Anda di halaman 1dari 49

SKENARIO 2

FACES TRAUMA
A boy aged 8 years was brought to the Emergency Unit after an accident. He
bounced from the host and his bike hit the pavement and the bottle containing the
liquid battery rupture and the liquid is brought about him. Conscious patient,
suffering from facial and jaw injuries are very severe, the patient also look
crowded. On physical examination the doctor found the patient's difficulty
answering the question being asked by a doctor because of the deformity on the
right cheek and out of the mouth and nose bleeding.

STEP 1
STEP 2
1.
2.
3.
4.
5.

Bagaimana penatalaksanaan trauma kimia pada mata?


Apa saja macam-macam trauma kimia pada mata dan manifestasinya?
Bagaimana penanganan trauma wajah pada kasus?
Apa saja derajat trauma wajah dan komplikasinya?
Mengapa pasien sesak dan apa penyebab obstruksi jalan nafas?

STEP 3
1. Bagaimana penatalaksanaan trauma kimia pada mata?
a. Irigasi
b. Doubel eversi
c. Debridemen
d. Antibiotik
e. Analgesik topical
Prinsip tatalaksana :
a. Mempertahankan struktur mata
b. Mencegah infeksi
c. Memperbaiki penglihatan
2. Apa saja macam-macam trauma kimia pada mata dan manifestasinya?
- Asam
- Basa
Derajat : I : Kornea masih baik
II : Kornea berkabut, iris jelas
III : Kornea hilang total
IV : Kornea Opak
3. Bagaimana penanganan trauma wajah pada kasus?
a. Periksa dan pantau tamda vital
b. Menjaga jalan nafas
c. Mengatasi perdarahan
d. Dilihat kesadaran pasien
e. Tindakan bedah
4. Apa saja derajat trauma wajah dan komplikasinya?
a. Trauma jaringan lunak
- Ekskoriasi
- Luka sayat, robek
- Luka bakar
- Luka tembak
b. Trauma jaringan keras
- Fraktur hidung
- Fraktur mandibula
- Fraktur maxilla
- Fraktur tulang pipi
5. Mengapa pasien sesak dan apa penyebab obstruksi jalan nafas?
a. Lidah menyumbat orofaring
b. Obstruksi karena cairan
- Muntahan
- Darah
- Secret

STEP 4
1. TRAUMA KIMIA MATA
Basa pH > 7
Asam pH <7
pH cairan mata 7,3
sifat kerusakan : Basa > asam
Trauma kimia baik asam maupun basa sama-sama mendenaturasi protein,
namun pada trauma asam bahan asam akan membentuk koagulan pada
permukaan sehingga mencegah asam penetrasi lebih dalam ke jaringan,
sedangkan bahan basa tidak membentuk koagulan melainkan bersifat cair
yang akan mudah menembus jaringan hingga ke bagian dalam.
TRAUMA ASAM
Asam organik; asam citrat,maleat,acetat,dll
As.non.organik: HCl,HNO3,H2SO4 dll
Patofisiologi
Asam lemah dpt merusk dinding sel
Daya tembus asam organic > anorganik
Kadar rendah : kekentalan
Protoplasma koagulasi reaksi:iritasi
Kadar tinggi : denat.protein asam proteinat
Sifat merusaknya asam tergantung dari: pH, affinitas protein dan daya
tembusnya
Klasifikasi keparahan:
1. Mild Injury
erosi epitel kornea
reepitelisasi lambat
kornea sedikit oedem, visus sedikit terganggu
2. Moderatelly severe Burn
kornea keruh
iris kurang berkilat
sianosis / nekrosis conjunctiva
3

bisa terbentuk neovascularisari kornea


eksuudat protein yang encer pd mata yang merah
defek epitel permanen
3. Very Severe Burn
kornea sangat oedem
batas pupil tidak jelas
konjungtiva dan sklera putih
uveitis
Tatalaksana
-

Irigasi dgn air atau garam fisiologi


Kontrol pH air mata

TRAUMA BASA
Patofisiologi:
Basa menyebabkan kekentalan protoplasma terbentuk liquid fraction dan
vacuolisasi sehingga terjadi penggumpalan. Mekanisme terbentuknya garam
alkali proteinat : Basa dgn lemak akan membentuk sabun sehingga merusak
dinding sel dengan menambah daya penetrasinya sehingga terjadi nekrosis
fokal.
Kerusakan kornea biasanya terjadi pada pH 11,5.
Berat ringannya trauma basa tergantung pada: pH, lama kontak dan daya
tembus.
Klasifikasi Thoft
-

Derajat 1: Hiperemi konjungtiva disertai keratitis punctat


Derajat 2: Hiperemi konjungtiva disertai hilangnya epitel kornea
Derajat 3: derajat 2 + nekrosis konjungtiva
Derajat 4: konunctival perilimbal nekrosis sebanyak 50%

Tatalaksana
1. Segera
Irigasi dgn air yang mengalir selama 30 menit sebanyak 2 liter
Bawa pasien ke emergency room
Irigasi dgn NaCl 0,9%,beri Pantocain ED
Jika ada benda asing, bersihkan
Pada trauma basa dpt terjadi pelepasan enzim collagenase, beri

EDTA calcium atau cystein 0,2 molar atau acetyl cystein 1,2 molar.
Acetazolamide 500 mg
Vitamin C utk kolagenase

Beri cycloplegic ED dan Antibiotik


Tutup mata dgn verban
2. Kemudian
Beberapa hari-minggu
Acetazolamide 4x250 mg,akibat terlepasnya PG dan terbentuknya

jar. Parut menutupi out flow channel


Bila TIO 22-25 mmHg beri Timolol maleat 0,5% atau glycerin 50%

40-50 ml 2x sehari
Mannitol 20% IV (2,5 mg/kg/BB/hr)
Dexamethasone ED atau sistemik utk
Cegah iridocyclitis

2. TRAUMA WAJAH / MAKSILOFASIAL


Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulangtulang

wajah

yaitu

tulang

frontal,

temporal,

orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula.


Etiologi
Ada

banyak

faktor

etiologi

yang

menyebabkan

fraktur

maksilofasial itu dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas,


kecelakaan kerja , kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan
akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan
kekerasan. Tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu
lintas.
Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini biasanya sering terjadi
pada

pengendara

sepeda

motor.

Hal

ini

dikarenakan

kurangnya perhatian tentang keselamatan jiwa mereka pada


saat mengendarai sepeda motor di jalan raya, seperti tidak
menggunakan

pelindung

kepala

(helm),

kecepatan

dan

rendahnya kesadaran tentang beretika lalu lintas.


Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas


beberapa fraktur yakni fraktur kompleks nasal, fraktur
kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur dentoalveolar, fraktur mandibula dan fraktur maksila yang terdiri
atas fraktur le fort I, II, dan III.

