Anda di halaman 1dari 15
Pendidikan Seni Musik Melalui Pendekatan Media Pembelajaran Bagi Siswa Tunanetra: Studi Kasus Di SIb/A Payakumbuh Martias 2. Dosen PLB FIP Universitas Negeri Padang Abstract, The aims of this research are to know the art of music education on music notation through media was used by the teachers of special education school for the blind students. It is found that the teachers inclined toward using the visual media repeatedly (3,25) and the teachers inclined toward using the original media very repeatedly (4,38). Based on this research, it’s recommanded that the teachers using the original media because of very fond of by the students and giving the chance to the students to develop their skill, while the teachers asked to develop their skill according to the progress of the students Keyword, seni, notasi musik, media, tunanetra, braille PENDAHULUAN Kehadiran musik sebagai aktivitas budaya telah menjadi salah satu. bagian kehidupan manusia. Tidak terkecuali strata yang melekat pada kehidupan manusia, maka musik akan hadit mengisi kehidupannya, Musik memiliki kekuatan-kekuatan tertentu, dan dari adanya kekuatan tersebut dimanfaatkannya dalam berbagai bidang kehidupan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Dengan seridirinya, musik akan mempunyai makna, baik bagi musisi pelaku, maupun khalayak lainnya. Musik akan hadir mengisi rongga kehidupan para penikmat sebagai aktivitas kehidupan sehari-hari. Pendidikan seni musik merupakan bagian mata pelajaran wajib yang harus dipelajari peserta didik pada jenjang-jenjang pendidikan; baik pada jenjang pendidikan dasar, maupun jenjang pendidikan menengah. Tak terkecuali bagi peserta didik penyandang tunanetra, mereka mengikuti pendidikan seni musik sebagai pemenuhan hak sebagai warganegara sebagaimana diatur dalam Undang-undang; seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan”. Pernyataan ini mengandung pengertian, bahwa hak untuk mendapatkan pendidikan tidak akan memandang jenis kelamin, suku, agama, golongan, termasuk juga keadaan kekurang-beruntungan dalam kehidupan (Iuar biasa). Apalagi, saat ini pemerintah telah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun bagi setiap warga negaranya, sesuai dengan kondisi dan potensi masing- masing. Keadaan ini menggambarkan bahwa pemerintah memberikan prioritas pada pembangunan pendidikan. Setiap warganegara diberikan kebebasan memilih dan mengikuti salah satu jenis dan jenjang pendidikan, sesuai dengan karaktetistik mereka masing-masing. Khusus bagi anak yang tergolong kurang beruntung terhadap fisik/mental yang disandangnya (lua biasa), kesempatan untuk memperoich pendidikan juga ditegaskan dalam Undang-Undang. “Warganegara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa” (Bab Ifl pasal 8, ayat (1). Mulai dari tingkat persiapan sampai pada tingkat lanjutan, pemerintah telah menyediakan wadah formal yang khusus bagi mereka. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Sekolah Luar Biasa yang tersebar di seluruh tanah air. Di samping itu, mengingat kelainan yang dialami peserta didik yang tidak sama, maka Sekolah Luar Biasa (SLB) yang ada dibagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan jenis kelainan yang, disandangnya. ‘(Depdikbud ,1978:8) menggolongkan hal tersebut: dd) SLB A; untuk anak yang mengalami gangguan penglihatan (Tu- nanetra). (2) SLB B; untuk anak yang mengalami gangguan pendengara (Tunarungu). (3) SLB C: untuk anak yang mengalami gangguan mental (Tunagrahita). (4) SLB D: untuk anak yang mengalami cacat tubuh (Tunadaksa). (5) SLB E: untuk anak yang mengalami gangguan kenakalan (Tunalaras). Bila ditinjau pelaksanaan pengajaran pada Sekolah Luar Biasa (SLB), keadaannya amat berbeda dengan sekolah-sekolah biasa yang ada pada umumnya. Perbedaan itu terutama dapat dilihat dalam bentuk interaksi belajar-mengajar yang terjadi. Misalnya dalam proses belajar-mengajar pada SLB/A (Tunanetra), scorang guru tidak menggunakan media visual guna menjelaskan materi pelajaran dengan media papan tulis. Di samping itu, peserta didik yang ada menggunakan alat tulis veglet dan stilus sebagai pengganti alat tulis dan buku sebagaimana halnya yang dilakukan oleh anak normal untuk menerima dan mencatat pelajaran yang diterima dari guru. Sebaliknya pada SLB/B (Tunarangu), seorang guru tidak memungkinkan menggunakan media bunyi/suara atau media verbal seperti menerangkan atau memberikan penjelasan tentang materi pelajaran yang bersifat abstrak kepada para peserta didiknya. Bentuk interaksi belajar-mengajar di atas disebabkan olch karakteristik peserta didik Sekolah Luar Biasa (SLB) yang sangat unik dan bervariasi. 