NAMA
YOGI HERMAWAN
NIM
1154190015
KELAS
MALAM
Sokrates merupakan filosof yang mula-mula mengembangkan pencarian kebenaran umum secara
objektif melalui metode dialog yang kemudian disebut dengan dialektika. Pada masanya, cara
pencarian kebenaran seperti ini tidaklah lazim dan sekaligus menjadi semacam penentangan bagi
cara pencarian kebenaran saat itu yang lebih bersifat subjektif karena dilandaskan pada
kemahiran adu argumen dan bergantung pada kemampuan retorika seseorang. Cara seperti ini
disebut sebagai falsafah sofisme. Inti terpenting dari karya-karya Sokrates adalah landasan
mental berpikir bahwa posisi tidak tahu yang diikuti untuk mencari jawaban atas
ketidaktahuannya itu melalui diskusi-diskusi logis lebih dapat dipertanggungjawabkan daripada
menyimpulkan suatu kebenaran melalui cara beradu argument yang sangat bergantung dari
kemahiran retorika seseorang. Kebenaran yang dihasilkan melalui metode Sokrates ditujukan
untuk mencari sebuah kebenaran abadi, umum dan absolute; bertolak belakang dengan
kebenaran sofisme yang subyektif, relative dan tidak absolute. Metode yang dikembangkan
Sokrates lebih mengarah kepada metode diskusi dan teknik mengajukan pertanyaan yang
memancing teman diskusinya berpikir. Metode ini melahirkan sebuah prinsip bahwa untuk
mendapatkan jawaban yang benar haruslah mengutar akan pertanyaan yang benar pula, karena
dengan pertanyaan yang tepatlah sebuah pengertian dan pengidentifikasian sebuah masalah akan
menjadi tepat. Teori metode berpikir yang dikembangkan dan diamalkan Sokrates telah sampai
pada tingkat pencarian hakikat suatu permasalahan dan bagaimana caranya untuk sampai pada
tingkat pengetahuan tersebut, tidak hanya mengumpulkan dan mengelompokkan pengetahuan
dalam sistem ilmu pengetahuan semata. Bagi Sokrates, filosofi adalah alat untuk mencari
kebenaran, bukan sebuah ilmu pengetahuan. Di kemudian hari, metode menjadi sangat penting
sebagai embrio model berpikir saintifik. Sokrates membangun dialektika dengan metode diskusi
untuk menimbulkan pemikiran yang kritis yang kemudian diuji dengan teknik perbandingan
yang kritis. Meskipun metode Sokrates disebut sebagai metode induksi, namun pengertiannya
berbeda dengan metode induksi pada umumnya. Induksi cara Sokrates adalah membandingkan
definisi yang telah ada dengan definisi lainnya secara kritis melalui uji ulang. Dengan cara ini,
maka lahirnya definisi-definisi tersebut tentunya harus melalui sebuah pertanyaan kritis dengan
cara diskusi kritis. Sokrates menamainya dengan maeutik, yang artinya membidani lahirnya
pemikiran baru (Widagdo:2005). Relevansi metode berpikir Sokrates dengan desain adalah
pengidentifikasian masalah dalam desain yang selalu dimulai dengan pertanyaan apa (what)
dan mengapa/apa sebab (why). Metode perancangan desain modern digunakan untuk mencari
hakikat benda/objek desain. Pendekatannya adalah analisis pengertian masalah, identifikasi
masalah, dan pendefinisian masalah. Karenanya proses dalam desain lebih penting daripada
hasil. Merencana perancangan sebuah desain lebih penting daripada hasil desain. Pendekatan
ini secara historical lahir dari pemikiran Sokrates.
adalah murid Sokrates sekaligus sahabatnya. Plato mengemukakan pandangan tentang idea. Idea
adalah pengertian yang dicari lewat proses berpikir, tidak bergantung pada pandangan dan
pendapat orang lain, dan tumbuh karena kecerdasan berpikir (Widagdo:2005). Pengetahuan
didapat dari berpikir juga pengalaman, dan pengetahuan yang diperoleh melalui berpikir lebih
tinggi nilainya daripada pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman. Bagi Plato, dunia idea
telah memiliki sistem teleology, logika yang tersusun dan menjurus pada satu tujuan yang telah
ditentukan. Idea tertinggi adalah kebaikan karena kebaikan dianggap sebagai sumber penggerak
dunia. Plato merumuskan tentang dialektika berupa ketajaman analisi dalam mencari hubungan
antara berbagai pengertian, kemudian dikelompokkan pada jenisnya masing-masing sampai pada
komponen terkecil yang tidak dapat diurai lagi (atom). Selanjutnya metode ini disebut sebagai
metode mengurai ide (diairesis), yaitu metode yang menjadi dasar analisis membentuk definisi
dan menyusun struktur masalah yang kompleks sehingga menjadi jelas dan mudah dipahami
(Widagdo: 2005).Relevansi metode berpikir Plato dengan desain adalah dalam proses
perancangan, dimana dalam proses perancangan yang menentukan kualitas desain adalah
ketajaman dan kemampuan melihat masalah dan keterkaitannya dengan komponen lain serta
mampu memerinci masalah sampai pada komponen terkecil yang tidak dapat dibagi lagi yang
menentukan sistem.
