Anda di halaman 1dari 10

Saatnya Mengganti Sistem Ekonomi Ribâ dengan Sistem

Ekonomi Islam
Oleh : Moh. Mujib Zunun @lmisri
Stainta 2007

“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (tatkala) tiada seorangpun diantara
mereka yang tidak akan memakan (harta) ribâ. Siapa saja yang (berusaha) tidak
memakannya, maka ia tetap terkena debu (ribâ)nya.” [HR. Ibnu Majah].

Pendahuluan
Dalam kehidupan sekarang, baik dalam taraf individu maupun taraf negara, kita
dihadapkan kondisi yang serba sulit untuk melepaskan diri dari ribâ. Baik itu ribâ
yang pelaksanaannya masih sederhana seperti halnya ribâ yang dilakukan oleh
masyarakat jahiliyah seperti ribâ nasiah, ribâ fadhl, ribâ qordh, ribâ yadd atau pun
jenis ribâ yang sudah berkembang seiring dengan perkembangan aktivitas ekonomi
manusia seperti seperti bunga tabungan bank, deposito, asuransi, transaksi obligasi,
penundaan dalam transaksi valas, bunga kartu kredit yang melewati jatuh tempo
pembayaran, dan lain-lain, walaupun nama dan ragamnya berbeda-beda namun tetap
saja tergolong ribâ yang di definisikan As-syar’î. Berbagai ragam riba berkembang,
yang kita perlu berhati-hati agar tidak terjebak di dalamnya, semuanya muncul akibat
diterapkan sistem ekonomi kapitalis dan akibat dari tidak diterapkannya syariat Islam
yang menjamin dan menjaga kehidupan kaum muslimin dan umat lainnya.
”Ribâ itu mempunyai 73 macam. Sedangkan dosa yang paling ringan (dari berbagai
jenis ribâ itu) adalah seperti seseorang yang menikahi (baca: menzinahi) ibu
kandungnya sendiri.” [HR. Ibnu Majah].

Ar-Ribâ
Kata ar-ribâ secara etimologis/bahasa (al-ma’nâ al-lughawi) bermakna
“pertambahan” atau “peningkatan”. Sementara secara tradisional/konvensional (al-
ma’nâ al-urf) kata ar-ribâ bermakna pertambahan yang ditetapkan sebagai
kompensasi penangguhan utang. Secara syar’î (al-ma’nâ as-syar’î) telah memberikan
definisi tersendiri bagi kata ar-ribâ, yakni pertambahan dalam muamalah tertentu
secara bathil yang tidak termasuk sebagai muamallah jual beli. Maksud pertambahan
pada muamallah tertentu secara bathil adalah pertambahan pada transaksi
pertukaran/jual beli secara barter atau pun transaksi pinjam meminjam, baik yang
disebabkan oleh kelebihan dalam pertukaran dua harta yang sejenis tertentu1 di
tempat pertukaran (majlis at-tabâdul), seperti yang terjadi dalam ribâ al-fadhl,

1
Harta sejenis tertentu di batasi pada enam jenis barang yaitu emas, perak, gandum, sya’ir,
kurma, dan garam. Batasan ini merujuk kepada dalil: Dari ‘Ubadah bin Shamit ra, ia berkata: Nabi
Saw bersabda: “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan
sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, sama, seimbang, dan kontan. Dan jika berbeda
jenis barangnya, maka perjual belikanlah sesuai cara yang kalian suka apabila dilakukan secara
kontan.” [HR. Muslim].

1
ataupun disebabkan oleh kelebihan tenggang waktu (al-ajal), sebagaimana yang
terjadi dalam ribâ an-nasî’ah aw at-ta’khîr. Dengan demikian, keberadaan makna
syar’î mengalihkan makna ar- ribâ dari makna bahasa maupun makna konvensional
semata sebagai pertambahan menjadi makna ribâ yang semisal ribâ al-fadhl atau pun
yang semisal ribâ an-nasî’ah aw at-ta’khîr. Definisi syar’î ini mencakup segala jenis
ribâ, baik ribâ seperti yang pernah ada dalam jaman jahiliyah maupun ribâ di zaman
sekarang.

