Anda di halaman 1dari 11

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia.

REVIEW HUKUM INTERNASIONAL II


Nama : Erika
NPM : 0706291243
Sumber : Devika Hovell. Chinks in the Armour: International Law, Terrorism, and the Use of Force, diakses dari
http://www.gtcentre.unsw.edu.au/news/docs/intl_law_terrorism_oseofforce.pdf.

A New Threat to Global Order: Terrorism, How Does International Law React to It?
Sebuah Tinjauan Kritis Mengenai Terorisme sebagai Ancaman Baru bagi Masyarakat Global, dan Bagaimana

Hukum Internasional Menyikapinya

Artikel 51 dalam Piagam PBB berbunyi, “Nothing in the present Charter shall impair the
inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of
the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain
international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of
self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect
the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any
time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and
security 1 ”, artikel inilah yang selama beberapa tahun belakangan mendapat kritik tajam dari
masyarakat internasional. Alasannya adalah karena artikel ini seperti melegitimasi negara-negara
untuk melakukan pembelaan diri (self-defence), baik secara kolektif maupun secara unilateral, bila
negara tersebut mendapat serangan bersenjata (armed attack) dari negara lain. Artikel ini pula
sering disalahartikan, baik sengaja maupun tidak, oleh negara-negara anggota PBB. Pengartian
paling ekstrim dan paling mengundang kontroversi dilakukan oleh Amerika Serikat, saat
mengartikan artikel tersebut sebagai legitimasi penggunaan kekuatan bersenjata untuk membasmi
terorisme di Afghanistan, karena teroris dianggap telah melakukan armed attack sebelumnya
dengan menyerang Amerika Serikat pada Peristiwa 9/11. Meski mendapat banyak kritik dari negara
anggota PBB lain, Amerika Serikat menganggap apa yang dilakukannya tidak salah dan perlu
dilakukan untuk mengatasi masalah terorisme yang dianggap sudah mengglobal sebab sayangnya,
masalah terorisme yang mengglobal ini hingga kini belum dapat „tersentuh‟ oleh hukum

1
United Nations. Charter of the United Nations Chapter VII Action with Respect to Threats to the Peace, Breaches of
the Peace, and Acts of Aggression. http://www.un.org/aboutun/charter/chapter7.htm, diakses pada 3 Desember 2008,
pukul 06.10.
Page | 1
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

internasional. Tulisan Devika Hovell yang berjudul “Chinks In the Armour: International Law,
Terrorism, and the Use of Force” kemudian akan membahas mengenai pergeseran hukum
internasional di dunia internasional pasca peristiwa 9/11 demi menanggapi masalah terorisme.
Sebelum sampai pada perubahan hukum internasional dalam menanggapi masalah
terorisme, sebelumnya Devika Hovell membahas mengenai larangan penggunaan kekerasan
bersenjata dalam Piagam PBB. Hovell menyebutkan, adapun larangan penggunaan kekerasan itu
harus dilakukan dengan dua pengecualian utama. Pengecualian pertama diberikan pada Dewan
Keamanan PBB yang diperbolehkan menggunakan kekerasan pada segala ancaman pada
perdamaian atau bentuk-bentuk agresi. Pengecualian kedua adalah bahwa kekerasan boleh
digunakan sebagai hak individu/kolektif untuk pertahanan diri bila mengalami penyerangan, seperti
yang disebutkan dalam Artikel 51 Piagam PBB. Namun perlu diingat, usaha pertahanan diri ini
hanya boleh digunakan „sampai Dewan Keamanan mengambil langkah untuk membangun
perdamaian internasional dan keamanan‟. Adapun tujuan dari larangan dalam Piagam PBB itu
adalah untuk mencegah penggunaan kekerasan secara unilateral, bahkan untuk usaha pertahanan
diri. Memandang prohibisi penggunaan kekerasan dalam Piagam PBB, Professor Louis Henkin
dalam artikel Devika Hovell menyebutkan bahwa prohibisi tersebut adalah norma prinsip dari
hukum internasional. Lebih lanjut lagi, Hovell mengatakan bahwa prohibisi penggunaan kekerasan
dalam Piagam bukan hanya sekedar aspirasi utopia belaka, melainkan ditujukan untuk membangun
sistem keamanan kolektif dan penyelesaian konflik secara lebih seksama. Prohibisi penggunaan
kekerasan ini juga merupakan refleksi dari Perang Dunia Kedua, yang menghasilkan keputusan
bahwa penyelesaian konflik internasional harus dilakukan dengan cara damai, di mana penggunaan
kekerasan merupakan opsi terakhir dan dibolehkan hanya untuk kepentingan masyarakat
internasional, bukan untuk kepentingan negara secara individual.
Untuk beberapa waktu, PBB khususnya Dewan Keamanannya dipandang mampu
bertindak sebagai lembaga efektif dalam menciptakan perdamaian dunia internasional. Namun
terjadinya deadlock sewaktu timbul eskalasi tekanan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat pada
masa Perang Dingin yang berbuntut pada pesatnya jumlah veto pada masa itu, membuat Dewan
Keamanan menjadi kehilangan efektifitasnya. Lebih lanjut lagi, Presiden George W. Bush
mengatakan kegagalan PBB untuk melegalkan penggunaan kekerasan melawan negara kasar yang
Page | 2
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