atau kalau dalam bahasa aslinya dikatakan sebagai Le Doubte Methodique. Berdasarkan metode
ini, berfilsafat menurut Descartes adalah membuat pertanyaan metafisis untuk kemudian
menemukan jawabannya dengan sebuah fundamen yang pasti, sebagaimana pastinya jawaban
didalam matematika. Keraguan sendiri adalah keadaan seimbang antara penegasan (affirmasi)
dan pengingkaran (negasi). Dalam kehidupan sehari-hari, keraguan lebih sering ditemui saat kita
akan mengambil sebuah keputusan. Walaupun praktik yang dilakukan filsuf dengan kita berbeda
namun pengambilan keputusan itu pada dasarnya berada pada level yang sama sebagai suatu
jalan dalam menemukan kebenaran-kebenaran sebuah putusan. Meragukan sesuatu adalah
berpikir tentang sesuatu, dengan demikian bisa dikatakan bahwa kepastian akan eksistensi kita
bisa dicapai dengan berpikir. Descartes kemudian menyimpulkan pemikirannya dengan istilah
cogito ergo sum atau kalau dalam bahasa aslinya dikatakan Je pense donc je suis yang artinya
adalah aku berpikir, maka aku ada.
Dengan metode keraguan ini, Descartes ingin mengokohkan kepastian akan kebenaran, yaitu
cogito atau kesadaran diri. Cogito adalah sebuah kebenaran dan kepastian yang sudah tidak
tergoyahkan lagi karena dipahami sebagai hal yang sudah jelas dan terpilah-pilah (claire et
distincte). Metode Keraguan (Skeptisisme) berawal dari pemikiran bahwa untuk menemukan
basis yang kuat bagi filsafat, ia meragukan (skeptis) terlebih dulu terhadap segala seuatu yang
dapat diragukan. Mula-mula ia meragukan semua yang dapat diindera, obyek yang sebenarnya
tidak mungkin diragukan. Inilah langkah pertama metode skeptis terebut. Dia meragukan adanya
badannya sendiri, keraguan itu menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusinasi,
ilusi, dan juga pada pengalaman dengan roh halus ada yang sebenarnya tidak jelas. Di dalam
mimpi seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti
tidak mimpi. Jika orang ragu terhadap segala sesuatu, maka dalam keragu-raguan itu jelas ia ada
sedang berfikir. Sebab yang sedang berfkir itu tentu ada dan jelas terang benderang Corgito
Ergo Sum (saya berfikir, maka jelaslah saya ada).
Metode keraguan Descartes bukanlah tujuannya. Tujuan metode ini bukanlah untuk
mempertahankan keraguan, sebaliknya metode ini bergerak dari keraguan menuju kepastian.
Keraguan Descartes hanya digunakan untuk menjelaskan perbedaan sesuatu yang dapat
diragukan dari sesuatu yang tidak dapat diragukan. Lebih lanjut descartes mengatakan bahwa
sumber kebenaran ialah rasio. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa seseorang kepada
kebenaran, yang benar hanyalah tindakan akal yang terang benderang yang disebutnya Ideas,
Claires at Distinctes (pemikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah). Pemikiran terang
benderang ini pemberian Tuhan sebelum dilahirkan Idea Innatal (ide bawaan). Kemudian
Descartes mengembangkan metode filsafat keraguan ini dengan tahap-tahap rinci yang bisa kita
lewati. Oleh karena itu, metode yang dikembangkan oleh Descartes ini biasa disebut juga sebagai
skeptik-metodik, artinya keraguan yang didasarkan atas suatu metode sistematis untuk sampai
pada kebenaran. Metode itu dimulai melalui beberapa tahapan, diantaranya:
1. Mulai meragukan segala sesuatu yang selama ini diterima sebagai suatu kebenaran;
2. Mengklasifikasikan persoalan dari hal yang sederhana hingga hal yang rumit;
3. Melakukan pemecahan masalah dari hal yang rumit hingga hal yang paling rumit; dan
4. Memeriksa kembali secara menyeluruh barangkali masih ada hal-hal yang masih tersisa atau
terabaikan.
