Anda di halaman 1dari 4

Menakar RUU Kesetaraan Gender

OPINI | 04 May 2013 | 20:55 Dibaca: 109 Komentar: 1 Nihil


Rancangan Undang Undang Kesetaraan Gender yang kini sedang dibahas di DPR RI menuai protes dari
berbagai kalangan, khusunya dari kalangan Ilmuwan Islam. Hal ini disebabkan karena RUU Kesetaraan
Gender dinilai telah menabrak ketentuan dalam Al-Quran dan hadis. Menurut kalangan yang kontra
terhadap pengesahan RUU KG, bahwa ayat-ayat al-Quran dan hadits yang selama berabad-abad sudah
dipahami secara pasti dalam konsepsi Islamiah sebagai salah satu agama yang memandang suami dalam
ikatan perkawinan adalah sebagai pemimpin dalam keluarga, kini digugat dan dipaksa untuk berubah,
mengikuti konsep keluarga dalam tradisi Barat modern yang meletakkan suami dan istri dalam posisi
setara dalam segala hal.
Feminisme dan Gerakan Kesetaraan Gender
Sebelum lebih jauh melihat ada apa di balik RUU Kesetaraan Gender yang sementara di bahas oleh DPR
RI, penulis mengajak pembaca menoleh ke belakang melihat sejarah lahirnya konsep kesetaraan gender.
Dilihat dari latar belakang historis, konsep kesetaraan gender menurut Rowbotham sebenarnya lahir
dari pemberontakan perempuan barat akibat penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad
lamanya. Sejak zaman Yunani, Romawi, dan Abad Pertengahan (the Middle Ages), dan bahkan pada
abad pencerahan sekali pun, barat menganggap wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat,
dan sumber dari segala kejahatan atau dosa. Hal ini pun kemudian memunculkan gerakan perempuan
barat menuntut hak dan kesetaraan perempuan dalam bidang ekonomi dan politik yang pada akhirnya
dikenal dengan sebutan feminis.
Kelahiran feminisme dibagi menjadi tiga gelombang, yakni feminisme gelombang pertama dimulai dari
publikasi Mary Wollstonecraft berjudul Vindication of the Rights of Women pada tahun 1972, yang
menganggap kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh
ketergantungan ekonomi pada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang publik. Setelah itu,
muncul feminisme gelombang kedua dengan doktrinnya yang memandang perbedaan gender sengaja
diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap perempuan. Pada gelombang kedua inilah dimulai
gugatan perempuan terhadap institusi pernikahan, keibuan (motherhood), hubungan lawan jenis
(heterosexual relationship) dan secara radikal mereka berusaha mengubah setiap aspek dari kehidupan
pribadi dan politik. Terakhir adalah feminisme gelombang ketiga yang lebih menekankan kepada
keragaman (diversity), sebagai contoh ketertindasan kaum perempuan heteroseksual yang dianggap
berbeda dengan ketertindasan yang dialami kaum lesbi dan sebagainya. (Arivia, 2002).
Pro-Kontra RUU Kesetaraan Gender
Dari latar belakang historis munculnya konsep kesetaraan gender, kita dapat menilai bahwa konsep ini
secara substansial sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Alasannya adalah,
bahwa ajaran feminisme dibesarkan dan tumbuh subur bersamaan dengan konsep dan pemikiran
liberalisme dan sekularisme yang telah mencabut nilai-nilai spiritual dalam peradaban barat.
Sebagaimana kaum feminis barat, kelompok yang menamakan diri feminis muslim juga menuding
bahwa salah satu faktor yang paling mengemuka dalam timbulnya ketidakadilan gender adalah
interpretasi ajaran agama yang sangat didominasi ide bias gender dan bias nilai-nilai patriakal.

Terkait masalah di atas, hal inilah yang kemudian membuat para penggiat Islam menilai bahwa apa yang
dilakukan DPR RI sekarang yang sedang merumuskan ketentuan mengenai ide dan konsep kesetaraan
gender melalui RUU Kesetaraan Gender merupakan langkah salah yang meski disikapi. Menurut
kalangan penggiat Islam, hal ini disebabkan karena dalam RUU KG ada beberapa ketentuan yang sudah
secara terang-terangan melabrak ketentuan dan ajaran Islam. Beberapa ketentuan yang dimaksud antara
lain:
Pasal 1 ayat (2), menyebutkan, bahwa:
Kesetaraan Gender adalah kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan
seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontroldalam proses pembangunan,
dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang kehidupan.
Ketentuan dalam pasal ini memandang adanya diskriminatif selama ini terhadap kaum perempuan yang
membedakan posisinya dengan kaum laki-laki. Bentuk diskriminasi yang dimaksud antara lain terkait
pakaian, larangan perempuan menjadi pemimpin negara/penguasa, tanggung jawab keibuan, relasi
suami istri, perkimpoian, perwalian, ketentuan waris dan lainnya sebagainya. Semua hal di atas dianggap
diskriminatif dan tidak memberikan keadilan bagi kaum perempuan.
Pasal 3 huruf (f) menyatakan:
Penyelenggaraan kesetaraan gender bertujuan untuk menghapus segala praktik yang didasarkan atas
inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereotype bagi
perempuan dan laki-laki.
Menurtu Penggiat Islam, ketentuan ini melihat, bahwa peran khas laki-laki sebagai suami dan pemimpin
bagi wanita dan peran khas perempuan sebagai isteri, ibu dan pengatur rumah tangga adalah
merupakan pembakuan peran atau dianggap tidak fleksibel sehingga harus dihapus.
Dalam Pasal 8 huruf (b) RUU KG menyatakan, bahwa:
setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan atas haknya sebagai korbandari segala bentuk
diskriminasi dan kekerasan berbasis gender
Bagi kalangan Penggita Islam, ketentuan ini telah berusaha menggeser peraturan yang bernuansa
syariah seperti aturan mengenai khalwat di Aceh, pemberantasan pelacuran di Jawa Barat, keharusan
berpakaian Muslim dan Muslimah di Bulukumba, serta pelarangan keluar malam bagi perempuan di
Tanggerang.
Pasal 9 ayat (1) huruf (d) menyatakan:
Kesempatan yang sama dan perlakuan yang adil meliputi tetapi tidak terbatas pada hak jaminan sosial.
Menyangkut hal ini, menurut para penggiat Islam, bahwa ketentuan ini, dengan penekanannya terhadap
keadilan pada hak ekonomi perempuan, akan meniadakan perlunya izin suami/keluarga bagi perempuan
untuk bekerja pada malam hari.
Akhirnya, Pro dan Kontra pun kini mewarnai pembahasan RUU Kesetaraan Gender yang sekarang
sementara dibahas oleh DPR. Sebagai bagian yang Kontra, pihak yang merasakan adanya kejanggalan
dalam ketentuan RUU KG, khususnya kelompok penggiat dan pemerhati Islam menilai banyak ketentuan

