Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

09 Agustus 2012

NEFROPATI DIABETIK

OLEH
ANNI FITRIA

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASAR
2012

I.

Pendahuluan
Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara
penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes
sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada
abad 21. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap
diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu
25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300
juta orang. 1
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya.2 Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. 2
Jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik, diabetes melitus akan
menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati. Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak
normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus.
Perubahan dasar/disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah,
sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal, semuanya
menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kesintasan sel yang kemudian
pada gilirannya menyebabkan terjadinya komplikasi vaskular diabetes.3
Diabetes melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk.
Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada
diabetes melitus.4 Pada nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan glomerular,
dan disertai meningkatnya matriks ekstraselular akan menyebabkan terjadinya
2

penebalan membran basal, ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular. Semua itu
akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan
selanjutnya yang mengarah ke terjadinya glomerulosklerosis dan dapat berakhir
sebagai gagal ginjal.3
Nefropati diabetik merupakan penyebab utama dari gagal ginjal terminal
diseluruh dunia dan sering dihubungkan dengan meningkatnya risiko penyakit
kardiovaskular.5,3,4 Telah diperkirakan bahwa sekitar 35 % hingga 40 % pasien
diabetes tipe 1 akan berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu 15 hingga
25 tahun setelah awitan diabetes. Individu dengan diabetes tipe 2 lebih sedikit yang
berkembang menjadi gagal ginjal kronik (sekitar 10 % hingga 20 %) dengan
pengecualian pada orang Indian Pima dengan insidensi mendekati 50 %. 4
Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada
pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap ( > 300 mg/24 jam
atau >200 ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai
6 bulan.6
Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal
ginjal terminal. Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes mellitus tipe 1 dan 2
sebanding, tetapi insiden pada tipe DM tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena
jumlah pasien diabetes mellitus tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1. Nefropati diabetik
sering dihubungkan dengan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas penyakit
kardiovaskular. Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab
kematian tertinggi di antara semua komplikasi diabetes mellitus, dan penyebab
kematian tersering adalah karena komplikasi kardiovaskular.5,6

Kontrol gula darah dan tekanan darah serta penggunaan ACE inhibitor dan
atau angiotensin II receptor blocker dapat memperlambat tetapi tidak dapat mencegah
onset dan progresivitas nefropati diabetik.5
II.

Faktor risiko
Adapun beberapa faktor etiologis yang paling sering menimbulkan nefropati
diabetik adalah6 :
1. Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa > 140-160 mg/dl
(7.7 8.8 mmol/l); A1C > 7-8 %.
2. Faktor-faktor genetis. Fakta bahwa seseorang yang menderita diabetes melitus
memiliki kecenderungan untuk menderita nefropati diabetik di waktu onset
penyakit yang berbeda-beda membuktikan bahwa faktor genetis juga memiliki
peranan. Seseorang dengan diabetes cepat atau lambat pasti akan mengalami
komplikasi baik makrovaskular ataupun mikrovaskular . Berbagai penelitian
telah dilakukan untuk membuktikan hal tersebut. Saat ini, belum ditemukan
faktor gen yang memiliki efek yang cukup besar mengenai kecenderungan
kejadian nefropati diabetik ini. Akan tetapi, dalam beberapa studi dilaporkan
bahwa orang yang memiliki gen dengan alel DD angiotensin converting
enzyme (ACE) kemungkinan memiliki fungsi glomerulus yang lemah dan
kurang berespon terhadap pemberian ACE inhibitor sehingga memiliki
kecenderungan yang lebih cepat untuk menderita nefropati diabetik
dibandingkan orang yang tidak memiliki gen dengan alel D ACE tersebut.5
3. Hipertensi
Hipertensi merupakan penyakit primer dan dapat menyebabkan kerusakan
pada ginjal. Sebaliknya, penyakit ginjal kronik yang berat dapat menyebabkan
hipertensi melalui mekanisme retensi Na dan air, pengaruh vasopresor dari
4

sistem renin angiotensin, dan mungkin pula melalui defisiensi prostaglandin.


Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur
pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi
(sklerosis) pembuluh darah. Organ sasaran utama keadaan ini adalah jantung,
otak, ginjal, dan mata.4
Orang yang secara genetik berisiko menderita nefropati diabetik memiliki
tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak
memiliki riwayat keluarga, bahkan sebelum mereka terdiagnosis menderita
nefropati diabetik.7 Sekitar 80 % pasien, hipertensi terdiagnosis bersamaan
dengan diabetes melitus.8 Hipertensi memiliki pengaruh yang kuat dengan
kejadian albuminuria.9
4. Sindrom metabolik /Sindrom resistensi insulin.suatu kondisi dimana terjadi
penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi
peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas.
Disfungsi metabolik ini menimbulkan berbagai kelainan dengan konsekuensi
klinik yang serius berupa penyakit kardiovaskular atau DM tipe 2, sindrom
ovarium polikistik, dan perlemakan hati non alkoholik serta penyakit-penyakit
lainnya.10
5. Hiperlipidemia. Peningkatan kadar trigliserida dalam plasma dan rendahnya
kadar HDL berhubungan dengan progresifitas kejadian nefropati diabetik
maupun meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular.11 Hal ini dapat
menyebabkan penyumbatan arteria dan arteriol akan menyebabkan kerusakan
glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga menyebabkan seluruh nefron rusak.4
6. Protein intake. Diet tinggi protein memiliki pengaruh yang tidak signifikan
dalam risiko kejadian nefropati diabetik dan progresifitas gagal ginjal. Namun,

pasien dengan DM tipe 1 yang mengurangi intake proteinnya, memiliki


prevalensi rendah untuk mengalami mikroalbuminuria.12
III.

Patologi dan patofisiologi


A. Patologi
Ditemukan tiga kelainan penting pada ginjal yang telah mengalami
gangguan akibat hiperglikemia13, yaitu :
1. Lesi glomerulus
Lesi glomerulus terpenting adalah penebalan membran basal kapiler,
glomerulosklerosis

difus,

dan

glomerulosklerosis

nodular

(lesi

Kimmelstiel-Wilson). Membran basal kapiler glomerulus menebal


diseluruh panjangnya.
Glomerulosklerosis difus terdiri atas peningkatan difus matriks mesangium
dan hampir selalu disertai penebalan membran basal. Kelainan ini
sitemukan pada sebagian besar pasien yang telah mengidap penyakit lebih
dari 10 tahun.
2. Lesi vaskular ginjal, terutama arteriosklerosis
Merupakan suatu perubahan sistemik yang dialami oleh seluruh pembuluh
darah di seluruh tubuh pada pasien diabetes. Namun, ginjal adalah salah
satu organ yang paling sering dan paling parah terkena. Arteriosklerosis
hialin pada ginjal tidak saja mempengaruhi arteriol aferen, tetapi juga
arteriol eferen. Arteriosklerosis eferen ini jarang ditemukan pada orang
yang tidak mengidap diabetes.
3. Pielonefritis, termasuk papilitis nekroticans
Pielonefritis adalah peradangan akut atau kronis ginjal yang biasanya
berawal di jaringan interstitium kemudian menyebar untuk mempengaruhi

tubulus dan pada kasus ekstrem, glomerulus. Salah satu pola khusus
pielonefritis akut, papilitis nekroticans, jauh lebih prevalen pada pengidap
diabetes daripada pasien nondiabetes. Papilitis nekroticans merupakan
nekrosis akut pada papila ginjal.
B.

Patofisiologi
Patogenesis dan perkembangan nefropati diabetik merupakan hasil
interaksi antara gangguan metabolik dan gangguan hemodinamik yang terjadi
pada penderita diabetes melitus. Lebih dari satu dekade yang lalu telah
dilakukan berbagai penelitian menyangkut topik ini sehingga telah banyak
kemajuan yang dicapai mengenai patomekanisme terjadinya nefropati
diabetik.14
Patofisiologi nefropati diabetik6,14

Metabolik

Glukosa

AGE

Genetik

Aktivasi Protein
kinase C

Transforming
Growth
Factor

Hemodinamik

Hormon-hormon vasoaktif
(angiotensin II, endotelin)

Sitokin
vascular
endothelial
growth factor

Aliran/tekanan darah

Permeabilitas pembuluh
darah

Proteinuria

ECM
ECM cross linking
Penimbunan ECM

Pembentukan nodul, fibrosis


tubulointerstitialis

Glomerulosklerosis noduler

Laju filtrasi glomerulus


meningkat pd nefron yg sehat

IV.

