikan pelayanan secara
menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk
kegiatan pokok (Depkes, RI 2004)
2. Tujuan Puskesmas
Tujuan puskesmas itu sendiri yaitu mendukung tercapainya
pembangunan kesehatan Nasional, yakni meningkatkan kesadaran, kemauan,
kemampuan untuk hidup yang sehat bagi orang yang bertempat tinggal di
9

wilayah kerja puskesmas itu, agar dapat terwujud derajat kesehatan yang
merata. Berikut wilayah kerja puskesmas yaitu:
a) Kecamatan
b) Kepadatan penduduk
c) Luas Daerah
d) Keadaan Geografik
e) Infrastruktur
f) Sasaran penduduk 30.000 jiwa
Untuk wilayah yang sulit dijangkau oleh puskesmas pusat makan
didirikan PusBan atau disebut Puskesmas Pembantu. Pelayanan kesehatan yang
bersifat sederhana dan berfasilitas menunjang dan membantu melaksanakan
kegiatan puskesmas yang ruang lingkupnya kecil, seperti di 2-3 desa (Depkes
RI, 2004).
3. Fungsi Puskesmas
Fungsi puskesmas sebagai pusat penggerak pembangunan yang
berwawasan kesehatan, yaitu lebih mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan
mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan dan pemulihan,
berupaya menggerakkan lintas sektoral dan dunia usaha di wilayah kerja agar
menyelenggarakan pembangunan yang berwawasan kesehatan. Sebagai Pusat
Pemberdayaan Masyarakat yang terdiri dari perorangan, pemuka masyarakat,
masyarakat, dan dimulai dari keluarga kecil. Sebagai Pusat Pelayanan
Kesehatan Strata Pertama, Menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat
pertama yang artinya secara menyeluruh terpada dan kesinambungan dimulai
dari pelayanan kesehatan perorangan dan kemudian pelayanan kepada
masyarakat(Depkes RI, 2004).
10

4. Kedudukan Puskesmas
Kedudukan puskesmas sebagai Sistem Kesehatan Nasional yang
merupakan sebagai sarana pelayanan kesehatan perorangan dan masyarakat.
Sebagai sistem kesehatan kabupaten/kota, yang bekerja sebagai unit pelaksana
teknis dinas yang bertanggung jawab menyelenggarakan sebagian tugas
pembangunan kesehatan kabupaten/kota. Dalam sistem Pemerintah Daerah
sebagi unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang merupakan
unit struktural Pemerintah Daerah Kabupaten/kota. Dan juga sebagai sarana
pelayanan kesehatan strata pertama (Depkes RI, 2004).
5. Organisasi Puskesmas
Menurut Depkes RI, 2004 Struktur Organisasi Puskesmas terdiri dari :
a) Kepala Puskesmas
Dipimpin oleh Kepala Puskesmas yang bertaraf Sarjana Kesehatan
Masyarakat yang kurikulum pendidikannya sudah mencakupi kesehatan
masyarakat
b) Unit Tata Usaha
c) Unit Pelaksana Teknis Fungsional
1) Upaya kesehatan masyarakat
2) Upaya kesehatan perorangan
d) Jaringan Pelayanan
1) PusBan (Puskesmas Pembantu)
2) PusLing (Puskesmas Keliling) dengan berkeliling disekitar kecamatan
dengan menggunakan sarana ambulance
11

3) Bidan di Desa/komunitas yang ditaruh disetiap desa-desa untuk
membantu warga yang sulit memeriksakan kandungannya di
Puskesmas Pembantu
Tata kerja puskesmas itu sendiri berkoordinasi dengan kantor
kecamatan setempat, bertanggung jawab kepada Dinas Kesehatan
kabupaten/kota. Bermitra dengan sarana pelayanan kesehatan tingkat
pertama. Dengan masyarakat bermitra dengan organisasi yang
menghimpun tokoh masyarakat yang peduli dengan kesehatan.
Upaya kesehatan wajib Puskesmas yang daya ungkit nya besar
terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan terdiri dari 6 upaya, yaitu :
a) PromKes (Promosi Kesehatan)
b) Kesehatan Lingkungan
c) Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana
d) Perbaikan Gizi Masyarakat
e) Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, dan
f) Pengobatan
6. Manajemen Puskesmas
Menurut (Depkes RI, 2004) rangkaian kegiatan yang dilaksanakan
secara sistematis untuk menghasilkan luaran puskesmas secara efektif dan
efisien, meliputi P3 :
1. Perencanaan
Pemilihan sekumpulan kegiatan dan pemutusan selanjutnya apa
yang harus dilakukan, kapan, bagaimana, dan oleh siapa. Perencanaan (P1)
terdiri dari :
12

a) Rencana Usulan Kegiatan (Upaya kesehatan wajib dan
pengembangan)
b) Rencana Pelaksana Kegiatan (Upaya Kesehatan wajib dan
pengembangan)
2. Pelaksanaan dan Pengendalian
P2 mencakup hal kendali mutu dan kendali biaya dalam Puskesmas,
terdiri dari :
a. Pengorganisasian, penentuan penanggung jawab dan pelaksana
b. Penyelenggaraan, meliputi azas penyelenggaraan puskesmas, standar
dan pedoman pelayanan. Menyelenggarakan kendali mutu dan kendali
biaya. Melakukan monitoring atau pemantauan, berupa kinerja,
maasalah dan hambatan, menggunakan data serta simpus (sistem
informasi manajemen puskesmas).
3. Pengawasan dan Pertanggung jawaban
Yang dimaksud dengan pengawasan yaitu berupa penjaminan
internal dan eksternal. Pertanggung jawaban ialah dengan laporan
berkala, serta laporan pertanggung jawaban masa jabatan yang dipimpin.
Empat tahap dasar perencanaan
a) Menetapkan tujuan perencanaan puskesmas
b) Merumuskan keadaan saat ini, seperti sumber daya yang tersedia
c) Mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan, berupa
kemudahan, kelemahan, dan hambatan apa saja yang akan dihadapi
oleh puskesmas
d) Mengembangkan rencana atau serangkaian untuk pencapaian tujuan
dari puskesmas itu sendiri. Seperti dengan rencana alternatif.
13

Instrumen Manajemen Puskesmas terdiri dari :
a) Perencanaan Tingkat Puskesmas
b) Lokakarya Mini Puskesmas

B. Tinjauan Teori
1. Tinjauan Umum Tentang ISPA
a. Pengertian Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA )
Istilah ISPA yang merupakan singkatan Infeksi Saluran Pernafasan
Akut mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam lokakarya
Nasional ISPA di Cipanas. Istilah ini merupakan padanan istilah Inggris
Accute Respiratory Infection disingkat ARI (Mandal, 2005).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran
pernafasan akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari
saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran
bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah
dan pleura yang berlangsung sampai dengan 14 hari (Depkes,2005.)
ISPA meliputi tiga unsur yaitu infeksi saluran pernafasan dan infeksi akut
dengan pengertian sebagai berikut :
1) Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit.
2) Saluran pernafasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ adneksanya seperti sinus sinus, rongga telinga tengah
dan pleura. Dengan demikian ISPA secara anatomis mencakup saluran
14

pernafasan bagian atas, saluran penafasan bagian bawah (termasuk
jaringan paruparu) dan organ adneksa saluran pernafasan.
3) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Batas 14
hari ini diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk
beberapa penyakit yang dapat di golongkan dalam ISPA proses ini
dapat berlangsung lebih dari 14 hari ( Mandal, 2004).
b. Etiologi ISPA
Depkes (2004), menyatakan penyakit ISPA dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab seperti bakteri, virus dan lain-lainnya. ISPA bagian atas
umumnya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian bawah disebabkan
oelh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga
menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Streptococcus,
Stapilococcus, Pneumococcus, Haemophyllus, Bordetella dan
Corynebacterium. Virus penyabab ISPA antara lain golongan
Paramykovirus (termasuk didalamnya virusInfluenza, Parainfuenza
campak, Adenovirus, Coronavirus, Piconarvirus, Herpesvirus dan lain-lain.
Di negara-negara berkembang pada umumnya kuman penyebab ISPA
adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemopylus influenza (Mandal ,
2004 ).
c. Patofisiologi
Walaupun saluran pernafasan atas secara langsung terpajan
lingkungan, namun infeksi relatif jarang terjadi untuk berkembang menjadi
infeksi saluran pernafasan bawah yang mengenai broncus dan
alveoli.Terdapat beberapa mekanisme protektif di sepanjang saluran
15