dalam RUU KG yang tidak relevan dengan kondisi dan budaya bangsa kita yang dikenal sebagai bangsa
beradab. Ketidak relevanan RUU KG dengan kondisi bangsa menurut mereka yang kontra
dikarenakan bahwa Ide RUU KG pada dasarnya mendorong perempuan bebas mengekspresikan diri
termasuk dalam pemenuhan seksual. Keharmonisan keluarga terancam. Bangunan masyarakat juga bisa
runtuh. Menurut mereka dalam catatan sejarah, saat ini di Inggris hanya 40% anak yang lahir dari
pernikahan. Selain itu, Ide RUU ini juga berpotensi melahirkan ancaman masyarakat tua akibat
pertumbuhan penduduk minus seperti yang terjadi di Eropa.
Ketakutan mereka yang kontra cukup beralasan. Sebab, menurut mereka jika apa yang terjadi di
barat seperti yang dijelaskan di atas juga terjadi di Indonesia, maka bukan tidak mungkin bangsa
Indonesia akan mengalami degradasi moral yang cukup parah. Meskipun untuk kondisi kekinian,
bangsa ini memang dalam kondisi degradasi moral. Akan tetapi, nantinya dengan berlakunya UU
Kesetaraan Gender akan memperparah kondisi moral bangsa ini. Oleh sebab itu, menurut mereka yang
konra terhadap RUU ini menghimbau agar semua kalangan menolak ide gender sekaligus menolak
RUU KG ini yang mengusungnya.
Sementara itu, dilain pihak, ada juga beberapa kelompok yang menyatakan pro terhadap RUU
Kesetaraan Gender. Kelompok ini tergabung dalam pegiat kesetaraan gender, feminisme dan lesbianisme
yang selama ini banyak menyuarakan ide kesetaraan gender dan mendukung penetapan RUU KG untuk
ditetapkan menjadi UU. Selama ini, kelompok tersebut telah banyak mengemukakan tuntutan mereka
akan keharusan adanya pengakuan kesetaraan gender oleh Negara.
Salah satu tuntutan kelompok ini adalah agar ide kesetaraan gender, khususnya dalam hal perkawinan
mendapat legalitas di Indonesia. Mereka mendasarkan pemikiranya, bahwa dalam Pasal 23 Kovenan Hak
Sipil dan Politik saja secara terbuka mencantumkan tentang hak membentuk keluarga dan melakukan
perkawinan, tanpa membedakan bahwa pernikahan tersebut hanya berlaku atas kelompok
heteroseksual. Selanjutnya, menurut kelompok ini, bahwa di Barat saja telah diterapkan model
pernikahan sederajat yang tidak mengakui adanya pemimpin maupun yang dipimpin dalam rumah
tangga. Karena itu, di sana tidak dijumpai konsep wali, sebagaimana dalam pernikahan yang terjadi di
Indonesia menurut konsep Islam.
Mari Menentukan Sikap
Sebagai seorang pemerhati dibidang hukum, penulis mengajak kepada semua kalangan agar marilah
kiranya melihat secara jelas apa yang ada dalam RUU KG, dan bagaimana sekiranya anggota DPR
mengesahkan RUU ini?. Bukankah dengan munculnya RUU KG ini semakin memperjelas bahwa istilah
gender tidak lagi bersifat netral. Gender hanya digunakan untuk perempuan dan membela
kepentingan kalangan elitis perempuan. Gender bukanlah konsep keadilan yang ditegakkan terhadap
laki-laki dan perempuan secara setara.
Kesetaraan gender hanya digunakan untuk memerangi ketidakadilan yang menimpa perempuan. Maka,
tidak mengherankan dengan di gulirkannya RUU KG ini, nuansa seksisme dalam perundang-undangan di
Indonesia semakin menguat. Parahnya lagi, isu ini seolah detenggelamkan oleh isu-isu lain, seperti isu
kenaikan BBM, korupsi, keamana dan sebagainya. Padahal isu ini, jauh lebih membahyakan kehidupan
moral bangsa kedepannya. Kini kita hanya bisa berharap, para anggota dewan yang terhormat, apalagi
yang Muslim agar kiranya tida akan mengesahkan segala bentuk Undang-Undang yang tidak berpihak

pada pembangunan masyarakat yang adil dan beradab. Sebab, kata Iwan Fals, Saudara dipilih bukan
dilotre.
Adhypanritalopi *04_05_2013

Anda mungkin juga menyukai