Anda di halaman 1dari 3

Logika Sesat Kesetaraan Gender

Oleh Misbahul Ulum


0
76 Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) kini memasuki
babak baru. Setelah sempat tertunda beberapa kali, pada tahun ini rencananya DPR kembali akan
membahas dan mengesahkan RUU tersebut. Bahkan RUU ini telah masuk dalam daftar Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) tahun 2013 yang akan disahkan pada masa persidangan III tahun ini.
Sejak kemunculannya, RUU ini memang telah menuai banyak penolakan dari masyarakat, khususnya dari
kalangan umat Islam. Penolakan itu terjadi lantaran terdapat pasal dalam RUU tersebut yang sarat
dengan semangat gerakan Feminisme Barat. Hal itu dapat terbaca dari barometer yang digunakan untuk
mengukur keterlibatan perempuan dalam wilayah publik, yakni dengan pendekatan Gender
Development Index. Artinya, jika indeks partisipasi perempuan dalam pembangunan nasional berada di
bawah standar yang ditetapkan, maka tidak ada jalan lain selain memaksa perempuan untuk memenuhi
standar tersebut. Akhirnya, mau tidak mau perempuan harus mengambil bagian dalam ruang publik.
Menjadikan perempuan sebagai bagian dari pembangunan nasional tentu tidaklah masalah. Akan tetapi
jika pembangunan itu memaksa perempuan untuk melibatkan diri dalam ruang publik tentu ini menjadi
persoalan tersendiri. Sebab, justru hanya akan semakin mengaburkan peran perempuan dalam wilayah
domestik. Terlebih jika keterlibatan itu karena hasil pemaksaan atas nama kesetaraan.
Harus disadari bahwa perempuan memiliki hak pribadi untuk memilih berkarier atau tidak berkarier
dalam ruang publik sesuai dengan kesadarannya sendiri. Tak ada paksaan bagi perempuan untuk harus
terlibat dalam wilayah publik. Akan tetapi dengan pengarusutamaan gender (gender mainstream),
seolah meniscayakan keterlibatan perempuan dalam wilayah publik agar setara dengan laki-laki.
Jika pendekatan Gender Development Index untuk mengukur keterlibatan perempuan benar-benar
diterapkan, tentu harus dilaksanakan dengan sangat hati-hati. Jangan sampai hal itu justru menjadikan
kaum perempuan tidak memiliki pilihan untuk menjadi seorang ibu karena selalu dituntut setara dengan
laki-laki. Sebab, jika perempuan dituntut selalu sama dengan laki-laki tentu akan ada fungsi dan peran
perempuan yang terganggu. Khususnya peran perempuan dalam merawat dan mendidik anak-anaknya.
Logika Sesat
Sebenarnya, RUU ini lahir didasari oleh dua hal, yakni perlindungan dan pemberdayaan perempuan.
Memang perlindungan serta pemberdayaan bagi perempuan adalah harga mati. Terlebih saat ini banyak
fakta yang menunjukkan bahwa kaum perempuan mengalami berbagai diskriminasi, kekerasan, hingga
ketidakadilan. Beranjak dari spirit inilah, RUU KKG ini muncul sebagai upaya untuk melindungi serta
memberdayakan kaum perempuan.
Akan tetapi dalam perkembangannya, semangat yang terkandung dalam draf RUU KKG ini justru telah
menyimpang dari spirit awal untuk melindungi dan memberdayakan kaum perempuan. Kenyataannya,
banyak pasal yang kian mengaburkan peran-peran perempuan. Alih-alih meningkatkan derajat
perempuan, RUU KKG hanya mengakomodasi ide kesetaraan gender serta Feminisme Barat.
Kerancuan RUU KKG ini dapat dijumpai dalam ketentuan umum bab I pasal I, yang menyatakan bahwa
gender adalah pembedaan peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil

konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan
menurut waktu, tempat dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.
Definisi ini tentu sangat mengacaukan konsep pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang
selama ini sudah tertata di masyarakat. Sebab, jika definisi ini digunakan, perempuan bisa mengambil
alih seluruh peran laki-laki dan laki-laki juga bisa mengambil seluruh peran perempuan. Bahkan lebih dari
itu, definisi ini akan menjadi pintu masuk penjajahan baru atas nama kesetaraan gender.
Prinsip Keadilan
Disadari atau tidak, gerakan kesetaraan gender yang selama ini diwacanakan sesungguhnya adalah
wujud kedangkalan berpikir manusia-manusia modern (Barat). Sebab, hanya mempertimbangkan sisi-sisi
materiil seseorang. Kesetaraan gender yang diusung selalu menganggap bahwa perempuan yang baik
adalah perempuan yang ikut ambil bagian dalam wilayah publik.
Secara historis, wacana kesetaraan gender ini sebenarnya muncul dari faktor ketidaksengajaan. Seperti
yang diungkapkan oleh Mary Wollstonecraft dalam A Vincication of The Rigth of Woman, bahwa gerakan
perempuan bermula atas dorongan kapilatisme industri. Perempuan akhirnya banyak yang terpaksa
bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya (perut) lantaran kaum laki-laki banyak
yang terbunuh karena peperangan. Awalnya kaum perempuan hanya sekadar memenuhi kebutuhan
perut semata. Akan tetapi dalam perkembangannya, karena perempuan terbukti mampu menjalankan
pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh laki-laki, maka perempuan menuntut hak sosial dan politik
yang sama seperti laki-laki.
Sebenarnya, Ide kesetaraan yang diusung itu tidaklah sepenuhnya salah. Hanya saja perlu untuk
diluruskan agar tidak terjadi pengarusutamaan gender yang salah arah. Pengarusutamaan gender jika
hanya dijalankan tanpa memperhatikan peran-peran perempuan sebagai pembentuk generasi
mendatang, akan merusak tatanan kehidupan.
Kesetaraan yang diusung Barat lupa memahami bahwa perempuan memiliki peran yang sangat istimewa
dalam membentuk tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesetaraan seolah selalu diidentikkan
dengan penyamarataan (equality), atau dengan kata lain berarti sama rata atau 50:50. Jika demikian
yang terjadi, tentu akan mengakibatkan terjadinya ketimpangan.
Oleh karena itu, sesungguhnya yang perlu diperhatikan adalah keadilan, bukan kesetaraan. Jika
kesetaraan meniscayakan pembagian yang sama rata antara laki-laki dan perempuan, keadilan tidak
hanya sekadar itu. Keadilan juga menghendaki pembagian yang sesuai dengan porsi dan peran yang
memang telah disepakati antara laki-laki dan perempuan. Adil tidaklah mesti harus 50:50, adil itu berarti
memberikan sesuatu sesuai dengan kebutuhan.
Lebih dari itu, jika konsep kesetaraan diterapkan secara membabi buta, akan menimbulkan ekses yang
mengancam kehidupan. Penjelasan sederhanya adalah jika perempuan diharuskan mengambil peran
diwilayah publik, lantas siapa yang bertanggungjawab mengelola rumah tangga dan siapa yang
bertanggung jawab mendidik anak-anak guna dipersiapkan menjadi generasi penerus bangsa? Oleh
karena itu, yang terpenting sesungguhnya adalah menghargai dan menyadari bahwa antara perempuan
dan laki-laki perlu ada pembagian tugas yang jelas dan dipahami oleh masing-masing pihak, agar tidak
ada pemaksaan peran. (24)

Misbahul Ulum, pengajar Monash Institute Semarang, pembina Pusat Kajian Islam dan Feminisme IAIN
Walisongo Semarang. (/)

Anda mungkin juga menyukai