pernafasan untuk mencegah infeksi, refleks batuk untuk mengeluarkan
benda asing dan mikroorganisme, dan membuang mukus yang tertimbun,
terdapat lapisan mukosilialis yang terdiri dari sel-sel dan berlokasi dari
bronkus ke atas untuk menghasilkan mukus dan sel-sel silia yang melapisi
sel-sel penghasil mukus.
Silia bergerak dan ritmis untuk mendorong mukus dan semua
mikroorganisme yang tertangkap didalam mukus, keatas nasofaring tempat
mukus tersebut dapat dikeluarkan melalui hidung, atau ditelan. Proses
kompleks ini kadang-kadang disebut sebagai sistem eksalator
mukolisiaris.Apabila dapat lolos dari mekanisme pertahanan tersebut dan
mengkoloni saluran nafas atas, maka mikroorganisme akan dihadang oleh
lapisan pertahanan yang ketiga yaitu sistem imun, untuk mecegah
mikroorganisme tersebut sampai nafas bawah.
Respon ini diperantarai oleh limfosit, tetapi juga melibatkan sel-sel
darah putih misalnya makrofag, neutrofil, dan sel mast yang tertarik ke
daerah tempat proses peradangan berlangsung. Apabila terjadi gangguan
mekanisme pertahanan dibidang pernafasan, mikroorganisme sangat
virulen, maka dapat timbul infeksi saluran pernafasan bawah (Mandal,
2004).
d. Klasifikasi ISPA
a. Berdasarkan Lokasi Anatomi
Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi anatominya,
yaitu : ISPA atas (ISPAa) dan ISPA bawah (ISPAb). Contoh ISPA atas
adalah batuk pilek (common cold), Pharingitis, Otitis, Flusalema, Sinusitis,
16

dan lain-lain. ISPA bawah diantranya Bronchiolitis dan pneumonia yang
sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan kematian
b. Berdasarkan golongan umur
Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur
dibawah 2 bulan-5 tahun.
1) Golongan Umur Kurang 2 Bulan
Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas: Pneumonia
beratdan bukan pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan adanya
nafas cepat, yaitu pernafasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau
adanya tarikan dinding dada yangkuat pada dinding dada bagian bawah
ke dalam( severe chest indrawing ), sedangkan bukan pneumonia bila
tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas
cepat.
2) Golongan Umur 2 Bulan - 5 tahun
Kelompok umur 2 bulan sampai 5 tahun dibagi atas: Pneumonia
berat, pneumonia dan bukan pneumonia. pneumonia berat, bila disertai
nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
pada waktu anak menarik nafas. Pneumonia didasarkan pada adanya
batuk dan kesukaran bernafas disertai adanya nafas cepat sesuai umur,
yaitu 40 kali permenit atau lebih. Bukan pneumonia, bila tidak
ditemukan tarikan dinding dada ke bawah dan tidak ada nafas cepat
(Misnadiarly , 2008).
e. Tanda dan Gejala
Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit penyakit
ISPA (P2 ISPA).Kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita
17

ISPA adalah balita, ditandai dengan adanya batuk dan atau kesukaran
bernafas disertai adanya frekwensi napas (napas cepat) sesuai golongan
umur. Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua kelompok
yaitu umur kurang dari dua bulan dan umur 2 bulan sampai kurang dari 5
tahun.
Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan
kesukaran pernafasan disertai nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai kurang
dari 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis
pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat (fast breathing) dimana
frekwensi nafas 60 kali permenit atau lebih, dan atau adanya tarikan yang
kuat dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chestindrawing).
Bukan pneumonia apabila ditandai dengan nafas cepat tetapi tidak
disertai tarikan dinding dada ke dalam . Bukan pneumonia mencakup
kelompok penderita dengan batuk pilek biasa yang tidak ditemukan adanya
gejala peningkatan frekwensi nafas dan tidak ditemukan tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam (Depkes,dalam Megawati, 2009)
Ada beberapa tanda klinis yang dapat menyertai anak dengan batuk
yang dikelompokkan sebagai tanda bahaya :
1) Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu tidak
bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor (ngorok ), wheezeng
(bunyi nafas), dan demam.
2) Tanda dan gejala untuk golongan umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun
yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, dan stredor
(Misnadiarly, 2008).
18

f. Faktor Resiko ISPA
Menurut Depkes (2004), faktor resiko terjadinya ISPA terbagi atas
dua kelompok yaitu:
1) Faktor internal merupakan suatu keadaan didalam diri penderita
(balita) yang memudahkan untuk terpapar dengan bibit penyakit
(agent) ISPA yang meliputi jenis kelamin, berat badan lahir rendah,
status imunisasi, pemberian ASI, status gizi, dan umur balita.
2) Faktor eksternal merupakan suatu keadaan yang berada diluar diri
penderita (balita) berupa lingkungan fisik,biologis, sosial dan ekonomi
yang memudahkan penderita untuk terpapar bibit penyakit (agent)
meliputi: polusi asap rokok, polusi asap dapur kepadatan tempat
tinggal, letak geografis, ventilasi dan pencahayaan.
g. Penularan ISPA
Kuman penyakit ISPA ditularkan dari penderita ke orang lain
melalui udara pernafasan atau percikan ludah penderita. Pada prinsipnya
kuman ISPA yang ada di udara terhisap oleh pejamu baru dan masuk ke
seluruh saluran pernafasan .dari saluran pernafasan kuman menyebar
keseluruh tubuh apabila orang yang terinfeksi ini rentan, maka ia akan
terkena ISPA (Mandal, 2004).
h. Penatalaksanaan ISPA
Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksanaan penderita ISPA
pada balita adalah balita dngan gejala batuk dan atau kesukaran bernafas.
(Astuti, H.W, 2010).


19

i. Pengobatan
a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotic
parenteral, oksigen dan sebagainya.
b. Pneumonia : diberi antibiotic kontrimoksasol peroral. Bila
penderita tidak mungkin diberi kontrimoksasol atau ternyata dengan
pemberian kontramoksasol keadaan penderita menetap , dapat dipakai
obat antibiotic pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin
prokain.
c. Bukan pneumonia : tanpa pemberian obat antibiotic. Diberikan
perawatan di rumah , untuk batuk dapat digunakan obat batuk
tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang
merugikan seperti kodein , dekstrometorfan dan antihistamin. Bila
demam diberi obat penurn panas yaitu parasetamol. Penderita dengan
gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya
bercak nanah (eksudat ) disertai pembesaran kelenjar getah bening
dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman
streptococcuss dan harus diberi antibiotic ( penisilin ) selama 10
hari.Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus
diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan selanjutnya (Mandal,
2004 ).
2. Tinjauan Umum Tentang Balita
Balita yaitu anak yang berusia di bawah 5 tahun merupakan generasi
yang perlu mendapat perhatian, Karena balita merupakan generasi penerus dan
modal dasar untuk kelangsungan hidup bangsa, balita amat peka terhadap
20

penyakit seperti ISPA bahkan yang termasuk Pneumoniatingkat kematian
balita masih tinggi (Depkes.RI,2006).
Balita diharapkan tumbuh dan berkembang dalamkeadaan sehat jasmani
sosial dan bukan hanya bebas daripenyakit dankelemahan.Masalah
kesehatanbalita merupakan masalah nasional,mengingat angka kesakitan dan
angka kematian pada balita masih cukup tinggi.Angka kesakitan
mencerminkan keadaan yangsesungguhnya karena penyebab utamanya
berhubungan dengan dengan faktor lingkungan antara lain : asap dapur dan
penyakit infeksi.
Salah satu faktor penyebab kematian maupun yangberperan dalam
proses tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit ini yang dapat dicegah
dengan imunisasi.Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara
pemeriksaan
perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan perkembangan kecerd
asan, pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan gizi dan
pendidikan kesehatan pada orang tua (Lamusa,2006).
3. Tinjauan UmumTentang Ibu
Ibu adalah wanita yang telah melahirkan seseorang, panggilan yang
lazim pada wanita baik yang sudah bersuami maupun belum (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2003).
Ibu adalah sebutan untuk orang perempuan yang telah melahirkan kita,
wanita yang telah bersuami, panggilan yang lazim pada wanita
(Poerwodarminto, 2003).
Menurut Effendy (2004) peran ibu meliputi :
21

a) Mengurus rumah tangga.Dalam hal ini di dalam keluarga ibu sebagai
pengurus rumah tangga. Kegiatan yang biasa ibu lakukan seperti memasak,
menyapu, mencuci, dll
b) Sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya dan sebagai salah satu
kelompok dari peranan sosial.
c) Karena secara khusus kebutuhan efektif dan sosial tidak dipenuhi oleh ayah.
Maka berkembang suatu hubungan persahabatan antara ibu dan anak-anak.
Ibu jauh lebih bersifat tradisional terhadap pengasuh anak (misalnya dengan
suatu penekanan yang lebih besar pada kehormatan, kepatuhan, kebersihan
dan disiplin).
d) Sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Di dalam masyarakat ibu
bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya dalam rangka mewujudkan
hubungan yang harmonis melalui acara kegitan-kegiatan .
Ibu adalah orang yang terdekat dengan balita dalam hal memberikan
penanganan di rumah yang baik ketika anaknya menderita. Pengetahuan, sikap
dan tindakan yang dimiliki ibu sangat erat kaitannya akan keterlibatan Ibu
terhadap penanganan ISPA pada balita, karena ibulah yang pertama kali
mengetahui anaknya menderita penyakit ini.
4. Tinjauan Tentang Penanganan Ibu Terhadap Balita Penderita ISPA
Ibu merupakan orang yang paling dekat dengan anak dan mempunyai
peranan besar dalam melakukan penanganan penyakit pada anaknya.
Penanganan dan perawatan dirumah sangat penting untuk mendukung
kesembuhan anak yang sedang menderita ISPA dan mencegah terjadinya
kekambuhan (Depkes RI, 2005).
22

