Anda di halaman 1dari 9

A.

KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan

metabolisme

dan

keseimbangan

cairan

dan

elektrolit,

menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)

(Smeltzer C, Suzanne, 2002).


Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat (Price & Wilson, 2012).

Gagal ginjal kronik merupakan penyakit renal tahap akhir yang merupakan
perkembangan gagal ginjal yang progresif dan ireversibel yang terjadi ketika tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan tubuh,
menyebabkan uremia
2. Epidemiologi/ Insiden Kasus
Menurut (WHO, 2002) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih
telah menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini
menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi angka
kematian. Penyakit Ginjal Kronik merupakan suatu proses patofisiologi dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan
pada umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Di Amerika Serikat, data
tahun 1995-1999 menyatakan insidensi penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus
per juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya
(Suwitra, 2006).
Prevalensi penyakit ginjal kronik atau disebut juga Chronic Kidney Disease (CKD)
meningkat setiap tahunnya. Dalam kurun waktu 1999 hingga 2004, terdapat 16,8 %
dari populasi penduduk usia di atas 20 tahun mengalami penyakit ginjal kronik.
Persentase ini meningkat bila dibandingkan data 6 tahun sebelumnya, yaitu 14,5%
(CDC, 2007).
Enam negara dunia dengan penduduk melebihi 50% penduduk dunia adalah Cina,
India, USA, Indonesia, Brazil dan Rusia, tiga negara terakhir termasuk negara
berkembang dimana penyakit ginjal kronik tentunya ada tapi tidak dapat
ditanggulangi secara baik karena terbatasnya daya dan data. Prediksi menyebutkan

bahwa pada tahun 2015 tiga juta penduduk dunia perlu menjalani pengobatan
pengganti untuk gagal ginjal terminal atau End Stage Renal Disease (ESRD) dengan
perkiraan peningkatan 5% per tahunnya. Mempelajari data ESRD dunia mengesankan
adanya peningkatan yang signifikan setiap tahun dari kejadian ESRD mulai dari tahun
2000 dan seterusnya, baik negara berkembang maupun negara maju. Di Asia, Jepang
tercatat mempunyai populasi ESRD tertinggi 1800 per juta penduduk dengan 220
kasus baru per tahun, suatu peningkatan 4.7 % dari tahun sebelunya. Negara
berkembang di Asia Tenggara pencatatannya belum meyakinkan, kecuali Sigapura
dan Thailand.
Roesma (2008)
Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit yang saat ini jumlahnya sangat meningkat,
dari survei yang dilakukan oleh Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) pada
tahun 2009, Prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%, yang berarti
terdapat 18 juta orang dewasa di Indonesia menderita penyakit ginjal kronik
(Siallagan, 2012).
3. Penyebab/ Faktor Predisposisi
Gagal ginjal kronis dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes melitus,
infeksi seperti glomerulonefritis kronis (peradangan pada glomerolus), Infeksi saluran
kemih (pielonefritis kronis),

hipertensi yang tidak dapat dikontrol, nefropati toksik

(obatobatan analgetik), gangguan pada jaringan penyambung (biasanya pada


jaringan endotel), obstruksi traktus urinarius, medikasi, atau agen toksik (timah,
kadmium, merkuri, kromium) (Smeltzer C, Suzanne, 2002).
4. Patofisiologi
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urine tertimbun dalam darah. Terjadinya uremia
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialysis.
Gangguan klierens renal. Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat
dari penurunan klierens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan mendapatkan urine
24-jam untuk pemeriksaan klierens kreatinin. Menurunnya filtrasi glomerulus (akibat
tidak berfungsinya glomeruli) klierens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin
serum akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya
meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitive dari fungsi

renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya
dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet,
katabolisme, dan medikasi seperti steroid.
Retensi cairan dan natrium. Gagal

ginjal

juga

tidak

mampu

untuk

mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal


tahap akhir; respons ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan
elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan,
meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin-angiotensin-aldosteron. Pasien
lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam; mencetuskan risiko
hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan
natrium, yang semakin memperburuk status uremik.
Asidosis. Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolik
seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskersikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal
untuk menyekresi ammonia (NH3-) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3-).
Penurunan ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi.
Anemia. Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoietin yang tidak
adekuat, memendeknya usia sel darah merah, difisiensi nutrisi, dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal. Eritropoietin, suatu substansi normal yang diproduksi oleh ginjal
menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah. Pada gagal ginjal,
produksi eritropoietin menurun dan anemia berat terjadi disertai keletihan, angina, dan
napas sesak.
Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat. Abnormalitas utama yang lain pada gagal
ginjal kronis adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium
dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik. Jika salah satunya
meningkat, yang lain akan turun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus
ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar
serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon
dari kelenjar paratiroid. Namun demikian, pada gagal ginjal, tubuh tidak berespon
secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium di
tulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan penyakit tulang. Selain itu,
metabolit aktif vitamin D (1,25dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di
ginjal menurun seiring dengan berkembangnya gagal ginjal.

