Penemuan teknologi DNA rekombinan (cara di mana materi genetik dari satu
organisme artifisial diperkenalkan ke dalam genom organisme lain dan kemudian
direplikasi dan diekspresikan oleh organisme lain) sebagian besar adalah karya dari Paul
Berg (lahir1926), Herbert W. Boyer (lahir 1936), dan Stanley N. Cohen (lahir 1935),
meskipun banyak ilmuwan lain membuat kontribusi penting untuk teknologi DNA
rekombinan yang baru juga (CHF, 2010).
Pada tahun 1971, percobaan Berg penyambungan gen (Gambar 1) yang terlibat
penyambungan sedikit DNA dari virus bakteri yang dikenal sebagai lambda ke dalam
DNA virus simian SV40, yang tuan rumah alaminya adalah monyet. DNA dari kedua
virus ini terjadi pada loop tertutup. Pada langkah pertama dari percobaan Berg, loop
masing-masing dipotong di satu tempat oleh enzim, EcoRI. Selanjutnya, untuk membuat
ujung molekul sekarang (yang linear agar tersambung lagi), mereka dimodifikasi oleh
dua enzim lain menggunakan prosedur yang dikembangkan oleh rekan Stanford.
Kemudian dua jenis DNA dicampur bersama-sama, di mana mereka bergabung kembali
ke dalam loop dalam sedemikian rupa sehingga loop baru gabungan DNA dari masingmasing sumber. Percobaan penyambungan gen Berg menghasilkan DNA rekombinan
pertama buatan manusia (rDNA), begitu molekul tersebut kemudian disebut (CHF, 2010).
Gambar 1. Proses
pembuatan DNA
rekombinan,
seperti yang
dipelopori oleh Paul
Berg.
Peristiwa
berikutnya dalam
pengembangan
bioteknologi
modern adalah
penyisipan rDNA
bakteri menjadi
sedemikian rupa,
bahwa
DNA
asing
akan
meniru secara alami (Gambar 2). Langkah ini diambil pada tahun 1972 oleh Herbert
Boyer di University of California di San Francisco (UCSF), bekerja sama dengan Stanley
Cohen dari Stanford University (CHF, 2010).
Gambar 2.
Penyisipan DNA
rekombinan
sehingga DNA asing
akan mereplikasi
secara alami, seperti
yang dipelopori oleh
Herbert Boyer dan
Stanley Cohen.
Pada tahun
1972,
para
peneliti,
termasuk Boyer,
menyadari
bahwa
enzim
EcoRI, yang sebenarnya telah ditemukan di UCSF Laboratorium Boyer itu, memotong
DNA sedemikian rupa sehingga ujung tidak tumpul tapi terhuyung-huyung, sehingga
tidak ada penambahan molekul yang dibutuhkan untuk membuat satu bagian terputus kait
pada bagian lain yang memiliki luka yang saling melengkapi. Boyer dan seorang rekan,
Robert Helling, memulai upaya mereka untuk menciptakan rDNA untuk memasukkan
dalam bakteri Escherichia coli (E. coli) dengan mencoba menggunakan EcoRI untuk
membuka DNA dari virus bakteri lambda. Mereka menjadi frustrasi, namun, ketika enzim
memotong DNA di lima tempat, bukan satu, hal tersebut seperti yang diinginkan (CHF,
2010).
Keberhasilan pertama dari kolaborasi Boyer-Cohen terjadi pada musim semi 1973
dan melibatkan salah satu plasmid Cohen, pSC101. Plasmid sudah dikenal untuk
mentransfer resistensi obat di antara bakteri, dan yang satu ini bisa membuat E. coli
resisten terhadap antibiotik tetrasiklin. Plasmid pSC101 dibelah oleh EcoRI hanya pada
satu situs, meninggalkan kemampuan plasmid utuh untuk meniru. Ketika pSC101 DNA
linearized dicampur dengan DNA lain yang telah dibelah oleh enzim yang sama, ujung
pelengkap fragmen dari kedua sumber DNA bergabung bersama-sama ke loop baru.
Pengobatan dengan enzim lain menutup torehan masih terlihat di loop DNA, yang
kemudian diperkenalkan ke bakteri kalsium klorida-diobati. Bakteri tersebar pada kultur
yang mengandung tetracycline, dan hanya bakteri dengan plasmid rDNA selamat (CHF,
2010).
Boyer dan Cohen segera pindah ke percobaan kloning yang lebih rumit. Mereka
menggabungkan plasmid tetrasiklin (resisten plasmid) dengan kanamisin (tahan plasmid)
-kanamisin merupakan antibiotik lain, dan dimasukkan ke dalam E. coli. Selanjutnya
mereka menunjukkan bahwa materi genetik memang bisa ditransfer antar spesies,
sehingga tidak membuktikan mitos lama yang biasa dipegang. Mereka memotong
sepotong plasmid Staphylococcus (Staphylococcus adalah bakteri bertanggung jawab
untuk infeksi Staph), dan disambung dengan salah satu dari banyak plasmid E. coli dan
dimasukkan keseluruhan di E. coli. DNA dari Staphylococcus, spesies yang berbeda dari
bakteri, berhasil diperbanyak di E. Coli (CHF, 2010).