memiliki senjata-senjata bahaya semakin menunjukkan bahwa badan dunia itu semakin inefektif
dan irrelevan. Devika Hovell sendiri tidak begitu setuju dengan anggapan bahwa PBB merupakan
badan yang inefektif dan irrelevan, terbukti dalam artikelnya ia mengatakan bahwa sebenarnya
sama seperti konstitusi dan instrumen kuasi konstitusi lain, Piagam PBB juga merupakan dokumen
yang tidak statis dan dapat berkembang sesuai perkembangan jaman. Mengutip perkataan William
Rogers untuk menguatkan pendapatnya, Hovell mengatakan bahwa pilihan kita sebagai masyarakat
internasional bukan terletak pada norma Piagam dan kehancuran, melainkan pada Piagam dan
cara-cara untuk mengisi bagian yang tidak lengkap pada “kanvas” itu. Piagam PBB dapat
berevolusi sesuai dengan perubahan masyarakat internasional, itulah yang dikatakan Hovell. Senada
dengan Hovell, Hans Kelsen juga mengatakan bahwa Piagam PBB bisa berubah, bukan hanya
melalui amandemen, namun juga melalui penerapannya sendiri yang dilakukan berdasarkan
interpretasi yang sesuai. Pendapat Kelsen dan Hovell ini juga diperkuat dalam Vienna Convention
on the Law of Treaties yang menyatakan bahwa perjanjian bisa diterjemahkan sesuai persetujuan
pihak-pihak yang terlibat.
Setelah membahas sedikit mengenai prohibisi penggunaan kekerasan dalam Piagam PBB,
Hovell lantas membahas mengenai penggunaan kekerasan dalam praktik internasional sehubungan
dengan usaha melawan terorisme yang kemudian dikatakan menjadi usaha menuju pembentukan
tatanan pengaturan baru (a new legal order). Hovell mengatakan bahwa secara tradisional, hukum
internasional hanya dapat mengakui terorisme sebagai fenomena tindak kriminal sehingga
penanganan yang terbaik adalah pembentukan kerjasama untuk pembasmian terorisme secara
domestik di negara masing-masing, sehingga hukum internasional yang mengatur tentang terorisme
hanya ditemukan dalam 12 konvensi mengenai terorisme. Adapun tujuan dari konvensi-konvensi
tersebut adalah untuk menekan aksi terorisme, dengan membebani negara dengan tiga tugas, yaitu
mengkriminalkan terorisme di hukum domestik, mendirikan pengadilan terorisme, dan untuk
menahan atau mengekstradisi tersangka terorisme di wilayah mereka. Pada akhirnya, semua
konvensi itu bertujuan untuk menunjukkan pengakuan dunia bahwa di dunia ini tidak ada tempat
untuk melarikan diri dan bersembunyi bagi siapa saja yang terkait masalah terorisme.
Selain adanya konvensi-konvensi mengenai terorisme tersebut, Hovell juga menyebutkan
mengenai blueprint berjudul the National Security Strategy of the United States of America, yang
Page | 3
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

