Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Plasenta merupakan bagian yang sangat penting bagi pertumbuhan dan


perkembangan janin. Plasenta memiliki peran sebagai tempat pertukaran zat,
penghasil hormon yang berguna selama kehamilan, dan sebagai barier 1. Melihat
pentingnya peranan plasenta, maka bila terjadi kelainan pada plasenta akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan janin ataupun mengganggu proses
persalinan. Kelainan pada plasenta dapat berupa gangguan fungsi dari plasenta,
gangguan implantasi plasenta, maupun pelepasan plasenta sebelum waktunya
yang disebut solusio plasenta2.
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal
plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua
endometrium sebelum waktunya yakni antara minggu 22 dan lahirnya anak1,2.
Insidensi solusio plasenta bervariasi di seluruh dunia. Frekuensi solusio
plasenta di Amerika Serikat dan di seluruh dunia mendekati 1%.

Saat ini

kematian maternal akibat solusio plasenta mendekati 6%. Solusio plasenta


merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum yang memberikan
kontribusi terhadap kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Pada tahun
1988 kematian maternal di Indonesia diperkirakan 450 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka tersebut tertinggi di ASEAN (5-142 per 100.000) dan 50-100 kali
lebih tinggi dari angka kematian maternal di negara maju. Di negara berkembang,
penyebab kematian yang disebabkan oleh komplikasi kehamilan, persalinan, nifas
adalah perdarahan, infeksi, pre-eklamsi/eklamsi. Selain itu kematian maternal juga
dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan, sosioekonomi, usia ibu hamil, dan paritas3.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Solusio Plasenta
2.1.1 Definisi
Terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari tempat
implantasinya yang normal pada sebelum waktunya yakni antara minggu 20 dan
lahirnya anak. Plasenta secara normal terlepas setelah bayi lahir 1,2,3,5.
Nama lain yang sering dipergunakan, yaitu abruptio placentae, ablatio
placentae, accidental haemorrhage, premature separation of the normally
implanted placenta3.

Gambar 2.1 Solusio Plasenta


2.1.3 Klasifikasi
Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptura sinus marginalis),
dapat pula terlepas lebih luas (solusio plasenta parsialis), atau bisa seluruh
permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis). Perdarahan yang
terjadi akan merembes antara plasenta dan miometrium untuk seterusnya
menyelinap di bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke kanalis
2

servikalis dan keluar melalui vagina, menyebabkan perdarahan eksternal


(revealed hemorrhage)2.

Gambar 2.3 Solusio Plasenta Dengan Perdarahan Eksternal

Yang lebih jarang, jika bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat
pada dinding rahim, darah tidak keluar dari uterus, tetapi tertahan di antara
plasenta yang terlepas dan uterus sehingga menyebabkan perdarahan tersembunyi
(concealed hemorrhage) yang dapat terjadi parsial (Gambar 2.3) atau total
(Gambar 2.4)4,5.

Gambar 2.4 Solusio Plasenta Parsial Disertai Perdarahan Tersembunyi


Solusio plasenta dengan perdarahan tertutup terjadi jika2:
1. Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim
2. Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim
3. Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah
4. Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen bawah
rahim.
Perdarahan yang tersembunyi biasanya menimbulkan bahaya yang lebih
besar bagi ibu, tidak saja karena kemungkinan koagulopati konsumptif tetapi juga
karena jumlah darah yang keluar sulit diperkirakan4.

Gambar 2.5 Solusio Plasenta Total Disertai Perdarahan Tersembunyi

Secara klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya gambaran klinik
sesuai dengan luasnya permukaan plasneta yang terlepas, yaitu solusio plasenta
ringan, sedang, dan berat2.
a. Solusio plasenta ringan
Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25% atau ada yang menyebutkan
kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya kurang dari 250 ml.
Gejala-gejala sukar dibedakan dari plasenta previa kecuali warna darah yang
kehitamam. Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada.
b. Solusio Plasenta Sedang
Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25%, namun belum mencapai
separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar lebih banyak dari 250 ml tetapi
belum mencapai 1000 ml. Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas seperti nyeri
pada perut yang terus-menerus, denyut janin menjadi cepat, hipotensi, dan
takikardi.