'Karakteristik kelainan yang mereka sandang merupakan akibat dari gangguan-gangguan atau kelainan yang mereka alami, baik yang bersifat fisik maupun mental. Dari segi fisik, misalnya: gangguan penglihatan, pendengaran dan cacat tubuh. Kemudian-dari segi mental, menurut Emon Sastrawitnata (1977:114-115): “... seperti hambatan dalam perkembangan inteligensi, emosi, sosial, komunikasi dan kepribadian. Bahkan ada di antara mereka yang merasa rendah diri dengan kelainan yang dialaminya”. Menghadapi permasalahan di atas, seorang guru di SLB perlu menguasai psikologi Anak Luar Biasa, agar dapat memahami kebiasaan dan tingkah laku mereka. Karena gejala-gejala, perilaku, dan tindakan yang mereka lakukan merupakan refleksi dari apa yang dialami, dirasakan, dan diinginkannya. Kecermatan dalam memperhatikan akan hal-hal tersebut sangat membantu pengelolaan interaksi belajar-mengajar yang dilakukan. Mengingat kompleksnya permasalahan yang dihadapi guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) khususnya pada SLB/A (Tunanetra) timbul pertanyaan, “media apakah yang digunakan guru, serta bagaimana prosedur penggunaannnya dalam pembelajaran notasi musik?” 1. Hakikat Tunanetra a. Pengertian Banyak orang beranggapan bahwa penyandang tunanetra adalah orang buta yang tidak dapat melihat. Menurut Mochtar (1984: 6) “kata tunanstra berasal dari kata tuna dan netra yang berarti rusak dan mata. Jadi, tunanetra 578 Mertes, 2 Penditita Sn! Musk Meat Pendckotan btedlo Pembeljaran Bag Sows Tunanetra; Stud Kates di 28/A Paychuribuh ‘Renoh Sen, ne! Seni don Desai, Velurne 03 Nomor 02, Maret 2010, berarti rusak mata atau rusak penglihatan”. Jika tunanetra bermakna penglihatan yang rusak, berarti anak tunanetra adalah anak yang rusak penglihatannya; sedangkan para tunanetra adalah meraka yang menyandang kerusakan mata atau kerusakan penglihatan. Batasan tentang tunanetra merupakan masalah yang kompleks, sebab kenyataannya sebagian orang cenderung menvonis bahwa kaum tunanetra sama sekali tidak mampu berkomunikasi dengan alat visualnya dengan menarik kesimpulan bahwa mereka adalah buta. Kita mengenal banyak orang yang mengalami kerusakan mata, tapi masih mampu menggunakan penglihatan mereka walaupun terbatas. Mereka itu jelas bukan orang buta, akan tetapi termasuk kepada tunanetra. Sebaliknya orang-orang yang buta juga rusak penglihatannya. Untuk memperjelas hal tersebut di atas, beberapa ahli telah memperjelas pengertian tunanetra. Menurut hasil seminar masalah tunanetra yang diselenggarakan di Bandung dalam seksi medis (dalam Depdikbud 1986:23) merumuskan: “Seorang dinyatakan buta, apabila ia tidak dapat melihat jari-jari tangan yang berada satu meter di hadapan mukanya”. Selanjutnya hasil musyawarah ketundnetraan yang lakan di Solo merumuskan: “Seorang dikatakan tunanetra, apabila memitiki visus sentralis 6/60 lebih kecil dari itu. Oleh karena keadaan penglihatannya sehingga ia berbahaya atau tidak mungkin mempergunakan fasilitas pengajaran yang pada umumnya dipergunakan oleh anak awas”, Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak tunanetra merupakan makhluk sosial yang perlu mendapatkan pelayanan khusus tentang pendidikan terutama yang berhubungan dengan interaksi belajar mengajar notasi musik. b. Penyebab ketunanetraan. Faktor penyebab ketunanetraan dapat dibagi berdasarkan atas terjadinya ketunanetraan itu sendiri. 1) Pada masa anak masih dalam kandungan (endogen); yakni faktor yang mempengaruhi kecacatan anak semenjak anak berada dalam kandungan. Hal ini sebagai akibat dari hasil perkawinan antar keluarga dekat dan perkawinan antar penderita tunanetra sendiri. Penyebab fain pada faktor ini adalah gangguan yang diderita semasa kehamilan oleh unsur-unsur penyakit yang bersifat menahun seperti penyakit TBC, penyakit campak Jerman, dan penyakit sipilis. 2) Pada masa anak sudah dilahirkan (exogen), yakni faktor yang mempengaruhi kecacatan anak setelah anak berada di juar kehamilan ibu. Ini sebagai akibat dari terserang penyakit Xerophthalmia, yakni suatu penyakit karena kekurangan vitamin A. Menurut Pradopo (1977:4), +. penyakit ini terdiri atas stadium buta senja, stadium xeronis (selaput putih kiri-kanan dan selaput bening kelihatan Kering) dan stadium keratomalicia (sclaput bening menjadi lunak, keruh dan hancur), Selain itu diakibatkan oleh penyakit Trachoma yakni gejala bintil-bintil pada selaput putih serta penyakit Cataract, Glaucoma serta penyakit lain yang membawa kebutaan. 