biasa disingkat Strategy, berisi tentang „perang melawan terorisme‟ yang dikeluarkan oleh
pemerintahan Amerika Serikat. Strategy itu berisi tiga doktrin yang menjustifikasi penggunaan
kekerasan dalam usaha perang melawan terorisme. Doktrin pertama adalah serangan unilateral
melawan organisasi teroris dan negara yang melindungi mereka (unilateral attacks against terrorist
organisations and the states harbouring them). Doktrin kedua berisi serangan pre-emptif dalam
rangka pertahanan diri (unilateral pre-emptive self-defence). Sedang doktrin ketiga berisi intervensi
unilateral atas nama kemanusiaan (unilateral humanitarian intervention). Mengenai penjelasan
ketiga doktrin itu, akan dijelaskan berikutnya.
Doktrin pertama, yang melegalkan dilakukannya serangan unilateral melawan teroris dan
negara yang melindungi mereka pada dasarnya berkata bahwa pemerintah Amerika Serikat tidak
akan segan-segan bertindak sendiri, jika diperlukan, untuk menyerang teroris agar teroris tersebut
tidak melukai rakyat dan negara Amerika Serikat. Hal yang sama berlaku pada negara yang
jelas-jelas melindungi dan memberikan bantuan bagi para teroris itu. Doktrin inilah yang menjadi
justifikasi alasan penyerangan Amerika Serikat ke Afghanistan paska serangan kelompok teroris
Al-Qaeda ke World Trade Center Amerika Serikat, yaitu karena rezim Taliban di Afghanistan dinilai
telah melindungi gerakan teroris Al-Qaeda dengan memberikan lahan pengembangan diri dan
pelatihan. Justifikasi dari doktrin pertama ini, dikatakan Amerika Serikat, merujuk pada Artikel 51
Piagam PBB yang membolehkan dilakukannya usaha pertahanan diri bila ada serangan bersenjata
sebelumnya. Namun ternyata justifikasi tersebut dianggap tidak cukup oleh masyarakat
internasional, yang terus-menerus mempertanyakan serangan Amerika Serikat ini dalam setidaknya
empat poin.
Pertama, apakah aksi Amerika Serikat itu dilakukan untuk merespon serangan bersenjata
itu benar-benar berdasarkan makna sebenarnya dari Artikel 51? Kedua, apakah penggunaan
kekerasan di sini dilakukan sebagai respon terhadap ancaman yang sangat mendesak? Ketiga,
apakah penggunaan kekerasan itu perlu dilakukan? Dan keempat, yaitu apakah penggulingan rezin
Taliban itu respon yang layak terhadap ancaman tersebut? Menanggapi hal ini, Hovell mengatakan
bahwa penyerangan ke Afghanistan yang banyak didukung negara-negara menunjukkan bahwa
telah terjadi suatu modifikasi dalam hukum internasional. Modifikasi ini menunjukkan adanya
perkembangan hukum internasional dalam merespon ancaman kepada masyarakat internasional, di
Page | 4
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

mana penggunaan kekerasan diperbolehkan terhadap negara yang melindungi teroris, serangan
bersenjata dianggap satu-satunya pilihan yang rasional untuk menangani teroris mengingat belum
adanya aturan yang jelas mengenai terorisme dalam hukum internasional.
Doktrin kedua dalam Strategy yang menjustifikasi dilakukannya serangan pre-emptif
dalam rangka pertahanan diri sebenarnya berasal dari ketakutan Amerika Serikat akan penyebaran
senjata-senjata pemusnah massal berbahaya pada teroris, yang lantas dapat berbahaya bagi Amerika
Serikat dan negara aliansinya. Hal yang perlu diperhatikan adalah doktrin pre-emptive yang
dikeluarkan Amerika Serikat ini jelas berbeda dengan prinsip anticipatory self-defence, di mana
dalam prinsip anticipatory self-defence terdapat pengertian serangan untuk pertahanan diri hanya
dapat dilakukan bila adanya ancaman yang sangat mendesak (imminent threat) sementara doktrin
pre-emptive self-defence menghilangkan unsur imminent dalam anticipatory self-defence. Doktrin
inilah yang lantas menjadi justifikasi Amerika Serikat ketika melakukan penyerangan pada Irak,
saat Amerika Serikat merasa pemerintahan Saddam Hussein dapat mendatangkan bahaya bagi
negaranya dan juga bagi negara lain. Penghilangan unsur imminent ini pada perkembangannya
mendapat banyak kritik dari masyarakat internasional, karena doktrin ini dinilai melanggar prinsip
dasar dari hukum internasional. Doktrin Strategy yang kedua ini dinilai sudah terlalu jauh
melanggar batasan hukum internasional, karena dapat menjustifikasi serangan-serangan yang semu
dan tidak dilandasi keyakinan akan adanya ancaman mendesak.
Doktrin ketiga dari Strategy membicarakan mengenai intervensi unilateral untuk alasan
kemanusiaan (unilateral humanitarian intervention). Doktrin ketiga ini sendiri dikeluarkan Amerika
Serikat karena negara-negara lemah (weak states) dan negara-negara berbahaya (rogue states) di
mana bencana kemanusiaan biasa terjadi, dipandang dapat membawa ancaman serius bagi
keamanan nasional Amerika Serikat, karena negara-negara tersebut sangat rentan akan kemunculan
jaringan teroris. Itulah sebabnya, pemerintahan Bush sangat mendukung untuk menciptakan
pemerintahan moderat dan modern, terutama di kalangan negara Muslim, untuk memastikan agar
kondisi dan ideologi yang mempromosikan terorisme tidak tumbuh subur di negara-negara tersebut.
Menanggapi doktrin ketiga Strategy, Hovell menyatakan intervensi unilateral untuk alasan
humanitarian seperti ini sangat bertentangan dengan Piagam PBB. Pertama, karena doktrin ini
sendiri tidak mensertakan larangan penggunaan kekerasan sehingga memungkinkan negara yang
Page | 5
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

