Anda di halaman 1dari 5

PEMBAHASAN

PERTEMUAN 8

8.1 Sejarah Keberadaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD)


Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali adalah lembaga keuangan desa yang dimiliki
oleh Desa Adat. Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan buah pikiran Gubernur Bali,
Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Gagasan mendirikan LPD diilhami keberadan Lumbung Pitih
Nagari (LPN) yang merupakan lembaga simpan pinjam untuk masyarakat adat yang sukses
di Padang Sumatera Barat. Dengan mengadopsi konsep sekaa dan desa adat yang telah
tumbuh sejak lama di dalam masyarakat Bali, Gubernur Bali kemudian meluncurkan
Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Tujuan LPD yakni membantu desa adat dan krama desa
adat dalam pembangunan adat, budaya dan agama. Keuntungan LPD direncanakan untuk
membangun kehidupan sosial-budaya masyarakat Bali, baik untuk pembangunan fisik
maupun nonfisik. Sebagai langkah awal dibuatlah pilot project satu LPD di tiap-tiap
kabupaten. Kala itu, dasar hukum pembentukan LPD hanyalah Surat Keputusan (SK)
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali No. 972 tahun 1984, tanggal 19 Nopember 1984.
Sebagai Implementasi dari Kebijakan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali tersebut di atas,
maka secara resmi LPD beroperasi mulai 1 Maret 1985. Di setiap kabupaten didirikan sebuah
LPD. Di Kabupaten Badung, LPD yang pertama kali berdiri yakni LPD Desa Adat Lukluk,
Mengwi pada 7 Maret 1985. Di Kecamatan Kuta, desa adat yang pertama kali mendirikan
LPD yakni Legian. LPD Desa Adat Kedonganan adalah LPD kedua yang berdiri di
Kecamatan Kuta setelah LPD Desa Adat Legian.
Integrasi LPD di dalam kehidupan dan hukum adat telah menjadi sebuah kerangka yang
sangat kuat untuk mengembangkan hubungan pelanggan dan mengelola resiko. Oleh karena
itu lembaga ini sudah menerapkan aturan, norma dan nilai yang diyakini bersama. Bali
ternyata telah membuktikan dirinya memegang peranan yang sangat penting, tidak hanya
dalam pada ajaran agama Hindu. Sebagai desa yang mempunyai otonomi untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri berlandaskan awig-awig, perlu adanya usaha-usaha
untuk meningkatkan kemandirian dalam mengelola keuangan dan harta kekayaan milik desa
sehingga mampu menatap perkembangan dan kemajuan pembangunan. Untuk melestarikan
dan meningkatkan kemandirian kehidupan Bali dengan segala aspeknya perlu adanya upayaupaya untuk memperkuat Keuangan Desa Adat sebagai sarana penunjang melalui mendirikan
suatu Badan Usaha Milik Desa Adat berupa Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang bergerak
dalam usaha simpan pinjam dengan modal swadaya masyarakat (krama Desa) sendiri.
1

Keputusan Gubernur No. 344 / 1993 juga menyebutkan fungsi Bank BPD Bali. Dalam
pasal 2 keputusan tersebut (pemerintah Bali, 1993b) dinyatakan bahwa Bank BPD Bali
memiliki 3 fungsi berkenaan dengan LPD. Pertama, memberikan bimbingan teknis dalam dua
cara yaitu melalui bimbingan pasif, dan melalui bimbingan aktif yang dilakukan dengan
kunjungan langsung kelokasi LPD. Kedua, Bank BPD Bali memiliki tugas untuk mengelola
koordinasi dengan organisasi lain yang terlibat didalam proses bimbingan dan pengawasan
LPD. Ketiga, Bank BPD Bali harus menyiapkan laporan Evaluasi triwulan tentang kinerja
keuangan dan kesehatan LPD kepada gubernur. Lembaga keuangan binaan BPD Bali ini
dikelola sepenuhnya oleh, dari, dan untuk desa adat. Karena itu, pemberian kredit pun hanya
diperuntukkan buat krama desa adat setempat, dan umumnya tanpa agunan. Dewan kredit
desa adalah bank-bank kecil yang dimulai oleh Pemerintah Daerah Bali di era tahun '80-an
dengan sasaran untuk menyediakan satu alternatif dari praktek rentenir dan untuk
menciptakan dan membantu perkembangan pertumbuhan ekonomi di tingkatan pedesaan.
Dengan modal awal dan bimbingan teknis dari Pemda Bali Perantara keuangan mikro ini
mempunyai karakteristik dan disain yang khusus, mereka dimiliki oleh Desa Adat.
Pemerintah Daerah Bali yang menyediakan modal dan menjadi penyelenggara kunci
dari sistim dan laba ditahan adalah sumber daya utama dari modal ekuitas dan kepemilikan
secara de facto. LPD hanya diijinkan untuk beroperasi di wilayah desanya sendiri dan
diciptakan oleh Peraturan Daerah (Provinsi). Yakni sebuah Peraturan Daerah (Provinsi) yang
ditetapkan oleh DPRD, bukan Pemerintah Daerah. Otoritas pengawasan didelegasikan
kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD Bali), yang telah memulai mengembangkan suatu
unit pengawasan LPD yang terpisah, di bawah mana tugas pengawasan akan dilaksanakan
oleh unit di tingkat Kantor Cabang Penilaian atas pelaksanaan pengawasan intern LPD
Pengawasan di tingkat LPD dimulai dari peran Prajuru Desa, banyak diantaranya
mengunjungi LPD setiap hari, berpartisipasi dalam persetujuan kredit, dan juga
menyelesaikan fungsi dasar kontrol dan pelaksanaan fungsi management dari waktu ke
waktu. Namun demikian, masalah yang dilaporkan adalah bahwa dewan pengawas internal
pada umumnya tidak mempunyai latar belakang yang sesuai dan atau tidak cukup dilatih
untuk dapat melaksanakan fungsi pengawasan secara baik.
Evaluasi internal LPD dilakukan oleh Dewan pengawas. Kemampuan manajemen
internal LPD memperoleh dukungan dari pengawasan dan bimbingan yang diberikan
pemerintah local pada tiap tingkatan dan oleh bank BPD Bali. Prosedur Rekruitmen Tim
manejemen inti direkrut dari desa adat local. Mereka dipilih dari anggota komunitas desa dan
ditetapkan dalam rapat desa untuk periode empat tahun. Namun mereka dapat dipilih kembali
2