579 c. Masalah yang timbul. Permasalahan yang timbul sebagai akibat ketunanetraan adalah hilangnya rangsangan visual sebagai sumber informasi yang_peting utama. Para penderita tunanetra terhalang penerimaan rangsangan visual sehingga memaksa indera yang lainnya untuk menggantikan peran indera yang rusak dan tidak berfungsi. Seperti halnya indera perabaan yang bekerja merasakan informasi yang datang yang selanjutnya akan diteruskan ke pusat otak. d. Karakteristik Akibat kurangnya daya penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali yang diderita oleh anak tunanetra, menimbulkan masalah yang menyebabkan terbatasnya kemampuan bekembang anak tunanetra dibandingkan kemungkinan perkembangan yang dapat dialami oleh anak pada umumnya, Adapun karakteristik yang dimiliki oleh anak tunanetra adalah: 1) Curiga tethadap orang Karena keterbatasan rangsangan visual menyebabkan anak tunanetra kurang mampu untuk berorientasi terhadap lingkungan, schingga dengan sendirinya kemampuan mobilitasnya juga akan terganggu. Pengalaman sehari-hari menunjukkan kepadanya bahwa tidak mudah baginya untuk mendapatkan benda yang dicarinya, sehingga di satu sisi akan berakibat kakinya tersandung, terantuk kepala, serta kejadian lain yang terjadi. lain, hal seperti ini membuat anak tunanetra akan berilaku atau bersikap lebih berhati-hati. Sikap kehati-hatian yang ada pada anak tunanetra, apabila tumbuh secara berlebihan akan berkembang menjadi sifat ouriga kepada orang lain. 2) Perasaan mudah tersinggung, Perasaan mudah tersinggung pada anak tunanetra dapat pula tumbuh, Hal ini disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang diterimanya serta diikuti dengan indera yang lain yang kurang baik peranannya, Pengalaman anak sehari-hari yang selalu menirebulkan perasaan kecewa, akan mewujudkan anak menjadi emosional. Segala bentuk senda gurau, penekanan nada suara, atau senggolan fisik yang terjadi tidak dengan disengaja dapat dijadikan penyebab perasaannya mudah tersinggung, yang selanjutnya akan berakibat merugikan dirinya sendiri. 3) Sifat ketergantungan yang berlebihan. Yang dimaksud dengan ketergantungan ialah suatu sikap yang tidak mau mengatasi kesulitan dirinya sendiri, Anak cenderung untuk mengharapkan pertolongan dari orang lain, sebab mereka belum berusaha sepenuhnya dalam mengatasi persoalan dirinya dan mengharapkan pertolongan atau adanya kasih sayang yang berlebih- lebihan dari pihak lain, schingga anak tidak pernah berusaha berbuat sesuatu. Anak tunanetra harus diberi kesempatan untuk menolong dirinya sendiri. Sos 5BO ome 2, Pendikan Seni Musik Molo Pendekaton Media Pembeleoran Bagi inva Tunaneta; Stud Kass SL8/A Poyakirabub ‘onah Sen) Juma seniden Desi, Volume 08 Nomar 02, Maret 2010 e. Kemampuan Anak tunanetra dari segi kemampuan tidak harus dibedakan dengan anak normal. Meskipun miereka terhalang penerimaan informasi melalui indera yang tidak derfingsi. Walaupun ini terjadi pada mereka, namun tidak harus pasrah untuk tidak dapat berbuat. Maka melalui pendidikan fambatan-hambatan_ tersebut diusahakan untuk dikurangi dengan menumbuh-kembangkan keterampilan mereka di masa mendatang. Interaksi Belajar Mengajar pada SLB/A (Tunanetra) Surakhmad (1980:13) memberikan pengertian tentang interaksi belajar mengajar, yaitu: “hubungan langsung antara guru dan siswa secara sadar, aktif dan terarah, yang bertujuan mengubah tingkah laku. siswa menuju kedewasaan”. Selanjutnya, Surakhmad (1980:13) menjelaskan: *.. agar hal ini betjalan dengan lancar harus didukung oleh beberapa komponen; di antaranya (1) tujuan, (2) bahan, (3) siswa, (4) guru, (5) metode, (6) situasi, dan (7) penilaian, Komponen-komponen ini merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan satu dan lainnya. Gura merupakan komponen yang utama yang memegang peranan yang sangat dominan, karena guru berhubungan fangsung dan bertindak sebagai informator, organisator, motivator, director, inisiator, transmitor, fasilitator, mediator, dan evaluator” (Sadiman, 1992: 142-144) Dengan pernyataan di atas diharapkan guru sanggup berperan semaksimal mungkin untuk melakukan interaksi belajar-mengajar dalam pendidikan luar biasa ini. Selain itu guru juga dihadapkan kepada karakteristik anak yang serba mengalami kelainan dari anak normal, yang selanjutnya akan menjadi titik tolak dalent merientikan metode dan media yang digunakan sesuai dalam suatu kondisi interaksi belajar mengajar dalam pengajaran notasi music. ‘Metode dan media yang digunakan guru dalam interaksi belajar-mengajar