melakukan intervensi melakukan kekerasan dengan alasan membantu penyelesaian masalah. Hovell
menekankan, doktrin ini seolah tidak mempedulikan pentingnya konsent dari negara konflik,
padahal seharusnya intervensi hanya boleh terjadi atas permintaan negara konflik tersebut. Kedua,
doktrin ini sendiri melanggar artikel 2(7) Piagam PBB yang melarang adanya intervensi pada
hal-hal yang esensial dalam keadaan domestik tiap negara.
Namun sebenarnya, Hovell melanjutkan, intervensi atas alasan kemanusiaan pernah
dilakukan PBB, yaitu dengan otorisasi Dewan Keamanan PBB, dalam kasus di mana terjadi krisis
kemanusiaan parah seperti yang terjadi ketika NATO mendapat legitimasi PBB untuk melakukan
intervensi sepihak pada krisis kemanusiaan Bosnia. Tindakan NATO ketika itu mendapat legitimasi
dari Piagam PBB, karena kasus yang terjadi antara Bosnia dan Kosovo tersebut „menyentil‟ masalah
hak manusia yang paling dasar yaitu hak untuk hidup. Adapun, Hovell menyebutkan, terdapat
berbagai kritik sehubungan dengan doktrin intervensi humanitarian ini, baik dari negara kecil
maupun dari negara besar. Negara-negara kecil mengatakan intervensi humanitarian ini dianggap
sebagai kuda Trojan (Trojan horse) yang dapat digunakan untuk memperluas dominasi Barat.
Sedang negara-negara besar menyatakan ketakutannya bahwa adanya doktrin itu dapat
meningkatkan kewajiban negara besar untuk selalu memberikan bantuan setiap terjadi krisis
humanitarian. Karena berbagai perdebatan inilah, doktrin intervensi humanitarian ini hingga kini
belum dijadikan bagian dalam hukum internasional.
Walaupun belum menjadi bagian dalam hukum internasional, Hovell tidak menyangsikan
perlunya dilakukan intervensi terhadap suatu negara berkonflik bila keadaan kemanusiaan di situ
sudah sangat mendesak. Menurut Hovell, ada enam batasan minimum agar suatu intervensi
humanitarian dapat dilakukan. Pertama adalah adanya kekerasan terhadap hak asasi manusia,
seperti penghilangan etnis tertentu (ethnic cleansing) dan pembantaian massa yang menyebabkan
banyak korban berjatuhan. Kedua, intervensi hanya dapat dilakukan bila Dewan Keamanan PBB
dinilai tidak mampu mengambil tindakan dan hanya apabila Dewan Keamanan PBB tidak secara
eksplisit melarang intervensi. Ketiga, adanya urgensi bahwa kekuatan militer harus digunakan
untuk menyelesaikan konflik karena semua cara non-militer dinilai tidak cukup. Keempat, aksi
intervensi harus dilakukan secara proporsional dan rasional. Kelima, intervensi hanya dapat
dilakukan apabila ada persetujuan dari masyarakat internasional. Dan keenam, adanya intensi murni
Page | 6
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

untuk melindungi kemanusiaan dari negara pelaku intervensi.