Berikut ini adalah petunjuk penanganan ISPA pada anak dirumah:
1. Observasi terhadap tanda-tanda ISPA
Pengetahuan keluarga tentang tanda-tanda bahaya pneumonia
merupakan hal yang sangat penting.dimana pneumonia dapat terjadi dengan
cepat apabila ISPA biasa tidak diatasi dan ditangani dengan baik.oleh
karena itu keluarga harus mengetahui tentang tanda bahaya ISPA dan segera
membawa anak ke pusat kesehatan terdekat. Berikut ini merupakan tanda
pneumonia yaitu:
a. Nafas menjadi sesak
b. Nafas menjadi cepat
c. Anak tidak mau minum dan Sakit anak bertambah parah (Ngastiyah
2005).
2. Pemberian Nutrisi
Menurut Ngastiyah (2005) pemberian nutrisi pada balita ISPA yaitu :
a. Pemberian nutrisi selama sakit
Bagi anak yang berumur 6 bulan atau lebih, berilah makanan
gizi seimbang. Anak harus mendapatkan semua sumber zat gizi yaitu
karbohidrat, protein, mineral, vitamin, dan serat dalam jumlah yang
cukup. Ketika anak sedang sakit atau dalam masa penyembuhan,
kebutuhan gizi anak meningkat, tetapi nafsu makan anak menurun.
Oleh karena itu berilah makanan dalam jumlah sedikit demi sedikit
dalam waktu yang sering. Hal ini penting untuk meningkatkan daya
tahan tubuh anak dan mencegah malnutrisi. Pada bayi dengan usia
kurang dari 6 bulan, berikanlah ASI lebih sering ketika anak sakit.
23

b. Pemberian nutrisi setelah sakit
Pada umumnya anak yang sedang sakit hanya bisa maka sedikit,
karena nafsu makan anak sedang turun akibat aktivitas enzim kahektin
yang merupakan respon lanjut dari reaksi peradangan. Oleh karena itu
setelah sembuh usahakan memberikan makanan ekstra setiap hari selama
seminggu atau sampai berat badan anak mencapai normal, untuk mengejar
ketertinggalan anak dan mencegah terjadinya malnutrisi, karena malnutrisi
akan mempermudah dan memperberat infeksi sekunder lainnya.
c. Pemberian cairan
Anak dengan infeksi saluran perafasan dapat kehilangan cairan.
Oleh sebab itu perlu pemberian cairan harus lebih banyak dari biasanya.
Bila anak belum menerima makanan tambahan maka anak harus diberi
ASI sesering mungkin.
d. Melegakan tenggorokan dan meredakan batuk dengan ramuan yang aman
dan sederhana atau tradisional.
3. Perawatan selama demam
Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal. Bila diukur pada
rektal >38
0
C, di ukur pada oral > 37,8
0
C, dan bila diukur melalui aksila >37,2
0
C (Schmitt). Sedangkan menurut NAPN (National Association of Pediatrics
Nurse) di sebut demam bila bayi berumur kurang dari 3 bulan suhu rektal
melebihi 38
0
C. Pada anak umur lebih dari 3 bulan suhu aksila dan oral lebih
dari 38,3
0
C.
24

Demam sangat umum terjadi pada anak dengan infeksi pernafasan.
Penanganan demam yang bisa di lakukan di rumah meliputi memberikan
cairan yang lebih banyak karena peningkatan suhu tubuh sebesar 1
0
C akan
meningkatkan kebutuhan cairan sebanyak 10-12%. dan anak di beri pakaian
yang tipis untuk meningkatkan transfer panas ke lingkungan.
Demam merupakan suatu keadaan yang sering menimbulkan
kecemasan,stres dan fobia tersendiri bagi keluarga. Oleh karena itu ketika
anggota keluarga demam orang tua seringkali melakukan upaya-upaya untuk
menurunkan demam anak (Ngastiyah, 2005).
Demam pada anak dapat diukur dengan menempatkan termometer ke
dalam rektal, mulut, telinga serta dapat juga di ketiak segera setelah air raksa
di turunkan, selama satu menit dan di keluarkan untuk segera di baca, Menurut
AAP (American Academy of Pediatrics) tidak menganjurkan lagi penggunaan
termometer kaca berisi merkuri karena kebocoran merkuri dapat berbahaya
bagi anak dan juga meracuni lingkungan.dalam mengatasi demam selama
menderita penyakit antara lain yaitu:
a. Pengukuran demam
Pengukuran suhu mulut aman dan dapat di lakukan pada anak usia di
atas 4 tahun, karena sudah dapat bekerjasama untuk menahan termometer
di mulut. Pengukuran ini juga lebih akurat dibandingkan dengan suhu ketiak
(aksila). Pengukuran suhu aksila mudah di lakukan, namun hanya
menggambarkan suhu perifer tubuh yang sangat di pengaruhi oleh
vasikontriksi pembuluh darah dan keringat sehingga kurang akurat.
25

Pengukuran suhu melalui anus atau rektal cukup akutrat karena lebih
mendekati suhu tubuh yang sebenarnya dan palng sedikit terpengaruh suhu
lingkungan, namun pemeriksaannya tidak nyaman bagi anak.(Ngastiyah
2005)
Pemeriksaan suhu tubuh dengan perabaan tangan tidak di anjurkan
karena tidak akurat sehingga tidak dapat mengetahui dengan cepat jika suhu
mencapai tingkat yang membahayakan. Pengukuran suhu inti tubuh
merupakan suhu tubuh yang sebenarnya dapat di lakukan dengan mengukur
suhu dalam tenggorokan atau pembuluh arteri paru. Namun hal ini sangat
jaranga dilakukan karena terlalu invasive .
Adapun kisaran nilai normal suhu tubuh adalah suhu oral antara 35,5
-37,5
0
C,suhu aksila antara 34,7-37,3
0
C, suhu rektal antara 36,6-37,9
0
C
dan suhu telinga antara 35,5-37,5
0
C.suhu tubuh yang diukur di mulut akan
lebih rendah 0,5-0,6
0
C dari suhu rektal. Suhu tubuh yang di ukur di aksila
akan lebih rendah 0,8-1,0
0
C (Ngastiyah, 2005).
Tindakan umum penurunan demam adalah di usahakan agar anak
tidur atau istrahat agar metabolismenya menurun, yaitu tirah baring. Cukupi
cairan agar kadar elektrolit tidak meningkat saat evaporasi terjadi. aliran
udara yang baik misalnya dengan kipas, memaksa tubuh berkeringat,
mengalirkan hawa panas ke tempat lain sehingga demam turun.
Jangan menggunakan aliran yang terlalu kuat, karena suhu kulit
dapat turun mendadak. Ventilasi/regulasi aliran udara penting di daerah
tropik. Buka pakaian atau selimut yang tebal agar terjadi radiasi atau
26

evaporasi. Lebarkan pembuluh darah perifer dengan cara menyeka kulit
dengan air hangat (tepid-sponging). Mendinginkan dengan air es atau
alkohol kurang bermanfaat (justru terjadi vasokonstriksi pembuluh darah),
sehingga panas sulit disalurkan baik lewat mekanisme evaporasi maupun
radiasi. Lagipula pengompresan dengan alkohol akan di serap oleh kulit
dan dihirup pernafasan, dapat menyebabkan koma.
Demam <39
0
C pada anak yang sebelumnya sehat pada umumnya
tidak memerlukan pengobatan.Bila suhu naik >39
0
C, anak cenderung tidak
nyaman dan pemberian obat-obatan penurun panas sehingga membuat anak
merasa lebih baik.menurut Soetjamiko (2005), obat antipiretik tidak di
berikan jika suhu dibawah 38,3
0
C kecuali ada riwayat kejang demam. Pada
dasarnya menurunkan demam pada anak dapat di lakukan secara fisik, obat-
obatan maupun kombinasi keduanya. Pemberian obat-obat tradisional juga
dapat dipercaya dapat meredakan demam. Obat-obatan tradisional yang
berasal dari tanaman obat (herbalis) ini tak kalah ampuhnya sebagai
pengusir demam. Justru obat-obatan tradisional memiliki kelebihan yaitu
toksisitasnya relatif lebih rendah di banding obat-obatan kimia (Ngastiyah,
2009).
Menurut faris (2004), sebaiknya orang tua mempertimbangkan untuk
menghubungi atau mengunjungi dokter bila anak demam:
1) Demam pada anak usia di bawah 3 bulan.
2) Demam pada anak yang mempunyai penyakit kronis dan defisiensi
sistem imun.
3) Anak gelisah, lemah, atau sangat tidak nyaman.
27