Berdasarkan teks-teks yang ada, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa setidaknya ada dua
kelompok filsuf yang dominan di dalam Filsafat Yunani Kuno. Mereka adalah para filsuf praSokratik dan kaum sofis. Kedua kelompok filsafat ini memiliki ajaran yang berbeda, namun
keduanya penting untuk dipahami, karena dari merekalah filsafat dan sains selanjutnya
berkembang. Aristoteles menyebut para filsuf pra-Sokratik pertama sebagai physiologoi (natural
philosophers), atau para filsuf natural. Mereka hendak mencari prinsip terdasar (arch) dari
seluruh realitas dengan menggunakan kosa kata naturalistik (naturalistic terms). Para filsuf
natural ini berbeda dengan para pendahulunya yang lebih mengedepankan penjelasan-penjelasan
mitologis (mythological explanations) dalam bentuk cerita dewa dan dewi.
Walaupun sama-sama mencari prinsip dasar dari realitas dengan menggunakan kosa kata natural,
para filsuf prasokratik seringkali terlibat dalam perdebatan tulisan, karena perbedaan pendapat.
Perdebatan itu muncul karena masing-masing filsuf saling bersikap kritis satu sama lain. Dari
sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa filsafat adalah suatu displin berpikir yang selalu
melakukan kritik diri (self-critique), bahkan dari awal mula berdirinya. Tidak hanya itu mereka
bahkan melakukan kritik tajam terhadap cara berpikir mitologis yang dominan pada jamannya.
Dengan kecenderungan untuk berpikir kritis seperti itu, muncullah para filsuf yang saling
berdebat soal prinsip dasar yang menentukan seluruh realitas, yang juga bisa disebut sebagai
arch.
Para filsuf natural itu, yang juga bisa kita sebut sebagai para filsuf prasokratik, menjadikan
seluruh alam semesta sebagai obyek penelitian mereka. Mereka berusaha memahami alam
semesta bukan dengan menggunakan penjelasan mitologis, melainkan denga penjelasanpenjelasan naturalistik, seperti prinsip air, udara, api, dan atom. Dalam arti ini mereka juga bisa
disebut sebagai para ilmuwan (scientist) pertama di dalam sejarah. Proses mendekati realitas
dengan tujuan mencari prinsip terdasar yang menyatukan keseluruhan ini nantinya akan
mempengaruhi para filsuf dan ilmuwan selanjutnya.
Arch
Pada titik ini kita bisa mengajukan pertanyaan yang mendasar, apakah arti arch sebagai prinsip
terdalam yang menyatukan seluruh realitas ini? Dalam bahasa Yunani Kuno, Arch adalah
prinsip. Arch juga dapat dimengerti sebagai sumber yang menciptakan (originating source),
sebab (cause), prinsip pengetahuan (principle of knowledge), dan entitas dasar (basic entity).
Konsep ini sangat penting di dalam metafisika, epistemologi, dan filsafat ilmu pengetahuan.
Bahkan menurut Aristoteles setiap bentuk pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan
(science) (pengetahuan yang sudah tersistematisir) dirumuskan dan dikembangkan dengan
berpegang pada prinsip (archai) yang terbatas pada bidangnya masing-masing.
Dalam filsafat politik arch juga dapat dimengerti peraturan (rule) dan awal (beginning). Konsep
arch sebagai awal juga berakar pada konsep asal usul (origin), titik mula (starting point), dan
prinsip pertama (first principle). Dalam bahasa Yunani kata arch sendiri berasal dari kata arch
(to begin) yang berarti untuk memulai atau untuk mengatur (to rule). Kata itu muncul di dalam
tulisan-tulisan Homer. Dalam konteks politik yang lebih spesifik, arch bisa berarti kekuasaan
(sovereignity), ruang (realm), dan otoritas (authority). Menurut McKirahan konsep arch secara
definitif digunakan pertama kali oleh Anaximandros. Anaximandros menggunakan kata itu untuk
menjelaskan konsepnya yang disebut sebagai apeiron, yakni unsur-unsur yang membentuk
keseluruhan realitas.