Pada bagian kesimpulan, Devika Hovell kembali mengulang pandangan negara berkuasa
yang mengatakan bahwa hukum internasional dinilai ketinggalan jaman (out-dated), dan tidak
mampu (ill-equipped) untuk mengatasi ancaman kontemporer pada perdamaian internasional dan
keamanan. Menanggapi pandangan negara berkuasa ini, Devika Hovell lantas mengatakan bahwa
dalam hal hukum internasional dipandang ketinggalan jaman, hukum internasional telah
membuktikan dirinya untuk dapat beradaptasi dan berubah untuk merespon ancaman baru, yang
dicapai melalui konsensus perubahan perjanjian. Selanjutnya, Devika Hovell juga menekankan
bahwa hukum internasional tidak selalu hanya merupakan cerminan keinginan sebuah negara atau
beberapa negara saja. Keinginan negara-negara besar tidak lantas membuat apa yang diinginkannya
menjadi hukum internasional dan lantas mengikat masyarakat internasional. Saat berbagai
perjanjian antar negara (treaties) dapat dihasilkan dalam waktu singkat, waktu yang lebih panjang
dan lama diperlukan untuk menghasilkan sebuah hukum internasional. Inilah mengapa hukum
internasional kerap dicap tidak mengikuti perkembangan jaman. Mengakhiri tulisannya, Devika
Hovell mengatakan bahwa terorisme telah menghasilkan tantangan baru bagi tatanan masyarakat
global, dan harus diakui hukum internasional tidak menyediakan solusi yang sempurna untuk
masalah terorisme, akan tetapi perlu diingat bahwa hukum internasional tetaplah merupakan alat
penting yang dapat diusahakan untuk menghasilkan efek dahsyat dalam usaha perang melawan
terorisme dan berbagai ancaman lain dalam stabilitas internasional.
Harus diakui bahwa masalah terorisme adalah masalah yang sangat gawat dan menuntut
tindakan dari hukum internasional. Akan tetapi penulis, sama seperti Devika Hovell dalam
artikelnya dan William Rogers, tidak setuju dengan anggapan bahwa hukum internasional kini telah
dipandang inefektif dan irrelevan karena ketidakbisaannya menangani masalah terorisme, serta
karena minimnya aturan mengenai masalah terorisme. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Devika
Hovell dan William Rangers mengatakan bahwa bukan hukum internasional yang salah dalam
masalah ini, akan tetapi yang salah adalah negara-negara yang terlalu menafsirkan hukum
internasional secara harafiah. Padahal sebenarnya, seperti yang dikatakan Devika Hovell, hukum
internasional, dalam hal ini Piagam PBB, dapat diinterpretasikan secara luas dan pada akhirnya
dapat diarahkan menuju penanganan masalah terorisme. Lagipula, permasalahannya bukan terletak
Page | 7
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

pada apakah hukum internasional itu lama atau baru, akan tetapi apakah hukum internasional dapat
memberikan pedoman yang beralasan bagi permasalahan internasional2, sebab tujuan sebenarnya
dari hukum internasional adalah agar aturan-aturan dalam hukum internasional dapat menjadi
pedoman dan arah bertindak dalam menyelesaikan berbagai permasalahan internasional.
Penulis menganalisa, jika diperhatikan lebih lanjut, kata-kata dalam aturan hukum
internasional, dalam hal ini Piagam PBB, sebenarnya mengandung makna yang sangat luas.
Pemilihan kata-kata ini sudah barang pasti mempunyai arti tersendiri, pembuat aturan dalam hukum
internasional berharap agar aturan-aturan hukum internasional tidak diterjemahkan secara harafiah
dan sempit, melainkan dengan interpretasi luas sesuai perkembangan jaman. Aturan-aturan hukum
internasional sebenarnya sangat fleksibel untuk menghadapi masalah terorisme internasional, dan
sebenarnya jika mau ditilik lebih lanjut, aturan-aturan tersebut telah memberikan pedoman yang
cukup untuk dijadikan solusi bagi masalah terorisme. Seperti pada Artikel 51 yang banyak
mendapat kritik dari masyarakat internasional, artikel 51 membicarakan mengenai dibolehkannya
upaya pertahanan diri bila suatu negara sudah mendapat serangan bersenjata (armed attack); kritik
yang timbul umumnya menitikberatkan pada penggunaan kata „armed attack‟ yang dinilai tidak
cukup jelas dan tidak merujuk pada masalah terorisme, sehingga para pengkritik Artikel 51 Piagam
PBB ini mengatakan Artikel 51 tidak membahas mengenai terorisme dan hanya membahas
mengenai penyerangan negara satu ke negara lain. Mengenai kritik ini, penulis menyatakan tidak
setuju. Menurut penulis, keambiguan di Artikel 51 bukannya menunjukkan kelemahan artikel
tersebut, melainkan menunjukkan fleksibilitasnya. Dengan menyebutkan „armed attack‟, dan bukan
menyebutkan „armed attack by states‟, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya artikel ini sangat dapat
digunakan untuk merujuk pada serangan bersenjata yang dilakukan teroris. Artikel 51 mencakup
segala hal yang berhubungan dengan penggunaan kekerasan bersenjata, baik dilakukan oleh suatu
entitas besar seperti negara maupun oleh kelompok privat seperti teroris.
Kritik mengenai hukum internasional yang dipandang kurang mampu memberikan
definisi yang pasti mengenai terorisme juga, menurut penulis, tidaklah tepat. Pertama, bila memang