c. Solusio Plasenta Berat


Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%, dan jumlah darah yang
keluar melebihi 1000 ml. Gejala dan tanda klinik jelas, keadaan umum disertai
syok, dan hampir semua janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan
gagal ginjal yang ditandai pada oligouri biasanya telah ada.
2.1.4 Prevalensi
Insidensi solusio plasenta bervariasi di seluruh dunia. Kejadiannya bervariasi
dari 1 di antara 75 sampai 830 persalinan. Frekuensi solusio plasenta di Amerika
Serikat dan di seluruh dunia mendekati 1%. Solusio plasenta merupakan salah
satu penyebab perdarahan antepartum yang memberikan kontribusi terhadap
kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Saat ini kematian maternal akibat
solusio plasenta mendekati 6%. Solusio plasenta merupakan penyebab 20-35%
kematian perinatal3,4.
Pada tahun 1988 kematian maternal di Indonesia diperkirakan 450 per 100.000
kelahiran hidup. Angka tersebut tertinggi di ASEAN (5-142 per 100.000) dan 50100 kali lebih tinggi dari angka kematian maternal di negara maju. Di negara
berkembang, penyebab kematian yang disebabkan oleh komplikasi kehamilan,
persalinan, nifas adalah perdarahan, infeksi, pre-eklamsi/eklamsi. Selain itu
kematian maternal juga dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan, sosioekonomi, usia
ibu hamil, dan paritas3.
Solusio plasenta sering berulang pada kehamilan berikutnya. Kejadiannya
tercatat sebesar 1 di antara 8 kehamilan 3. Namun, insidensi solusio plasenta
cenderung menurun dengan semakin baiknya perawatan antenatal sejalan dengan
semakin menurunnya jumlah ibu hamil usia dan paritas tinggi dan membaiknya
kesadaran masyarakat berperilaku lebih higienis2.
2.1.5 Etiologi
Penyebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat beberapa
keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau menyertai
solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor resiko.(8)
6

Hipertensi essensial atau pre-eklampsi, karena desakan darah tinggi, maka


pembuluh darah mudah pecah, kemudian terjadi hematom retropalsenta yang
dapat menyebabkan sebagian plasenta dapat terlepas. Adanya trauma dapat
menyebabkan tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang
banyak/bebas, versi luar, atau pertolongan persalinan. Selain itu adanya tekanan
pada uterus yang biasanya di dapati pada keadaan polihidramnion ataupun setelah
melahirkan kembar yang pertama.
Disamping itu ada juga pengaruh dari umur lanjut karena makin lanjut
umur maka kemungkinan mendapatkan arteriosklerosis makin besar, multiparitas
dimana didapatkan lebih banyak terjadi pada multigravida daripada primigravida,
ketuban

pecah

sebelum

waktunya, defisiensi

as.folat,

merokok

dapat

menyebabkan nekrosis dari lamina basalis, kokain dapat menyebabkan


vasospasme dan hipertensi, mioma uteri.(10,11,12)
Kondisi yang paling sering berkaitan adalah beberapa tipe hipertensi,
antara lain mencakup pre-eklampsia, hipertensi gestasional, atau hipertensi kronik.
Pada studi terdahulu di Parkland Hospital terdapat 408 kasus solusio plasenta
yang sedemikian berat sehingga mematikan janin, hipertensi ibu dijumpai pada
sekitar separuh wanita. Separuhnya mengidap hipertensi kronik dan sisanya
menderita hipertensi gestasional dan pre-eklampsia. Beberapa penelitian
mendapatkan bahwa wanita hipertensi cenderung mengalami solusio yang lebih
berat.12
2.1.6 Patofisiologi
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua
basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari
pembuluh darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom
subkhorionik terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding
uterus. Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus/tidak terkontrol
karena otot uterus tidak mampu berkontraksi untuk membantu dalam
menghentikan perdarahan yang terjadi. Hematom ini semakin membesar dan
menekan jaringan plasenta sehingga bagian plasenta yang terlepas juga semakin
besar. Akhirnya hematom mencapai pinggir plasenta dan mengalir keluar antara
7

selaput janin dan dinding rahim. Darah dapat berada diantara desidua dan
membran yang dapat keluar melalui serviks kemudian ke vagina (pardarahan
eksternal). Jika ektravasasi darah masuk hingga miometrium dan bagian bawah
dari serosa bahkan sampai pada ligamentum latum dan melalui tuba masuk ke
rongga panggul dapat menyebabkan couvelaire uterus yakni uterus dengan darah
yang gelap kebiru-biruan, selain itu dapat menyebabkan perdarahan postpartum
karena gangguan kontraksi uterus. Akibat gangguan kontraksi pada uterus dan
bekuan retroplasenter menyebabkan pelepasan tromboplastin yang banyak ke
dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler dimanamana yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya
ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini
terjadi gangguan pembekuan darah yang tidak hanya di uterus, tetapi juga pada
alat-alat tubuh lainnya

(17,18)