1. Fraktur Komplek Nasal


Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami
fraktur , tetapi yang lebih umum adalah bahwa fraktur
fraktur itu meluas dan melibatkan proses frontal maksila
serta bagian bawah dinding medial orbital.
Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum
hidung. Kadang kadang tulang rawan septum hampir
tertarik ke luar dari alurnya pada vomer dan plat tegak
lurus serta plat kribriform etmoid mungkin juga terkena
fraktur.
Perpindahan tempat fragmen fragmen tergantung pada
arah gaya fraktur. Gaya yang dikenakan sebelah lateral
hidung akan mengakibatkan tulang hidung dan bagianbagian yang ada hubungannya dengan proses frontal
maksila berpindah tempat ke satu sisi.

2. Fraktur Komplek Zigoma


Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang
maksila, tulang dahi serta tulang temporal, dan karena
tulang tulang tersebut biasanya terlibat bila tulang

zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri


semacam ini disebut fraktur kompleks zigomatik.
Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah
zigoma beserta suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal,
sutura zigomakotemporal, dan sutura zigomatikomaksilar.
Suatu benturan atau pukulan pada daerah inferolateral
orbitaatau pada tonjolan tulang pipi merupakan etiologi
umum. Arkus zigomatik dapat mengalami fraktur tanpa
terjadinya perpindahan tempat dari tulang zigomatik.
Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut
fraktur

tripod,

merupakan

namun

empat

fraktur

fraktur

yang

kompleks

zigomatik

berlainan.

Keempat

bagian fraktur ini adalah arkus zigomatik, tepi orbita,


penopang frontozigomatik, dan penopang zigomatikorahang atas.
Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah
dari fraktur zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena
depresi atau takikan pada arkus, yang hanya bisa dilihat
dengan menggunakan film submentoverteks dan secara
klinis berupa gangguan kosmetik pada kasus yang tidak
dirawat, atau mendapat perawatan yang kurang baik.

3. Fraktur Dentoalveolar
Injuri dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau
terlepasnya gigi-gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya
hubungan dengan fraktur yang terjadi di alveolus, dan
mungkin terjadi sebagai suatu kesatuan klinis atau
bergabung dengan setiap bentuk fraktur lainnya.

Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan dengan


terjadinya injuri wajah adalah kerusakan pada mahkota
gigi, yang menimbulkan fraktur dengan atau tanpa
terbukanya saluran pulpa.Injuri fasial sering menekan
jaringan lunak bibir atas pada gigi insisor,sehingga
menyebabkan laserasi kasar pada bagian dalam bibir atas
dan kadang-kadang terjadi luka setebal bibir. Sering kali
injuri

semacam

ini

menghantam

satu

gigi

atau

lebih,sehingga pecahan mahkota gigi atau bahkan seluruh


gigi yang terkena injuri tersebut tertanam di dalam bibir
atas.
Pada seorang pasien yang tidak sadarkan diri pecahan
gigi yang terkena fraktur atau gigi yang terlepas sama
sekali mungkin tertelan pada saat terjadi kecelakaan,
sehingga sebaiknya jika terdapat gigi atau pecahan gigi
yang hilang setelah terjadinya injuri fasial agar selalu
membuat radiograf dada pasien, terutama jika terjadi
kehilangan kesadaran pada saat terjadinya kecelakaan.
Fraktur pada alveolus dapat terjadi dengan atau tanpa
adanya hubungan dengan injuri pada gigi-gigi. Fraktur
tuberositas maksilar dan fraktur dasar antrum relatif
merupakan komplikasi yang umum terjadi pada ilmu
eksodonti.

4. Fraktur Maksila
Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah
fraktur maksila, yang mana fraktur ini terbagi atas tiga
jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III.

a. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan
tunggal atau bergabung dengan fraktur fraktur Le
Fort II dan III.
Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis
fraktur

transverses

rahang

atas

melalui

lubang

piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus


maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan
pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila
dan palatum durum bergerak secara terpisah dari
bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah
tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai
fraktur transmaksilari.
b. Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin
secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur
horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding
sinus,

fraktur

Sutura

piramidal

melibatkan

zigomatimaksilaris

dan

sutura-sutura.
nasofrontalis

merupakan sutura yang sering terkena.


Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung
rahang atas, bias merupakan suatu keluhan atau
ditemukan

saat

pemeriksaan.

Derajat

gerakan

seringtidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I,


seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada
Le Fort I.
c. Fraktur Le Fort III

Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera


yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah
dari tempat perlekatannya yakni basis kranii.
Fraktur

ini

biasanya

kranioserebral,

yang

disertai

mana

dengan

bagian

yang

cedera
terkena

trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa


mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk
mengakibatkan trauma intrakranial.

5. FrakturMandibula
Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan
dari trauma kecepatan tinggi dan trauma kecepatan
rendah. Fraktur mandibula dapat terjadi akibat kegiatan
olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan trauma
interpersonal. Di instalasigawat darurat yang terletak di
kota-kota

besar,

setiap

harinya

fraktur

mandibula

merupakan kejadian yang sering terlihat.


Pasien kadang-kadang datang pada pagi hari setelah
cedera terjadi, dan menyadari bahwa adanya rasa sakit
dan maloklusi. Pasien dengan fraktur mandibula sering
mengalami sakit sewaktu mengunyah, dan gejala lainnya
termasuk mati rasa dari divisi ketiga dari saraf trigeminal.
Mobilitas segmen mandibula merupakan kunci penemuan
diagnostik fisik dalam menentukan apakah si pasien
mengalami

fraktur

mandibula

atau

tidak.

Namun,

mobilitas ini bisa bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur


dapat terjadi pada bagian anterior mandibula (simpisis
dan parasimpisis), angulus mandibula, atau di ramus atau
daerah kondilar mandibula.
10

Kebanyakan

fraktur

simfisis,

badan

mandibula

dan

angulus mandibula merupakan fraktur terbuka yang akan


menggambarkan mobilitas sewaktu dipalpasi. Namun,
fraktur mandibula yang sering terjadi disini adalah fraktur
kondilus yang biasanya tidak terbuka dan hanya dapat
hadir sebagai maloklusi dengan rasa sakit.

Pemeriksaaan Klinis
Pemeriksaan klinis dari masing-masing fraktur maksilofasial
dapat dilakukan dalam dua pemeriksaan, yakni pemeriksaan
ekstra oral dan intra oral. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan
radiografis

yang

dapat

membantu

dalam

menegakkan

diagnosa dari fraktur maksilofasial.


a. Fraktur Komplek Nasal
Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks nasal dilakukan
dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra
oral.