2
Silja N. U. Vöneky. Response – The Fight against Terrorism and the Rules of International Law – Comment on
Papers and Speeches of John B. Bellinger, Chief Legal Advisor to the United States State Department.
http://www.germanlawjournal.com/pdf/Vol08No07/PDF_Vol_08_No_07_747-760_Developments_Voeneky.pdf,
diakses pada 3 Desember 2008, pukul 18.12.
Page | 8
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

definisi yang diberikan dalam hukum internasional kurang jelas, menurut penulis hal itu bukanlah
masalah besar karena sebenarnya hukum internasional telah mengeluarkan berbagai aturan yang
dapat dilakukan untuk menangani terorisme, melalui berbagai Konvensi yang telah dikeluarkannya
yang akan dibahas selanjutnya. Untuk apa berkutat pada masalah definisi, jika cara untuk
mengatasinya sudah ada? Kedua, kritik bahwa tidak ada definisi yang jelas mengenai teroris juga
tidaklah benar. Sebab, justru berbagai bentuk terorisme itu telah dijelaskan secara pasti, malah
sangat sulit untuk membayangkan ada bentuk terorisme yang tidak ter-cover oleh
Konvensi-Konvensi yang telah ada3.
Membahas mengenai Strategy yang dikeluarkan Pemerintahan Bush pada tahun 2002
untuk menanggapi terorisme karena hukum internasional dianggap tidak cukup mampu mengatasi
masalah terorisme, penulis ingin mengatakan bahwa sebenarnya saat itu sudah ada Resolusi Dewan
Keamanan PBB yang mengatur hal yang sama dengan yang diatur dalam Doktrin Pertama Strategy,
mengenai unilateral attacks against terrorist organisations and the states harbouring them.
Resolusi Dewan Keamanan PBB itu adalah Resolusi Dewan Keamanan 1368 yang dikeluarkan
pada tahun 2001. Adapun resolusi itu menghimbau negara-negara anggota PBB untuk bekerja
bersama untuk menghukum para sponsor, organizer, dan pelaku serangan terorisme dan
menekankan bahwa mereka yang terbukti bertanggung jawab memberikan bantuan, dukungan,
ataupun melindungi teroris harus siap mempertanggungjawabkan perbuatannya—..., The Council
called on all States to work together urgently to bring to justice the perpetrators, organizers and
sponsors of those terrorist attacks and stressed that those responsible for aiding, supporting or
harbouring them would be held accountable4. Selain diatur dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB
tahun 2001, sebenarnya telah ada Resolusi Majelis Umum PBB 2625 (XXV) yang telah diadposi
oleh PBB sejak 24 Oktober 1970 yang juga mengatur hal ini. Adapun Resolusi Majelis Umum PBB
2626 (XXV) berisi larangan bagi setiap negara untuk mengorganisir, membantu, dan berpartisipasi
dalam konflik sipil atau aksi teror di negara lain—Every state has the duty to refrain from
organizing, instigating, assisting, or participating in acts of civil strife or terrorist acts in another
3
Dugard, C.J.R. “A Turning Point in International and Domestic Law”. Dalam P. Eden dan T. O'Donnel (Editor), The
Problem of the Definition of Terrorism in International Law, (11 September 2001), hal. 187-205.
4
United Nations Security Council. Press Release SC/7143, Security Council Condemns, „In Strongest Terms‟,
Terrorist Attacks on United States. http://www.un.org/News/Press/docs/2001/SC7143.doc.htm, diakses pada 4
Desember 2008, pukul 04.47.
Page | 9
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