Jenis-Jenis ar-Ribâ
Secara umum syar’î membagi ribâ menjadi dua jenis, yakni ribâ al-fadhl dan ribâ an-
nasî’ah. Pertama, Ribâ al-fadhl, yaitu ribâ yang berupa tambahan pada transaksi
pertukaran/jual beli dua harta yang sejenis tertentu di tempat pertukaran (dilakukan
secara kontan). Contohnya adalah pertukaran satu kilogram kurma kualitas tinggi
dengan dua kilogram kurma kualitas rendah meskipun dilakukan secara kontan.
Pertukaran ini dilarang oleh nash syar’î, sebab nash mensyaratkan pertukaran sama
timbangan dalam barter untuk barang-barang tertentu, meskipun berbeda kualitas atau
jenisnya.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, ra., ia berkata:
Rasulullah mempekerjakan seorang laki-laki di Khaibar, kemudian datang kepada
Rasul dengan membawa kurma janib, lalu Rasul bertanya kepada kepadanya:
“Apakah semua kurma Khaibar seperti ini?” Abu Hurairah menjawab: “Tidak, Demi
Allah Ya Rasulullah, kami memperoleh satu sha’ kurma ini dengan menyerahkan dua
sha’ kurma yang kami miliki atau dua sha’ dengan tiga sha’.” Rasulullah Saw
berkata: “Jangan kalian lakukan yang demikian, juallah kurma dengan dirham,
kemudian beli kurma dengan dirham tersebut.”
Ribâ al-fadhl pada harta sejenis hanya dibatasi pada enam jenis harta yaitu emas,
perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam. Batasan ini merujuk kepada dalil:
Dari ‘Ubadah bin Shamit ra, ia berkata: Nabi Saw bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan
sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, sama, seimbang, dan kontan.
Dan jika berbeda jenis barangnya, maka perjual belikanlah sesuai cara yang kalian
suka apabila dilakukan secara kontan.” [HR. Muslim].
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitabnya al-Majmu’:
Selain emas, perak, yang dimakan dan yang diminum tidak diharamkan ribâ
(pertambahan), boleh menjualnya dengan berlebih dan bertempo dan boleh berpisah
sebelum serah terima —salah satu barang terlambat diserahkan sebagaimana
diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, ia mengatakan bahwa:
“Rasulullah menyuruhku untuk mempersiapkan pasukan tentara, lalu saya
membutuhkan seekor unta dewasa, kemudian belia menyuruhku untuk datang ke
tempat unta shadaqah maka saya mengambil dua ekor unta muda.”2

2
Ahmad Ad-Da’ur, M., Bantahan Atas Kebohongan-kebohongan Seputar Hukum Ribâ dan
Bunga Bank, Al Azhar Press, 2004, halaman 184-185

