Anda di halaman 1dari 8

BENCANA ALAM GUNUNG SINABUNG MELETUS

Seiring meningkatnya aktivitas semburan api (erupsi), Gunung Sinabung telah mencapai status
awas atau di level empat. Gunung yang tertidur selama 1600 tahun ini diperkirakan akan
meletus. Keadaan ini membuat sebagian besar masyarakat yang tinggal di Kabupaten Karo
semakin cemas. Apalagi ribuan warga telah diungsikan dari tempat tinggal mereka.
Sebelum kecemasan itu berubah mendatangkan bahaya bagi masyarakat, tanpa mengurangi rasa
duka bagi warga Karo, kita semua perlu banyak belajar tentang penanggulangan bencana alam.
Lebih dari itu dapat diterapkan dalam masa-masa sulit seperti ini.

Korban Gunung Sinabung yang mengungsi (Sumber: Antara/Septianda Perdana)


Secara alamiah Indonesia memiliki tingkat risiko bencana yang besar mulai dari ujung barat
sampai ujung timur. Bencana alam saja beragam jenis, yakni: gempa bumi, tsunami, banjir, tanah
longsor, dan gunung meletus. Ancaman bencana ini kalau tidak ditanggulangi dapat
mengakibatkan duka mendalam sebagaimana yang pernah dialami, misalnya gempa-tsunami di
Aceh (2004) dan gempa bumi di Sumatera Barat (2009). Infrastruktur rusak berat, rumah hancur,
bahkan ribuan nyawa menghilang.
Dalam hal ini pemerintah telah berupaya membuat konsep tentang penanggulangan bencana
dengan lahirnya Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (di sini).
Kemudian dilanjutkan dengan keluarnya Peraturan Pemreintah No. 23 Tahun 2008 tentang Peran
Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan
Bencana dan Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan
Bencana.
BNPB dibentuk untuk mengambil alih tugas-tugas sektor atau dinas terkait, tetapi lebih banyak
sebagai koordinator dan implementator/fasilitator pada saat prabencana dan pemulihan (pasca

bencana) dan berfungsi komando pada saat tanggap darurat. Sejalan dengan hal tersebut,
Presiden RI memberikan arahan sebagai berikut: (1) Pada saat terjadi bencana
Bupati/Walikota adalah unsur Pemerintah yang paling bertanggung jawab untuk
penindak awal. (2) Gubernur merapat untuk memberikan dukungan. (3) Pemerintah pusat
merapat untuk memberikan bantuan yang bersifat ekstrim jika diperlukan. (4) Melibatkan TNI
dan Polri. (5) Penanganan bencana sedini mungkin.
Undang-undang No. 24 Tahun 2004 Pasal 26 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang berhak: a)
mendapatkan perlindungan sossial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan
bencana; b) mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana; c) mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang
kebijakan penanggulangan bencana; d) berperan serta dalam perencaanaan, pengoperasian, dan
pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial;
e) berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana,
khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya; dan f) melakukan pengawasan sesuai
dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana.
Pada ayat 2 ditandaskan bahwa: setiap orang yang terkena bencanan berhak mendapatkan
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar. Kemudian ayat 3 menjelaskan bahwa: setiap orang
berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena bencana yang disebabkan oleh
kegagalan konstruksi. Betapa menyedihkan apabila hak masyarakat korban bencana diabaikan.
Tempat tinggal menjadi sangat penting disiapakan, apabila ada rumah warga yang rusak akibat
bencana alam. Di Mentawai, hingga kini (sejak 2010) masih ada warga korban tsunami belum
mendapatkan tempat tinggal yang layak.
Sampai saat ini, tumpahan debu vulkanik Gunung Sinabung menyebabkan rusaknya lahan
pertanian dan perkebunan. Petani mengalami rugi besar. Kepala Dinas Pertanian Karo Agustoni
Tarigan mengatakan, erupsi Sinabung pada September dan Oktober lalu menyebabkan
penurunan hasil pertanian Karo terutama sayur-mayur hingga 30 persen. Penurunan produksi
sayur dan buah-buahan menyebabkan kerugian Rp 70 miliar (Tempo.co, 12/11/2013).
Karenanya pemerintah harus memberikan ganti rugi bagi petani. Sejauh ini, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) mengirimkan logsitik senilai Rp3,93 miliar. Bantuan senilai
Rp2,8 miliar berupa 1.500 paket, family kit 1.500 paket, kidsware 1.500 paket, peralatan dapur
1.000 paket, masker 15.000 lembar, tenda gulung 2.000 lembar. Senilai Rp 1,13 miliar berupa
tenda pengunsi 20 unit, velbed 20 unit, genset 20 unit dan HT 5 unit. Tentu kebutuhan ini belum
cukup mengingat jumlah pengungsi yang kian bertambah dan kebutuhan pun makin bertambah
pula.
Kiranya hak-hak warga di daerah bencana diperhatikan lebih serius. Dalam hal ini pemerintahlah
yang bertanggung jawab penuh. Di samping ada pihak lain: asing, swasta dan segenap
masyarakat Indonesia.