Perjalanan klinis
Secara tradisional nefropati diabetik selalu dibagi dalam tahapan sebagai
berikut15,6 :
Tahap I. LFG meningkat sampai 40 % diatas normal yang disertai pembesaran
ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini
masih reversibel dan berlangsung 0 5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe 1
ditegakkan. Pengendalian glukosa darah dapat menormalkan fungsi maupun
struktur ginjal.
Tahap II (silent stage). LFG masih meningkat. Albuminuria meningkat setelah
latihan jasmani, keadaan stress, atau kendali metabolik yang memburuk. Terjadi
setelah 5 10 tahun diagnosis DM ditegakkan dan perubahan struktur ginjal tetap
berlanjut. Progresifitas biasanya terkait dengan memburuknya keadaan metabolik.
Tahap III (incipient nephropathy diabetic). Mikroalbuminuria telah nyata. LFG
masih tetap tinggi dan tekanan darah sudah meningkat juga. Biasanya terjadi 10 15 tahun sejak diagnosis DM. Masih dapat dicegah dengan kendali glukosa dan
tekanan darah yang ketat.
Tahap IV. Merupakan tahap dimana nefropati diabetik bermanifestasi secara
klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, LFG sudah
menurun dibawah normal (10 ml/menit/tahun). Terjadi 15-20 tahun setelah
diagnosis DM. Penyulit diabetes sudah dapat dijumpai : retinopati, neuropati,
gangguan profil lemak, dan gangguan vakular umum. Progresifitas ke arah gagal
ginjal dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan
tekanan darah.

Tahap V. Tahap ini adalah tahap gagal ginjal dimana LFG sudah sedemikian
rendahnya sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan
memerlukan terapi pengganti.
Gejala klinis pasien dengan nefropati diabetik meliputi16 :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya yaitu diabetes melitus
b) Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c) Gejala komplikasi : hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Gambaran laboratorium pasien dengan nefropati diabetik meliputi16 :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya : diabetes melitus
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG.
c) Kelainan biokimia darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, asidosis metabolik
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria.
V.

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis nefropati diabetes akibat DM tipe 1 atau
DM tipe 2 harus dicari manifestasi klinis maupun laboratorium yang
menunjang

penyakit

dasarnya

(diabetes)

ditimbulkannya (nefropati diabetes).15

maupun

komplikasi

yang

Diagnosis nefropati diabetik dimulai dari dikenalinya albuminuria pada


pasien DM, baik tipe 1 maupun tipe 2.15 Pada penderita dengan DM tipe 1,
pemeriksaan dilakukan setelah pubertas atau setelah 5 tahun didiagnosis
menderita DM. Sedangkan pada penderita dengan DM tipe 2 dimana onset
penyakit terkadang tidak bisa ditentukan maka pemeriksaan harus dimulai saat
diagnosis DM ditegakkan.5
Pemeriksaan mikroalbuminuria disarankan dilakukan setiap tahun
setelah pemeriksaan pertama kali. Sekali mikroalbuminuria diidentifikasi,
penderita harus melakukan pemeriksaan rutin setiap 3-6 bulan sekali.5
Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30
mg per hari.6 Berikut tabel laju ekskresi albumin urin6:
Laju ekskresi albumin urin
Kondisi

Perbandingan albumin
urin-kreatinin (g/mg)

Normoalbuminuria

24 jam
(mg/hari)
< 30

Sewaktu
(g/menit)
<20

Mikroalbuminuria

30 - 300

20 - 200

30 300 (299)

Makroalbuminuria

>300

>200

> 300

< 30

Berikut adalah alur penegakan diagnosis nefropati diabetik6 :


Pasien dengan DM
tipe 1 atau tipe 2

Urinalisis rutin untuk deteksi protein

Negatif

Positif

Tes untuk mikroalbumin


(30 300 mg/hari )

Nefropati yang jelas


Tentukan jumlah ekskresi protein
Memulai terapi

Jika (+), di ulang 2 kali dalam 3 bulan

Jika 2 dari 3 tes (+)

Memulai terapi

10

VI.