2
Dan dari Jabir ra. bahwa Nabi Saw membeli seorang budak dengan dua orang budak
hitam [HR. Muslim].
Contoh lain ribâ al-fadhl yang sering terjadi saat ini adalah pertambahan pada
pertukaran mata uang sejenis dengan nilai yang berbeda, misal pertukaran selembar
uang sepuluh ribu rupiah ditukar dengan recehan seribu rupiah sebanyak sembilan
lembar (nilai sepuluh ribu diganti dengan sembilan ribu). Meskipun uang kartal yang
beredar sekarang tidak termasuk dalam batasan jenis harta ribâ al-fadhl, uang kartal
tersebut merupakan alat tukar pokok yang memiliki wewenang tersendiri
menggantikan posisi emas dan perak sebagai mata uang.3
Kedua, ribâ an-nasî’ah, yaitu ribâ yang berupa tambahan yang disebutkan menjadi
imbalan penundaan pembayaran pada pinjam meminjam. Contohnya adalah
peminjaman satu kuintal gandum pada musim paceklik dibayar dengan tiga kuintal
gandum pada masa subur. Kelebihan dua kuintal tersebut semata-mata sebagai ganti
dari penundaan pembayaran, karena itu disebut sebagai ribâ an-nasî’ah. Jadi ribâ an-
nasî’ah adalah tambahan yang muncul dari pinjam meminjam akibat pemberian
tempo pembayaran.
Istilah ribâ qardh yang sering dipakai masyarakat dimaksudkan pengkhususan dari
ribâ an-nasî’ah, yakni pertambahan pinjam-meminjam untuk komoditas uang. Ribâ
dalam aktivitas ini lebih dikenal masyarakat sebagai bunga pinjaman atau pun
interest.
Istilah ribâ jahiliyah[/] lebih dimaksudkan untuk aktifitas ribâ bunga-berbunga, yang
sebenarnya fakta [i]ribâ jahiliyah ini juga termasuk kategori ribâ an-nasî’ah.
Contohnya peminjaman uang sampai tempo tertentu, namun dengan imbalan
tambahan yang telah ditentukan. Apabila telah sampai jatuh tempo pembayaran
sementara penghutang tidak bisa melunasinya, maka pihak yang memberikan
pinjaman akan menambah bunga hutang sebagai imbalan tempo waktu yang
berikutnya dan begitu seterusnya berulang kali, sehingga hutang yang tadinya sedikit
menjadi berlipat-lipat.
Pertambahan pertukaran barang sejenis dilarang (ribâ al-fadhl) untuk enam jenis harta
yang ditetapkan oleh syar’î (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam) dan
diperbolehkan untuk harta diluar batasan tersebut secara kontan. Sementara
pertukaran/barter antara barang yang tidak sejenis boleh dilakukan dengan jumlah
yang berbeda asal dilakukan secara kontan juga, contohnya lima gram emas ditukar
dengan sepuluh kilogram beras, 1 set pakaian dengan seperangkat elektronik, 1 dinar
emas dengan 12 dirham perak, uang Rp. 9000,00 dengan uang 1US $ yang semua
akad pertukaran tersebut dilakukan secara kontan (barang diserahkan pada saat terjadi
akad pertukaran). Pertambahan kuantitas pada pertukaran barang tidak sejenis yang

3
Lihat perbedaan fulus dengan uang, Ahmad Ad-Da’ur, M., Bantahan Atas Kebohongan-
kebohongan Seputar Hukum Ribâ dan Bunga Bank, Al Azhar Press, 2004, halaman 193-196. Juga
lihat Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, juz: 29, halaman 468-482.

3
dilakukan secara tidak kontan/bertempo dikenal sebagai ribâ al-yadd.4 Penjelasan ribâ
al-yadd adalah hadits yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid:
“Ribâ itu tiada lain adalah penundaan waktu.”
Dan di riwayat lain:
“Tidak ada ribâ selama tunai.”
Dan digabungkan dengan penjelasan dari HR. Muslim dari Ubadah bin Shamit ra.,
pada bagian akhir hadits tersebut bahwa jika berbeda jenis barangnya boleh diperjual
belikan asalkan tunai.
Dari ‘Ubadah bin Shamit ra, ia berkata : Nabi Saw bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan
sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, sama, seimbang, dan kontan.
Dan jika berbeda jenis barangnya, maka perjual belikanlah sesuai cara yang kalian
suka apabila dilakukan secara kontan.”
Demikianlah istilah umum ribâ qardh, ribâ jahiliyah, dan ribâ al-yadd adalah jenis-
jenis pengembangan dari definisi ribâ al-fadhl dan ribâ an-nasî’ah yang dilarang oleh
Asy-syar’î.
Riba di zaman modern ini telah menjelma dalam berbagai bentuk terutama dari
golongan ribâ an-nasî’ah seperti transaksi valas tidak tunai, bunga kartu kredit
melebihi tempo pembayaran, transaksi leasing, bunga deposito, bunga tabungan,
asuransi, penundaan dalam transaksi valas, dan lain-lain. Beberapa orang
menyebutkan bahwa bunga yang diperoleh dari transaksi keuangan dan perbankan
bukanlah riba mengingat adanya inflasi/penurunan nilai mata uang yang
dipergunakan, yakni uang sekarang lebih berharga daripada uang pada masa yang
akan datang. Sebenarnya pendapat tersebut tidaklah tepat karena permasalahan inflasi
dimunculkan karena system uang yang dipakai adalah system uang kertas
inkonvertibel (tidak distandarkan kepada emas) dan penggunaan sistem mata uang
flat yang standar nilainya disesuaikan dengan mekanisme pasar atas mata uang lain.
Sementara, riba adalah pembahasan hukum tersendiri untuk objek pertambahan harta
dari transaksi yang bathil. Dalih tersebut sudah diisyaratkan oleh Rasulullah
akan muncul sekelompok manusia yang menghalalkan ribâ dengan dalih “bisnis”.
Rasulullah bersabda:
“Akan datang suatu saat nanti kepada umat ini tatkala orang-orang menghalalkan ribâ
dengan dalih bisnis.” [HR. Ibnu Bathah dari Al-Auza’i].
Bencana Akibat Diterapkannya ar-Ribâ dalam Kehidupan Sehari-Hari
Menurut Syaikh an-Nabhani, orang yang melakukan riba, keuntungan yang dia
peroleh memiliki sifat mengeksploitasi tenaga orang lain sehingga tanpa bekerja
sedikitpun keuntungan tersebut dia peroleh. Selain itu, keuntungan tersebut diperoleh
secara pasti (tidak ada peluang mengalami kerugian perdagangan) karena sudah
menjadi aqad dalam transaksinya.5