BENCANA ALAM: Banjir yang Selalu Berulang

Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi setiap musim hujan seolah diterima sebagai
kemestian alam. Total kerugian yang diakibatkan bencana alam ini triliunan rupiah. Namun,
nyaris tak ada upaya untuk mencegah dan mengurangi dampaknya.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerugian nasional akibat
bencana alam reguler, bukan bencana besar seperti letusan gunung atau gempa dan tsunami, ratarata sekitar Rp 30 triliun. Sekitar 85 persen total kejadian bencana setiap tahun adalah bencana
hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan angin puting beliung, kata Kepala Pusat Data,
Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.
Jika dihitung berdasarkan persentase, kerugian akibat banjir dan longsor bisa mencapai Rp 25
triliun setiap tahun. Kerugian ini hanya dari segi fisik, belum termasuk kerugian sosial dan
ekonomi karena tersendatnya transportasi, katanya.
Hanya dalam kurun waktu empat hari, Minggu (6/1) hingga Rabu (9/1), banjir, longsor, dan
puting beliung melanda 52 kabupaten/kota di Indonesia. Data sementara dari BNPB, 14 orang
meninggal, 6 orang hilang, 8 luka-luka, 920 rumah rusak, dan ribuan rumah terendam banjir.
Banjir kali ini termasuk parah karena memutus Jalan Tol Jakarta-Merak sehingga mengganggu
pasokan logistik Jawa- Sumatera. Sebanyak 19.674 rumah di 44 kecamatan di Banten terendam
banjir, memaksa 61.689 orang mengungsi. Banjir di Banten melumpuhkan ekonomi. Banyak
pabrik berhenti berproduksi sehingga kerugian bisa ratusan miliar rupiah, katanya.
Jika kawasan hilir dilanda banjir, kawasan hulu dilanda longsor. Jalur Puncak di Kampung
Puncak, Ciloto, Cianjur, Jawa Barat, tertutup longsoran, Rabu (9/1), dan terputus hingga
beberapa hari.
Walau dampaknya belum sebesar banjir Jakarta-Banten tahun 2007, yang menyebabkan kerugian
hingga Rp 4,8 triliun, bencana yang mengepung Ibu Kota kali ini tak bisa dibilang enteng.
Apalagi saat ini belum mencapai puncak musim hujan. Bencana ini diperkirakan akan terus