di SLB/A amat bervariasi sifatnya. Sebab pada gilirannya tergantung kepada keinginan dan kemauan siswa yang dapat saja berubah sewaktu-wakw yang disebabkan perubahan suasana kejiwaan. yang mempengaruhi. Dengan demikian guru harus mengikuti perubahan dan kemauan siswa tersebut, agar gairah belajar mereka tetap terjaga. Kajian berikut dititik-beratkan kepada uraian metode dan media dalam interaksi belajar-mengajar notasi musik di SLB/A (Tunanetra) Payakumbuh, a. Media Pengajaran Menurut Hamidjoyo (dalam Latuheru, 198,14), “Media pengajaran adalah media yang penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan, isi pelajaran dan sekaligus mempertinggi mutu kegiatan belajar mengajar”. Bertitik-tolak dari pendapat di atas, media pengajaran yang dimaksud dalam penelitian ini tergolong media dengan pengertian sebagai alat bantu penyampaian materi pefajaran datam interaksi belajar-mengajar notasi musik di SLB/A (Tunanetra) Untuk pemilihan media yang akan digunakan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, Menurut Rumampuk (1988) menjabarkan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan media pengajaran: (1) lokasi sekolah, (2) karakteristik siswa, G3) kemampuan membaca siswa, (4) keadaan penglihatan dan pendengaran siswa, dan (5) hubungan pengalaman siswa dengan media. Kendatipun faktor-faktor di atas bersifat universal, namun dapat diterapkan pada Sekolah Luar Biasa Tunanetra dengan harapan siswa yang mengalami hambatan dengan indera penglihatannya dapat diperlakukan apa adanya dengan mempertimbangkan segi pendengaran siswa yang memegang peranan penting dalam kehidupannya. Adapun media pengajaran yang digunakan dalam pengajaran notasi musik dapat digolongkan atas dua kelompok; yakni: 1) Media atau alat pengajaran yang sesungguhnya atau asli. Dalam. kegiatan interaksi belajar-mengajar berkembang konsep mengenai beberapa hal, baik yang bersifat konkrit maupun yang bersifat abstrak. Suatu Konsep dapat diinformasikan secara lisan atau tertulis. Konsep tentang suatu obyek akan benar-benar mempunyai Kesan yang Tengkap dan tuntas, mendalam dan awet apabila anak didik dapat mengamati dan menghubungkan secara langsung dengan obyek yang sesungguhnya. 2) Alot pelajaran atau alat peraga yang berupa obyek sesungguhnya yang diawetkan. Jika di dalam mengajar guru mendapat kesulitan untuk memperoleh obyek yang sesungguhnya yang telah dikeringkan etau diawetkan, ‘misalnya: burung, ayam, tik, tupai, ular, macam-macam serangga dan sebagainya. 3) Alat pelajaran atau alat peraga yang berupa model atau tiruan. Model atau tiruan sebagai alat-alat pelajaran dapat dibedakan menurut dimensi dan menurut ukurannya: a) Menurut dimensinya, model dapat dibedakan scbagai berikut: (1) Model tiga dimensi mempunyai tiga ukuran, yaitu panjang, Iebar dan tinggi atau tebal, (2) Mode! dua dimensi hanya mempunyai dua ukuran, yaitu panjang dan lebar saja. b) Menurut ukurannya, model dapat dibedakan; di anlaranyaz (1) Model yang ukurannya sama dengan ukuran obyek’ yang sesungguhnya, misalnya kepiting yang dibuat dengan’ kayu dengan ukuran kepiting yang sebenarnya. 2) Model yang ukurannya lebih kecil dari obyek scbenarnya. (3) Model yang ukurannya lebih besar dari ukuran obyek yang sebenarnya. @) Gambar metupakan alat peraga visual. Berbagai alat yang termasuk dalam hal ini adalah gambar yang diproyeksikan foto, film, grafik, denah dan sebagainya, 3. Notasi Musik Menurut Rahman (1982) notasi berarti cara penulisan sebuah lagu. Dalam hal ini Notasi Musik berarti tulisan-tulisan musik. Sehubungan dengan keterbatasan anak tunanetra dalam hal komunikasi pandang (indera visual) maka sistem pengajaran kesenian Khususnya membahas topik tentang notasi musik menggunaken alat tulis 582 _ aortas, z Pndihon Seni Musk Metou Pendelaton Medio Pembeljaran Bagi Sawa Tenoneta; Sul asus SLA/A Poyehumbah ‘Ranch en, uma Semicon Dessn, Volume 03 Nomar 2, Maret 2010, Braille. Peralatan inj terdiri dari lempengan logam yang berbentuk jepitan serta di tengahnya diberi lobang-lobang kecil sebagai sarana tempat menulis. Kemudian alat stilus yang berbentuk jarum bertangkai sebagai pegangan (stilus) digunakan untuk menusuk lobang pada lempengan sebagai penandaan pada kertas karton sebagai lambang tulisan. Sebagai proses kerja maka kertas karton dijepitkan pada lempengan logam yang selanjutnya melakukan penusukan sebagai penandaan notasi musik. Penandaan pada huruf Braille adalah enam buah titik timbul yang masing-masing titik diberi nomor penandaan seperti berikut: 1@@ 4 2@@ 5 3 @@ 6 Dalam hal