Sumber:
Chemical Heritage Foundation. 2010. Paul Berg, Herbert W. Boyer, and Stanley N.
Cohen. Available at: http://www.chemheritage.org/discover/online-resources/chemistryin-history/themes/pharmaceuticals/preserving-health-with-biotechnology/berg-boyercohen.aspx [diakses 05 Mei 2014]
menggunakan CsCl.
Teknik isolasi DNA tersebut dapat diaplikasikan, baik untuk DNA genomik maupun
DNA vektor, khususnya plasmid. Untuk memilih di antara kedua macam molekul DNA
ini yang akan diisolasi dapat digunakan dua pendekatan. Pertama, plasmid pada
umumnya berada dalam struktur tersier yang sangat kuat atau dikatakan mempunyai
bentuk covalently closed circular (CCC), sedangkan DNA kromosom jauh lebih longgar
ikatan kedua untainya dan mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi. Perbedaan
tersebut menyebabkan DNA plasmid jauh lebih tahan terhadap denaturasi apabila
dibandingkan dengan DNA kromosom. Oleh karena itu, aplikasi kondisi denaturasi akan
dapat memisahkan DNA plasmid dengan DNA kromosom.
Pendekatan kedua didasarkan atas perbedaan daya serap etidium bromid, zat
pewarna DNA yang menyisip atau melakukan interkalasi di sela-sela basa molekul DNA.
DNA plasmid akan menyerap etidium bromid jauh lebih sedikit daripada jumlah yang
diserap oleh DNA kromosom per satuan panjangnya. Dengan demikian, perlakuan
menggunakan etidium bromid akan menjadikan kerapatan DNA kromosom lebih tinggi
daripada kerapatan DNA plasmid sehingga keduanya dapat dipisahkan melalui
sentrifugasi kerapatan.
Enzim Restriksi
Tahap kedua dalam kloning gen adalah pemotongan molekul DNA, baik genomik
maupun plasmid. Perkembangan teknik pemotongan DNA berawal dari saat
ditemukannya sistem restriksi dan modifikasi DNA pada bakteri E. coli, yang berkaitan
dengan infeksi virus atau bakteriofag lambda (l). Virus l digunakan untuk menginfeksi
dua strain E. coli, yakni strain K dan C. Jika l yang telah menginfeksi strain C diisolasi
dari strain tersebut dan kemudian digunakan untuk mereinfeksi strain C, maka akan
diperoleh l progeni (keturunan) yang lebih kurang sama banyaknya dengan jumlah yang
diperoleh dari infeksi pertama. Dalam hal ini, dikatakan bahwa efficiency of plating
(EOP) dari strain C ke strain C adalah 1. Namun, jika l yang diisolasi dari strain C
digunakan untuk menginfeksi strain K, maka nilai EOP-nya hanya 10-4. Artinya, hanya
ditemukan l progeni sebanyak 1/10.000 kali jumlah yang diinfeksikan. Sementara itu, l
yang diisolasi dari strain K mempunyai nilai EOP sebesar 1, baik ketika direinfeksikan
pada strain K maupun pada strain C. Hal ini terjadi karena adanya sistem
restriksi/modifikasi (r/m) pada strain K.
Pada waktu bakteriofag l yang diisolasi dari strain C diinfeksikan ke strain K,
molekul DNAnya dirusak oleh enzim endonuklease restriksi yang terdapat di dalam strain
K. Di sisi lain, untuk mencegah agar enzim ini tidak merusak DNAnya sendiri, strain K
juga mempunyai sistem modifikasi yang akan menyebabkan metilasi beberapa basa pada
sejumlah urutan tertentu yang merupakan tempat-tempat pengenalan (recognition sites)
bagi enzim restriksi tersebut.
DNA bakteriofag l yang mampu bertahan dari perusakan oleh enzim restriksi pada
siklus infeksi pertama akan mengalami modifikasi dan memperoleh kekebalan terhadap
enzim restrisksi tersebut. Namun, kekebalan ini tidak diwariskan dan harus dibuat pada
setiap akhir putaran replikasi DNA. Dengan demikian, bakteriofag l yang diinfeksikan
dari strain K ke strain C dan dikembalikan lagi ke strain K akan menjadi rentan terhadap
enzim restriksi.
Metilasi hanya terjadi pada salah satu di antara kedua untai molekul DNA.
Berlangsungnya metilasi ini demikian cepatnya pada tiap akhir replikasi hingga molekul
DNA baru hasil replikasi tidak akan sempat terpotong oleh enzim restriksi.