State...5. Negara yang terang-terangan memberi bantuan, dukungan, ataupun melindungi teroris,
berarti negara tersebut siap bertanggung jawab pada kesalahan-kesalahan teroris 6, itulah yang
kurang-lebih dikatakan Resolusi Dewan Keamanan PBB tersebut. Adanya Resolusi Dewan
Keamanan PBB ini menunjukkan bahwa hukum internasional sebenarnya sudah melakukan apa
yang diperlukan untuk mengatasi masalah terorisme, sehingga Amerika Serikat seharusnya tidak
mampu mengeluarkan aturan baru secara unilateral.
Jadi sebenarnya penulis memandang tidaklah benar bila dikatakan Piagam PBB sudah
kuno dan tidak sesuai lagi dalam menghadapi masalah terorisme karena sebenarnya artikel-artikel
dalam Piagam PBB tetap dapat digunakan untuk menghadapi masalah terorisme. Berbagai
anggapan yang muncul dalam artikel Devika Hovell tentang perlunya hukum internasional
mengalami modifikasi juga, menurut penulis, tidaklah perlu dilakukan karena hukum-hukum
internasional yang sudah ada sebenarnya sudah cukup untuk mengatasi masalah terorisme.
Bukankah, di awal artikelnya Hovell telah menyebutkan mengenai berbagai konvensi mengenai
terorisme? Konvensi-konvensi itu meliputi berbagai serangan individual teroris seperti penyerangan
pada representatif pemerintah, kepemilikan materi nuklir, penyerangan pada kapal laut,
penyerangan pada angkatan udara, masalah pemboman yang dilakukan teroris, masalah pendanaan
teroris, dan berbagai konvensi lain yang mengatur tentang terorisme. Adanya konvensi-konvensi itu,
menurut penulis, sudah cukup untuk membantu dunia mengatasi masalah terorisme, mengingat
konvensi merupakan sumber hukum internasional yang menduduki tempat paling tinggi dalam
urutan perjanjian internasional7. Hukum internasional telah memberikan cara yang, dapat dikatakan
tepat, untuk mengatasi masalah terorisme. Ini semua karena hukum internasional adalah hukum
yang dapat beradaptasi sehingga tidak perlu memenuhi tuntutan negara-negara untuk dimodifikasi.
Yang perlu dilakukan negara-negara adalah lebih memandang hukum internasional secara terbuka
terhadap penafsiran-penafsiran, bukan memandangnya secara sempit, harafiah, dan menelan
bulat-bulat aturan-aturan dalam hukum internasional.

5
United Nations General Assembly. General Assembly—Twenty-Fifth Session, Resolutions Adopted on the Reports of
the Sixth Committee. http://daccessdds.un.org/doc/RESOLUTION/GEN/NR0/348/90/IMG/NR034890.pdf?
OpenElement, diakses pada 4 Desember 2007, pukul 05.02.
6
Hellen duffy. The ‘War on Terror’ and the Framework of International Law, (Cambridge: Cambridge University Press,
2005), hal. 56.
7
Dr. Boer Mauna. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung:
Penerbit PT. Alumni, 2008), hal. 91.
Page | 10
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.

Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis lagi-lagi ingin menekankan pendapatnya bahwa
hukum internasional tidak perlu untuk mengalami perubahan dan modifikasi, selain karena hukum
yang ada sebenarnya sudah cukup untuk menjadi pedoman dalam mengatasi masalah terorisme juga
karena mengubah hukum internasional berarti mengubah prinsip dan basis utama yang telah
dirancang sejak dahulu, dan hal itu, penulis rasa, tidak perlu dilakukan. Jangan sampai
masalah-masalah baru yang timbul malah membuat kita menjadi kehilangan landasan hukum kita,
karenanya hukum internasional yang telah ada tidak perlu mengalami perubahan.

Page | 11

Anda mungkin juga menyukai