penulisan notasi musik yang menggunakan notasi Braille, pertama-tama nofasi yang akan dikerjakan harus diterjemahkan terlebih dahulu, baik yang berasal dari notasi angka; maupun notasi balok. Kajian berikut adalah mengenai notasi musik yang diterjemahkan ke notasi musik Braille, a. Tanda mula, yakni dengan membuat huruf d dan o kemudian tanda sama dengan (=) setelah itu baru dengan huruf. Misalnya: do = G b. Tanda birama merupakan suatu bilangan pecahan, misalnya tanda birama 4/4, Maka dalam pembuatan dengan Braille adalah: ¢. Tanda ruas birama, Dibuat hanya dengan mengosongkan saja sebagai penandaan batas antara ruas birama. d. Tanda tempo. Ditulis didahului oleh tanda kata dengan diakhiri dengan tanda apostrop. Misalnya “allegretto’. ©. Tanda oktaf, Oktaf yang sering dipakai adalah: OktaFrendat: Oktafsedang: @ e Oktaftings: e Pemakaian tanda oktaf dalam penulisan Braille langsung diletakkan sebelum not yang pertama. 583 £ Not Solmisasi Not solmisasi (not angka/not balok) diambilkan dari not 1/8 yang dituliskan dengan: Do rw mi fa so la si Jika not tersebut berubah jumlah ketukannya, maka dapat dilakukan dengan penambahan titik pada lobang 3 dan 6 menurut ketukan yang dibutuhkan. Misalnya: : : e Sol satu ketukan: @ La dua ketukan: 3 Mi empat ketukan: - * Do setengah ketukan Do seperempat ketukan @ : not ini dapat dibedakan dengan not empat ketukan dengan jumlah not per Fa seperempat ketukan § Tuas birama. g. Titik perpanjangan not, adalah memperpanjang ketukan separuh dari ketukan not di depan. Dalam penulisan Braille tanda titik diletakkan di belakang not yang akan diperpanjang. Sol tiga ketukan e Si satu setengah ketukan h. Tanda Diam e ‘Tanda diam empat ketukan @ Tanda diam dua ketukan @@ ‘Tanda diam satu ketukan Tanda diam setengah venta Tanda dia seperempat ketukan QQ i. Tanda lengkung untuk legato. Dalam penulisan not Braille tanda ikatan (lengkung) dibuat di antara not yang diikat, Contoh: S84. tarias, 2, ponctikan Sen Musk Meal Pendehoton Medi Pembelejaran Bagi Sama Tunaneto; Studi Kasus di SL8/A Peyohomh vant eee ge 8 *e- J. Tanda lengkung untuk suspensi eee ‘ 3 ee *3 SF ed ‘Tanda tutup atau tanda akhir sebuah lagu 3 e ee Tanda ini langsung ditempatkan setelah nada yang terakhir. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Ary dkk. (terjemahan Furchan, 1982:415): “Penelitian deskriptif dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada saat penelitian dilakukan”. Lebih lanjut dikatakan bahwa: “Penelitian ini diarahkan untuk menetapkan sifat suatu situasi pada waktu penyelidikan itu dilakukan”. Dalam hal ini penelitian dilakukan untuk mendesksisipsikan tentang penggunaan media dan proses penggunaannya dalam interaksi belajar-mengajar notasi musik di SLB/A (Tunanetra) Payakumbuh. Sesuai dengan klasifikasi penelitian deskriptif, penelitian ini termasuk pada jenis penelitian metode studi kasus: Menurut Maxfield dalam Nazir (1983):66): “... penelitian kasus adalah penelitian tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari kescluruhan personalitas. Subyek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat”. Berdasarkan uraian di atas, penelitian dengan studi kasus ini bertujuan untuk melihat gambaran penggunaan media yang dilakukan oleh guru dalam interaksi belajar-mengajar notasi musik di SLB/A (Tunanetra) Payakumbuh. Subyek penelitian ini adalah semua guru yang terlibat dalam interaksi belajar-mengajar notasi musik di SLB/A (Tunanetra) Payakumbuh pada catur wlan [I tahun ajaran 1996/1997. Guru yang dimaksud berjumlah 6 orang. Di samping mengajar pelajaran kesenian (musik), masing-masing guru tersebut adalah guru yang mengajar di kelas D-1 (Dasar 1) sampai dengan kelas D-6 (Dasar 6). Variabel dalam penelitian ini adalah penggunaan media oleh guru dalam pembelajaran notasi musik. Sesuai dengan konteks penelitian ini; berikut ini diuraikan definisi operasional variabel yang digunakan tersebut dengan bagian- bagian yang terkait. 1. Media adalah sarana (alat bantu) kemunikasi dalam menjelaskan materi pelajaran atau latihan yang akan dibuat siswa dalam interaksi belajar- mengajar notasi musik. 585 2. Penggunaan media adalah proses (langkah-langkah) yang dilakukan guru dalam menggunakan sarana (alat bantu) komunikasi dalam interaksi belajar- mengajar notasi musik. . Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang diambil langsung dari hasil pengisian angket, jawaban subyek penelitian dalam wawancara, dan hasit observasi. Kemudian juga mengadakan konfirmasi melalui Kepala SLB/A (Tunanctra) Payakumbuh yang dalam hal ini dianggap sebagai data sekunder (pelengkap). Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui angket, pedoman wawancara, dan lembar observasi. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penyebaran angket, wawancara dan observasi, Dalam penyebaran angket, penulis meminta bantuan [bu Kepala Sekolah untuk membagikan lembaran kepada guru-guru yang diangkat menjadi sumber data. Kemudian dalam waktu paling Jambar 3 (liga) hari, seluruh angket tersebut sudah dikumpulkan kembali lewat Ibu Kepala Sekolah, dan selanjutnya Ibu Kepala Sekolah mengembalikannya kepada penulis. Pelaksanaan wawancara dilakukan dengan menemui guy yang diangkat sebagai sumber data secara perorangan. Jadwal wawancara dilaksanakan dalam rentang waktu 2 (dua) hari, Hal ini dilakukan dengan pertimbangan waktu dan kesempatan bagi guru-guru di luar jam dan tempat mengajar. Seperti misalnya waktu senggang dalam ruang majelis guru, atau tempat-tempat yang memungkinkan. Selanjutnya mengenai pelaksanaan observasi, dilakukan secara langsung dalam kelas pada waktu proses interaksi belajar-mengajar notasi musik berlangsung. Ttem-item yang ada dalam angket dan lembaran observasi, disusun berdasarkan kisi-kisi indikator yang kemudian dijabarkan menjadi pernyataan-pernyataan untuk menjawab pertanyaan penclitian terdahulu. Karena tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan penggunaan media olch guru serta prosedur penggunaannya, maka penyusunan angket menggunakan skala verbal frekuensi yang dikembangkan oleh Halpin yang dikutip oleh Tuckman (1972:179) yang disusun dalam ragam pilihan yang terdiri dari 5 Kategori dengan tiap-tiap kategori diberi dengan bobot 1 sampai dengan 5; yakni: Sangat Sering (SS) diberi dengan bobot 5, Sering (8) diberi dengan bobot 4, Kadang-kadang (KK) diberi dengan bobot 3, Hampir Tidak Pernah (HTP) diberi bobot 2, serta Tidak Pernah (TP) diberi bobot 1. Untuk memperoleh informasi yang lebih rinci- tentang prosedur penggunaan media pembelajara serta untuk mengkonfirmasikan hasil pengisian angkat, maka dilakukan wawancara dengan pertanyaan terbuka. Ini dimaksudkan Karena data yang dibutuhkan bersifat deskriptif. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengacu pada indikator yang telah ditetapkan sebelumnya di dalam pedoman wawancara. Di samping melakukan pencatatan pada waktu wawancara. Hal ini dilakukan untuk melihat kebenaran jawaban yang diberikan sewaktu pengisian angket. Selanjutnya, untuk menjaring data observasi digunakan daftar check (v). Dalam lembaran observasi tersebut disusun kemungkinan bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan guru dalam interaksi belajar-mengajar notasi musik secara rinci, yang dikembangkan dari indikator-indikator variabel penelitian. 586 ntoras,z Pendathan seni tusk Melatl Pendekatan Media Pembelajaran Bop Ska Tunanetra; Sta Kasi ek LB/A Poyakumbuh ‘Ronoh Sen enol Senidan Desai, Volume 03 omer 02 Moret 2010 Dengan demikian, pada waktu observasi penulis hanya membubuhkan tanda check (v) pada kolom yang tersedia. Hal ini juga dilakukan untuk melihat paduan antara jawaban yang diberikan dalam angket serta pedoman wawancara. Setelah instrumen disusun, kemudian diujicobakan untuk melihat validitas dan reliabilitas. Menurut Ary dkk., (terjemahan Furchan, 1982:281- 289) validitas adalah sejauh mana alat tersebut mampu mengukur apa yang ingin diteliti. Sedangkan reliabilitas adalah derajat keajekan (keterandalan) alat tersebut dalam mengukur apa yang diteliti. Validitas dan reliabilitas suatu instrumen tergantung pada sasaran dan tujuan khusus penggunaan instrumen tersebut (Ibid:282). Sehubungan dengan itu, sasaran dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang media yang digunakan guru, serta _prosedur penggunaannya dalam interaksi belajar mengajar notasi musik pada SLB/A (Tunanetra) Payakumbuh. Pengujian instramen penelitian ini dilakukan dengan ujicoba secara rasional dan empirik. Secara rasional dilakukan dengan mencocokkan item- item dengan indikator dengan mengkonsultasikannya terlebih dahulu kepada tim ahli, Sedangkan secara empirik, melalui ujicoba yang ditujukan pada responden yang ekuivalen dengan subyck penelitian, yaitu guru-guru SLB/YPPLB Padang yang mengajarkan kesenian pada kelas-kelas pendidikan anak. tunanetra tingkat dasar, kehususnya yang berhubungan dengan materi pelajaran notasi musik. Uji coba ini penulis lakukan dengan maksud untuk melihat pemahaman responden terhadap item-item pemnyataan dalam angket. Dari hasil uji coba tersebut, temyata ada beberapa item pemyataan yang Kurang dipahami oleh subyck penclitian, yakni item-item 6, 7, 9, 10 dan 17. Oleh karena kalimatnya masih ambigous dan membingungkan, Item- item tersebut direvisi kembali sebefum digunakan untuk penelitian yang sesungguhnya. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif untuk melihat tingkat keseringan penggunaan suatu metode dalam interaksi belajar-mengajar notasi musik pada SLB/A (Tunanetra) Payakumbuh. Untuk itu, data yang terkumpul dalam penelitian ini akan diolah dengan menghitung skor rata-rata (mean), yang mengacu pada pendapat yang dikemukakan olch Sudjana (1988: 67-94). Ex, Rumus: | ¥= n x = skor rata-rata Ix, =jumlah skor setiap item a = subyek penelitian Kemudian, hasil penelitian diterjemahkan dengan 0 -- 1 cenderung tidak pernah, 1 ~-2 cenderung hampir tidak pernah, 2 — 3 cenderung kadang-kadang, 3 ~4 cenderung sering,.dan 4 — 5 cenderung sangat sering. Selanjutnya, data hasil 587 wawancara dan observasi mengenai proses penggunaan media oleh guru dalam interaksi belajar mengajar notasi musik, dideskripsikan dalam bentuk uraian. HASIL PENELITIAN, Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data mentah, yang dijaring dengan menggunakan lembaran angket, wawancara, dan observasi. Data tersebut diperoleh melalui subyek penelitian yang ‘terdiri dari guru-guru SLB/A (Tunanetra) Payakumbuh yang terlibat dalam interaksi belajar mengajar notasi musik pada catur wulan I tahun ajaran 1996/1997 yang berjumlah 6 orang yang ‘mengajar mulai dari kelas Dasar (D) 1 sampai dengan Dasar (D) 6. Selanjutnya data yang dikumpulkan, ditabulasikan dan dideskripsikan ‘menjadi dua bagian. Dua bagian tersebut adalah: (1) media yang digunakan guru dalam interaksi belajar-mengajar notasi musik, dan (2) prosedur penggunaan media yang dilakukan oleh guru dalam pembelajaran notasi musik. 1. Media yang Digunakan Guru dalam Interaksi Belajar-Mengajar Notasi Musik Media yang digunakan guru dalam interaksi belajar-mengajar notasi musik pada SLB/A (Tunanetra) Payakumbuh, serta tingkat keseringan penggunaannya, dapat dilihat pada tabel 1. Jawaban subyek penelitian dibedakan menjadi lima kategori; yakni, Sangat Sering (SS), Sering (S), Kadang-kadang (KK), Hampir Tidak Pernah (HTP), dan Tidak Pernah (TP). Setiap kategori memperoleh skor yang berbeda, yakni dengan memberi bobot 1 — 5. Dengan-demikian, jawaban sangat sering memperoleh 5, sering memperolch 4, kadang-kadang memperoleh 3, hampir tidak pernah memperolch 2, serta tidak pernah memperoleh 1. Tabel 6 Media yang digunakan Guru dalam Interaksi Belajar Mengajar Notasi Musik. Indikator | No. Item | Skor rata-rata Kategori No. : ia . 1 | Media visual | 16.a 3,83 16.b 2,67 3,25 Cenderung sering 2 |Mediaash | 17a 4,33 : 17b 45 I7c 4 17d 4,67 438 Cenderung sangat sering Dari tabel 1 di atas dapat dilihat tingkat keseringan penggunaan media yang digunakan guru dalam interaksi belajar-mengajar notasi musi di SLB/A (Tunanetra) Payakumbuh. Tingkat kescringan ini dapat diranking secara kontinum sebagai berikut: Pertama, guru cenderung sangat sering 588 _ Marios 2 Pendidikan Seni dusk telah Pendekotn Mada Pemelejran Bagi Sawa Tunoneto; Studi Kass 18/A Peyakobub anoh Sen, url Senidan Desi, Volume 08 Nomor 02, Mart 2010 \ menggunakan media asli (4,38); serta, Kedua: guru cenderung_sering menggunakan media visual (3,25). 2, Prosedur Penggunaan Media yang Dilakukan Guru, dalam Interaksi Belajar-Mengajar Notasi Musik. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, maka proses penggunaan media dalam interaksi belajar-mengajar notasi musik pada SLB/A (Tunanetra) Payakumbub, dapat diuraikan satu persatu sebagai berikut: a. Media Visual Prosedur penggunaan media adalah guru langsung memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengamati secara cermat dengan perabaannya, di samping guru juga menjelaskan notasi musik yang dipelajari siswa. b. Media Asli Prosedur penggunaan media asli adalah guru memperagakan Iansung atau memainkan salah satu alat musik, sambil menjelaskan materi pelajaran atau latihan yang dikerjakan siswa. Sementara guru memperagakan media asli berupa memainkan salah satu alat musik sambil siswa mendengarkan dengan cermat. PEMBAHASAN 1. Media Pengajaran Media Asli Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa guru-guru pada SLB/A (Tunanetra) Payakumbuh Sangat Sering menggunakan media asi yang memiliki ranking kontinwn pertama dalam penggunaan media pengajaran dengan penunjukan skor rata-rata (4,38). Menurut ungkapan dari guru-guru yang terlibat dengan interaksi belajar-mengajar