4) Demam berlangsung lebuh dari 3 hari (72 jam).
b. Pemberian Obat Antipiretik
Tindakan simptomatik yang lain ialah dengan penberian obat
demam. Cara kerja obat demam adalah dengen menurunkan set-point di
otak dan membuat pembuluh darah kulit melebar sehigga pengeluaran panas
ditingkatkan. Beberapa golongan antipiretik murni, dapat menurunkan suhu
bila anak demam namun tidak menyebabkan hipotermia bila tidak ada
demam , seperti asetaminofen, asetosal, dan ibuprofen.
Salah satu upaya yang sering dilakukan orang tua untuk menurunkan
demam anak adalah pemberian obat penurun panas/antipiretik seperti
parasetamol, ibuprofen, dan aspirin. Antipiretik (parasetamol) 3 kali 1tablet
untuk dewas, 10-15 mg/kg BB/kali untuk anak. Asetotal, salisilat, ibuprofen
jangan dipergunakan karena dapat menyebabkan gastritis atau pendarahan
(Ngastiyah, 2005).
Demam pada anak merupakan keadaan yang sering menimbulkan
kecemasan sehingga ibu seringkali memberikan obat penurun panas apabila
anak mereka demam.hal tersebut dilakukan oleh orang tua karena obat
penurun panas, baik yang diperoleh dari resep dokter,maupun yang dijual
bebas di warung, dianggap dapat membuat keadaan kesehatan anak lebih
baik dalam waktu yang relatif cepat. Namun tidak semua ibu langsung
memberikan obat penurun panas saat anak mereka demam. Beberapa ibu
lebih memilih mengatasi demam anak dengan tindakan seperti
melonggarkan pikiran pakaian anak, mengurangi suhu sekitar, Mengompres
dan mendorong anak untuk banyak minum (Ngastiyah, 2005).
28

c. Pemberian Obat Tradisional
Menurut WHO, pengobatan tradisional ialah suatu sistem
pengobatan komprehensif seperti pengobatan Cina dan ayurveda India,
termasuk pengobatan dari bahan tumbuh-tumbuhan (herbal), hewan, atau
mineral nonterapi medik. Pengobatan tradisional herbalis ialah suatu ilmu
dan seni mengatasi berbagai penyakit dengan menggunakan tumbuh-
tumbuhan berkhasiat yang tidak menimbulkan efek negatif bagi
pengkonsumsinya.
Dalam pengobatan tradisional semua bahan-bahan yang
dipergunakan berasal dari bahan yang biasa di gunakan di dapur keluarga
dan tumbuh-tumbuhan yang mudah di dapatkan yang tumbuh di sekitar
tempat tinggal, seperti di halaman, di pinggir-pinggir jalan dan di kebun.
Bahan atau ramuan yang berupa tanaman dari bahan tersebut secara turun-
temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Menurut Wijayakusuma (2008), ramuan pengobatan tradisional
yang dapat mengatasi ISPA:
1) Resep 1:
1 buah jeruk nipis
1sdm Kecap manis
Caranya: Cuci bersih jeruk nipis, kupas dan peras ke dalam wadah, lalu
campurkan kecap kemudian di aduk.lalu minum 2 kali sehari.
2) Resep 2 (pemakaian luar panas pada anak) :
4 siung bawang merah, haluskan
1 buah jeruk nipis, peras
29

1 sdm minyak kelapa
Caranya: campur semua bahan, aduk rata. Kompreskan pada ubun-ubun
(kepala atas) anak.
Jika dalam 2 hari panas tidak turun atau timbul gejala dan tanda
lanjut seperti muntah-muntah, gelisah, mimisan dianjurkan segera
dibawa berobat/periksakan ke dokter atau keunit pelayanan kesehatan
untuk mendapatkan pemeriksaan dan pertolongan
(http//:tempointeraktif.com/hg/2009).
d. Kompres Hangat
Kompres adalah bantalan dari linen atau materi lainnya yang di
lipat-lipat, dikenankan dengan tekanan; kadang-kadang mengandung obat
dan dapat basah ataupun kering, panas ataupun dingin. Kompres hangat
adalah suatu prosedur menggunakan kain/handuk yang telah di celupkan
pada air hangat, yang ditempelkan pada bagian tubuh tertentu (Ngastiyah,
2005).
Tujuan pemberian kompres antara lain sebagai berikut :
1) Membantu menurukan suhu tubuh
2) Mengurangi rasa sakit atau nyeri
3) Membantu mengurangi perdarahan
4) Membatasi peradangan klien yang mengalami demam (Ngastiyah,
2005)
Pemberian kompres panas/hangat pada klien yang mengalami
demam akan memberikan sinyal ke hipothalamus melalui sum-sum tulang
30

belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hypothalamus di
rangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat
dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah di atur oleh
vasomotor pada medula oblongata dari tangkai otak, di bawah pengaruh
hipothalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya
vasodilatasi ini
menyebabkan pembuangan / kehilangan energy / panas melalui kulit
meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh
sehingga mencapai keadaan normal kembali.Kompres hangat
mempengaruhi tubuh dengan cara:
1) Memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi)
2) Memberi tambahan nutrisi dan oksigen untuk sel dan membuang
sampah-sampah tubuh.
3) Meningkatkan suplai darah ke area-area tubuh
4) Mempercepat penyembuhan
5) Dapat menyejukkan (Ngastiyah, 2005).
Tempat pengompresan sangat berperan penting dalam menurunkan
suhu tubuh, karena langsung berkenaan proses memberikan sinyal ke
hypothaslamus melalui sum-sum tulang belakang. Ketika reseptor yang
peka terhadap panas di hypothalamus di rangsang, sistem efektor
mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer.
Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada
medulla oblongata dari tangkai otak,dibawah pengaruh hipotalamik bagian
arterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilasi ini
31

menyebabkan pembuangan/kehilangan energi/panas melalui kulit
meningkat.
Kompres hangat akan menurunkan suhu anak dalam waktu 30-45
menit. Oleh karena itu, lakukanlah kompres hangat bila suhu anak sangat
tinggi. Kompres hangat ini juga membantu anak agar lebih comfortable
(Ngastiyah, 2005).
Cara mengompres anak demam:
1) Kompres sebaiknya menggunakan air hangat, tidak menggunakan
alkohol karena uap alkohol sangat berbahaya dan dapat menyebankan
iritasi pada. Kulit.
2) Kompres akan lebih efektif apabila dilakukan pada daerah yang
mengandung banyak pembuluh darah seperti ketiak, lipat paha atau
selangkangan dan dahi.
3) Taruh anak di bath up/ember mandi yang diisi air hangat bersuhu 30-32
0
C.
4) Usapkan air hangat di sekujur tubuh bayi/anak,bila anak manolak, suruh
duduk di ember/bath up, beri mainan, ajak bermain (Ngastiyah, 2005).
Bila terjadi kejang pada anak saat demam maka yang harus di
lakukan sebagai pertolongan pertama di rumah yaitu:
1) Jaga lidah agar tidak tergigit dan Kosongngkan mulut
2) Longgarkan pakaian
3) Tidak memberikan apapun lewat mulut selama kejang (Ngastiyah,
2005).
32

e. Pemberian cairan selama anak demam
Dasar penatalaksanaan penderita demam pengganti cairan yang
hilang sebagai akibat dari kerusakan dinding kapiler sehingga
mengakibatkan kebocoran plasma. Selain itu, perlu juga diberikan obat
penurun panas.
Pemberian cairan oral merupakan salah satu upaya untuk mencegah
dehidrasi. Apabila cairan oraldak dapat diberikan oleh karena tidak mau
minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena
perlu diberikan,oleh sebab itu harus segera di bawah ke rumah sakit. Minum
banyak (1-2 liter/hari). Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul
sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang di
anjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit.
Penderita perlu di beri minum 50ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Dengan
meminum cairan seperti air atau jus buah dalam 24 jam sebelum pergi ke
dokter merupakan faktor protektif melawan kemungkinan di rawat inap di
rumah sakit (Ngastiyah, 2005).
5. Tinjauan Tentang Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan
Penanganan ISPA Pada Balita Oleh Ibu
1. Pengetahuan
a) Definisi
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap satu obyek tertentu . Penginderaan
terjadi melalui paska indera manusia, yakni indera penglihatan,
33

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan merupakan pedoman dalam membentuk tindakan
seseorang (overt behavior) terhadap penanganan yang dilakukan
berdasarkan pengalaman dan penelitian, diperoleh bahwa perilaku yang
didasari pengetahuan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari
pengetahuan (Maulana 2010).
Pengetahuan adalah segala yang telah diketahui dan mampuh di
ingat oleh setiap orang yang telah mengalami, menyaksikan, mengamati
atau diajarkan semenjak ia lahir sampai menginjak dewasa khususnya
setelah di beri pendidikan baik melalui pendidikan formal maupun
nonformal dan diharapkan dapat mengevaluasi terhadap suatu materi atau
obyek tertentu untuk melaksanakannya sebagai bahan dalam kehidupan
sehari-hari. Pengetahuan diperoleh dari kenyataan fakta melihat dan
mendengar sendiri serta alat komunikasi sebagai surat kabar dan radio atau
televisi (Notoatmodjo, S, 2010).
b) Tingkat pengetahuan
Menurut (Notoatmodjo, 2010) tingkatan-tingkatan pengetahuan
mencangkup antara lain :
1) Tahu (know)
Tahu artikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya, termasuk mengingat kembali (recall) terhadap
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
34