Di dalam bukunya yang berjudul Metaphysics, Aristoteles memperkenalkan enam penggunaan
konsep arch. Saya hanya akan menjabarkan empat yang saya anggap penting. Yang pertama
adalah sebagai suatu titik, di mana segala sesuatu yang lainnya, dalam arti benda-benda konkret
lahiriah, muncul. Misalnya adalah fondasi dari rumah. Yang kedua adalah sebagai suatu titik, di
mana segala sesuatu yang lainnya, dalam arti konseptual, muncul. Misalnya sebagai suatu titik,
di mana gerakan berikutnya muncul. Yang ketiga adalah segala bentuk penyebab (cause) dan
segala sifat-sifat dasar (nature) dari suatu benda, pikiran, tindakan, dan sebagainya. Dan yang
keempat adalah arch sebagai benda yang bertujuan pada dirinya sendiri, seperti pengetahuan
demi pengetahuan itu sendiri, dan bukan untuk tujuan lainnya.
Seluruh filsafat sebelum Sokrates kiranya ditandai dengan suatu bentuk metode yang unik, yakni
metode pencarian arch. Dalam arti ini arch dapat dipandang sebagai satu titik tolak bagi
pengetahuan manusia untuk berkembang. McKirahan menyebutnya sebagai hipotesis yang tidak
tidak dapat dibuktikan (unprovable hypotheses), namun harus selalu diandaikan. Cara berpikir
ini juga dapat digunakan untuk mengembangkan persamaan di dalam matematika, maupun
sillogisme di dalam logika. Tanpa adanya hipotesis yang harus selalu diandaikan ini,
pengetahuan tidak akan bisa mencapai level koherensi. Dan jika tidak koheren, maka itu tidak
layak disebut pengetahuan.
Dalam konteks filsafat prasokratik, arch berarti prinsip yang menyatukan keseluruhan realitas.
Mereka berusaha mengabstraksi realitas sedemikian rupa, sehingga bisa terlihat unsur dasar
pembentuk realitas tersebut. Inilah yang disebut sebagai metode pencaria arch. Dalam konteks
pembelajaran metode ini bisa digunakan untuk memahami karakter dasar ataupun prinsip
penyatu dari obyek yang ingin diteliti, seperti karakter dasar dari pikiran manusia, hasrat,
masyarakat, alam, dan sebagainya. Pada hemat saya pencarian arch adalah suatu metode yang
sangat radikal, yang hendak mengangkat akar-akar terdalam realitas, dan menegaskannya
sebagai sebuah konsep yang dapat dipahami oleh akal budi (intelligible).
Elenchus sebagai Metode Sokratik
Metode berfilsafat berikutnya yang dapat ditemukan pada filsafat Yunani Kuno adalah metode
Sokratik (Socratic method). Menurut Nelson metode Sokratik adalah metode yang digunakan
untuk mempelajari filsafat. Akan tetapi filsafat tidaklah sama seperti displin ilmu lainnya. Maka
itu lebih tepat dikatakan, bahwa metode Sokratik bukanlah metode untuk belajar filsafat (learn
philosophy), melainkan metode untuk berfilsafat (philosophizing). Apa sebenarnya perbedaan
antara dua konsep itu? Yang pertama hendak mengajarkan kepada orang tentang apa itu filsafat.
Sementara yang kedua adalah membuat orang mampu berfilsafat tentang tema-tema yang
penting dalam hidupnya, sehingga ia bisa menjadi seorang filsuf.
Secara historis Sokrates banyak bergulat soal isu-isu yang terkait dengan kehidupan manusia. Ia
mempertanyakan soal-soal yang terkait dengan kebaikan, moral, dan keadilan, serta menjadikan
tema-tema itu bagian dari perdebatan yang menarik. Dalam konteks ini ia merumuskan semacam
metode khusus yang disebut sebagai argumentasi dialektis (dialectical argument), atau secara
khusus disebutnya sebagai elenchus yang berarti menguji (putting to test) atau pembuktian
(refutation). Ia memberikan contoh metode itu, ketika ia berdebat dengan Meletus, salah seorang
yang menuduh Sokrates melanggar hukum, dalam pengadilan Sokrates (the trial of Socrates).