Pada

pemeriksaan

ekstra

oral,

pemeriksaan

dilakukan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat


terlihat adanya deformitas pada tulang hidung, laserasi,
epistaksis,

bentuk

garis

hidung

yang

tidak

normal.

Sedangkan secara palpasi dapat terlihat adanya luka


robek pada daerah frontal hidung, edema, hematom, dan
tulang

hidung

yang

bergerak

dan

remuk.

Pada

pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara


visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat
adanya deformitas yang berlanjut, deviasi pada tulang
hidung, ekhimosis dan laserasi. Sedangkan secara palpasi
terdapat bunyi yang khas pada tulang hidung. Selanjutnya
pemeriksaan fraktur nasal kompleks dilakukan dengan
11

foto rontgen dengan proyeksi Water, CT Scan, Helical CT


dan pemeriksaan foto rontgen dengan proyeksi dari atas
hidung.

b. Fraktur Komplek Zigoma


Pemeriksaan

klinis

pada

fraktur

kompleks

zigoma

dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra


oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,
pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat adanya kehitaman pada
sekeliling

mata,

pembengkakan
subkonjungtiva,

mata

juling,

kelopak
asimetris

ekhimosis,
mata,

pupil,

proptosis,
perdarahan

hilangnya

tonjolan

prominen pada daerah zigomatikus. Sedangkan secara


palpasi terdapat edema dan kelunakan pada tulang pipi.
Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan
secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya ekimosis pada sulkus bukal atas di daerah
penyangga zigomatik, kemungkinan penyumbatan oklusi
didaerah molar pada sisi yang terkena injuri. Sedangkan
secara palpasi terdapat kelunakan pada sulkus bukal atas
di daerah penyangga zigomatik, anestesia gusi atas.
Pemeriksaan

fraktur

komplek

zigomatikus

dilakukan

dengan foto rontgen submentoverteks, proyeksi waters


dan CT scan.
c. Fraktur Dentoalveolar
Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar dilakukan
dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra

12

oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaandilakukan


dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya laserasi, edema dan ekimosisi pada
daerah bibir. Sedangkan secara palpasi terdapat pecahan
gigi pada jaringan bibir. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat adanya laserasi pada
permukaan lidah dan sulkus labial, avulsi dan subluksasi.
Sedangkan secara palpasi terdapat deformitas tulang,
krepitus.
Pemeriksaan

fraktur

dentoalveolar

dilakukan

dengan

radiograf intra-oral dan panoramik.

d. Fraktur Maksila
Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan
Le Fort III, dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing
fraktur Le Fort tersebut berbeda.
Le Fort I
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam
dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral.
Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan
dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis.
Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung
rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan
secara

palpasi

terdapat

rasa

nyeri.

Selanjutnya

13

pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto


rontgen dengan proyeksi wajah anterolateral.
Le Fort II
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam
dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral.
Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan
dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan
edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat
tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah,
mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus
infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak
separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I.
Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung
rahang atas.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan
dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto
wajah polos dan CT scan.
Le Fort III
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan
secara

ekstra

pemeriksaan

oral.

Pada

dilakukan

pemeriksaan

dengan

ekstra

visualisasi.

oral,

Secara

visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah


kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk
melakukan

tes

mobilitas

pada

maksila

akan

mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.

14

Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan


dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto
wajah polos dan CT scan.

e. Fraktur Mandibula
Pemeriksaan klinis pada fraktur mandibula dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi terlihat adanya hematoma, pembengkakan pada bagian yang
mengalami fraktur, perdarahan pada rongga mulut. Sedangkan secara
palpasi terdapat step deformity. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat
adanya gigi yang satu sama lain, gangguan oklusi yang ringan hingga
berat, terputusnya kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang
mengalami fraktur. Sedangkan secara palpasi terdapat nyeri tekan, rasa
tidak enak pada garis fraktur serta pergeseran.
Pada fraktur mandibula dilakukan pemeriksaan foto roentgen proyeksi
oklusal dan periapikal, panoramik tomografi ( panorex ) dan helical CT.

3. Kegawat daruratan dalam sistem respirasi


Kegawat daruratan dalam sistem respirasi terbagi menjadi
dua jenis yaitu:
1. Kegawatdaruratan pada gangguan jalan napas (airway)
2. Kegawatdaruratan pada gangguan ventilasi (breathing)

Kegawat daruratan pada gangguan jalan napas (airway)

15

Obstruksi jalan napas


Tanda-tanda sumbatan jalan napas :
Pada keadaan penderita yang masih bernafas, mengenali ada
tidaknya sumbatan jalan napas dapat dilakukan dengan cara
lihat (look), dengar (listen), dan raba (feel).
1. Lihat (look)
Tentukan apakah pasien mengalami agitasi atau penurunan kesadaran.
Agitasi menunjukkan kesan adanya

hipoksemia yang mungkin

disebabkan oleh karena sumbatan jalan napas, sedangkan penurunan


kesadaran member kesan adanya hiperkarbia yang mungkin disebabkan
oleh hipoventilasi akibat sumbatan jalan napas.
Perhatikan juga gerak dada dan perut saat bernapas, normalnya pada
posisi berbaring waktu inspirasi dinding dada dan dinding perut bergerak
keatas dan waktu ekspirasi dinding dada dan dinding perut turun. Pada
sumbatan jalan napas total dan parsial berat, waktu inspirasi dinding dada
bergerak turun tapi dinding perut bergerak naik sedangkan waktu
ekspirasi terjadi sebaliknya. Gerak nafas ini disebut see saw atau rocking
respiration.
Adanya retraksi sela iga, supra klavikula atau subkostal merupakan tanda
tambahan adanya sumbatan jalan napas. Sianosis yang terlihat di kuku
atau bibir menunjukkan adanya hipoksemia akibat oksigenasi yang tidak
adekuat. Pada penderita trauma perlu dilihat adanya deformitas daerah
maksilofasial atau leher serta adanya gumpalan darah, patah tulang, gigi,
dan muntahan yang dapat menyumbat jalan nafas.
2. Dengar (listen)
Didengar suara nafas dan ada tidaknya suara tambahan. Adanya suara
napas tambahan berarti ada sumbatan jalan nafas parsial. Suara nafas
tambahan berupa dengkuran (snoring), kumuran (gargling), atau siulan
(crowing/stridor). Snoring disebabkan oleh lidah menutup orofaring,
gargling karena secret, darah, atau muntahan dan crowing/stridor karena
anya penyempitan jalan napas karena spasme, edema, dan pendesakan.
3. Raba (feel)