Besarnya permukaan plasenta yang menjadi terpisah dari suplai darah ibu
menentukan gambaran klinis dengan mempengaruhi jumlah kehilangan darah akut
dari ibu dan penurunan suplai oksigen ke janin, menyebabkan gawat janin atau
kematian. Pasien dengan perdarahan yang sedikit mungkin belum menimbulkan
gejala pada awalnya. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada
pemeriksaan plasenta didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan
bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Darah pada desidua basalis hasil
dari pelepasan plasenta menyebabkan hipoksia pada janin sedangkan darah pada
lapisan serosa rahim dapat menyebabkan Couvelair Uterus. Awalnya perdarahan
di dalam desidua basalis terjadi karena pecahnya arteri kecil pada lapisan desidua
ibu disertai pembentukan hematoma sehingga menyebabkan nekrosis lokal.
Tekanan yang dihasilkan oleh perdarahan menyebabkan plasenta terlepas. Pada
kebanyakan pasien, perdarahan dari pemisahan plasenta meluas ke tepi plasenta
kemudian dapat terjadi pecahnya selaput ketuban dan darah masuk ke dalam
cairan amnion atau kasus yang lebih sering terjadi adalah darah berada di antara
korion dan desidua vera kemudian mencapai ostium interna serviks dan vagina
sehingga terjadi perdarahan ekternal (revealed hemorrhage). Jika lapisan marginal
plasenta tetap melekat pada uterus disertai letak kepala janin pada segmen bawah
8

uterus, hal ini dapat menyebabkan perdarahan yang tersembunyi (conceled


hemorrhage). Banyaknya darah yang keluar melalui vagina hanya sebagian kecil
dari total perdarahan yang terjadi di dalam uterus. (18,19)
Perdarahan pada solusio plasenta bisa mengakibatkan darah hanya ada di
belakang plasenta (hematoma retroplasenter); darah tinggal saja di dalam rahim
yang disebut internal hemorage (concealed haemorage); masuk merembes ke
dalam amnion; atau keluar melalui vagina (antara selaput ketunban dan dinding
uterus), yang disebut external haemorage (revealed haemorage).(19)
2.1.7 Gejala Klinik
Gejala dan tanda klinis yang klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya
perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina (80% kasus), nyeri perut dan
uterus tegang terus-menerus mirip his partus prematurus2.
Kurang lebih 30% penderita solusio plasenta ringan tidak atau sedikit yang
menunjukkan gejala. Pada keadaaan yang sangat ringan tidak ada gejala kecuali
hematom yang berukuran beberapa sentimeter terdapat pada permukaan maternal
plasenta. Rasa nyeri pada perut masih ringan dan darah yang keluar masih sedikit,
sehingga belum keluar dari vagina. Nyeri yang belum terasa menyulitkan
membedakannya dengan plasenta previa kecuali darah yang keluar berwarna
merah segar pada plasenta previa. Tanda vital ibu dan janin masih baik. Pada
inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai kelainan kecuali pada palpasi sedikit terasa
nyeri lokal pada tempat terbentuknya hematom. Kadar fibrinogen darah dalam
batas normal yaitu 350 mg%. Walaupun belum memerlukan intervensi segera
keadaan ringan ini perlu dimonitor terus sebagai upaya mendeteksi keadaan
bertambah berat. Pemeriksaan ultrasonografi berguna untuk menyingkirkan
plasenta previa dan mungkin bisa mendeteksi luasnya solusio terutama pada
solusio plasenta sedang atau berat2,4,5.
Gejala dan tanda pada solusio plasenta sedang seperti rasa nyeri pada perut
yang terus-menerus, denyut jantung janin biasanya telah menunjukkan gawat
janin, perdarahan yang keluar tampak lebih banyak, takikardia, hipotensi, kulit
dingin, oliguria mulai ada, kadar fibrinogen berkurang antara 150-250 mg/100 ml,
9