apabila mampu bekerja dengan baik. Komite manajemen biasanya dibantu oleh dua atau tiga
staf yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan tabungan dan pinjaman. Prinsip
Pengaturan Operasional Prinsip ini mencakup peraturan mengenai kecakupan modal (capital
adequacy), batas jumlah peminjaman (legal lending limit), cadangan untuk kerugian
pinjaman manajemen likuiditas, dan sistem pemeringkatan LPD. LPD harus menerapkan
prinsip kehati-hatian (prudential principle) dari lembaga keuangan agar dapat menjadi
lembaga keuangan yang sehat. Mengingat peluang yang disajikan oleh LPD untuk keluasan
jangkauan dan kerangka kelembagaan yang lengkap, maka perlu beberapa perubahan yang
sangat berguna untuk memperkuat semua lembaga ini di Bali dan bahkan ada kemungkinan
meluas ke lembaga-lembaga serupa dimanapun di dalam negeri. Secara fungsi dan tujuan
LPD adalah untuk memberikan kesempatan berusaha bagi para warga desa setempat,
kemudian untuk menampung tenaga kerja yang ada di pedesaan, serta melancarkan lalu lintas
pembayaran, sekaligus menghapuskan keberadaan lintah darat (rentenir). Keanggotaan LPD
dari pemerintah sebagai krama desa adat secara struktural, terdiri dari berbagai banjar. Semua
krama banjar yang ada di lingkungan desa, secara otomatis merupakan penopang dari
keberadaan LPD.

8.2 Tri Hita Karana dan Catur Purusa Harta


LPD di Bali memiliki posisi strategis dalam perspektif memperkuat ketahanan ekonomi
warga masyarakat di pedesaan melalui pengelolaan potensi yang dikemas dalam variasi aspek
layanan jasa keuangan. Pada sisi lain, lembaga desa adat dapat memanfaatkan LPD sebagai
lumbung tempat penyimpanan kekayaan desa yang semakin berkembang dan pada
gilirannya tiap tahun memperloleh kompensasi pembagian laba untuk mendukung aktivitas
pembangunan di desa adat yang berkaitan dengan aspek Tri Hita Karana , yakni
parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan sesama manusia)
dan palemahan (hunbungan manusia dengan lingkungannya). Aktivitas lembaga desa adat
tidak bisa lepas dari ketiga aspek tersebut karena falsafah Tri Hita Karana mengandung
makna keseimbangan vertikal dan horizontal. Hal ini bisa terwujud apabila semua pemangku
kebijakan birokrasi di tingkat kabupaten/kota dan propinsi memiliki kesamaan pandang untuk
membangun kemandirian LPD dengan kebijakan yang berorientasi untuk memperkuat
kelembagaan melalui payung konstitusi.
Sejalan dengan keberadaan dan operasional LPD, tidak ada alasan untuk
mengkerdilkan lembaga tersebut, apalagi dengan memanfaatkan tangan-tangan pihak
luar Bali yang sejatinya tidak memiliki hubungan emosional dengan kemandirian LPD, baik
3