bertambah, mengingat musim hujan masih berlangsung sampai Maret 2013. Seperti tahun-tahun
sebelumnya, puncak kejadian bencana adalah Januari, kata Sutopo.
Faktor alam
Guru Besar Geologi Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dwikorita Karnawati
mengatakan, alam Indonesia yang berbukit dan curah hujan tinggi rentan dilanda banjir dan
longsor.
Meluapnya Sungai Ciujung beberapa hari terakhir sehingga membanjiri kawasan Banten
memang dipicu tingginya curah hujan yang mencapai 130 mm per hari. Kondisi ini
menyebabkan debit Sungai Ciujung mencapai 2.600 meter kubik per detik. Debit ini, menurut
Sutopo, termasuk tinggi karena melebihi debit periode ulang 50 tahun, 2.450 meter kubik per
detik.
Mengapa banjir meluap hingga ke jembatan Tol Merak-Jakarta? Karena jembatan didesain
menampung kapasitas debit Ciujung hanya 1.000 meter kubik per detik, ujar Sutopo.
Dalam catatannya, tol pernah terendam banjir beberapa kali, yaitu 11 Februari 2001, 19 Februari
2004, 15 Januari 2012, dan terakhir 10 Januari 2013.
Pencegahan
Walau ada peran faktor alam, baik dari kondisi topografi maupun curah hujan, menurut
Dwikorita, bencana banjir dan longsor bisa dicegah. Kita mungkin tidak bisa mengeliminasi
bencana, tetapi bisa mengurangi. Kita bisa juga mencegah, kata ahli longsor ini.
Untuk mencegah longsor bisa dengan pendekatan rekayasa, baik fisik maupun sosial. Namun,
lebih penting adalah integrasi tata ruang dengan peta zona kerentanan longsor yang ada. Kalau
telanjur ada penduduk seharusnya ada pendekatan untuk dipindahkan. Masyarakat perlu dikasih
tahu risikonya atau kalau perlu dipaksa, katanya.
Menurut Dwikorita, zona merah yang rentan longsor seharusnya dikosongkan dari permukiman
atau infrastruktur yang penting. Masalahnya, pemerintah kerap melanggar peta rawan bencana.
Misalnya, kasus Hambalang, wilayah itu jelas masuk peta rawan longsor, tetapi tetap dibangun
infrastruktur. Padahal, sebelumnya itu daerah kosong. Untuk pengembangan baru semestinya
bisa dicari daerah lebih aman. Memang bisa dibangun di sana, tetapi perlu biaya mahal karena
harus ada rekayasa terhadap ancaman longsor, katanya.
Faktor manusia (antropogenik) memang lebih dominan menyebabkan banjir dan longsor.
Dengan menganalisis data frekuensi dan curah hujan di Jawa dalam 30 tahun terakhir, Sutopo
menemukan data curah hujan maksimum tahunan relatif stabil.
Namun, kenapa banjir meningkat? Artinya, faktor antropogenik, khususnya perubahan
penggunaan lahan, lebih dominan memicu banjir.

Sutopo menambahkan, Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung yang menyebabkan banjir di
Banten kali ini dalam kondisi kritis. Tutupan hutan hanya 11 persen dari luas DAS dan laju
sedimentasinya 2,5 mm per tahun (ambang batasnya 2 mm per tahun).
Peneliti geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Edi Prasetyo Utomo, mengatakan,
banjir hanya bisa diatasi dengan perbaikan lingkungan di daerah hulu, perbaikan DAS, dan
penataan kawasan di daerah hilir.
Banjir terjadi karena air lari ke bawah sangat banyak dalam waktu cepat. Karena itu, bagian
hulu harus dibangun dam pengendali (check dam) dan resapan agar air tak terlalu cepat turun
dalam waktu bersamaan, katanya. Air di dalam dam pengendali seharusnya dimasukkan ke
tanah. Itu harus dilakukan secara intens.
Visi jangka panjang
Kepala Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional Veteran,
Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno mengatakan, banjir dan longsor akan terus terjadi selama
tidak ada upaya perbaikan lingkungan dan visi pembangunan yang peduli pada keseimbangan.
Anggaran bencana lebih banyak dihabiskan untuk penanggulangan pascabencana, bukan
pencegahan, katanya. Seharusnya secara bertahap anggaran bencana digunakan untuk
mengatasi akar masalah banjir dan longsor, katanya.
Eko mengkritik pemborosan anggaran untuk tanggap darurat yang tak tepat sasaran. Contohnya,
pengadaan puluhan perahu karet untuk evakuasi. Itu tidak logis. Seharusnya yang dibenahi
adalah sistem peringatan dini sehingga orang tidak perlu menunggu dievakuasi dengan perahu
karet setelah banjir sampai seleher, katanya.

Bencana Gempa dan Tsunami Aceh, 26 Desember 2004, Kisah


Kelam di Ujung Tahun.