Enzim restriksi dari strain K telah diisolasi dan banyak dipelajari. Selanjutnya,
enzim ini dimasukkan ke dalam suatu kelompok enzim yang dinamakan enzim restriksi
tipe I. Banyak enzim serupa yang ditemukan kemudian pada berbagai spesies bakteri
lainnya.
Pada tahun 1970 T.J. Kelly menemukan enzim pertama yang kemudian dimasukkan
ke dalam kelompok enzim restriksi lainnya, yaitu enzim restriksi tipe II. Ia mengisolasi
enzim tersebut dari bakteri Haemophilus influenzae strain Rd, dan sejak saat itu
ditemukan lebih dari 475 enzim restriksi tipe II dari berbagai spesies dan strain bakteri.
Semuanya sekarang telah menjadi salah satu komponen utama dalam tata kerja rekayasa
genetika.
Enzim restriksi tipe II antara lain mempunyai sifat-sifat umum yang penting sebagai
berikut:
1. mengenali urutan tertentu sepanjang empat hingga tujuh pasang basa di dalam
molekul DNA
2. memotong kedua untai molekul DNA di tempat tertentu pada atau di dekat tempat
pengenalannya
3. menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran dan urutan basa.
Sebagian besar enzim restriksi tipe II akan mengenali dan memotong urutan
pengenal yang mempunyai sumbu simetri rotasi.
Pemberian nama kepada enzim restriksi mengikuti aturan sebagai berikut. Huruf
pertama adalah huruf pertama nama genus bakteri sumber isolasi enzim, sedangkan huruf
kedua dan ketiga masing-masing adalah huruf pertama dan kedua nama petunjuk spesies
bakteri sumber tersebut. Huruf-huruf tambahan, jika ada, berasal dari nama strain bakteri,
dan angka romawi digunakan untuk membedakan enzim yang berbeda tetapi diisolasi
dari spesies yang sama.
Tempat pemotongan pada kedua untai DNA sering kali terpisah sejauh beberapa
pasang basa. Pemotongan DNA dengan tempat pemotongan semacam ini akan
menghasilkan fragmen-fragmen dengan ujung 5 yang runcing karena masing-masing
untai tunggalnya menjadi tidak sama panjang. Dua fragmen DNA dengan ujung yang
runcing akan mudah disambungkan satu sama lain sehingga ujung runcing sering pula
disebut sebagai ujung lengket (sticky end) atau ujung kohesif.
Hal itu berbeda dengan enzim restriksi seperti Hae III, yang mempunyai tempat
pemotongan DNA pada posisi yang sama. Kedua fragmen hasil pemotongannya akan
mempunyai ujung 5 yang tumpul karena masing-masing untai tunggalnya sama
panjangnya. Fragmen-fragmen DNA dengan ujung tumpul (blunt end) akan sulit untuk
disambungkan. Biasanya diperlukan perlakuan tambahan untuk menyatukan dua fragmen
DNA dengan ujung tumpul, misalnya pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau
penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal
homopolimerik 3.
Gambar 4. Enzim
restriksi EcoRI
memotong molekul
DNA melingkar
bantalan satu urutan
target, menghasilkan
molekul linier dengan ujung lengket beruntai tunggal.
menyintesis untai tunggal homopolimerik 3. Dengan untai tunggal semacam ini akan
diperoleh ujung lengket buatan, yang selanjutnya dapat diligasi menggunakan DNA
ligase.
Suhu optimum bagi aktivitas DNA ligase sebenarnya 37C. Akan tetapi, pada suhu
ini ikatan hidrogen yang secara alami terbentuk di antara ujung-ujung lengket akan
menjadi tidak stabil dan kerusakan akibat panas akan terjadi pada tempat ikatan tersebut.
Oleh karena itu, ligasi biasanya dilakukan pada suhu antara 4 dan 15C dengan waktu
inkubasi (reaksi) yang diperpanjang (sering kali hingga semalam).
Pada reaksi ligasi antara fragmen-fragmen DNA genomik dan DNA vektor,
khususnya plasmid, dapat terjadi peristiwa religasi atau ligasi sendiri sehingga plasmid
yang telah dilinierkan dengan enzim restriksi akan menjadi plasmid sirkuler kembali. Hal
ini jelas akan menurunkan efisiensi ligasi. Untuk meningkatkan efisiensi ligasi dapat
dilakukan beberapa cara, antara lain penggunaan DNA dengan konsentrasi tinggi (lebih
dari 100g/ml), perlakuan dengan enzim alkalin fosfatase untuk menghilangkan gugus
fosfat dari ujung 5 pada molekul DNA yang telah terpotong, serta pemberian molekul
linker, molekul adaptor, atau penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk
menyintesis untai tunggal homopolimerik 3 seperti telah disebutkan di atas.