secara historis, sosiologis maupun ekonomis. Otoritas lembaga desa adat seharusnya diakui
bukan semata-mata dalam konteks menjadikan benteng mempertahankan keberadaan adat
dan budaya, tetapi lebih luas perlu dipahami sebagai institusi masyarakat adat untuk
mengembangkan potensi ekonomi lokal sekaligus sebagai pembelajaran wirausaha bagi
warga masyarakat dalam menghadapi persaingan ekonomi global. Sejalan dengan hal itu,
LPD bisa dimanfaatkan oleh warga desa adat secara maksimal untuk mengembangkan
potensi ekonomi keluarga, kelompok-kelompok sekeha (organisasi tradisional lokal), banjar,
maupun pengembangan bisnis para wirausahawan pemula dan pengusaha profesional lainnya.
Memang tidak mudah bagi pengurus dan kayawan LPD mengelola lembaga keuangan milik
desa adat di tengah pemahaman, status sosial dan ekonomii warga masyaraat yang heterogin.
Belum lagi adaya rambu-rambu yang wajib dipenuhi dan diikuti oleh LPD sehingga tidak
bisa mengembangkan usaha lebih luas sebagaimana lembaga keuangan lainnya. Tetapi
dibalik kendala keterbatasan pengembangan usaha, fakta empiris menunjukkan LPD yang
beroperasi di wilayah desa adat dengan tingkat perkembangan ekonomi yang cukup maju,
mampu mengemban visi dan misinya dengan membukukan capaian sisa hasil usaha
(keuntungan).
Dalam menjalankan kegiatan usahanya LPD Desa Pakraman Kikian didasari dengan
prinsip Catur Purusa Artha. Kegiatan usaha LPD merupakan kegiatan usaha yang disamping
bersifat sosial-ekonomi juga bersifat cultural - religius. Sehingga kegiatan usaha LPD
memiliki tujuan yang sejalan dengan tujuan Agama Hindu. Tujuan agama Hindu yang
dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah "Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma",
yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan
kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci
disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma,
Artha, Kama dam Moksa. Konsep Catur Purusa Artha yang dijadikan dasar Lembaga
Perkreditan Desa (LPD) Desa Pakran Kikian dalam menjalankan kegiatan usahanya
bersumber atau didasari oleh hukum Agama Hindu yang bersumber dari Kitab Suci Weda.
Catur Purusa Artha terdiri dari empat komponen yaitu: Dharma, merupakan dasar utama LPD
dalam menjalankan kegiatan usahanya. Dalam kegiatan usaha yang dilakukan oleh LPD Desa
Pakraman Kikian harus selalu didasari oleh Dharma yaitu kebaikan. Setelah mengamalkan
dharma atau kebaikan dalam menjalankan kegiatan usahanya maka Tuhan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa akan melimpahkan berkatnya berupa Artha kepada umatnya yang telah
mengamalkan ajarannya.

Artha, dalam hal ini setelah landasan yang utama dilaksanakan oleh Lembaga
Perkreditan Desa (LPD) Desa Pakraman Kikian berupa menjalankan ajaran Dharma atau
kebaikan barulah LPD Desa Pkraman Kikian menekankan kegiatan usahanya pada aspek
keuntungan dari usaha simpan- pinjam yang dilakukan terutama dalam hal pemberian kredit
epada masyarakat yang akan memberikan keuntungan berupa bunga. Kama, Setelah aspek
artha yang menjadi tujuan yang kedua terpenuhi maka selanjutnya adalah Kama yaitu nafsu
atau keinginan atau pemenuhan kebutuhan hidup berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi
dengan Artha tersebut maka Kama atau Keinginan akan bisa terpenuhi dengan keuntungan
yang diperoleh LPD dalam kegiatan usahanya dapat membantu masyarakat dalam hidup
bermasyarakat, seperti membantu pendanaan Desa Pakraman dalam melaksanakan
pembangunan Desa, membantu masyarakat baik masyarakat Desa Pakraman Kikian maupun
masyarakat luar Desa Pakraman Kikian dengan memberi pinjaman misalnya untuk keperluan
usaha, menyekolahkan anaknya, dan kebutuhan - kebutuhan yang lain. Setelah ketiga tahap
diatas tercapai maka yang terakhir adalah Moksa. Moksa yang dimaksud disini adalah
kebahagiaan. Jadi dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh LPD Desa Pakraman Kikian
yang dapat membantu perekonomian masyarakat desa sehingga dapat meringankan beban
kehidupan masyarakat desa sehingga beban hidup bermasyarakat semakin ringan maka
masyarakat akan merasa lebih senang atau bahagia karena sebagian atau seluruh
kebutuhannya telah dapat terpenuhi. Walaupun pemberian kredit kepada warga luar Desa
Pakraman melanggar Pasal 7 ayat (1) sub PERDA Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 yang
berbunyi memberikan pinjaman hanya pada karma desa, sampai saat ini tidak ada sanksi
adat yang mengaturnya. Karena sesuai dengan hasil Paruman Adat Desa Pakraman Kikian
pemberian Kredit kepada warga luar Desa Pakraman sebagai sesuatu yang wajar asalkan
mengutamakan debitur dari Desa Pakraman setempat.

Anda mungkin juga menyukai