4
Lihat, Ahmad Ad-Da’ur, M., Bantahan Atas Kebohongan-kebohongan Seputar Hukum Ribâ
dan Bunga Bank, Al Azhar Press, 2004, halaman 62.
5
Taqyuddin An-Nabhani (2000), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Persfektif Islam,
Risalah Gusti, Surabaya, halaman 201.

4
Riba dihidupkan oleh masyarakat dengan memberikan pinjaman kepada pihak
lainnya dengan mengenakan bunga. Biasanya para peminjam adalah orang-orang
kecil seperti para petani, pedagang kecil, nelayan, sedangkan para pemberi pinjaman
kebanyakan para juragan kaya. Ketika pasar riil mengalami ketidakstabilan harga,
para pemodal/juragan selalu aman mempertahankan keuntungannya sementara para
petani kecil selalu menanggung resiko kerugian.
Pada saat yang sama, riba pun keberadaannya dilegitimasi oleh negara. Bank
Indonesia sebagai bank sentral yang mengatur kebijakan moneter dan kebijakan yang
memperngaruhi sektor riil menjadikan riba/bunga yang dikenal sebagai suku bunga
Serifikat Bank Indonesia, suku bunga SBI, sebagai instrument pengatur jumlah uang
yang beredar di masyarakat, penjaga inflasi dan stabilitas kurs rupiah di sektor
moneter.
Kebijakan penentuan suku bunga SBI sangat berpengaruh terhadap kebijakan
ekonomi yang sedang dijalankan, contohnya ketika kurs rupiah melemah atas dolar,
maka pemerintah berusaha mendongkrak nilai mata uang rupiah dengan cara menarik
sejumlah rupiah yang beredar di pasaran dengan cara memberikan iming-iming
kenaikan suku bunga SBI dengan harapan masyarakat akan memasukkan uang-uang
mereka ke bank untuk mendapatkan keuntungan bunga yang tinggi. Dunia usaha
menjadi jadi lesu. Orang lebih suka menyimpan uang di bank dengan bunga tinggi
ketimbang menginvestasikannya di sektor usaha riil, karena di sektor riil terdapat
resiko rugi. Dengan demikian lapangan kerja berkurang, gelombang PHK terjadi, dan
semakin banyaklah angkatan kerja yang tidak tertampung. Dalam keadaan ini yang
paling terpukul adalah masyarakat kelas bawah.
Kenaikan suku bunga pinjaman otomatis akan menaikkan suku bunga kredit,
sehingga para pengusaha yang mengambil kredit di bank —terutama dalam jumlah
besar, seperti pengusaha sektor properti— akan menjadi pihak yang pertama kali
terpukul dan diikuti oleh perusahaan-perusahaan lain yang gulung tikar karena tak
mampu membayar kredit hutang beserta bunganya ke bank, sehingga terjadilah
gelombang PHK. Lagi-lagi yang paling terpukul adalah masyarakat kelas bawah.
Kalaupun ada bidang usaha yang masih mampu bertahan saat suku bunga kredit
tinggi, maka kenaikan pembayaran bunga kredit akan dikejar dengan cara menaikkan
harga jual produksinya. Terjadilah High Cost Economy harga barang-barang menjadi
mahal sementara pendapatan rakyat tidak bertambah. Lagi-lagi yang paling menderita
akibat inflasi ini adalah masyarakat kelas bawah. Sehingga jelaslah bahwa kebijakan
ekonomi ribawi yang diterapkan negara akan selalu menguntungkan para
pemodal/juragan, sementara masyarakat kelas bawah akan terus dan semakin
menderita.
Dalam perekonomian yang lesu akibat suku bunga tinggi, bank-bank ternyata tidak
menyalurkan dana yang disimpannya ke masyarakat, karena takut mengalami kredit
macet apalagi dengan tingkat suku bunga yang masih tinggi. Bank-bank tersebut
justru menanamkan dananya pada aktivitas bunga yang tidak berhubungan sama
sekali dengan sektor produksi. Mereka lebih senang mendepositokan ke bank lain,