Penyakit tulang uremik, sering disebut osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan
kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathormon.
Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan
gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urine, dan adanya hipertensi.
Pasien yang mengekskresikan secara signifikan sejumlah protein atau mengalami
peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat memburujk daripada mereka yang
tidak mengalami kondisi ini.
Smeltzer C, Suzanne (2002)
5. Klasifikasi
Perjalanan gagal ginjal progresif menurut Price & Wilson (2012) dapat dibagi menjadi
tiga stadium yatu :
a. Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Di tandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum Nitrogen (BUN)
normal dan penderita asimtomatik.
b. Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo filtration Rate
besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum Nitrogen mulai
meningkat diatas normal, kadar kreatinin serum mulai meningklat melabihi kadar
normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan poliuri.
c. Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia)
Timbul apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai glomerulo filtration rate 10%
dari normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit atau kurang. Pada tahap ini
kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrgen meningkat sangat mencolok dan
timbul oliguri.
Sedangkan menurut (NKF KDOQI CKD Guidelines 2002) klasifikasi penyakit ginjal
kronik:
LFG (ml/mn/1.73m2

Derajat

Penjelasan

Kerusakan ginjal dengan LFG normal

atau meningkat.
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun 60 89

ringan.
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun 30 59

sedang.
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun 15 29

90

berat.
Gagal ginjal

< 15 atau dialisis

6. Gejala Klinis
Karena pada gagal ginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia,
maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan
gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang
mendasari, dan usia pasien.

Sistem Hematologi
1. Anemia, dapat disebabkan berbagai faktor antara lain :
-

Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia


toksik

Defesiensi besi, asam folat, dan lain-lain akibat nafsu makan yang
berkurang

Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit

2. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia


3. Gangguan fungsi leukosit

Sistem Saraf dan Otot


Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan, rasa semutan dan
seperti terbakar terutama di telapak kaki, lemah, tidak bisa tidur, gangguan
konsentrasi, tremor dan kejang.

Kulit
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan
urokrom dan juga terdapat bekas garukan-garukan karena gatal.

Sistem Kardiovaskular
Nyeri dada, sesak napas, gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini dan
gangguan elektrolit.

Sistem Endokrin
Gangguan seksual : libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki akibat
produksi testosteron dan spermatogenesis yang menurun. Pada wanita timbul
gangguan

menstruasi,

gangguan

ovulasi

sampai

amenorea.

Gangguan

metabolisme lemak dan gangguan metabolisme vitamin D.


Maxine A Papadakis (2001)

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium darah :

BUN/ kreatinin:

Hemoglobin : menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8


gr/dl

GDS: asidosis metabolik, pH kurang dari 7,2

Natrium serum : < 135 mEq/L

Kalium: > 4,5mEq/L

Magnesium: > 2,5 mg/dl

Kalsium ; < 9 mg/dl

Protein (albumin) : < 4 g/dl

Laboratorium urin :

Volume: biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada (anuria)

Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,


bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin

Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat

Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal


tubular dan rasio urin/serum sering 1:1

Klirens kreatinin: mungkin agak menurun, < 117 ml/menit

Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu


mereabsorbsi natrium

Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan kerusakan


glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada

Osmolalitas serum: lebih dari 285 mOsm/kg

b. Radiologi
Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, ginjal dan adanya massa,

kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.


Endoskopi ginjal, nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengangkatan tumor selektif

Arteriogram

ginjal:

mengkaji

sirkulasi

ginjal

dan

mengidentifikasi

ekstravaskular, masa
c. EKG
Ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
Doenges, E Marilynn (2000)
9. Diagnosis/ Kriteria Diagnosis
Menurut (NKF KDOQI CKD Guidelines 2002) kriteria diagnosis gagal ginjal kronis
meliputi:
a. Kerusakan ginjal selama 3 bulan

Abnormalitas struktur dan fungsi

Dengan atau tanpa penurunan Glomerular Filration Rate (GFR)

Dimanifestasikan dengan abnormalitas lain dari:


-

patologi

composisi darah

composisi urine

tes radiologi

b. GFR < 60 ml/menit selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

10. Terapi/ Tindakan Penanganan


Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis
selama mungkin serta mencegah komplikasi. Seluruh faktor yang berperan pada gagal
ginjal tahap akhir dan faktor yang dapat dipulihkan diidentifikasi dan ditangani.
Komplikasi dapat dicegah dengan pemberian anti hipertensif, eritropoietin, suplemen
besi, agens pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Pasien juga perlu mendapat
penanganan dialisis yang adekuat untuk menurunkan kadar produk sampah uremik
dalam darah.
Intervensi diet diperlukan pada gangguan fungsi renal dan mencakup pengaturan yang
cermat terhadap masukan protein, masukan cairan untuk mengganti cairan yang
hilang, masukan natrium untuk mengganti natrium yang hilang, dan pembatasan
kalium. Pada saat yang sama, masukan kalori yang adekuat dan suplemen vitamin
harus dianjurkan. Protein akan dibatasi karena urea, asam urat, dan asam organik
(hasil pemecahan makanan dan protein jaringan) akan menumpuk secara cepat dalam
darah jika terdapat gangguan pada klierens renal. Protein yang dikonsumsi harus
memiliki nilai biologis yang tinggi adalah substansi protein lengkap dan menyuplai

asam amino utama yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perbaikan sel. Biasanya
cairan yang diperbolehkan adalah 500-600 ml untuk 24 jam. Kalori diperoleh dari
karbohidrat dan lemak untuk mencegah kelemahan. Pemberian vitamin juga penting
karena diet rendah protein tidak cukup memberikan komplemen vitamin yang
diperlukan. Selain itu, pasien dilaisis mungkin kehilangan vitamin larut air melalui
darah selama penanganan dialisis.
Hiperfosfatemia dan hypokalemia ditangani dengan antasida mengandung aluminium
yang mengikat fosfat makanan di saluran gastrointestinal. Namun demikian, perhatian
terhadap potensial toksisitas aluminium jangka panjang dan hubungan antara
tingginya kadar aluminium dengan gejala neurologis dan osteomalasia menyebabkan
dokter meresepkan natrium karbonat dosis tinggi sebagai penggantinya. Medikasi ini
juga mengikat fosfatdiet di saluran gastrointestinal menyebabkan antasida yang
digunakan cukup diberikan dalam dosis kecil. Kalsium karbonat dan antasida
pengikat fosfat harus diberikan bersama dengan makanan agar efektif. Antasida
mengandung magnesium harus dihindari untuk mencegah toksisitas magnesium.
Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif kontrol volume
intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner juga memerlukan
penanganan pembatasan cairan, diet rendah natrium, diuretik, agens inotropik seperti
digitalis atau dobutamine, dan dialisis. Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronis
biasanya tanpa gejala dan tidak memerlukan penanganan; namun demikian, suplemen
natrium karbonat atau dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis jika
kondisi ini menimbulkan gejala.
Hiperkalemia biasanya dicegah dengan penanganan dialisis yang adekuat disertai
pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada
seluruh medikasi oral maupun intravena. Pasien diharuskan diet rendah kalium.
Kadang-kadang Kayexelate, perlu diberikan secara oral.
Abnormalitas neurologi dapat terjadi dan memerlukan observasi dini terhadap tandatanda seperti kedutan, sakit kepala, delirium, atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi
dari cedera dengan menempatkan pembatas tempat tidur. Awitan kejang dicatat dalam
hal tipe, durasi dan efek umumnya terhadap pasien. Dokter segera diberitahu.
Diazepam intravena (Valium) atau fenitoin (Dilantin) biasanya diberikan untuk
mengendalikan kejang.
Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan Epogen (eritropoietin manusia
rekombinan). Anemia pada pasien (hematokrit kurang dari 30%) muncul tanpa gejala
spesifik seperti malaise, keletihan umum, dan penurunan toleransi aktivitas. Terapi

Epogen diberikan untuk memperoleh nilai hematokrit sebesar 33% samai 38%, yang
biasnya memulihkan gejala anemia. Epogen diberikan diberikan secara intravena atau
subkutan tiga kali seminggu. Naiknya hematokrit memerlukan waktu 2 sampai 6
minggu, sehingga Epogen tidak diindikasikan untuk pasien yang memerlukan koreksi
anemia dengan segera. Efek samping terapi Epogen mencakup hipertensi (terutama
selama tahap awal penanganan), peningkatan bekuan pada tempat akses vaskuler,
kejang dan penipisan cadangan besi tubuh. Adanya hipertensi yang tidak dapat
dikontrol merupakan kontraindikasi utuk terapi eritropoietin rekombinan.
11. Komplikasi
Komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang memelukan pendekatan kolaboratif
dalam perawatan mencakup : hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis
metabolic, katabolisme dan masukan diet berlebih; perikarditis, efusi perikardial, dan
tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan sialisis yang tidak
adekuat; hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta serta malfungsi reninangiotensin-aldosteron; anemia akibat penurunan eritropoietin, penurunan rentang
usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan yang
kehilang darah selama hemodialisis; dan penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik
akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D
abnormal, dan peningkatan kadar aluminium.
Smeltzer C, Suzanne (2002)
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
(terlampir)

Anda mungkin juga menyukai