dan mungkin kelainan pembekuan darah dan gangguan fungsi ginjal sudah mulai
ada. Rasa nyeri bersifat menetap, tidak hilang timbul seperti pada his yang
normal. Perdarahan pervaginam jelas dan berwarna kehitaman. Pada pemantauan
keadaan janin dengan kardiotokografi bisa jadi telah ada deselerasi lambat. Perlu
dilakukan tes gangguan pembekuan darah2,4,5.
Pada solusio plasenta berat perut sangat nyeri dan tegang serta keras seperti
papan (defence musculare) disertai perdarahan berwarna hitam. Oleh karena itu,
palpasi bagian-bagian janin tidak mungkin dilakukan. Fundus uteri lebih tinggi
daripada yang seharusnya karena telah terjadi penumpukan darah di dalam uterus
pada kategori concealed hemorrhage. Jika dalam masa observasi tinggi fundus
bertambah lagi berarti perdarahan baru masih berlangsung. Pada inspeksi rahim
terlihat membulat dan kulit di atasnya kencang. Pada auskultasi denyut jantung
janin tidak terdengar lagi akibat gangguan anatomik dan fungsi plasenta. Keadaan
umum menjadi buruk disertai syok. Adakalanya keadaan umum ibu jauh lebih
buruk dibandingkan perdarahan yang tidak seberapa keluar dari vagina. Kadar
fibrinogen darah rendah yaitu kurang dari 150 mg% dan telah ada
tromobositopenia2.
2.1.8 Diagnosis Klinik
Dalam banyak hal diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda
klinik yaitu perdarahan melalui vagina, nyeri pada uterus, dan pada solusio
plasenta yang berat terdapat kelainan denyut jantung janin pada pemeriksaan
dengan KTG. Namun kadang pasien datang dengan gejala perdarahan tidak
banyak dengan perut tegangan tetapi janin telah meninggal. Diagnosis pasti
hanya bisa ditegakkan dengan melihat adanya perdarahan retroplasenta setelah
partus (Gambar 2.5)5.

10

Gambar 2.5 Perdarahan Retroplasenta

Ditekankan bahwa tanda dan gejala pada solusio plasenta dapat sangat
bervariasi. Sebagai contoh, pedarahan eksternal dapat deras, namun plasenta yang
terlepas tidak terlalu luas sehingga belum membahayakan janin secara langsung.
Walaupun jarang, mungkin tidak terjadi perdarahan eksternal tetapi plasenta
terlepas total dan sebagai akibatnya janin meninggal. Hurd dkk. (1983) dalam
sebuah penelitian prospektif yang relatif kecil

tentang solusio plasenta,

mengidentifikasi frekuensi berbagai gejala dan tanda yang berhubungan (Tabel


2.2). Perdarahan dan nyeri abdomen adalah temuan tersering. Temuan lain yang
didapatkan adalah perdarahan serius, nyeri punggung, nyeri tekan uterus,
kontraksi uterus yang sering5.
Pada penelitian-penelitian lama, USG jarang mengkonfirmasi diagnosis solusio
plasenta. Sebagai contoh, Sholl (1987) memastikan diagnosis secara sonografis
hanya pada 25% wanita. Hal yang sama dikemukakan oleh Glantz dan Purnell
(2002), yang mengkalkulasi hanya 24% dari 149 wanita yang melakukan USG
dapat menyingkirkan kemungkinan adanya solusio plasenta. Yang penting,
temuan negatif pada pemeriksaan USG tidak menyingkirkan solusio plasenta5.

11

Gejala dan Tanda

Frekuensi (%)

Perdarahan pervaginam

78

Uterus tegang atau nyeri pinggang

66

Gawat janin

60

Partus prematurus

22

Kontraksi yang terus menerus tinggi

17

Hipertonus

17

Kematian janin

15

Tabel 2.1 Gejala dan Tanda Solusio Plasenta5

2.1.9 Diagnosis Banding


a. Plasenta Previa
Plasenta Previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat
abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau
seluruh pembukaan jalan rahir (ostium uteri internal). Klasifikasi antara lain
adalah plasenta previa totalis, plasenta previa parsialis, dam plasenta previa
marginalis. (26)
Gejala Klinis dari plasenta previa ialah perdarahan pada kehamilan diatas
20 minggu, tanpa nyeri (painless), dan berulang (recurrent). Sebab perdarahan
ialah karena ada plasenta yang robek yang berada pada segmen bawah rahim.
Perdarahan bergantung pada banyak pembuluh darah yang robek dan plasenta yg
lepas. Pada sebagian kasus, terutama pada mereka yang plasentanya tertanam
dekat tetapi tidak menutupi ostium serviks, perdarahan mungkin belum terjadi
sampai persalinan dimulai. Perdarahan ini bervariasi dari ringan sampai berat dan
dapat menyerupai solusio plasenta.(7,10)
Mendiagnosis plasenta previa selalu harus dibandingkan dengan solusio
plasenta karena keduanya merupakan jenis perdarahan pada paruh terakhir
kehamilan. Untuk mendiagnosis dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan luar
12

yang menunjukkan terdapat kelaianan letak plasenta, inspekulo, dan USG.