rangsangan yang diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan
yang paling rendah.
2) Memahami (comprehension)
Diartikan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang obyek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau
materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.
3) Aplikasi (aplication)
Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real ialah mampu
menggunakan rumus- rumus, metode, prinsip dan lain sebagainya
dalam situasi yang lain, misalnya dapat menggunakan prinsip-prinsip
siklus pemecahan masalah dalam memecahkan masalah kesehatan
dari kasus yang diberikan.
4) Analisis (analysis)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi tersebut
atau objek di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada
kaitannya satu dengan yang lain. Kemampuan analisis didapat dan
penggunaan satu dengan yang lain. Kemampuan analisis didapat dan
penggunaan kata kerja dapat menggambarkan, memisahkan,
mengelompokkan dan sebagainya.
5) Sintesis (synthesis)
Menunjukkan pada suatu kemampuan untuk melukakan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan
35

yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan pengetahuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian berdasarkan
kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang ada.
c) Cara memperoleh pengetahuan
Menurut Wawan A & Dewi M, (2010), bahwa pengetahuan dapat
di peroleh melalui :
1) Cara kuno/Tradisional
Cara coba salah, cara ini telah dipakai orang sebelum
kebudayaan.cara coba salah ini dilakukan dengan menggunakan
kemungkinan dalam memecahkan masalah dan apabila kemungkinan itu
tidak berhasil maka di coba kemungkinan yang lain sampai masalah
tersebut dapat di pecahkan.
Cara kekuasaan atau otoritas, cara kekuasaan ini dapat berupa
pimpinan-pimpinan masyarakat baik formal atau informal, ahli agama,
pemegang pemerintahan, dan berbagai prinsip orang lain yang menerima
mempunyai yang dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas,
tanpa menguji terlebih dahulu atau membuktikan kebenarannya baik
berdasarkan fakta empiris maupun penalaran sendiri. Berdasarkan
pengalaman pribadi, pengalaman pribadipun dapat digunakan sebagai
upaya memperoleh pengetahuan.
2) Cara modern
36

Cara ini sebut metode penelitian ilmiah atau lebih popular di sebut
metodologi penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan oleh francis
bacon, kemudian dikembangkan oleh Deobold Van Daven. Akhirnya lahir
suatu cara untuk melakukan penelitian yang dewasa ini kita kenal dengan
penelitian ilmiah.


d) Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan melakukan
wawancara atau angket yang menjawab isi materi yang ingin diukur. Bila
seseorang dapat menjawab pertanyaan mengenai suatu bidang tertentu
dengan lancar, baik secara lisan maupun tulisan maka dikatakan dia
mengetahui hal itu (Notoatmodjo, 2010). Pengukuran pengetahuan secara
umum dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu pertanyaan subjektif
dan objektif. Pertanyaan esai faktor subjektif karena penilaian untuk
pertanyaan melibatkan faktor subjektif dan penilaian, sehingga nilainya
akan berbeda dari seorang penilaian dengan penilaian lainnya. Sedangkan
pertanyaan pilihan ganda betul salah, menjodohkan disebutkan pertanyaan
objektif karena pertanyaan tersebut dapat dinilai secara pasti oleh penilai
tanpa melibatkan faktor subjektivitas dari penilai.
e) Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Pengetahuan yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh faktor-
faktor sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010) :
1) Faktor Internal :
a) Jasmani
37

Faktor jasmani di antaranya keadaan indera seseorang.
b) Rohani
Faktor rohani di antaranya adalah kesehatan psikis,
intelektual, psikomotor, serta kondisi efektif dan kognitif
individu.

2) Faktor Eksternal :
Faktor eksternal meliputi :
a) Jenis Kelamin
Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis
merupakan penafsiran atau penbagian dua jenis kelamin manusia
yang ditentuka secara biologis, bersifat permanen (tidak dapat
dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir
dan merupakan pemberian Tuhan sebagai seorang laki-laki atau
seorang perempuan.
Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka
dikatakan bahwa seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-
laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan
memproduksi sperma. Sementara seseorang disebut berjenis
kelamin perempuanjika ia mempunyai vagina dan rahim sebagai
alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan
mengalami kehamilan dan proses malahirkan. Ciri-ciri secara
biologis ini sama di semua tempat, di semua budaya dari waktu ke
waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain.
b) Umur
38

Umur merupakan salah satu faktor yang dapat
menggambarkan kematangan sesorang baik fisik, psikis maupun
sosial, sehingga membantu seseorang dalam pengetahuannya.
Semakin bertambah umur, semakin bertambah pula pengetahuan
yang didapat.
c) Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam
memberi respon terhadap sesuatu yang dalam dan luar. Orang
berpendidikan tinggi akan datang dan berfikir sejauh mana
keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dari gagasan
tersebut.
d) Paparan Media Massa
Melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik
berbagi informasi dapat diterima oleh masyarakat, Sehingga
seseorang yang lebih sering terpapar media massa (TV, radio,
majalah, pamflet, dan lain-lain) akan memperoleh informasi yang
lebih banyak dibandingkan dengan orang-orang yang tidak pernah
terpapar informasi media. Ini berarti paparan media massa
mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang.
e) Ekonomi
Dalam menandai kebutuhan pokok (primer) maupun
kebutuhan sekunder, keluarga dalam status ekonomi baik akan
lebih mudah tercukupi dibanding keluarga dengan status ekonomi
rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa ekonomi dapat dibutuhkan
seseorang dalam berbagai hal.
39

f) Hubungan Sosial
Manusia adalah makhluk sosial dimana di dalam
kehidupan sedikit berinteraksi secara kontinyu akan lebih besar
terpapar informasi. Sementara hubungan sosial juga
mempengaruhi kemampuan individu sebagai komunikan untuk
menerima pesan menurut model komunikan media massa.
g) Pengalaman
Pengalaman seseorang individu tentang berbagai hal bisa
diperoleh dari lingkungan dalam proses perkembangan, misalya
sering mengikuti kegiatan yang mendidik. Organisasi dapat
memperhias jangkauan pelayanannya, karena dari berbagai
kegiatan tersebut informasi tentang sesuatu hal diperoleh. Adanya
pengetahuan tentang sesuatu hal yang akan menyebabkan
timbulnya satu respon baik positif maupun negatif pada
seseorang, sehingga bisa bersikap dan berperilaku dalam
kesehatan.
2. Sikap
Sikap merupakan bentuk operasional dari perilaku yaitu tanggapan
batin terhadap stimulus dari luar subjek. Sikap dapat diartikan sebagai derajat
atau tingkat kesesuaian terhadap objek tertentu. Sikap sering diperoleh dari
pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat
seseorang usntuk dekat atau menjauhi seseorang atau sesuatu. Sikap yang
positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu
tindakan yang nyata (Notoatmodjo, 2010).
40

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau obyek. Dalam sikap positif, ada kecenderungan
untuk mendekati obyek tertentu, sedangkan pada sikap negatif ada
kecenderungan untuk menjauhi obyek tertentu. Sikap sangat mempengaruhi
persepsi seseorang sehingga orang mempunyai sikap yang kemudian bisa
dilihat dari perbuatannya.
Notoadmojo (2010), membagi sikap dalam beberapa tingkatan yakni :
1) Menerima (receiving)
Menerima berarti orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (obyek).
2) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan
tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah adalah
berarti orang menerima ide tersebut.
3) Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan
dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap
tingkat tiga.
4) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.
41

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo S, 2010 sikap itu terdiri dari 3
komponen pokok, yaitu :
a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya,
bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap
objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek. Artinya,
bagaimana penilaian orang tersebut terhadap objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak. Artinya, sikap merupakan komponen
yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka.
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan berpikir,
keyakinan dan emosi memegang perananan penting.
Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung dan tidak
langsung. Secara dapat di tanyakan bagaimana pendapat responden terhadap
suatu obyek (Notoatmodjo S, 2005).
Sikap merupakan pendapat seseorang terhadap sesuatu berdasarkan
pengetahuannya, pendapat seorang ibu tentang penanganan penderita ISPA
dan dapat mempengaruhi perilakunya contohnya bila seorang ibu memahami
bahwa saat balitanya menderita ISPA harus memberikan penanganan demam.






42

BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran
Angka kesakitan dan kematian balita masi sangat tinggi, salah satu
penyebab tingginya angka kematian dan kesakitan pada balita tersebut adalah
ISPA, dimana ISPA menduduki urutan pertama tertinggi di berbagai Wilayah Kerja
Dinas Sulawesi Tenggara dan kasus tertinggi di Wilayah kerja Dinas Kabupaten
Konawe Selatan dan Pusksmas Mowila.
ISPA merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri maupun virus,
lebih sering terjadi pada anak berusia dibawah lima tahun (balita). Anak balita yang
menderita ISPA apabila tidak mendapat pengobatan dapat mengalami kematian.
Peran aktif keluarga dalam menangani ISPA sangat penting, karena
penyakit ISPA merupakan penyakit yang sangat sering terjadi dalam kehidupan
keluarga.Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius, karena biasanya keluarga
khususnya ibu menganggap ISPA pada balita merupka penyakit biasa yang sering
timbul dan tidak berbahaya serta bisa menghilang dengan sendirinya. Sementara
ISPA merupakan penyakit karena apabila ibu membiarkan anaknya terkena ISPA
dan tidak memberikan penanganan yang baik , dapat mengakibatkan penyebaran
infeksi yang lebih luas, sehingga akhirnya infeksi menyerang saluran nafas bagian
bawah dan selanjutnya akan menyebabkan radang paru-paru atau pneumonia yang
sangat berbahaya dan menyebkan kematian.