5
membungakan uang di pasar uang antar bank, jual beli surat berharga seperti obligasi,
commercial paper serta transaksi derivatif lainnya, dan yang terbanyak dengan
membungakannya pada SBI. Hal ini membuat geram Memperindag Rini Suwandi
dengan mengirimkan surat kepada BI karena dana masyarakat yang dikelola bank 90
persen (meminjam istilah Hilmi) “menari-nari” di Bank Indonesia.6
Di tingkat negara riba pun mewabah, hal ini merupakan kewajaran karena ide
kapitalisme telah menjadi ide yang mengglobal di dunia, sehingga menjadikan negara
yang bermodal besar/juragan selalu diuntungkan sementara negara-negara miskin —
notabene negara dunia ketiga yang mayoritas adalah negri muslim— akan selalu
menderita akibat belitan bunga hutang.
Hampir seluruh negara di dunia melakukan utang-piutang baik terhadap negara
lainnya maupun dengan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia (World
Bank), IMF dan ADB dengan tingkat bunga tertentu dan syarat yang memberatkan
(zhalim). Contoh persyaratan dalam hutang adalah negara-negara itu akan melakukan
pembangunan infrastruktur yang dikerjakan oleh perusahaan yang ditunjuk oleh
pemberi pinjaman, sehingga sebagian besar dari hutang itu akan kembali kepada
pemberi pinjaman. Contoh lainnya adalah persyaratan yang diberikan IMF kepada
negeri-negeri penghutang, diharuskan negeri tersebut menurunkan nilai mata uang,
mengurangi subsidi, meningkatkan pajak, menswastanisasi perusahaan negara,
menarik investor asing, dan sebagainya. Syarat tersebut dimaksudkan agar pihak yang
memberi pinjaman dapat selalu mengontrol perekonomian negara penerima pinjaman
dan juga memperkuat ketergantungan pihak penerima pinjaman terhadap pemberi
pinjaman (menambah kucuran dana hutang atau pun memperpanjang jatuh tempo
pembayaran yang berarti memperbesar bunga hutang).
Sistem pinjaman ribawi akan menggandakan bunga hutang berlipat-lipat dalam
jangka waktu tertentu melebihi pokok hutang, sebagai contohnya adalah Brazil, ia
mempunyai hutang pokok sebesar 39 milyar dolar AS, ditambah bunga yang
besarnya 120 milyar dolar AS.7
Hingga akhirnya beban hutang menjadi tidak rasional terhadap APBN sebuah negara,
contohnya terdapat 33 negara Afrika berhutang sebesar 127 milyar dolar AS, yang
pembayaran hutang tersebut menghabiskan 76 % produk nasionalnya setiap tahun.
Sementara pendapatan per kapitanya —karena adanya hutang di 33 negara tersebut—
besarnya hanya 218 dolar AS/tahun.8 Indonesia selama tahun 1996-2000 total utang
luar negeri Indonesia yang dibayar kepada kreditur luar negeri adalah US $ 128,748
miliar. Dari jumlah tersebut, beban bunga yang dibayar Indonesia sebesar US $
38,025 miliar atau 29,53 persen. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp. 9000/$, maka
beban bunga hutang yang dibayarkan Indonesia setara dengan Rp. 342,225 trilyun,
nilai bunga hutang ini lebih besar dari rencana penerimaan RAPBN 2003 sebesar Rp
6
Hidayatullah Muttaqin, Saatnya Menggusur Riba dari Percaturan Ekonomi Indonesia, PEI
online www.e-syariah.net 18 juni 2005
7
Hizbut Tahrir , Sebab-Sebab Kegoncangan Pasar Modal Menurut Hukum Islam, Pustaka
Thariqul ‘Izzah, 1998, halaman 10
8
Hizbut Tahrir , Sebab-Sebab Kegoncangan Pasar Modal Menurut Hukum Islam, Pustaka
Thariqul ‘Izzah, 1998, halaman 10