Kemungkinan plasenta previa tidak boleh disingkirkan sampai pemeriksaan sesuai
termasuk USG, jelas membuktikan bahwa itu bukan plasenta previa. Diagnosis
plasenta previa jarang dapat dipastikan dengan pemeriksaan klinis. Dengan USG
dapat terlihat jelas lokasi implantasi plasenta, sehingga dengan USG dapat
dipastikan diagnosis plasenta previa. Pemakaian USG transvaginal mampu
melakukan visualisasi ostium serviks pada semua kasus.(7,26)
Penatalaksanaan plasenta previa pada janin prematur tetapi tanpa
perdarahan aktif adalah perawatan konservatif seperti tirah baring, infus dextrose
5%, pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan Hb, hematokrit, dan USG.
Pasien dapat dipulangkan setelah perdarahan berhenti dan janin dianggap sehat.
Namun jika kehamilan telah cukup bulan, terjadi perdarahan aktif, atau anak mati
dapat dilakukan penanganan aktif berupa persalinan pervaginam atau seksio
sesarea. Persalinan pervaginam dilakukan pada keadaan Plasenta previa lateralis/
marginalis dengan KJDR, serviks matang, kepala masuk PAP, maka lakukan
amniotomi diikuti drip oksitosin diteruskan persalinan pervaginam. Sedangkan
Indikasi seksio sesarea adalah plasenta previa totalis, perdarahan banyak tanpa
henti, presentasi abnormal, panggul sempit, dan gawat janin.
Perbedaan solusio plasenta dengan plasenta previa dapat dilihat pada tabel
2.2 berikut :
Kriteria
Perdarahan

Solusio Plasenta
Merah tua s/d coklat hitam

Merah segar,

Terus menerus

Tidak nyeri

Disertai nyeri
Uterus

Berulang

Tak tegang

Tegang, Bagian janin tak


teraba, Nyeri tekan

Syok/Anemia

Plasenta Previa

Tak nyeri tekan


Jarang

Lebih sering

Sesuai dengan jumlah darah

Tidak sesuai dengan jumlah

yang keluar

darah yang keluar


13

40% fetus sudah mati

Biasanya fetus hidup

Tidak disertai kelainan letak

Disertai kelainan letak

Fetus
Teraba plasenta atau

Pemeriksaan

Ketuban menonjol

perabaan fornik ada bantalan

walaupun tidak his

antara bagian janin dengan


jari pemeriksaan

dalam

Tabel 2.2 Perbedaan Solusio Placenta dan Placenta Previa6

b. Vasa Previa
Vasa previa adalah kelainan tali pusat yang jarang akibat dari inersi
velamentosa suatu keadaan dimana pembuluh-pembuluh umbilikalis memisah di
dalam selaput agak jauh dari tepi plasenta. Pembuluh darah janin melintasi ostium
uteri internum dan berada di depan bagian presentasi janin. Vasa previa dikaitkan
dengan tingkat mortalitas janin yang tinggi, yang ditimbulkan oleh kehilangan
darah yang hebat (eksanguinasi) dari pembuluh darah yang robek atau
penyumbatan vascular oleh bagian presentasi janin. Pembuluh darah janin dapat
robek ketika ketuban pecah atau oleh tekanan kepala janin.
Vasa previa terjadi bila pembuluh darah janin melintasi selaput ketuban yang
berada di depan ostium uteri internum. Pembuluh darah tersebut dapat berasal dari
insersio velamentosa dari talipusat atau bagian dari lobus suksenteriata (lobus
aksesorius). Bila pembuluh darah tersebut pecah maka akan terjadi robekan
pembuluh darah sehingga terjadi eksanguisasi dan kematian janin.
Vasa previa jarang terdiagnosa sebelum persalinan namun dapat diduga
bila USG antenatal dengan Coolor Doppler memperlihatkan adanya pembuluh
darah pada selaput ketuban didepan ostium uteri internum. Atau dengan Tes Apt

14

uji pelarutan basa hemoglobin yang diteteskan 2 3 tetes larutan basa kedalam 1
mL darah. Eritrosit janin tahan terhadap pecah sehingga campuran akan tetap
berwarna merah. Jika darah tersebut berasal dari ibu, eritrosit akan segera pecah
dan campuran berubah warna menjadi coklat. Diagnosa dipastikan pasca salin
dengan pemeriksaan selaput ketuban dan plasenta. Seringkali janin sudah
meninggal saat diagnosa ditegakkan mengingat bahwa sedikit perdarahan yang
terjadi sudah berdampak fatal bagi janin.
2.1.10 Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang terus
berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti anemia, syok
hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan darah, gagal
ginjal. Sindroma Sheehan terdapat pada beberapa penderita yang terhindar dari
kematian setelah menderita syok yang berlangsung lama yang menyebabkan
iskemia dan nekrosis adenohipofisis sebagai akibat solusio plasenta2.
Kematian janin, kelahiran prematur dan kematian perinatal merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi pada solusio plasenta. Solusio plasenta
berulang dilaporkan juga bisa terjadi pada 25% perempuan yang pernah menderita
solusio plasenta sebelumnya. Solusio plasenta kronik dilaporkan juga sering
terjadi di mana proses pembentukan hematom retroplasenta berhenti tanpa
dijelang oleh persalinan.