Penatalaksanaan
Tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi, dan
selalu dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus merupakan
faktor risiko untuk progresivitas ke tahap berikutnya sampai ke tahap akhir. Faktor
risiko lainnya adalah konsumsi rokok. Maka terapi di tiap tahapan pada umumnya
sama dan adalah merupakan tindakan pencegahan untuk memperlambat
progresivitas dimaksud. Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali
tekanan darah, dan kendali lemak darah. Disamping itu perlu pula dilakukan
upaya mengubah gaya hidup seperti pengaturan diet, menurunkan berat badan bila
berlebih, latihan fisik, juga tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskular. 15
Pengendalian kadar gula darah
Menurut kepustakaan, pengendalian kadar gula darah secara intensif akan
mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskular, baik
pada pasien DM tipe 1 ataupun tipe 2. Yang dimaksud dengan pengendalian
secara intensif adalah pencapaian kadar HbA1c < 7 %, kadar gula darah pre
prandial 90 130 mg/dl, post-prandial < 180 mg/dl.5,15
Pengendalian tekanan darah
Pengendalian

tekanan

darah

ditujukan

untuk

memberikan

efek

perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi, maupun terhadap


organ kardiovaskular. Makin rendah tekanan darah yang dicapai, makin baik pula
renoproteksi. Pada umumnya target tekanan darah adalah < 130/90 mmHg, akan
tetapi bila proteinuria lebih berat, > 1gr/24 jam maka target harus lebih rendah,
yaitu < 125/75 mmHg. Untuk mencapai target ini tidaklah mudah sehingga harus
11

memakai kombinasi berbagai macam obat dengan berbagai efek samping yang
dapat timbul. Yang paling penting adalah, apapun jenis obatnya, target tekanan
darah yang diinginkan harus tercapai. 5,15
Obat jenis angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor) dan
angiotensin receptor blocker (ARB) dikenal mempunyai efek antiproteinurik
maupun renoproteksi yang baik, sehingga obat-obat ini sering digunakan sebagai
awal pengobatan hipertensi pada pasien DM.15
Penggunaan ACE inhibitor dan ARB
ACE inhibitor menghambat perubahan AI menjadi AII sehingga terjadi
vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Vasodilatasi secara langsung akan
menurunkan

tekanan

darah,

sedangkan

berkurangnya

aldosteron

akan

menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi kalium. Di ginjal, ACE
inhibitor menyebabkan vasodilatasi arteri renalis sehingga meningkatkan aliran
darah ginjal dan secara umum akan memperbaiki laju filtrasi glomerulus (LFG). 17
Pada sirkulasi glomerulus, ACE inhibitor menimbulkan vasodilatasi lebih
dominan pada arteriol eferen dibanding dengan arteriol aferen sehingga
menurunkan tekanan intraglomeruler. Efek ini dimanfaatkan untuk mengurangi
proteinuria pada nefropati diabetik dan juga dapat memperlambat progresivitas
nefropati diabetik.18 Obat ini juga menunjukkan efek positif terhadap lipid darah
dan mengurangi resistensi insulin sehingga sangat baik untuk hipertensi pada
diabetes, dislipidemi, dan obesitas.17
Dalam JNC VII, pemberian ACE-inhibitor harus hati-hati terutama bila
ada hiperkalemia. Kadar kreatinin darah perlu dipantau selam pemberian obat ini.
Pemberian bersama diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia.
Dikontraindikasikan pada stenosis arteri renalis bilateral atau unilateral.17
12

ARB bekerja selektif pada reseptor AT1 yang terdapat terutama pada otot
polos pembuluh darah dan di otot jantung. Pemberian obat ini akan menghambat
semua efek AngII, seperti : vasokonstriksi, sekresi aldosteron, dll. ARB sangat
efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang
tinggi seperti hipertensi renovaskular, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan
aktivitas renin yang rendah. Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa
mempengaruhi frekuensi denyut jantung.17
Algoritme penanganan nefropati diabetik5,6,15

Screening albuminuria

Kontrol glukosa memuaskan ?