16

Dirabakan hawa ekspresi yang keluar dari lubang hidung atau mulut, dan
ada tidaknya getaran di leher waktu bernapas. Adanya getaran di leher
menunjukkan sumbatan parsial ringan. Pada penderita trauma perlu
diraba apakah ada fraktur di daerah maksilofasial, bagaimana posisi
trachea.
Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh:
1. Lidah menyumbat orofaring
Pada pasien tidak sadar atau dalam keadaan anestesia posisi terlentang,
tonus otot jalan napas atas, otot genioglossus hilang, sehingga lidah akan
menyumbat hipofaring dan menyebabkan obstruksi jalan napas baik total
atau parsial. Keadaan ini sering terjadi dan harus cepat diketahui dan
dikoreksi dengan beberapa cara, misalnya manuver tripel jalan napas
(triple airway maneuver), pemasangan alat jalan napas faring
(pharyngeal airway), pemasangan alat jalan napas sungkup laring
(Laryngeal mask airway), pemasangan pipa trakea (endotracheal tube).
Manuver tripel jalan napas:
a. Kepala di ekstensikan pada sendi atlanto-oksipital
b. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
c. Mulut dibuka
Dengan manuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas,
sehingga gas atau udara lancar masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.

Jalan napas faring


Jika triple manuever kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas
mulut-faring lewat mulut (oropharyngeal airway) atau jalan napas
hidung-faring lewat hidung (naso-pharyngeal airway).
Oropharyngeal airway
Berbentuk pipa gepeng lengkung seperti huruf C berlubang ditengahnya
dengan salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih keras untuk
mencegah kalau pasien menggigit lubang tetap paten, sehingga aliran
udara tetap terjamin.
Naso-pharyngeal airway

17

Berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dibuat dari bahan karet
lateks lembut. Pemasangan harus hati-hati dan untuk menghindari
trauma mukosa hidung pipa diolesi dengan jelly.
Sungkup laring
Sungkup laring (LMA, laryngeal mask airway) ialah alat jalan napas
berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang ujung menyerupai
sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada
pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau
lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
a. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.
b. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahan yang ujungnya distalnya berhubungan dengan
esofagus.
Cara pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan
laringoskop. Sebenarnya alat ini dibuat dengan tujuan diantaranya
supaya dapat dipasanga langsung tanpa bantuan alat dan dapat digunakan
jika intubasi trakea diramalkan bakal mendapat kesulitan. Pemasangan
hendaknya menunggu anestesia cukup dalam atau menggunakan
pelumpuh otot untuk menghindari trauma rongga mulut, faring-laring.
Setelah alat terpasang, untuk menghindari pipa napasnya tergigit, maka
dapat dipasang gulungan kain kasa (bite block) atau pipa napas mulut
faring.
Pipa trakea
Pipa trakea (endotracheal tube) mengantar gas analgetik langsung
kedalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida.
Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam milimeter. Karena penampang
trakea bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda, penampang melintang
trakea bayi dan anak kecil dibawah usia 5 tahun hampir bulat, sedangkan
dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi anak digunakan tanpa cuff dan
untuk anak besar dewasa dengan cuff, supaya tidak bocor.
Intubasi trakea

18

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea


melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi
sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
a. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelaianan anatomis, bedah khusus, bedah

posisi

khusus,

pembersihan sekret jalan napas


b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya, saat resusuitasi, memungkinkan penggunaan relaksan
dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.

2. Obstruksi oleh karena cairan


Muntahan, darah dan sekret di tangani dengan penghisap (suction). Ada 2
macam kateter penghisap yang sering digunakan yaitu rigid tonsil dental
suction tip atau soft catheter suction tip. Untuk menghisap rongga mulut
dianjurkan memakai yang rigid tonsil/dental tip sedangkan untuk
menghisap lewat pipa endotrakeal atau trakheostomi menggunakan yang
soft catheter suction tip.
3. Obstruksi pada pasien sadar
Penanganan pada obstruksi benda asing pada pasien sadar adalah dengan
maneuver back blow dan Heimlich.
Kegawatdaruratan pada Gangguan Ventilasi
Gagal nafas adalah ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan
parsial normal O2 dan atau CO2 didalam darah. Gagal nafas adalah suatu
kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen dan
karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi
metabolisme tubuh.
Jalan napas yang tersumbat akan menyebabkan gangguan ventilasi karena itu
langkah yang pertama adalah membuka jalan napasdan menjaganyaaar tetap
bebas. Setelah jalan napas bebas tetapi masih ada gangguan ventilasi mak
harus dicari penyebab yang lain.

19

Penyebab lain terutama adalah gangguan pada mekanik ventilasi dan depresi
pada susunan saraf pusat.
Untuk inspirasi agar diperoleh volume udara yang cukup diperlukan jalan
nafas yang bebas, kekuatan otot respirasi yang kuat, dinding thoraks yang
utuh, rongga pleura yang negative dan susunan saraf yang baik.
Bila ada gangguan dari unsur-unsur mekanik di atas maka akan menyebabkan
volume inspirasi tidak adekuat, sehingga terjadi hipoventiasi yang
mengakibatkan hiperkarbia dan hipoksemia. Hiperkarbia menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah otak yang akan meningkatkan tekanan
intracranial, yang dapat menurunkan kesadaran dan menekan pusat nafas bila
disertai hipoksemia keadaan akan makin memburuk. Penekanan pusat nafas
akan menurunkan ventilasi. Lingkaran ini harus dipatahkan dengan
memberikan ventilasi dan oksigenasi.
Pusat nafas bekerja secara otomatis dan menurut kendali. Oleh karena itu,
pada penderita dengan gangguan ventilasi dimana penolonbg belum mampu
mnguasai ventilasinya dan masih memerlukan kooperasi dengan pendirita,
sebaiknya penderita tidak ditidurkan, tetap dalam keadaan sadar.
Gangguan ventiasi dan oksigenasi juga dapat terjadi akibat kelainan di paru
dan kegagalan fungsi paru
Parameter ventilasi:

PaCO2 (N: 35-45 mmHg)


ETCO2 (N: 25-35 mmHg)

Parameter oksigenasi

PaO2 (N: 80-100 mmHg)


SaO2 (N: 95-100%)

STEP 5
1.
2.
3.
4.

Apa saja komplikasi trauma kimia pada mata?


Apa saja trauma lain yang merupakan kegawatdaruratan pada mata?
Bagaimana penatalaksanaan Trauma Wajah?
Trauma Thoraks (diagnosis, penatalaksanaan, pemeriksaan, jenis)?