notasi musik, para siswa sangat senang dengan alat-alat musik yang asli untuk memprakiekkan nada-nada yang diperdengarkan. Menurut mereka hal ini akan sangat kontras bila nade-nada yang didengar berasai dari kaset recorder. Peran media asli dalam hal ini sangat penting dalam dunia anak tunanetra. Media Visual Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa guru-guru SLB/A (Tunanetra) Payakumbuh cenderung sering menggunakan media visual yang memiliki ranking kontinum kedua dalam penggunaan media pengajaran dalam interaksi belajar-mengajar notasi musik dengan skor rata-rata (3,25). Menurut ungkapan Ibu Kepala Sekolah (dalam wawancara) bahwa hal ini sebenarnya tidak memungkinkan diterapkan pada anak peserta didik dengan kondisi keterbatasan indera visual. Akan tetapi anak perlu diperkenalkan dengan notasi balok yang sesungguhnya yakni dengan membuat gambar not balok yang dikapai dalam lagu dengan guntingan Kertas Kkarton mirip notasi balok. Kemudian pembuatan garis paranada dilakukan dengan menempelkan benang yang membujur dari kiti ke kanan sebanyak lima buah yang sama jaraknya. 589 Setelah itu baru ditempelkan notasi balok berikut dengan tanda kuncinya, Proses mempelajari_notasi_ musik adalah dengan perabaan dengan ujung-ujung jari yang dilakukan anak tunanetra melalui notasi dengan benang yang timbul dipermukaan kertas karton yang disesuaikan dengan ujaran guru sambil_ siswa mencermati hasil ujaran guru. SEIMPULAN DAN SARAN, Berdasarkan hasil penelitian ditarik kesimpulan, sebagai berikut: - Media-media yang digunakan guru dalam interaksi belajar-mengajar notasi musik adalah media visual dan media asli. . Tingkat keseringan penggunaan setiap media tersebut dapat diranking secara kontinum sebagai berikut: (1) media asli (4,38), dan (2) media visual (3,25). . Prosedur penggunaan masing-masing media tersebut adalah sebagai berikut: a. Pada media asli, guru langsung memeragakan atau dengan’ menunjuk salah scorang siswa yang mahir untuk memainkan salah satu alat musik. b. Pada media visual, guru membuatkan alat peraga dengan kertas karton serta benang yang ditempelkan. Kemudian siswa melakukan perabaan pada kertas benang dan guntingan kertas karton berupa notasi musik biasa yang tertempel pada karton. Kemudian sisw amelakukan perabaan pada permukaan kertas karton. x DAFTAR RUJUKAN Amin, Mohammad, dan Adreas Dwijoyosumarto, (1987). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Depdikbud. Ary, Donald, Lucy Cheser Jacobs, dan Asghar Razavieh, Introduction Research of Education, (1982/diterjemahkan Arief Furchan. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan). Surabaya: Usaha Nasional. BP-7 Pusat, (1990). UUD, P4, GBEIN. Jakarta: Percetakan Nasional : Bratanata, S. A (1975). Pengantar Dasar dalam Pendidikan Luar Biasa, Jakarta: Depdikbud. Depdikbud, (1984). Kurikulum SLB/A Tunanetra Tingkat Dasar. Jakarta: Depdikbud. (1984). Metodologi Penelitian. Jakarta: Depdikbud. (1990). Buku Panduang Penelitian dan Ujian Tesis, Padang: IKIP Padang. : (1984). Pedoman Menulis Braille menurut Ejaan Baru -yang Disempurnakan di Sekolah Luar Biasa. Jakarta: CV. Harapan Baru. (1985). Petunjuk Praktis Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa. Jakarta: CV. Borobudur. Latuheru, Jhon D., (1980). Media Pengajaran. Jakarta: Depdikbud. Mochtar, Syamsuar (1984), Ortodidaktik Anak Tunanetra, Jakarta: Depdikbud. Maksan, Marjusman (1993), Pedoman Menyusun Karya Tulis Ilmiah. Padang: 1KIP Padang Pross. Nazir, Moh., (1983). Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia. Rahman, Yusaf. (1981) Norasi Balok (Diktat). Padang. i Redaksi Bumi Aksara, (1993), UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaannya. Surabaya: Usaha Nasional. 590 Moras 2 Pentcitan Sea ust Meloli Pendehaian Mediu Pembelolaron gl SswaTunanetr; Studi Kos SLB/A ayahinbuh ‘onoh en, ural en dan Deson, Volume 08 Homer 02, Maret 2010 Sadiman, A. M., (1992) Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali Press. Sapariadi, et. al, (1997). Mengapa Anak Berkelainan Perlu Mendapatkan Pendidikan, Jakarta: Balai Pustaka. Sastrawinata, Emon (1997). Pendidikan Anak Luar Biasa. Bandung: Masa Baru. Sudjana, (1992), Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Suiakhmad, (1980). Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito. 8. Suriasumantri, Yuyun. (1993). Filsafat Inu. Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Bacu. Tuckman, Bruce. W., (1972). Conducting Educational Research. New York: Harcourt Brace Jovanivieh, Inc, 591,

Anda mungkin juga menyukai