B. Kerangka Pikir Peneliti
43

Dalam penelitian ini dibatasi pada faktor yang dapat berhubungan dengan
penanganan ISPA pada balita oleh ibu seperti yang digambarkan pada kerangka
pemikiran seperti berikut:
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Variabel independent Variabel dependent




Keterangan :
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak di teliti
= Hubungan Variabel yang diteliti
- - - - - - - - - - - = Hubungan Variabel yang tidak diteliti

C. Variabel Penelitian
Variable yang dianalisa dalam penelitian ini terdiri dari Variabel
Bebas (Independent) dan Variabel Terikat (Dependent) :
1. Variabel Bebas (Independent)
Pengetahuan

Sikap

pendidikan
Penanganan
ISPA pada balita
oleh Ibu



44

Variable bebas dari penelitian ini yaitu terdiri dari pengetahuan dan sikap
ibu terhadap penanganan ISPA pada balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Mowila Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan.
2. Variabel Terikat (Dependent)
Variable Terikat dari penelitian ini yaitu penanganan ISPA pada balita oleh
ibu Di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila Kecamatan Mowila Kabupaten
Konawe Selatan.
D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
Dalam penelitian ini penulis memberikan batasan definisi dan kriteria
objektif terhadap variabel-variabel yang digunakan yaitu:
1. Penanganan ISPA pada Balita oleh ibu
Penanganan ISPA oleh ibu dalam menangani balita penderita ISPA di
rumah dalam penelitian ini adalah hal-hal yang dilakukian oleh ibu saat balita
menderita ISPA meliputi; tindakan pemberian kompres, tindakan pemberian
cairan atau minum yang banyak, tindakan pemberian istirahat atau tidur,
tindakan membersihkan jalan nafas (hidung dari pilek), tindakan pemberian
makan, tindakan pemberian pengobatan, tindakan mencari bantuan ke
pelayanan kesehatan.
Cara ukur wawancara ibu dengan menggunakan kuisioner yang
menggunakan 10 pertanyaan, skala yang digunakan yaitu Skala Guttman bila
jawaban ya diberi kode 1 dan tidak diberi kode 0.
Penilaian kriteria Berdasarkan kelas interval dalam hal ini
menggunakan :
a) Skala Ordinal
45

b) Rumus :
I =


Keterangan:
I : interval kriteria yang digunakan
R : range jarak skor tertingi dan skor terendah .
K : kategori dalam kriteria objektif yang peneliti tentukan.
Jumlah skoring tertinggi = 10 x 1
= 10 (100%)
Jumlah skoring terendah = 10 x 0
= 0 (0%)
Jadi,
I =


= 50 %
Kriteria Objektif :
Cukup : bila jawaban responden > 50%
Kurang : bila jawaban responden 50%
2. Pengetahuan
Pengetahuan dalam penelitian ini yaitu pengetahuan ibu dalam
menangani balita penderita ISPA di rumah yaitu hal-hal yang dilakukan oleh
ibu saat balita menderita ISPA meliputi pemberian nutrisi dan pemberian
cairan, perawatan selama demam (Depkes,2005).
46

Cara ukur dengan wawancara dengan ibu dengan menggunakan
kuisioner yang menggunakan 10 pertanyaan, skala yang digunakan yaitu skala
guttman bila jawaban benar maka diberi kode 1 dan bila jawaban salah maka
diberi kode 0 (Arikunto, 2011).
Penilaian kriteria Berdasarkan kelas interval menggunakan :
a) Skala ordinal
b) rumus :
I =

(Arikunto, 2011)
I : interval kriteria yang digunakan
R :range jarak skor tertingi dan skor teresndah .
K :kategori dalam kriteria objektif yang peneliti tentukan
Jumlah skoring tertinggi = 10 x 1
= 10 (100 %)
Jumlah skoring terendah = 10 x 0
= 0 (0%)
Jadi :
I =


= 50 %
Kriteria Objektif :
Cukup : bila jawaban responden > 50%
Kurang : bila jawaban responden 50%
47

3. Sikap
Sikap dalam penelitian ini yaitu pendapat ibu dalam menanganani balita
penderita ISPA di rumah yaitu hal-hal yang dilakukan oleh ibu saat balita
menderita ISPA meliputi pemberian nutrisi dan pemberian cairan, perawatan
selama demam.
Cara ukur wawancara ibu dengan menggunakan kuisioner yang
menggunakan 10 pertanyaan, skala yang digunakan yaitu skala Likert bila
jawaban sangat tidak setuju diberi kode 1, tidak setuju diberi kode 2, ragu-ragu
diberi kode 3, setuju diberi kode 4, dan bila sangat setuju di beri kode 5.
(Arikunto, 2011).
Penilaian kriteria Berdasarkan kelas interval dalam hal ini
menggunakan :
a) Skala ordinal
b) rumus :
I =

(Arikunto, 2011)
Keterangan :
I : interval kriteria yang digunakan
R :range jarak skor tertingi dan skor terendah .
K :kategori dalam kriteria objektif yang peneliti tentukan
Jumlah skoring tertinggi = 10 x 5
= 50 (100%)
Jumlah skoring terendah = 10 x 1
= 10 (20%)

48

Jadi :
I =


= 60 %
Kriteria Objektif :
Cukup : bila jawaban responden > 60%
Kurang : bila jawaban responden 60%
E. Hipotesis Penelitian
1. Pengetahuan
Hipotesis Alternatif (Ha) = Ada hubungan pengetahuan dengan penanganan
ibu penderita ISPA pada balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Mowila Kabupaten Konawe Selatan.
Hipotesis Nol (H0) = Tidak ada hubungan pengetahuan dengan penanganan
ibu terhadap penderita ISPA pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Mowila Kabupaten
Konawe Selatan.
2. Sikap
Hipotesis Alternatif (Ha) = Ada hubungan sikap dengan penanganan ibu
terhadap penderita ISPA pada balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Mowila Kabupaten Konawe
Selatan.
Hipotesis Nol (H0) = Tidak ada hubungan sikap dengan penanganan ibu
terhadap penderita ISPA pada balita di Wilayah
49

Kerja Puskesmas Mowila Kabupaten Kosnawe
Selatan.

















50

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan
crossectional yaitu semua variable penelitian diteliti pada saat yang bersamaan dan
diuji silang antara variabel sesuai dengan kriteria objektifnya ( Notoatmodjo, 2010).
Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan
tindakan ibu terhadap penanganan ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Mowila Kabupaten Konawe Selatan.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 5 April sampai dengan 19 April
2013 di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila Kabupaten Konawe Selatan.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki balita
berdasarkan register pengobatan dan terdiagnosa pernah menderita ISPA di
Puskesmas Mowila Kabupaten Konawe Selatan bulan November-Desember
Tahun 2012 sampai dengan Januari 2013 berjumlah 73 Orang.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu yang memiliki balita
berdasakan register pengobatan terdiagnosa ISPA di wilayah kerja puskesmas
mowila.. Besar sampel dalam penelitian ini diperoleh berdasarka rumus sebagai
berikut :
51


(Notoatmodjo, 2010)




Sehingga besar sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah
sebanyak 62 Orang.
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling
yaitu setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama
untuk diseleksi sebagai sampel.Teknik pengambilan sampelnya secara acak
sederhana dengan mengundi anggota populasi (Notoatmodjo, 2010).
Dengan kriteria Inklusi:
a. Ibu yang pernah memiliki anak balita penderita ISPA
b. Ibu yang berada dilokasi penelitian pada saat dilakukan penelitian
c. Ibu yang dapat membaca
d. Ibu yang dapat berkomunikasi dengan baik
e. Ibu yang bersedia diteliti dan menjadi responden
Kriteria Eklusi:
a. Ibu yang tidak pernah memiliki anak balita penderita ISPA
b. Ibu yang tidak berada dilokasi penelitian
c. Ibu yang tidak dapat membaca
d. Ibu tidak dapat berkomunikasi dengan baik
e. Ibu tidak bersedia ditseliti dan tidak bersedia menjadi responden.
D. Pengumpulan Data
52

1. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer dikumpulkan dengan cara melakukan wawancara
langsung dengan responden berdasarkan kuisioner, meliputi data
pengetahuan ibu, sikap ibu dan tindakan ibu dalam menangani balita yang
menderita ISPA.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari hasil pencatatan dan pelaporan di
Puskesmas Mowila yaitu data balita yang berkunjung selama bulan
November-Desember tahun 2012 sampai dengan Januari 2013, Data
penderita ISPA di Dinkes Kabupaten Konsel, Dinkes Sultra dan instansi
yang terkait lainnya yang dibutuhkan selama penelitian.
2. Instrumen Penelitian
Instrumen yang di gunakan dalam penelitian ini adalah dengan
wawancara, lembar kuesioner (daftar pertanyaan) dan observasi langsung
sebagai alat bantu dalam mengumpulkan data.