Komplikasi koagulopati dijelaskan sebagai berikut.

Hematoma retroplasenta yang terbentuk mengakibatkan pelepasan retroplasenta


berhenti ke dalam peredaran darah. Tromboplastin bekerja mempercepat
perombakan protrombin menjadi trombin. Trombin yang terbentuk dipakai untuk
mengubah fibrinogen menjadi fibrin untuk membentuk lebih banyak bekuan
utama pada solusio plasenta berat. Melalui mekanisme ini apabila pelepasan
tromboplastin cukup banyak dapat menyebabkan terjadi pembekuan darah
intravaskular yang luas (disseminated intravascular coagulation) yang semakin
menguras persediaan fibrinogen dan faktor-faktor pembekuan lain2.
Kerusakan ginjal, syok hipovolemik yang berat dapat menyebabkan gagal
ginjal dengan diawali hemoglobinuria, kemudian oliguria atau anuria. Hal ini
15

dapat merusak tubulus ginjal atau nekrosis pada korteks ginjal. Untuk itu pada
kasus solusio plasenta yang berat harus dilakukan monitoring pengeluaran urine
secara cermat. Pre-eklampsia sering menyertai solusio plasenta, vasospasme ginjal
kemungkinan besar makin intensif. Bahkan apabila solusio plasenta disertai
penyulit koagulasi intravaskular berat, terapi perdarahan secara dini dan agresif
dengan darah dan kristaloid sering dapat mencegah disfungsi ginjal yang
bermakna secara klinis. Atas alasan yang tidak diketahui, proteinuria sering
dijumpai, terutama pada solusio plasenta yang berat. Proteinuria ini biasanya
mereda segera setelah pelahiran.(1,5)
Curah jantung yang menurun dan kekakuan pembuluh darah ginjal akibat
tekanan intrauterina yang meninggi menyebabkan perfusi ginjal sangat menurun
dan menyebabkan anoksia. Keadaan umum yang terjadi adalah nekrosis tubulustubulus ginjal secara akut menyebabkan kegagalan fungsi ginjal2.
Mungkin terjadi ekstravasasi luas darah ke dalam otot uterus dan di bawah
lapisan serosa uterus yang disebut sebagai apopleksio uteroplasental ini, yang
pertama kalinya dilaporkan oleh Couvelaire pada awal tahun 1900-an, sekarang
sering disebut sebagai uterus couvelaire. Pada keadaan ini perdarahan
retroplasenta

menyebabkan

darah

menerobos

melalui

sela-sela

serabut

miometrium dan bahkan bisa sampai ke bawah perimetrium dan ke dalam


jaringan pengikat ligamentum latum, ke dalam ovarium bahkan bisa mengalir
sampai ke rongga pernitonei. Perdarahan miometrium ini jarang sampai
mengganggu kontraksi uterus sehingga terjadi perdarahan postpartum berat dan
bukan merupakan indikasi untuk histerektomi2,5.
2.1.12 Penanganan
Terapi solusio plasenta akan berbeda-beda tergantung pada usia kehamilan
serta status ibu dan janin. Pada janin yang hidup dan matur, dan apabila persalinan
pervaginam tidak terjadi dalam waktu dekat, sebagian besar akan memilih seksio
sesaria darurat.
a.

Solusio Plasenta Ringan


16

Solusio plasenta ringan jarang ditemukan di RS. Pada umumnya didiagnosis


secara kebetulan pada pemeriksaaan USG oleh karena tidak memberikan gejala
klinik yang khas. Apabila kehamilannya kurang dari 36 minggu dan perdarahan
kemudian berhenti, perut tidak menjadi nyeri, dan uterus tidak tegang, maka
penderita harus diobservasi dengan ketat. Apabila perdarahan berlangsung terus
dan gejala solusio plasenta bertambah jelas atau dengan pemeriksaan USG daerah
solusio plasenta bertambah luas maka dilakukan terminasi kehamilan.
b.