20

STEP 6
1. Higles Adams Boies. 1997. Trauma Rahang Wajah : Buku Ajar Penyakit THT
Ed. 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
2. Ilyas, S. (2000). Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. FKUI. Jakarta.
3. Khan,
A.N.
2011.
Thoracic
Trauma
Imaging.
http://emedicine.medscape.com/article/357007-overview. Diakses tanggal 3
November 2012.
4. Moe, K.S. 2012. Maxillary and Le Fort Fractures Treatment and
Management.

http://emedicine.medscape.com/article/1283568-treatment.

Diakses tanggal 3 November 2012.


5. Shahani,
R.
2012.

Penetrating

Chest

http://emedicine.medscape.com/article/425698-overview#showall.

Trauma.
Diakses

tanggal 3 November 2012.


6. Soepardi A.E., Iskandar N., Bashiruddin J., Restuti R.D., 2007. Trauma Muka
: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala & Leher
Ed. 6. FKUI. Jakarta.

21

7. Vaughan D.G., Taylor A, and Paul R.E. 2000. Oftalmologi Umum. Widya
Medika. Jakarta.
8. Wijana, Na. (1983). Ilmu Penyakit Mata. FKUI. Jakarta.

STEP 7
1. Apa saja komplikasi trauma kimia pada mata?
Komplikasi dari trauma mata juga bergantung pada berat ringannya trauma,
dan jenis trauma yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus
trauma basa pada mata antara lain:
a. Simblefaron, adalah. Dengan gejala gerak mata terganggu, diplopia,
lagoftalmus, sehingga kornea dan penglihatan terganggu.
b. Kornea keruh
2. Apa saja trauma lain yang merupakan kegawatdaruratan pada mata?
Anatomi dan Fisiologi Mata
Secara garis besar anatomi mata dapat dikelompokkan menjadi empat bagian,
dan untuk ringkasnya fisiologi mata akan diuraikan secara terpadu. Keempat
kelompok ini terdiri dari :
1. Palpebra
Dari luar ke dalam terdiri dari: kulit, jaringan ikat lunak, jaringan otot,
tarsus, vasia dan konjungtiva. Fungsi dari palpebra adalah untuk
melindungi bola mata, bekerja sebagai jendela memberi jalan masuknya

22

sinar kedalam bola mata, juga membasahi dan melicinkan permukaan


bola mata.
2. Rongga mata
Merupakan suatu rongga yang dibatasi oleh dinding dan berbentuk
sebagai piramida kwadrilateral dengan puncaknya kearah foramen
optikum. Sebagian besar dari rongga ini diisi oleh lemak, yang
merupakan bantalan dari bola mata dan alat tubuh yang berada di
dalamnya seperti: urat saraf, otot-otot penggerak bola mata, kelenjar air
mata, pembuluh darah.
3. Bola mata
Menurut fungsinya maka bagian-bagiannya dapat dikelompokkan
menjadi:

Otot-otot penggerak bola mata

Dinding bola mata yang teriri dari: sclera dan kornea. Kornea kecuali
sebagai dinding juga berfungsi sebagai jendela untuk jalannya sinar.

Isi bola mata, yang terdiri atas macam-macam bagian dengan


fungsinya masing-masing

4. Sistem kelenjar bola mata


Terbagi menjadi dua bagian:

Kelenjar air mata yang fungsinya sebagai penghasil air mata

Saluran air mata yang menyalurkan air mata dari fornik konjungtiva
ke dalam rongga hidung

Definisi
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan
perlukaan mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, dan
dapat juga sebagai kasus polisi. Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan
sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata. Alat
rumah tangga sering menimbulkan perlukaan atau trauma mata.
Macam-macam bentuk trauma:
1. Fisik atau Mekanik
a. Trauma Tumpul, misalnya terpukul, kena bola tenis, atau shutlecock,
membuka tutup botol tidak dengan alat, ketapel.

23

b. Trauma Tajam, misalnya pisau dapur, gunting, garpu, bahkan


peralatan pertukangan.
c. Trauma Peluru, merupakan kombinasi antara trauma tumpul dan
trauma tajam, terkadang peluru masih tertinggal didalam bola mata.
Misalnya peluru senapan angin, dan peluru karet.
2. Khemis
a. Trauma Khemis basa, misalnya sabun cuci, sampo, bahan pembersih
lantai, kapur, lem (perekat).
b. cuka, bahan asam-asam dilaboratorium, gas airmata.
3. Fisis
a. Trauma termal, misalnya panas api, listrik, sinar las, sinar matahari.
b. Trauma bahan radioaktif, misalnya sinar radiasi bagi pekerja
radiologi
Etiologi
Gejala yang ditimbulkan tergantung jenis trauma serta berat dan ringannya
trauma.
1. Trauma tajam selain menimbulkan perlukaan dapat juga disertai
tertinggalnya benda asing didalam mata. Benda asing yang tertinggal
dapat bersifat tidak beracun dan beracun. Benda beracun contohnya
logam besi, tembaga serta bahan dari tumbuhan misalnya potongan kayu.
Bahan tidak beracun seperti pasir, kaca. Bahan tidak beracun dapat pula
menimbulkan infeksi jika tercemar oleh kuman.
2. Trauma tumpul dapat menimbulkan perlukaan ringan yaitu penurunan
penglihatan sementara sampai berat, yaitu perdarahan didalam bola mata,
terlepasnya selaput jala (retina) atau sampai terputusnya saraf
penglihatan sehingga menimbulkan kebutaan menetap.
3. Trauma Khemis asam umumnya memperlihatkan gejala lebih berat
daripada trauma khemis basa. Mata nampak merah, bengkak, keluar
airmata berlebihan dan penderita nampak sangat kesakitan, tetapi trauma
basa akan berakibat fatal karena dapat menghancurkan jaringan mata/
kornea secara perlahan-lahan.
4. Trauma Mekanik
a. Gangguan molekuler. Dengan adanya perubahan patologi akan
menyebabkan kromatolisis sel.