3. Cara Pengumpulan Data
a. Wawancara adalah tanya jawab secara langsung kepada responden terkait
variabel yang diteliti.
b. Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang tersusun dengan baik, dimana
digunakan untuk mengelolah data terkait variabel yang di teliti.
E. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara manual dan mengunakan komputer,
sebagai alat bantu dalam mengumpul data serta mengolah data hasil penelitian.
53

Adapun prosesnya yaitu:
1. Tahap Editing
Pada tahap ini dilakukan dengan, memeperhatika kelengkapan daftar
kelengkapan kuisioner, tujuannya agar data yang diperoleh merupakan
informasi yang benar.
2. Pengkodean
Pengkodean dimaksudkan untuk menyingkat data yang diperoleh agar mudah
mengolah dan menganalisis data dengan memberi kode dalam bentuk angka.
3. Skoring
Setelah melakukan pengkodean maka dilanjutkan dengan tahap pemberian skor
pada lembar kuesioner dalam bentuk angka-angka.
4. Entri
Pada tahap ini memasukkan data yang diperoleh mengguakan fasilitas
komputer, dengan menggunakan sistem atau program SPSS versi 16.
5. Tabulasi
Pada tahap ini dilakukan pembuatan master tabel dan pemindahan hasil koding
ke daftar koding.
F. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan secara deskriftif dari masing-masing
variabel dengan tabel distribusi frekuensi disertai penjelasan. Adapun rumus
dalam persentase yaitu:
X

x k
Keterangan :
f : Variabel yang diteliti/ frekuensi skor jawaban benar
54

N : Jumlah sampel penelitian
K : Konstanta (100%)
X : Persentase hasil yang dicapai ( Arikunto S, 2006).
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
dependent dan independent. Karena rancangan penelitian ini adalah
crossectional, hubungan antara variabel independent dengan variabel depedent
digunakan uji staistik person chisquare dengan tabel kontigensi 2x2 dengan
tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05) dengan berdasarkan tabel kontingensi (
baris x kolom ). Penilaian perhitungan adanya hubungan variabel berdasarkan
hasil analisis SPSS. Kesimpulan yang diambil dari pengujian hipotesis
dibndingkan dengan berdasarkan tabel nilai p value continuity correction yaitu:
Dalam analisa ini dapat dilakukan pengujian yaitu dengan
menggunakan uji Chi Square dengan rumus :

X
2
= (O - E)
2
E
Keterangan :
X
2
= Nilai Chi Square
O = Observed
E = Expected (Nilai Harapan)
Interprestasi :
Interprestasi :
55

1. Apabila X
2
hitung
> X2
tabel,
maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya ada
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
2. Apabila X
2
hitung
< X2
tabel,
maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak
ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.




Tabel 1.1
Kontingensi 2 x 2
Kriteria Kelompok studi Jumlah
Efek positif Efek negatif
Positif A B a + b
Negatif C D c + d
Jumlah a + c b + d a + b + c + d
Sumber : ( Notoatmodjo, 2010)

3. Uji keeratan hubungan
Apabila ada hubungan maka dilanjutkan dengan uji koofisisen phi ()
=


n
Tabel 1.2
56

Pedoman pemberian interpretasi
Interval koofisien Tingkat hubungan
Nilai 0,01 0,25
Nilai 0,26 - 0,50
Nilai 0,51 0,75
Nilai 0,76 1,0
Hubungan lemah
Hubungan sedang
Hubungan kuat
Hubungan sangat kuat
(Notoatmodjo, 2010)
G. Etika Penelitian
Dalam penelitian ini, masalah sangat diperhatikan dalam menggunakan
metode:
1. Informend concent (lembar persetujuan) merupakan cara persetujuan antara
peneliti dengan responden peneliti dengan memberikan lembar persetujuan
informend concent tersebut sebelum penelitian dilakukan dengan
memeberiksn lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan
informend concent adalah agar responden mengerti maksud dan tujuan
penelitian.
2. Anonimity ( tanpa nama ) dilakukan dengan cara tidak memberikan nama
responden pada lembar alat ukur, hanya melakukan kode pada lembar
pengumpulan data.
3. Confidentiality ( kerahasiaan ) yaitu menjamin kerahasiaan hasil penelitian
baik informasi maupun masalah-masalah lainnya.Informasi yang
dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.

57

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
a. Letak Geografis
Puskesmas Mowila terletak di Kecamatan Mowila, Kabupaten Konawe
Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan luas wilayah 14.100 Ha atau
141 Km
2
. Jarak antara Ibu Kota Propinsi Kendari dengan Kecamatan Mowila
70 Km, jarak dengan Ibu Kota Kabupaten Konawe Selatan 65 Km. Adapun
batas-batas wilayah Kecamatan Mowila adalah:
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Koronua Kecamatan Landono.
2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Amasara Kecamatan Baito.
3) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Landa baru Kecamatan Angata.
4) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Endanga Kecamatan Landono.
Wilayah kerja Puskesmas Mowila terdiri dari 20 desa. Kecamatan
Mowila juga merupakan salah satu daerah penghasil pertanian terbesar di
Kabupaten Konawe Selatan.
b. Sarana dan Tenaga
a) Sarana Kesehatan
Sarana yang tersedia di Puskesmas Mowila adalah:
1) Ruang UGD : 1 ruangan
2) Poli Umum : 1 ruangan
3) Poli KIA/KB : 1 ruangan
58

4) Ruang Kartu : 1 ruangan
5) Ruang Ka. Puskesmas : 1 ruangan
6) Ruang Apotek : 1 ruangan
7) Ruang Gizi : 1 ruangan
8) Ruang P2M : 1 ruangan
9) Ruang Sanitasi : 1 ruangan
10) Ruang Vaksin : 1 ruangan
11) Ruang Imunisasi : 1 ruangan
12) Ruang Rapat : 1 ruangan
13) Ruang Tata Usaha : 1 ruangan
14) Ruang Laboratorium : 1 ruangan
15) Gudang Obat : 1 ruangan
Sarana penunjang yang tersedia di wilayah kerja Puskesmas Mowila
adalah:
1) Posyandu : 21 unit
2) Polindes : 2 unit
3) Pustu : 2 unit
Posyandu di wilayah kerja puskesmas mowila yang dinyatakan aktif
hanya 19 posyandu, sedangkan sisanya 2 posyandu dinyatakan tidak aktif. Dari
19 posyandu terdiri dari 5 posyandu pratama, 12 posyandu madya dan 2
posyandu Purnama
b) Tenaga
Tenaga yang berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan terdiri
dari:
59

1) Dokter Umum : 1 Orang
2) Perawat : 19 Orang
3) Kesehatan Masyarakat : 4 Orang
4) Kesehatan Lingkungan : 1 Orang
5) Bidan : 11 Orang
6) Sanitasi : 1 Orang
7) Gizi : 2 Orang
2. Karakteristik Responden
a. Umur
Distribusi umur ibu disajikan pada tabel 1.3 berikut :
Tabel 1.3
Distribusi Umur Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila
Kabupaten Konawe Selatan.
No Kelompok Umur Ibu N %
1.
2.
3.
4.
5.
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
15
24
9
11
3
24,2
38,7
14,5
17,7
4,8
Jumlah 62 100
Sumber: Data Primer, 2013
Berdasarkan tabel 1.3 menunjukkan bahwa berdasarkan umur ibu dari
62 orang yang diteliti jumlah terbanyak pada kelompok umur 25-29 tahun
berjumlah 24 orang (38,7%).
60

b. Pendidikan
Distribusi jenis pendidikan ibu disajikan pada tabel 1.4 berikut:
Tabel 1.4
Distribusi Jenis Pendidikan Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila
No Kelompok Umur Ibu N %
1.
2.
3.
4.
SD
SMP
SMU
D3/S1
34
14
10
4

54,8
22,6
16,1
6,5
Jumlah 62 100
Sumber: Data Primer, 2011
Berdasarkan tabel 1.4 menunjukkan bahwa berdasarkan tingkat
pendidikan formalnya ibu dari 62 orang yang diteliti terbanyak memiliki
pendidikan SD berjumlah 24 orang (54,8%).
3. Analisis Univariat
a. Pengetahuan
Distribusi pengetahuan ibu disajikan pada tabel 1.5 berikut:
Tabel 1.5
Distribusi Pengetahuan Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila Kabupaten
Konawe Selatan.
61

No Pengetahuan N %
1
2.
Cukup
Kurang
44
18
71,0
29,0
Jumlah 62 100
Sumber: Data Primer, 2013
Berdasarkan tabel 1.5 menunjukkan bahwa berdasarkan pengetahuan ibu
dari 62 orang yang diteliti terbanyak memiliki pengetahuan cukup berjumlah
44 orang (71,0%).
b. Sikap
Distribusi sikap ibu disajikan pada tabel 1.6 berikut:
Tabel 1.6
Distribusi Sikap Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila Kabupaten Konawe
Selatan.
No Sikap N %
1
2.
Cukup
Kurang
23
39
37,1
62,9
Jumlah 62 100
Sumber: Data Primer, 2013
Berdasarkan tabel 1.6 menunjukkan bahwa berdasarkan sikap ibu dari
62 orang yang diteliti terbanyak memiliki sikap kurang berjumlah 39 orang
(62,9%).