Tidak

Perbaiki kontrol glukosa

Ya
Pemberian ACE inhibitor bila
tidak ada kontraindikasi

Mengkaji dan memodifikasi faktor risiko :

Tidak
Ya
Apakah tekanan darah terkontrol ?
( < 130/80 mmHg atau < 125/75
mmHg bila proteinuria (+))

Kolesterol total < 5 mmol/L


LDL < 3 mmol/L
Stop merokok
BMI < 25 kg/m2

Tidak
Kontrol tekanan darah :

Ya

Target :
-

LFG stabil
Mikroalbuminuria stabil atau
menurun
TD < 130/80 mmHg (< 125/75
mmHg apabila proteinuria (+))

13

Diet rendah garam


Aktivitas fisik
Dapat dibantu dengan obat anti
hipertensi

Daftar pustaka
1. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jil.
III ed. IV. 2006. Jakarta : Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI.
2. Gustaviani, reno. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jil. III ed. IV. 2006. Jakarta : Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI.
3. Waspadji, Sarwono. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya, Diagnosis,
dan Strategi Pengelolaan. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jil. III ed. IV. 2006.
Jakarta : Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI.
4. Wilson, M. Lorraine. Gagal Ginjal Kronik dalam Patofisiologi : Konsep klinis prosesproses penyakit. Vol. 2. Ed. 6. 2006. Jakarta : Penerbit EGC.
5. Marshall, S M. Review : Recent advances in diabetic nephropathy. 2004. Postgrad
Med J. Di unduh dari : www. postgradmedj.com.
6. Hendromartono. Nefropati Diabetik. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jil. III ed. IV.
2006. Jakarta : Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI.
7. Bowden DW, et al. Linkage of genetic markers on human chromosomes 20 and 12 to
NIDDM in Caucasian sib pairs with a history of diabetic nephropathy. 1997;46:882-6
dalam Nephrophaty in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus oleh Eberhard Ritz,
M.D, et.al. 1999. N Eng J Med. Diunduh dari : www.nejm.org.
8. Keller CK, Bergis KH, Fliser D, Ritz E. Renal findings in patients with short-term
type 2 diabetes. J Am Soc Nephrol 1996;7:2627-35 dalam Nephrophaty in Patients
with Type 2 Diabetes Mellitus oleh Eberhard Ritz, M.D, et.al. 1999. N Eng J Med.
Diunduh dari : www.nejm.org.
9. Gall M-A, et al. Prevalence of micro- and macroalbuminuria, arterial hypertension,
retinopathy and large vessel disease in European type 2 (non-insulin-dependent)
diabetic patients. Diabetologia 1991;34:655-61 dalam Nephrophaty in Patients with
Type 2 Diabetes Mellitus oleh Eberhard Ritz, M.D, et.al. 1999. N Eng J Med.
Diunduh dari : www.nejm.org.
10. Soegondo, Sidartawan, Reno Gustaviani. Sindrom Metabolik. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jil. III ed. IV. 2006. Jakarta : Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam
FK UI.
11. Foggensteiner, Lucas, et.al. Management of Diabetic Nephrophaty. 2001. J R Soc
Med. Diunduh dari : www.jrsm.com

14

12. Toeller M, Buyken A, Heitkamp G, et al. Protein intake and urinary albumin
excretion rates in the EURODIAB IDDM Complications Study. Diabetologia
1997;40:1219-26. Nephrophaty in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus oleh
Eberhard Ritz, M.D, et.al. 1999. N Eng J Med. Diunduh dari : www.nejm.org.
13. Robin, et,al.Buku Ajar Patologi Edisi 7. 2007. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
14. Cao, Zemin, Mark E Coope. Mini review : Pathogenesis of diabetic nephropathy.
2011. Journal of Diabetes Investigation Volume 2 Issue 4 August 2011. Diunduh dari:
onlinelibrary.wiley.com
15. Lubis, Harun Rasyid. Penyakit Ginjal Diabetik. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jil. I
ed. IV. 2006. Jakarta : Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI.
16. Suwitra, Ketut. Penyakit Ginjal kronik. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jil. I ed. IV.
2006. Jakarta : Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI.
17. Nafrialdi. Antihipertensi : Penghambat Angiotensin converting enzyme (ACEInhibitor) dan Antagonis Reseptor Angiotensi II (ARB). Farmakologi dan Terapi Ed.5
(cetak ulang dan perbaikan). 2009. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
18. Ritz, Eberhard M.D, et.al. Nephrophaty in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus
oleh 1999. N Eng J Med. Diunduh dari : www.nejm.org.

15

Anda mungkin juga menyukai