24

b. Reaksi Pembuluh darah. Reaksi pembuluh darah ini berupa


vasoparalisa sehingga aliran darah menjadi lambat, sel endotel rusak,
cairan keluar dari pembuluh darah maka terjadi edema.
c. Reaksi Jaringan. Reaksi Jaringan ini biasanya berupa robekan pada
cornea, sclera dan sebagainya.
Tanda dan Gejala
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tajam penglihatan yang menurun


Tekanan bola mata rndah
Bilikmata dangkal
Bentuk dan letak pupil berubah
Terlihat adanya ruptur pada corneaatau sclera
Terdapat jaringan yang prolapsseperti caiaran mata iris,lensa,badan kaca

atau retina
7. Kunjungtiva kemotis
Patofiliologi
Trauma pada mata dapat mengenai organ mata dari yang terdepan sampai
yang terdalam. Trauma tembus bola mata bisa mengenai :
1. Palpebra
Mengenai sebagian atau seluruhnya jika mengenai levator apaneurosis
dapat menyebabkan suatu ptosis yang permanen
2. Saluran Lakrimalis
Dapat merusak sistem pengaliran air mata dai pungtum lakrimalis sampai
ke rongga hidung. Hal ini dapat menyeabkan kekurangan air mata.
3. Congjungtiva
Dapat merusak dan ruptur pembuluh darah menyebabkan perdarahan sub
konjungtiva
4. Sklera
Bila ada luka tembus pada sklera dapat menyebabkan penurunan tekana
bola mata dan kamera okuli jadi dangkal (obliteni), luka sklera yang lebar
dapat disertai prolap jaringan bola mata, bola mata menjadi injury.
5. Kornea
Bila ada tembus kornea dapat mengganggu fungsi penglihatan karena
fungsi kornea sebagai media refraksi. Bisa juga trauma tembus kornea
menyebabkan iris prolaps, korpusvitreum dan korpus ciliaris prolaps, hal
ini dapat menurunkan visus

25

6. Lensa
Bila ada trauma akan mengganggu daya fokus sinar pada retina sehingga
menurunkan daya refraksi dan sefris sebagai penglihatan menurun karena
daya akomodasi tisak adekuat.
7. Iris
Bila ada trauma akan robekan pada akar iris (iridodialisis), sehingga pupil
agak kepinggir letaknya, pada pemeriksaan biasa teerdapat warna gelap
selain pada pupil, tetapi juga pada dasar iris tempat iridodialisis.
8. Pupil
Bila ada trauma akan menyebabkan melemahnya otot-otot sfinter pupil
sehingga pupil menjadi midriasis
9. Retina
Dapat menyebabkan perdarahan retina yang dapat menumpuk pada
rongga badan kaca, hal ini dapat muncul fotopsia dan ada benda melayang
dalam badan kaca bisa juga teri oblaina retina.
Komplikasi
1. Galukoma sekunder, di sebabkan oleh adanya penyumbatan oleh darah
pada sudut kamera okuli anterior.
2. Imhibisi kornea, yaitu masuknya darah yang terurai ke dalam lamellamel kornea, sehingga kornea menjadi berwarna kuning tengguli dan
visus sangat menurun.
Manifestasi Klinis
a. Hematoma palpebra
Adanya hematoma pada satu mata merupakan keadaan yang ringan,
tetapi bila terjadi pada kedua mata , hati-hati kemungkinan adanya
fraktur basis kranii.
Penanganan: kompres dingin 3 kali sehari.
b. Ruptura kornea
Kornea pecah, bila daerah yang pecah besar dapat terjadi prolapsus iris,
merupakan suatu keadaan yang gawat dan memerlukan operasi segera.
c. Ruptura membran descement
Di tandai dengan adanya garis kekeruhan yang berkelok-kelok pada
kornea, yang sebenarnya adalah lipatan membran descement, visus
sangat menurun dan kornea sulit menjadi jernih kembali.
26

Penanganan: pemberian obat-obatan yang membantu menghentikan


perdarahan dan tetes mata kortisol
d. Hifema
Perdarahan dalam kamera okuli anterior, yang berasal dari pembuluh
darah iris atau korpus siliaris, biasanya di sertai odema kornea dan
endapan di bawah kornea, hal ini merupakan suatu keadaan yang serius.
Pembagian hifema:
1. Hifema primer, timbul segera oleh karena adanya trauma.
2. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.
Hifema ringan tidak mengganggu visus, tetapi apabila sangat hebat akan
mempengaruhi visus karena adanya peningkatan tekanan intra okuler.
Penanganan: istirahat, dan apabila karena peningkatan tekanan intra okuli
yang di sertai dengan glaukoma maka perlu adanya operasi segera
dengan di lakukannya parasintesis yaitu membuat insisi pada kornea
dekat limbus, kemudian di beri salep mata antibiotik dan di tutup dengan
verband.
e. Iridoparese-iridoplegia
Adalah adanya kelumpuhan pada otot pupil sehingga terjadi midriasis.
Penanganan: berikan pilokarpin, apabila dengan pemberian yang sampai
berbulan-bulan tetap midriasis maka telah terjadi iridoplegia yang
iriversibel.
f. Iridodialisis
Ialah iris yang pada suatu tempat lepas dari pangkalnya, pupil menjadi
tdak bula dan di sebut dengan pseudopupil.
Penanganan: bila tidak ada keluhan tidak perlu di lakukan apa-apa, tetapi
jika ada maka perlu adanya operasi untuk memfixasi iris yang lepas.
g. Irideremia
Ialah keadaan di mana iris lepas secara keseluruhan.
Penanganan secara konservatif adalah dengan memberikan kacamata
untuk mengurangi silau.
h. Subluksasio lentis- luksasio lentis
Luksasio lentis yang terjadi bisa ke depan atau ke belakang. Jika ke
depan akan menimbulkan glaukoma dan jika ke belakang akan
menimbulkan afakia. Bila terjadi gaukoma maka perlu operasi untuk
ekstraksi lensa dan jika terjadi afakia pengobatan di lakukan secara
konservatif.
i. Hemoragia pada korpus vitreus

27

Perdarahan yang terjadi berasal dari korpus siliare, kare na bnayak


terdapat eritrosit pada korpus siliare, visus akan sangat menurun.
j. Glaukoma
Di sebabkan oleh kare na robekan trabekulum pada sudut kamera okuli
anterior, yang di sebut traumatic angle yang menyebabkan gangguan
aliran akquos humour.
Penanganan di lakukan secara operatif.
k. Ruptura sclera
Menimbulkan penurunan teknan intra okuler. Perlu adanya tindakan
operatif segera.
l. Ruptura retina
Menyebabkan timbulnya ablasio retina sehingga menyebabkan kebutaan,
harus di lakukan operasi.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiology pada trauma mata sangat membantu dalam
menegakkan diagnosa, terutama bila ada benda asing .Pemeriksaan ultra
sonographi untuk menentukan letaknya, dengan pemeriksaan ini dapat
diketahui benda tersebut pada bilik mata depan, lensa, retina.
2. Pemeriksaan Computed Tomography (CT)
Suatu tomogram dengan menggunakan komputer dan dapat dibuat
scanning dari organ tersebut.
3. Pengukuran tekanan IOL dengan tonography: mengkaji nilai normal
tekanan bola mata (normal 12-25 mmHg).
4. Pengkajian dengan menggunakan optalmoskop: mengkaji

struktur

internal dari okuler, papiledema, retina hemoragi.