Meletus mengajukan argumen A. Ia merasa benar karena ia adalah ahli di bidang itu. Sokrates
menanggapi argumen itu, melakukan klarifikasi, dan memperluaas argumen yang diajukan
Meletus. Setelah itu Sokrates meminta pendapat Meletus. Pada akhir argumen Sokrates berhasil
membuktikan, bahwa argumen Meletus tidaklah konsisten. Sedangkan pengetahuan yang otentik
haruslah konsisten. Pengetahuan yang otentik haruslah bebas dari kontradiksi diri (selfcontradiction). Maka dari itu argumen Meletus sebenarnya tidak bisa diterima, karena tidak
memiliki konsistensi dasar. Sokrates seringkali menggunakan gaya seperti ini untuk
mengungkapkan kontradiksi di dalam argumen dari orang yang merasa dirinya paling ahli
sekalipun, seperti para ahil agama, seorang jenderal, dan para guru retorika.
Kelihatannya Sokrates hanya suka mengungkapkan kesalahan dari argumentasi teman bicaranya.
Akan tetapi itu tidak sepenuhnya benar. Memang ia ingin menunjukkan kelemahan argumen
teman debatnya, tetapi juga ingin membantu teman debatnya untuk melakukan pencarian lebih
jauh demi mendapatkan pengetahuan yang lebih tepat. Dengan kata lain Sokrates ingin
mencegah teman debat atau bicaranya untuk puas dengan kebenaran palsu. Sokrates tidak ingin
teman debatnya menipu diri dengan menganggap hal yang salah sebagai benar.
Tidak hanya dengan orang-orang yang merasa ahli, Sokrates juga banyak berdialog dengan
orang-orang yang mencari kebenaran dalam segala bidangnya, terutama dengan anak muda. Ia
membantu mereka merumuskan konsep secara tepat tentang hal-hal yang penting dalam
kehidupan, seperti kebaikan, keberanian, dan kerendahatian. Sokrates yakin bahwa hidup yang
baik didasarkan pada pengertian yang baik. Orang yang baik adalah orang yang sungguh
mengerti apa artinya baik. Inilah yang disebut sebagai intelektualisme etis di dalam pemikiran
Sokrates. Dan pengertian yang baik adalah pengertian yang bebas dari kontradiksi ataupun
inkonsistensi. Orang bisa belajar banyak hal, jika ia mampu peka pada kemungkinan kontradiksi
yang ada di dalam pikirannya.
Sokrates sangatlah tertarik berdiskusi soal keutamaan-keutamaan moral, seperti keberanian,
kesetian, kejujuran, dan kualitas-kualitas yang memungkinkan persahabatan. Baginya sebelum
orang masuk ke contoh, mereka harus dapat menjelaskan secara sistematis dan komprehensif
tentang makna dari masing-masing keutamaan-keutamaan moral tersebut. Makna yang sistematis
dan komprehensif tersebut dianggap Sokrates sebagai satu konsep yang mampu mencakup
beragam tindakan yang didasarkan pada masing-masing keutamaan moral yang ada. Itulah yang
disebutnya sebagai definisi universal (universal definitions) yang dapat digunakan untuk
mengecek berbagai tindakan yang ada, apakah sudah sesuai dengan keutamaan moral atau tidak.
Bahkan bisa juga dikatakan, bahwa Sokrates adalah pemikir pertama yang sangat tertarik pada
definisi universal dari keutamaan-keutamaan moral manusia (universal definition of moral
virtues). Metode pencarian definisi universal itulah yang kemudian dapat dianggap sebagai
metode untuk memahami realitas khas Sokrates.
Yang juga menarik adalah, Sokrates tidak pernah merasa bahwa ia sudah mencapai pengertian
yang universal dan terbaik tentang tema yang dibicarakannya. Sebaliknya pada akhir dialog, ia
biasanya sampai pada kesimpulan, bahwa ia ternyata tidak akan dapat sampai pada kebenaran
absolut. Pengetahuan yang absolut benar tidak pernah dapat didapatkan. Dan setiap dialog selalu
diakhiri dengan pertanyaan lebih jauh. Walaupun merasa belum sampai pada kebenaran yang
absolut, Sokrates mengakui, bahwa proses dialog telah membuat manusia lebih dekat pada
kebenaran. Inilah inti dari metode elenchus di dalam pemikiran Sokrates.
Daftar Pustaka:
http://www.anneahira.com/metode-filsafat.htm
http://www.forumsains.com/agama-dan-filosofi/dunia-diciptakan-untuk-manusia/20/?wap2
idandp.blog.stisitelkom.ac.id/.../metode-perancang
rumahfilsafat.com/2009/.../metode-berpikir-klasik/