26 Desember 2004..
Gempa bumi tektonik berkekuatan 8,5 SR berpusat di Samudra India (2,9 LU dan 95,6 BT di
kedalaman 20 km (di laut berjarak sekitar 149 km selatan kota Meulaboh, Nanggroe Aceh

Darussalam). Gempa itu disertai gelombang pasang (Tsunami) yang menyapu beberapa wilayah
lepas pantai di Indonesia (Aceh dan Sumatera Utara), Sri Langka, India, Bangladesh, Malaysia,
Maladewa dan Thailand.
Menurut Koordinator Bantuan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jan Egeland, jumlah
korban tewas akibat badai tsunami di 13 negara (hingga minggu 2/1) mencapai 127.672
orang. Namun jumlah korban tewas di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika Timur yang
sebenarnya tidak akan pernah bisa diketahui, diperkirakan sedikitnya 150.000 orang. PBB
memperkirakan sebagian besar dari korban tewas tambahan berada di Indonesia. Pasalnya,
sebagian besar bantuan kemanusiaan terhambat masuk karena masih banyak daerah yang
terisolir.
Sementara itu data jumlah korban tewas di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera
Utara menurut Departemen Sosial RI (11/1/2005) adalah 105.262 orang. Sedangkan menurut
kantor berita Reuters, jumlah korban Tsunami diperkirakan sebanyak 168.183 jiwa dengan
korban paling banyak diderita Indonesia, 115.229 (per Minggu 16/1/2005). Sedangkan total lukaluka sebanyak 124.057 orang, diperkirakan 100.000 diantaranya dialami rakyat Aceh dan
Sumatera Utara.
Iitulah kisah suram 5 tahun silam yang terjadi di penghujung tahun 2004 silam. Namun, seiring
waktu berjalan, segala perbaikan terus berjalan. Setidaknya, begitulah yang terbaca dan terdengar
di media massa.
Akan tetapi, ironinya, masih terlihat adanya barak-barak yang berpenghuni, seperti di bantaran
sungai Krueng Aceh, yang di kenal dengan Barak Bakoy. Memang kita tidak bisa menduga, apa
yang terjadi ? Dengan dana yang melimpah, di dukung oleh sumber daya manusia yang multi
culture, high intelegence, tapi semua ini masih terhidang di depan kita. Aneh..
Barak bakoy adalah salah satu bukti dari kisah silam yang masih ada, mungkin juga masih ada
bakoy-bakoy lain yang belum sempat penulis tahu

Bencana Tanah Longsor di Jombang, 6 Tewas

Ilustrasi Tanah Longsor [google]


[JOMBANG] Sebanyak 14 orang tewas tertimbun dalam bencana tanah longsor di Dusun
Kopen, Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, Selasa (28/1). Dari jumlah
tersebut, enam orang warga sudah ditemukan, sedangkan yang delapan korban lainnya masih
dilakukan pencarian.
Bencana tanah longsor di Dusun Kopen berawal dari hujan disertai angin yang terus
mengguguyur mulai Senin (27/1) malam pukul 18.00 WIB. Guyuran air hujan itu baru reda
Selasa dini hari tadi sekitar pukul 02.30 WIB. Pada saat hujan reda itu tiba-tiba terdengar suara
gemuruh dan tiga unit rumah yang terletak di bawah lereng bukit itu lenyap disapu longsoran
tanah berbatu.
Diperkirakan seluruh korban yang masih terlelap dalam nyenyak tidur, tidak sempat
menyelamatkan diri. Ada enam 6 korban tewas dalam bencana longsor di Dusun Kopen, Desa
Ngrimbi, Kecamatan Bareng, Jombang ini, semuanya sudah kita semayamkan di masjid desa
setempat, ujar Kapolres Jombang AKBP Tribisono Soemiharso yang dikonfirmasi melalui
Kasubbag Humas Polres Jombang AKP Sugeng Widodo, Selasa tadi pagi.
Keenam korban yang sudah ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa karena tertimpa bangunan
rumah mereka yang ambruk dan longsoran batu dan tanah liat yang masih satu keluarga itu,
antara lain; 1. Sariaji (50), 2. Rohiman (45), istri Sariaji, 3. Udin (17), 4. Khoirunnisa atau Iroh
(24), ketiganya anak kandung pasangan suami isteri Sariaji-Rohimah, 5. Madun (27), menantu
dan 6. Sodik (17), tetangga tapi tinggal serumah dengan keluarga Sariaji. Delapan orang yang
hilang itu maing-masing, 1. Sail (56), 2. Lilik (45) istri Sail, 3. Farkhur (17), anak Sail, 4. Sunar
(58), 5. Yaroh (50) istri Sunar, 6. Panji (35) menantu Sunar, 7. Nurul (30), anak Sunar yang juga
istri Panji serta 8. balita usia 3 tahun yang belum diketahui namanya anak dari pasangan suami
isteri Panji-Nurul. [ARS]

Anda mungkin juga menyukai