Solusio Plasenta Sedang dan Berat

Pada solusio plasenta sedang sampai berat dilakukan perbaikan keadaan umum
terlebih dahulu dengan resusitasi cairan dan transfusi darah. Bila janin masih
hidup biasanya dalam keadaan gawat janin, dilakukan seksio sesarea, kecuali bila
pembukaan telah lengkap. Pada keadaan ini dilakukan amniotomi, drip oksitosin,
dan bayi dilahirkan dengan ekstraksi forcep. Apabila janin telah mati dilakukan
persalinan pervaginam dengan cara melakukan amniotomi, drip oksitosin. Bila
bayi belum lahir dalam waktu 6 jam, dilakukan tindakan seksio sesarea.
c. Seksio Sesarea
Pelahiran secara cepat janin yang hidup tetapi mengalami gawat janin hampir
selalu berarti seksio sesarea. Kayani dkk. (2003) meneliti hubungan antara
cepatnya persalinan dan prognosis janinnya pada 33 wanita hamil dengan gejala
klinis berupa solusio plasenta dan bradikardi janin. 22 bayi secara neurologis
dapat selamat, 15 bayi dilahirkan dalam waktu 20 menit setelah keputusan akan
dilakukan operasi. 11 bayi meninggal atau berkembang menjadi Cerebral Palsy, 8
bayi dilahirkan di bawah 20 menit setelah pertimbangan waktu, sehingga cepatnya
respons adalah faktor yang penting bagi prognosis bayi ke depannya 6. Seksio
sesarea pada saat ini besar kemungkinan dapat membahayakan ibu karena
mengalami hipovolemia berat dan koagulopati konsumtif yang parah2.
d.

Persalinan Pervaginam

Apabila terlepasnya plasenta sedemikian parah sehingga menyebabkan janin


meninggal, lebih dianjurkan persalinan pervaginam kecuali apabila perdarahannya
sedemikian deras sehingga tidak dapat diatasi bahkan dengan penggantian darah
17

secara agresif, atau terdapat penyulit obstetri yang menghambat persalinan


pervaginam. Defek koagulasi berat kemungkinan besar dapat menimbulkan
kesulitan pada seksio sesarea. Insisi abdomen dan uterus rentan terhadap
perdarahan hebat apabila koagulasi terganggu. Dengan demikian, pada persalinan
pervaginam, stimulasi miometrium secara farmakologis atau dengan massage
uterus akan menyebabkan pembuluh-pembuluh darah berkontraksi sehingga
perdarahan serius dapat dihindari walaupun defek koagulasinya masih ada. Lebih
lanjut, perdarahan yang sudah terjadi akan dikeluarkan melalui vagina.
e.

Amniotomi

Pemecahan selaput ketuban sedini mungkin telah lama dianggap penting dalam
penatalaksanaan solusio plasenta. Alasan dilakukannya amniotomi ini adalah
bahwa keluarnnya cairan amnion dapat mengurangi perdarahan dari tempat
implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin dan mungkin faktor-faktor
pembekuan aktif dari bekuan retroplasenta ke dalam sirkulasi ibu. Namun, tidak
ada bukti keduanya tercapai dengan amniotomi. Apabila janin sudah cukup matur,
pemecahan selaput ketuban dengan mempercepat persalinan. Apabila janin imatur,
ketuban yang utuh mungkin lebih efisien untuk mendorong pembukaan serviks
daripada tekanan yang ditimbulkan bagian tubuh janin yang berukuran kecil dan
kurang menekan serviks5.
f.

Oksitosin
Walaupun pada sebagian besar kasus solusio plasenta berat terjadi

hipertonisitas yang mencirikan kerja miometrium, apabila tidak terjadi kontraksi


uterus yang ritmik, pasien diberi oksitosin dengan dosis standar. Stimulasi uterus
untuk menimbulkan persalinan pervaginam memberikan manfaat yang lebih besar
daripada risiko yang didapat. Pemakaian oksitosin pernah dipertanyakan
berdasarkan anggapan bahwa tindakan ini dapat meningkatkan masuknya
tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu sehingga memacu atau memperparah
kaogulopati konsumtif atau sindroma emboli cairan amnion5.
2.1.13 Prognosis

18

Solusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk baik bagi ibu hamil dan
lebih buruk lagi bagi janin jika dibandingkan dengan plasenta previa. Solusio
plasenta ringan masih mempunyai prognosis yang baik bagi ibu dan janin karena
tidak ada kematian dan morbiditasnya rendah. Solusio plasenta sedang
mempunyai prognosis yang lebih buruk terutama terhadap janinnya karena
mortalitas dan morbiditas perinatal yang tinggi. Solusio plasenta berat mempunyai
prognosis yang paling buruk baik terhadap ibu terlebih terhadap janinnya 2.

BAB III
KESIMPULAN

19

Perdarahan akibat solusio plasenta berhubungan erat dengan angka kematian


bayi dan mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya prematuritas dan
pertumbuhan janin terhambat. Penanganan dan prognosis solusio plasenta
tergantung dari derajat solusio plasenta.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sulaiman Sastrawinata. 1985. Obstetri Fisiologi. Bandung : Eleman. Hal


102-122.
20

2. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan


Persalinan; Bagian Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas, dan
Bayi Baru Lahir (Masalah Ibu);

Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi ke-4.