62

c. Tindakan Perawatan ISPA Pada Balita Oleh Ibu
Distribusi perawatan ISPA pada balita oleh ibu disajikan pada tabel 1.7
berikut:
Tabel 1.7
Distribusi Penanganan ISPA pada balita oleh ibu
di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila Kabupaten Konawe Selatan
No Penanganan ISPA N %
1
2.
Cukup
Kurang
37
25
59,7
40,3
Jumlah 62 100
Sumber: Data Primer, 2013
Berdasarkan tabel 1.7 menunjukkan bahwa berdasarkan penanganan
ISPA pada balita dari 62 orang yang diteliti terbanyak dalam melakukan
penanganan cukup berjumlah 37 orang (59,7%).
4. Analisis Bivariat
a. Hubungan Pengetahuan dengan Penanganan ISPA Pada Balita Oleh
Ibu
Hubungan pengetahuan dengan penanganan ISPA pada balita oleh Ibu
disajikan pada tabel 1.8 berikut :
Tabel 1.8
Hubungan Pengetahuan Dengan Penanganan ISPA Pada Balita Oleh Ibu di
Wilayah Kerja Puskesmas Mowila.
63

No Pengetahuan
Penanganan ISPA pada
Balita Oleh Ibu
Jumlah
Cukup Kurang
N % N % N %
1.
2.
Cukup
Kurang
34
3
77,3
16,7
10
15
22,7
83,3
44
18
71,0
29,0
Jumlah 37 59,7 25 40,3 62 100
Sumber : Data Primer, 2013
Berdasarkan tabel 1.8 tersebut diatas menunjukkan bahwa diantara 18
Orang ibu balita dengan pengetahuan kurang terdapat 15 orang ibu yang
kurang dalam penanganan ISPA. Sedangkan diantara 44 orang ibu balita
dengan pengetahuan yang cukup terdapat 10 orang yang kurang dalam
menangani ISPA.
Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan SPSS yaitu nilai
Continuity Correction dengan tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05), nilai p
yaitu 0,000 hal ini menunjukkan nilai p berada dibawah nilai = 0,05, maka
dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima
yang artinya ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan
penanganan ISPA pada balita oleh Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila
Kabupaten Konawe Selatan .
b. Hubungan Sikap dengan Penanganan ISPA Pada Balita Oleh Ibu.
64

Hubungan sikap dengan penanganan ISPA pada balita oleh ibu
disajikan pada tabel 1.9 berikut:
Tabel 1.9
Hubungan Sikap dengan Penanganan ISPA Pada Balita Oleh Ibu di Wilayah
Kerja Puskesmas Mowila
No Sikap
Penanganan ISPA pada
Balita Oleh Ibu
Jumlah
Cukup Kurang
N % N % N %
1.
2.
Cukup
Kurang
20
17
86,9
43,5
3
22
13,0
56,4
23
39
37,1
62,9
Jumlah 37 59,7 25 40,3 62 100
Sumber : Data Primer, 2013
Berdasarkan tabel 1.9 tersebut diatas menunjukkan bahwa diantara 39
ibu balita dengan sikapnya kurang terdapat 22 orang yang kurang dalam
penanganan ISPA . diantara 23 orang ibu balita yang sikapnya cukup hanya 3
orang yang kurang dalam penanganan ISPA.
Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan SPSS yaitu nilai
Continuity Correction dengan tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05), nilai p
yaitu 0,002 hal ini menunjukkan nilai p berada dibawah nilai = 0,05, maka
dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima
yang artinya ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan penanganan
65

ISPA pada balita oleh ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila Kabupaten
Konawe Selatan.
5. Uji keeratan hubungan

B. Pembahasan
Peran aktif keluarga dalam menangani ISPA sangat penting, karena penyakit
ISPA merupakan penyakit yang sangat sering terjadi dalam kehidupan keluarga. Hal ini
perlu mendapatkan perhatian serius, karena biasanya keluarga menganggap ISPA pada
balita merupakan penyakit biasa yang sering timbul dan tidak berbahaya serta bisa
menghilang dengan sendirinya. Padahal ISPA merupakan penyakit berbahaya karena
bila keluarga membiarkan saja anaknya terkena ISPA dan tidak memberikan
penanganan yang baik, dapat mengakibatkan penyebaran infeksi yang lebih luas,
sehingga akhirnya infeksi menyerang saluran nafas bagian bawah dan selanjutnya akan
menyebabkan radang paru-paru atau pnumonia yang sangat berbahaya dan
menyebabkan kematian. Sesuai dalam penelitian ini Penanganan ISPA pada balita oleh
ibu diuraikan sebagai berikut:
1. Pengetahuan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang pengetahuannya kurang
dalam melakukan penanganan ISPA pada balita kurang berjumlah 18 orang
(24,0%). Hal ini disebabkan oleh.......................???????. sedangkan diantara 44
orang ibu balita yang pengetahuannya cukup masih terdapat 10 orang yang kurang
dalam dalam penanganan ISPA hal ini disebabkan
oleh......................?????????????? dan usaha2 apa yang perlu dilakukan untuk
mengatasi masalah tersebut.
66

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan SPSS yaitu nilai Continuity
Correction dengan tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05), nilai p yaitu 0,000 hal ini
menunjukkan nilai p berada dibawah nilai = 0,05, maka dapat disimpulkan
bahwa hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima yang artinya ada
hubungan yang signifiksan antara pengetahuan dengan penanganan ISPA pada
oleh ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila kabupaten Konawe Selatan. Artinya
semakin baik pengetahuan ibu maka dalam melakukan penanganan pada balita
yang menderita ISPA semakin baik.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurjannah (2005)
menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian ISPA
Pneumonia pada balita, hal ini disebabkan karena dengan memiliki pengetahuan
kurang seseorang tidaklah mampu atau memecahkan dalam bentuk kata kata
ataupun maksud yang sebenarnya tentang penyebab terjadinya penyakit ISPA
Pneumonia.
2. Sikap
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu balita yang sikapnya kurang
dalam melakukan penanganan ISPA kurang berjumlah 39 orang (62,9%). Hal ini
disebabkan oleh.........???????????. sedangkan diantara 23 (37,0%) orang ibu
balita yang sikapnya cukup dalam melakukan penanganan ISPA pada balita masih
terdapat 3 orang yang kurang dalam penanganan ISPA. Hal ini disebabkan
oleh..........????
Catt: - sebutkan hasil penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini.
- Uraikan usaha2 apa yang bisa dilakukan sehubungan dengan
masalah tersbt.
67

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan SPSS yaitu nilai Continuity
Correction dengan tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05), nilai p yaitu 0,002 hal ini
menunjukkan nilai p berada dibawah nilai = 0,05, maka dapat disimpulkan
bahwa hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima yang artinya ada
hubungan yang signifikan antara sikap dengan penanganan ISPA pada balita oleh
Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Mowila Kabupaten Konawe Selatan. Artinya
semakin baik sikap ibu maka dalam melakukan penanganan pada balita yang
menderita ISPA semakin baik.



BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa dan pembahasan terhadap 2 variabel terkait Faktor-
faktor yang berhubungan dengan Penanganan ISPA pada balita oleh Ibu di
Wilayah Kerja Puskesmas Mowila, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
a. Ada hubungan pengetahuan dengan penaganan ISPA pada balita oleh Ibu di
Wilayah Kerja Puskesmas Mowila Kabupaten Konawe Selatan dengan nilai
p yaitu 0,000.
68

b. Ada hubungan sikap dengan Penanganan ISPA pada balita Oleh Ibu di
Wilayah Kerja Puskesmas Mowila Kabupaten Konawe Selatan dengan nilai p
yaitu 0,002.
B. Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk
penelitian lebih lanjut mengenai penanganan ISPA pada balita dengan
menggunakan desain yang berbeda dan sampel yang lebih banyak dan sebagai
pengalaman.
2. Bagi orang tua untuk meningkatkan pengetahuannya dengan mengikuti
penyuluhan-penyuluhan yang berhubungan dengan kesehatan khususnya
penyuluhan tentang penyakt ISPA. lebih meningkatkan sikap dan tindakan dalam
penanganan bila terdapat balita yang menderita ISPA segera memberikan
penanganan awal seperti pemberian kompres hangat, memberikan makanan dan
cairan dengan frekuensi lebih dari biasanya sehingga dapat mencegah
memburuknya keadaan balita.
3. Bagi masyarakat sebagai tindakan pencegahan, diharapkan masyarakat bisa bekerja
sama menciptakan lingkungan dan perilaku hidup sehat (tidak merokok di dalam
ruangan, pemberian ASI Eksklusif pada balita, kebiasaan membuka jendela pada
pagi dan siang hari, dan menjaga jarak dengan balita apabila menderita ISPA baik
dalam keluarga maupun kehidupan bermasyarakat).
4. Bagi Instansi Terkait diharapkan perumusan kebijakan program kesehatan
khususnya Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(P2ISPA) dapat lebih diperbaiki dan dilaksanakan seperti kegiatan penyuluhan
mengenai perawatan balita yang menderita ISPA dan faktor risiko terjadinya ISPA
69

seperti syarat rumah sehat dan bahaya rokok kepada masyarakat sehingga angka
kejadian penyakit ISPA mengalami penurunan.

Anda mungkin juga menyukai