6
327,834 trilyun yang disampaikan presiden pada pidato kenegaraannya bulan Agustus
2002.9 Untuk menutupi kebutuhan ini, rakyat harus berkorban membayar pajak
karena memang sektor penerimaan negara terbesar adalah dari sektor pajak, lagi-lagi
rakyat yang terpukul akibat jebakan hutang ribawi.
Dalam RAPBN 2003, pemerintah menganggarkan Rp 80,89 trilyun untuk membayar
bunga utang dalam negeri dan luar negeri atau memakan porsi 43,4 persen dari
belanja rutin. Bandingkan anggaran bunga utang ini dengan anggaran pendidikan
yang hanya berjumlah Rp 13,6 trilyun. Akibat beban bunga ini, RAPBN 2003
mengalami defisit yang cukup besar yaitu Rp 26,263 trilyun. Defisit ini oleh
pemerintah sebagaimana biasanya berusaha ditutupi dengan privatisasi BUMN,
penjualan aset-aset yang ditangani BPPN, penghapusan subsidi untuk rakyat dan
meningkatkan penerimaan dari pajak. Tentu saja kebijakan ini akan kembali semakin
memberatkan rakyat. Jelas APBN ini menggambarkan keuangan negara tidak
rasional.10
Sehingga yang dilakukan negara-negara kapitalis adalah membuat hutang raksasa,
yang sebagian besar dari hutang tersebut akan kembali kepada mereka, sementara
negeri itu akan mendapat beban utang dengan bunga yang besar, sehingga mudah
untuk dikontrol kebijakan-kebijakan perekonomian dan politiknya oleh negara
kapitalis dan ujung-ujungnya rakyat negeri tersebut yang akan menderita sementara
hutang biasanya untuk mendanai pembangunan infrastruktur yang kemanfaatannya
hanya dinikmati sebagian kecil dari rakyat saja.
Larangan Pengembangan Harta Melalui Aktifitas ar-Ribâ
Demikianlah kerusakan ekonomi akibat penerapan ekonomi ribawi baik di sektor
informal maupun sektor formal, padahal telah jelas dan tegas As-syar’î melarang
aktifitas ribâ. Ayat final yang melarang aktivitas ribâ di dalam al-Qur’an adalah:
”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa
(dari berbagai jenis) ribâ jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa ribâ) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan ribâ), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Qs. al-Baqarah
[2]: 278-279).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw berkata, “Pada malam
perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di
dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril
siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang
memakan ribâ.”
Turunnya ayat tersebut sebagai ayat terakhir tentang riba telahmengharamkan ribâ
secara menyeluruh. Tidak lagi membedakan banyak maupun sedikit. Juga, telah
dijelaskan bahwasannya ribâ telah diharamkan dalam segala bentuknya. Dalam hal ini
tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai keharamannya. Sebab, hal

9
Hidayatullah Muttaqin, Saatnya Menggusur Riba dari Percaturan Ekonomi Indonesia, PEI
online www.e-syariah.net 18/06/2005
10
ibid