Jakarta: Penerbit P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h. 492-513.


3. Mose, Johanes C. 2004. Penyulit Kehamilan; Perdarahan Antepartum;
Dalam: Obstetri Patologi, edisi ke-2. Editor: Prof. Sulaiman Sastrawinata,
dr, SpOG(K), Prof. Dr. Djamhoer Martaadisoebrata, dr, MPSH, SpOG(K),
Prof. Dr. Firman F. Wirakusumah, dr, SpOG(K). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC dan Padjadjaran Medical Press. h. 91-96
4. Suyono,Lulu,Gita,Harum,Endang. 2007. Hubungan Antara Umur Ibu
Hamil Dengan Frekuensi Solusio Plasenta di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta; Dalam: Cermin Dunia Kedokteran vol.34 no.5.h 233-238
5. Leveno, Kenneth J. MD; Cunningham, F. Gary MD; Alexander, James M.
MD; Bloom, Steven L. MD; Casey, Brian M. MD; Dashe, Jodi. S MD; et
al. 2007. Obstetrical Complications Section VII, Chapter 35. Obstetrical
Hemorrhage. In: Williams, 22nd edition. Editor: Anne Sydor, Marsha Loeb,
Peter J. Boyle. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc.
6. Miller David A.. Obstretric Hemmorhage. February, 2009. from
http//www.obfocus.com/.../bleeding/hemorrhagepa.htm.

Accessed

December 28, 2009


7. Cunningham, F. G; Gant, N. F; Levono, K. J; et all [ed]. Obstetri William.
Volume 1. Edisi 21. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. h.
687-96, 34-52.
8. Prawirohardjo, Sarwono. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan
Persalinan. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: PT. Bina Pustaka; 2008. h.
503-506.
9. Sastrawinata, Sulaiman. Perdarahan Antepartum. Obstetri Patologi. Edisi
2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. h. 91-97.
10. Mochtar, Rustam. Perdarahan Antepartum (Hamil Tua). Sinopsis Obstetri.
Edisi 2. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1998. h. 279-287

21

11. Hanretty, P Kevin. Vaginal Bleeding In Pregnancy. Obstetrics Illustrated.


Sixth Edition. Philadelvia: Elsevier Science; 2003. h. 188-189.
12. Bader, J Thomas. Antepartum Bleeding. OB/GYN SECRET. Third
Edition. Philadelphia: Hanley and Belfus, INC; 2003. h. 279-281.
13. Purnomo, Aris. Anatomi dan Fisiologi Saluran Reproduksi Wanita. 14 Juni
2010 guidelines. [online]. 2011. Available from URL:
14. Sastrawinata, Sulaeman. Anatomi alat-alat Reproduksi wanita. Obstetri
Fisiologi. Bandung:Elstar Offset; 2004. h. 49-59
15. Brown, Haywood. Normal Pregnancy. Stage of Development. November
2007 guidelines. [online]. 2011. Available from URL:
16. Sherwood, Lau ralee. Sistem Reproduksi. Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. h. 722726.
17. Antepartum Hemorrhage. Obstetrics and Gynecology Principles for
practice. Philadelvia: Elsevier Science; 2005. h. 277-283
18. Israr, Yayan Akhyar. Karakteristik Kasus Solusio Plasenta. 16 Juni 2008
guidelines. [online]. 2011. Available from URL:
19. Yeo, Lami. Plasenta Abruption. Women Medicine 2008 guidelines.
[Online]. 2011. Available from URL:
20. Widjarnako, Bambang. Solusio Plasenta. Informasi Reproduksi 2009
guidelines. [online]. 2011. Available from URL
21. Manuaba, Ida Bagus Gde. Perdarahan Antepartum. Kapita Selekta
Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2001. h. 436-441.
22. Llewellyn, Derek-Jones. Perdarahan Antepartum. Dasar-Dasar Obstetri
dan Ginekologi. Edisi 6. Sydney: Hipokrates; 2002. h. 111-112.
23. Heller, Luz. Gawat Darurat Obstetri. Gawat Darurat Ginekologi dan
Obstetri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997. h. 28-29.
24. Sastrawinata, Sulaeman. Solutio Plasenta. Obstetri Patologi. Bandung:
Eleman; 2004. h. 120-127.

22

25. Taber, Ben-zion, MD. Abrupsio Plasenta. Kapita Selekta Kedaruratan


Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994.
h. 330-335.
26. Johnson, T Pamela. Placental Abruption. Case Review Obstetrics and
Gynecologie Ultrasound. Philadelphia: Elsevier Science; 2001. h. 108

23

Anda mungkin juga menyukai