Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, atau reaksi alergi, yang timbul kurang dari 1 jam
sesudah tubuh terpajan oleh alergen yang sama untuk kedua kalinya. Pada reaksi tipe ini,
yang berperan adalah antibodi IgE, sel mast ataupun basofil, dan sifat genetik seseorang yang
cendrung terkena alergi (atopi). Prosesnya adalah sebagai berikut:
Ketika suatu alergen masuk ke dalam tubuh, pertama kali ia akan terpajan oleh
makrofag. Makrofag akan mempresentasikan epitop alergen tersebut ke
permukaannya, sehingga makrofag bertindak sebagai antigen presenting cells (APC).
APC akan mempresentasikan molekul MHC-II pada Sel limfosit Th2, dan sel Th2
mengeluarkan mediator IL-4 (interleukin-4) untuk menstimulasi sel B untuk
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel Plasma. Sel Plasma akan menghasilkan
antibodi IgE dan IgE ini akan berikatan di reseptor FC-R di sel Mast/basofil di
jaringan. Ikatan ini mampu bertahan dalam beberapa minggu karena sifat khas IgE
yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan basofil. Ini merupakan
mekanisme respon imun yang masih normal.
Namun, ketika alergen yang sama kembali muncul, ia akan berikatan dengan IgE
yang melekat di reseptor FC-R sel Mast/basofil tadi. Perlekatan ini tersusun
sedimikian rupa sehingga membuat semacam jembatan silang (crosslinking) antar dua
IgE di permukaan (yaitu antar dua IgE yang bivalen atau multivalen, tidak bekerja
jika igE ini univalen). Hal inilah yang akan menginduksi serangkaian mekanisme
biokimiawi intraseluler secara kaskade, sehingga terjadi granulasi sel Mast/basofil.
Degranulasi ini mengakibatkan pelepasan mediator-mediator alergik yang terkandung
di dalam granulnya seperti histamin, heparnin, faktor kemotaktik eosinofil, dan
platelet activating factor (PAF). Selain itu, peristiwa crosslinking tersebut ternyata
juga merangsang sel Mast untuk membentuk substansi baru lainnya, seperti LTB4,
LTC4, LTD4, prostaglandin dan tromboksan. Mediator utama yang dilepaskan oleh
sel Mast ini diperkirakan adalah histamin, yang menyebabkan kontraksi otot polos,
bronkokonstriksi, vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas vaskular,
edema pada mukosa dan hipersekresi.
Gejala yang ditimbulkan: bisa berupa urtikaria, asma, reaksi anafilaksis, angioedema dan
alergi atopik.
REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE II
Reaksi hipersensitifitas tipe II disebut juga dengan reaksi sitotoksik, atau sitolisis. Reaksi ini
melibatkan antibodi IgG dan IgM yang bekerja pada antigen yang terdapat di permukaan
sel atau jaringan tertentu. Antigen yang berikatan di sel tertentu bisa berupa mikroba atau
molekul2 kecil lain (hapten). Ketika pertama kali datang, antigen tersebut akan
mensensitisasi sel B untuk menghasilkan antibodi IgG dan IgM. Ketika terjadi pemaparan
berikutnya oleh antigen yang sama di permukaan sel sasaran, IgG dan IgM ini akan berikatan
dengan antigen tersebut. Ketika sel efektor (seperti makrofag, netrofil, monosit, sel T
cytotoxic ataupun sel NK) mendekat, kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran
tersebut akan dihancurkan olehnya. Hal ini mungkin dapat menyebabkan kerusakan pada sel
sasaran itu sendiri, sehingga itulah kenapa reaksi ini disebut reaksi sitotoksik/sitolisis
(sito=sel, toksik=merusak, lisis=menghancurkan).
mikroorganisme intraseluler (virus, bakteri), protein, bahan kimia yang dapat menembus
kulit, dan lain-lain.
Prosesnya secara umum adalah sebagai berikut:
Ketika tubuh terpajan alergen pertama kali, ia akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke
limfonodus regional. Disana ia akan mensensitasi sel Th untuk berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel DTH (Delayed Type Hypersensitivity). Bila sel DTH yang
disensitasi terpajan ulang dengan antigen yang sama, ia akan melepas sitokin (berupa IFN-,
TNF-, IL-2,IL-3) dan kemokin (berupa IL-8, MCAF, MIF) yang akan menarik dan
mengaktifkan makrofag yang berfungsi sebagai sel efektor dalam reaksi hipersensitifitas.
Contoh penyakit yang ditimbulkan: reaksi tuberkulin, dermatitis kontak.