7
ini telah ditetapkan berdasarkan Kitab Allah, Sunnah Rasul dan Ijma’ sahabat,
termasuk madzhab yang empat.11
Kemudian siapa sajakah yang terkena dosa riba sehingga mereka mendapatkan
ancaman dari Allah? Dalam hadits riwayat Muslim, Jabir berkata bahwa Rasulullah
Saw mengutuk orang yang menerima ribâ, orang yang membayarnya, dan orang yang
mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu
semuanya sama.” [HR. Muslim].
Penutup
Telah nyata kerusakan akibat penerapan ekonomi berbasis ribawi, dan islam pun telah
mengecam keras para pelakunya. Namun pertanyaannya adalah apakah sistem
ekonomi islam memiliki mekanisme perekonomian modern, seperti keberadaan suatu
badan yang bisa menggantikan lembaga keuangan kapitalis, sehingga sistem islam
benar-benar mampu menggusur perekonomian kapitalis?
Paradigma tentang sistem ekonomi islam harus dibangun dengan cara menemukan
akar permasalahan sistem ekonomi yang berlaku saat ini, sehingga tampak bahwa
permasalahan tentang perbankan, bursa saham, penjualan obligasi, transaksi valas
tenggat waktu, asuransi, dan lain-lain, memang hanya akan muncul dari sistem
ekonomi kapitalis dan tidak akan pernah muncul dalam sistem ekonomi Islam.
Hutang-piutang yang dilakukan masyarakat pada hakikatnya adalah untuk memenuhi
kebutuhan maupun untuk mengembangkan usaha atau lebih dikenal sebagai hutang
konsumtif dan hutang produktif. Untuk konteks kebutuhan dana konsumtif, yakni
untuk menyambung hidup, sistem islam telah memenuhinya dengan jaminan hidup
bagi tiap anggota masyarakat baik muslim ataupun kafir. Sementara untuk kebutuhan
dana produktif misalnya untuk membuka usaha atau pun mengelola pertanian, islam
telah menetapkan aturan tentang konsep perserikatan atau pun melalui aturan
peminjaman tanpa ribâ. Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa
Rasulullah Saw bersabda:
“Tidak seorang muslim pun yang meminjami muslim yang lain dengan pinjaman
sebanyak dua kali, kecuali seperti shadaqah sekali.”
Dalam hal ini, islam menetapkan bahwa status hukum meminjami adalah sunnah,
sehingga pada sistem yang islami kaum muslim secara individu akan saling
berlomba-lomba mendapat kebaikan amalan sunnah. Dan secara institusi/lembaga,
baitul mal sajalah yang akan bertindak untuk memberi dana konsumtif untuk orang-
orang lemah (seperti ahlul suffah, orang-orang tua, janda tanpa wali, orang-orang
fakir, orang-orang miskin, dan sebagainya) dan baitul mal sajalah yang akan
meminjami dana produktif tanpa riba bagi siapa saja yang ingin mengembangkan
usahanya. Umar bin Khatab telah menyuplai para petani di Irak dari harta baitul mal
untuk mengolah tanah mereka. Hukum syara’ menyatakan, bahwa para petani bisa

11
M.Harun al-Rasyid Ramadhana, Ribâ Dalam Pandangan Islam, www.hayatulislam.net,
14/10/2003

8
diambilkan harta dari baitul mal, yang memungkinkan mereka untuk mengolah tanah-
tanah mereka hingga tanah tersebut mengeluarkan hasilnya.12 Dari Imam Abu Yusuf:
“Orang yang lemah hendaknya diberi pinjaman untuk memenuhi kebutuhannya dari
baitul mâl, agar ia bisa mengolahnya.”
Pun baitul mal akan memberikan pinjaman kepada orang-orang yang melakukan
kegiatan usaha-usaha pribadi yang usaha/bisnis tersebut dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya para petani kaya dan pengusaha
kaya tidak akan diberi sepeser pun dalam rangka meningkatkan penghasilan mereka.
Mereka dipersilahkan untuk melakukan akad-akad syirkah dengan muslim lainnya.
Dengan demikian, riba memang tidak akan pernah terjadi dalam sistem kehidupan
islam yang kaffah. Penerapan ekonomi islam non ribawi terkait dengan kebijakan
politik ekonomi islam dan berarti terkait dengan sistem-sistem lainnya, oleh sebab itu
sistem yang ada saat ini harus diganti secara menyeluruh agar sesuai dengan islam.
Ketika sistem islam diterapkan, maka masyarakat tidak akan melihat urgensitas riba
dalam kehidupan karena memang pelaksanaan ekonomi islam menjamin pemenuhan
kebutuhan manusia.
Saat ini, tidak akan ada yang mampu menghentikan sistem ekonomi ribawi ini,
kecuali dengan berdirinya Khilafah Islamiyah sebagai satu-satunya kekuatan yang
akan menggusur segala bentuk perekonomian kapitalis dan kegiatan derivar-
derivatnya yang hanya didasarkan pada kekuasaan modal dan harta benda. Kaum
muslim wajib untuk meninggalkan aktivitas yang terkait dengan riba dan wajib
bersegera melaksanakan syariat secara kaffah dalam format Daulah Khilafah
Islamiyah. Daulah Khilafah Islamiyah-lah satu-satunya kekuatan yang akan mampu
menyelamatkan umat manusia dari bahaya-bahaya kelaparan, kebinasaan, dan kehan-
curan yang dihasilkan oleh sistem kehidupan kapitalisme. Pada hakikatnya, kaum
muslimin tak akan pernah mampu menghadapi penghinaan dan penindasan akibat
diterapkannya sistem kehidupan kapitalisme, kecuali dengan berjuang untuk
mengembalikan kehidupan Islam, dengan berdirinya negara Khilafah Rasyidah
dengan seizin Allah SWT semata.
Bacaan Lanjut:
1. Ahmad AdDa’ur, M., Bantahan Atas Kebohongan-kebohongan Seputar Hukum
Ribâ dan Bunga Bank, Al Azhar Press, 2004
2. Al-Maliki, Abdurrahman, Politik Ekonomi Islam, Al-Izzah, 2001
3. An-Nabhani, Taqyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,
Risalah Gusti, 1996
4. Hizbut Tahrir , Sebab-Sebab Kegoncangan Pasar Modal Menurut Hukum Islam,
Pustaka Thariqul ‘Izzah, 1998
5. Jurnal Politik dan Dakwah Al Wa’ie, No. 4 Thn. I, 1-31 Desember 2000, hal. 36

12
An-Nabhani, Taqyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Risalah
Gusti, 1996, halaman 202-203

9
DAFTAR PUSTAKA
1) Harta sejenis tertentu di batasi pada enam jenis barang yaitu emas, perak, gandum,
sya’ir, kurma, dan garam. Batasan ini merujuk kepada dalil: Dari ‘Ubadah bin Shamit
ra, ia berkata: Nabi Saw bersabda: “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan
garam, sama, seimbang, dan kontan. Dan jika berbeda jenis barangnya, maka perjual
belikanlah sesuai cara yang kalian suka apabila dilakukan secara kontan.” [HR.
Muslim].
2) Ahmad Ad-Da’ur, M., Bantahan Atas Kebohongan-kebohongan Seputar Hukum
Ribâ dan Bunga Bank, Al Azhar Press, 2004, halaman 184-185
3) Lihat perbedaan fulus dengan uang, Ahmad Ad-Da’ur, M., Bantahan Atas
Kebohongan-kebohongan Seputar Hukum Ribâ dan Bunga Bank, Al Azhar Press,
2004, halaman 193-196. Juga lihat Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, juz: 29, halaman 468-
482.
4) Lihat, Ahmad Ad-Da’ur, M., Bantahan Atas Kebohongan-kebohongan Seputar
Hukum Ribâ dan Bunga Bank, Al Azhar Press, 2004, halaman 62.
5) Taqyuddin An-Nabhani (2000), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Persfektif
Islam, Risalah Gusti, Surabaya, halaman 201.
6) Hidayatullah Muttaqin, Saatnya Menggusur Riba dari Percaturan Ekonomi
Indonesia, PEI online www.e-syariah.net 18 juni 2005
7) Hizbut Tahrir , Sebab-Sebab Kegoncangan Pasar Modal Menurut Hukum Islam,
Pustaka Thariqul ‘Izzah, 1998, halaman 10
Hizbut Tahrir , Sebab-Sebab Kegoncangan Pasar Modal Menurut Hukum Islam,
Pustaka Thariqul ‘Izzah, 1998, halaman 10
9) Hidayatullah Muttaqin, Saatnya Menggusur Riba dari Percaturan Ekonomi
Indonesia, PEI online www.e-syariah.net 18/06/2005
10) ibid
11) M.Harun al-Rasyid Ramadhana, Ribâ Dalam Pandangan Islam,
www.hayatulislam.net, 14/10/2003
12) An-Nabhani, Taqyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif
Islam, Risalah Gusti, 1996, halaman 202-203

10

Anda mungkin juga menyukai