5. Pemeriksaan Laboratorium, seperti :.
SDP, leukosit , kemungkinan adanya infeksi sekunder.
6. Pemeriksaan kultur. Untuk mengetahui jenis kumannya.
Penatalaksanaan
Bila terlihat salah satu tanda diatas atau dicurigai adanya perforasi bola mata,
maka secepatnya dilakukan pemberian antibiotik topical, mata ditutup, dan
segera dikirim kepada dokter mata untuk dilakukan pembedahan. Sebaiknya
dipastikan apakah ada benda asing yang masuk ke dalam mata dengan
membuat foto. Pada pasien dengan luka tembus bola mata selamanya
diberikan antibiotik sistemik atau intravena dan pasien dikuasakan untuk

28

kegiatan pembdahan. Pasien juga diberi antitetanus provilaksis, dan kalau


perlu penenang. Trauma tembus dapat terjadi akibat masuknya benda asing ke
dalam bola mata. Benda asing didalam bola mata pada dasarnya perlu
dikeluarkan dan segera dikirim ke dokter mata. Benda asing yang bersifat
magnetic dapat dikeluarkan dengan mengunakan magnet raksasa. Benda yang
tidak magnetic dikeluarkan dengan vitrektomi. Penyulit yang dapat timbul
karena

terdapatnya

benda

asing

intraokular

adalah

indoftalmitis,

panoftalmitis, ablasi retina, perdarahan intraokular dan ftisis bulbi.


8. Bagaimana penatalaksanaan Trauma Wajah?
Kontak Awal Pasien
Survey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas
perawatan pasien berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan mekanisme
terjadinya luka. Advance Trauma Life Support (ATLS) yang dianjurkan oleh
American College of Surgeon ialah perawatan trauma ABCDE.
A: Airway maintenance with cervical spine control/ protection
1. Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.
2. Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen fraktur
wajah untuk membuka jalan nafas oral dan nasofaringeal.
3. Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan
fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan
nafas atas.
B: Breathing and adequate ventilation
1. Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior
dengan fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi
jalan nafas pada pasien yang sadar.
C: Circulation with control of hemorrhage
1. Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk meningkatkan
jalan nafas dan mengontrol perdarahan.
2. Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan perdarahan di
kepala.

29

3. Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi wajah


yang meluas dan perdarahan kepala.
D: Disability: neurologic examination
1.

Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran, ukuran pupil, dan

2.

reaksi.
Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular secara langsung
maupun tdak langsung yang dapat dilihat dari ukuran pupil, kontur, dan
respon yang dapat mengaburkan pemeriksaan neurologis pada pasien

3.

dengan sistem saraf pusat yang utuh.


Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan perubahan sensoris
(alkohol atau obat) yang tidak berhubungan dengan trauma intrakranial.

E: Exposure/ enviromental control


1.
2.

Menghilangkan gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah.


Menghilangkan lensa kontak.
Penilaian Glasgow Coma Scale
Pada umumnya, Glasgow coma scale (GCS) digunakan untuk memeriksa
kesadaran yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gangguan
neurologis pada saat pertama kali terjadi trauma maksilofasial. Ada tiga
variabel yang digunakan pada skala ini, yaitu respon membuka mata, respon
verbal, dan respon motorik. Nilai GCS ditentukan berdasarkan skor yang
diperoleh berdasarkan tabel berikut.
Tabel 1. Glasgow Coma Scale (GCS)
Glasgow Coma Scale
Respon Membuka Mata
(E)

Buka mata spontan


Buka mata bila dipanggil / ada
rangsangan suara

Nila
i
4
3

Buka mata bila ada rangsang nyeri

Tidak ada reaksi dengan rangsangan

30

apapun
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat,
dan orang
Respon Verbal
(V)

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

Tidak ada reaksi dengan rangsangan


apapun
Mengikuti Perintah
Dengan rangsangan nyeri, dapat
mengetahui tempat rangsangan
Dengan rangsangan nyeri, menarik
anggota badan
Respon Motorik
(M)

Dengan rangsangan nyeri, timbul


reaksi fleksi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, timbul
reaksi ekstensi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada
reaksi

1
6
5

Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5),
dan respon membuka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan
beratnya, cedera kepala dikelompokkan menjadi :
1. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15
2. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8
Glasgow Coma Scale ditujukan untuk menilai koma pada trauma kepala dan
sebagian tergantung pada respon verbal sehingga kurang sesuai bila
diterapkan pada bayi baru lahir, bayi, dan anak kecil. Oleh karena itu,
diajukan beberapa modifikasi untuk anak. Anak dengan kesadaran normal

31

mempunyai nilai 15 pada GCS, nilai 12-14 menunjukkan gangguan kesadaran


ringan, nilai 9-11 berkorelasi dengan koma moderat sedangkan nilai dibawah
8 menunjukkan koma berat.
Tabel 2. Glasgow Coma Scale (GCS) Modifikasi Untuk Bayi dan Anak
Glasgow Coma Scale

Nilai

Berceloteh, bersuara, berkata-kata seperti biasa

Rewel, Bingung

Menangis bila ada rangsangan nyeri, berkataRespon Verbal


kata tidak jelas
(V)
Merintih bila ada rangsang nyeri, bersuara tidak

jelas
Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Riwayat penyakit, Keluhan Utama dan Pemeriksaan Klinis


Lima pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit
pasien penderita fraktur maksilofasial ialah:
1.
2.
3.

Bagaimana kejadiannya?
Kapan kejadiannya?
Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat

4.
5.

yang kemungkinan dapat menyebabkannya?


Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?
Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri,
sensasi, perubahan penglihatan, dan maloklusi?
Evaluasi menyeluruh pada sistem, termasuk informasi alergi, obat-obatan,
imunisasi tetanus terdahulu, kondisi medis, dan pembedahan terdahulu yang
pernah dilakukan. Jejas pada sepertiga wajah bagian atas dan kepala biasanya
menimbulkan keluhan sakit kepala, kaku di daerah nasal, hilangnya
kesadaran, dan mati rasa di daerah kening. Jejas pada sepertiga tengah wajah
menimbulkan keluhan perubahan ketajaman penglihatan, diplopia, perubahan
oklusi, trismus, mati rasa di daerah paranasal dan infraorbital, dan obstruksi
jalan nafas. Jejas pada sepertiga bawah wajah menimbulkan keluhan
perubahan oklusi, nyeri pada rahang, kaku di daerah telinga, dan trismus.
32

Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh pemeriksaan


fisik termasuk pemeriksaan jantung dan paru, fungsi neurologis, dan area lain
yang berpotensi terkena trauma, termasuk dada, abdomen, dan area pelvis.
Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat adanya
trauma seperti laserasi, abrasi, kontusio, edema atau hematoma. Ekimosis di
periorbital, terutama dengan adanya perdarahan subkonjungtiva, merupakan
sebagai indikas dari adanya fraktur zigomatikus kompleks dan fraktur rima
orbita.
Pemeriksaan neurologis pada wajah dievaluasi secara hati-hati dengan
memeriksa penglihatan, pergerakan ekstraokular, dan reaksi pupil terhadap
cahaya. Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area
inferior dan lateral mandibula serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan
oklusi untuk melihat adanya laserasi pada area gingiva dan kelainan pada
bidang oklusi. Untuk menilai mobilisasi maksila, stabilisasi kepala pasien
diperlukan dengan menahan kening pasien menggunakan salah satu tangan.
Kemudian ibu jari dan telunjuk menarik maksila secara hati-hati untuk
melihat mobilisasi maksila.
Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat adanya
kerusakan di daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau zigoma.
Penekanan dilakukan pada area tersebut secara hati-hati untuk mengetahui
kontur tulang yang mungkin sulit diprediksi ketika adanya edema di area
tersebut. Untuk melihat adanya fraktur zigomatikus kompleks, jari telunjuk
dimasukan ke vestibula maksila kemudian palpasi dan tekan kearah superior
lateral.
Pemeriksaan Radiografis
Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk
memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur.
Pemeriksaan radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan

33

perspektif yang berbeda. Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya


memerlukan foto radiografis panoramic view, open-mouth Townes view,
postero-anterior view, lateral oblique view. Biasanya bila foto-foto diatas
kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga digunakan foto oklusal
dan periapikal.
Computed Tomography (CT) scans dapat juga memberi informasi bila terjadi
trauma yang dapat menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik
foto radiografis biasa. Banyak pasien dengan trauma wajah sering menerima
atau mendapatkan CT-scan untuk menilai gangguan neurologi, selain itu CTscan dapat juga digunakan sebagai tambahan penilaian radiografi.
Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat
menggunakan Waters view, lateral skull view, posteroanterior skull view, dan
submental vertex view.
Perawatan Fraktur Maksilofasial
Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial
adalah penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem
mastikasi, dan fungsi nasal, pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika
wajah dan gigi. Selama fase perawatan dan penyembuhan, penting untuk
meminimalisir efek lanjutan pada status nutrisi pasien dan mendapatkan hasil
perawatan dengan minimalnya kemungkinan pasien merasa tidak nyaman.
Untuk mendapatkan hasil yang baik, prinsip dasar pada bedah yang harus
dipersiapkan sebagai penunjuk untuk perawatan fraktur maksilofasial ialah :
reduksi fraktur (mengembalikan segmen-segmen tulang pada lokasi anatomi
semula) dan fiksasi segmen-segmen tulang untuk meng-imobilisasi segmensegmen pada lokasi fraktur. Sebagai tambahan, sebelum tindakan, oklusi
sebaiknya sudah direstorasi dan infeksi pada area fraktur sebaiknya di cegah
dan dihilangkan terlebih dahulu.
Waktu perawatan fraktur tergantung dari banyak faktor. Secara umum, lebih
cepat merawat luka akan lebih baik hasilnya. Penelitian membuktikan bahwa

34

semakin lama luka dibiarkan terbuka dan tidak ditangani, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya infeksi dan malunion. Perawatan fraktur
dengan menggunakan intermaxillary fixation (IMF) disebut juga reduksi
tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area fraktur
secara langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah
penggunaan arch bar.
Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah perawatan pembukaan dan
reduksi terhadap area fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan.
Reduksi terbuka dilakukan bila diperlukan reduksi tulang secara adekuat.
Indikasi perawatan reduksi terbuka ialah berpindahnya segmen tulang secara
lanjut atau pada fraktur unfavorable, seperti fraktur angulus, dimana tarikan
otot masseter dan medialis pterygoid dapat menyebabkan distraksi segmen
proksimal mandibula.
9. Trauma Thoraks (diagnosis, penatalaksanaan, pemeriksaan, jenis)?
Pengertian Trauma Thorak
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thoraks yang
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thoraks ataupun isi dari cavum
thoraks yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat
menyebabkan keadaan gawat thoraks akut.
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thoraksyang
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thoraks ataupun isi dari cavum
thoraks yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dandapat
menyebabkan keadaan gawat thoraks akut.
Trauma thoraks kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang
umumnya berupa trauma tumpul dinding thoraks. Dapat juga disebabkanoleh
karena trauma tajam melalui dinding thoraks.
Kerangka rongga thoraks,meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut
terdiri dari sternum, 12vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di
anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago
dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai

35

sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi


bawah sternum.Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh
trauma thoraks. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya
pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan
darah), pulmonaryventilation/perfusion mismatch dan perubahan dalam
tekanan intratthoraks. Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak
adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathoraks atau penurunan
tingkat kesadaran. Asidosismetabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari
jaringan (syok)
Jennis-Jenis Trauma Thorak
Trauma toraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus
atau tumpul.
1. Trauma tembus (tajam)
Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat
penyebab trauma.
Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru
Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi
2. Trauma tumpul
Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau

blast injuries.
Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru.
Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi.

Berdasarkan mekanismenya terdiri dari :


1. Akselerasi
Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab
trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan
(akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi
juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak
dari trauma tersebut.
Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak;
penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high
velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan kerusakan
dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan besar lubang masuk
peluru.
2. Deselerasi

36

Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan.


Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat
trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ
dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb)
masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada
dinding toraks/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan
pengikat organ tersebut.
3. Torsio dan rotasi
Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya
deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki
jaringan pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus utama,
diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organorgan tersebut dapat terpilin atau terputar dengan jaringan fiksasi sebagai
titik tumpu atau porosnya.
4. Blast injury
Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak
langsung dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom. Gaya
merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran gelombang energi.
Pemeriksaan Primary Survey
Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai
dengan airway, breathing, dan circulation.
1. Open Pneumothoraks
Dapat timbul karena trauma tajam, sedemikian rupa, sehingga ada
hubungan udara luar dengan rongga pleura, sehingga paru menjadi
kuncup. Seringkali hal ini terlihat sebagai luka pada dinding dada yang
mengisap pada setiap inspirasi (sucking chest wound). Apabila lubang ini
lebih besar daripada 1/3 diameter trachea, maka pada inspirasi, udara
lebih mudah melewati lubang pada dinding dada dibandingkan melewati
mulut, sehingga terjadi sesak yang hebat. Dengan demikian maka pada
oper pneumothoraks, usaha pertama adalah menutup lubang pada dinding
dada ini, sehingga open pneumothoraks menjadi close pneumothoraks
(tertutup). Harus segera ditambahkan bahwa Apabila selain lubang pada
dinding dada, juga ada lubang pada paru, maka usaha menutup lubang ini
dapat mengakibatkan terjadinya tension pneumothoraks.

37

Dengan demikian maka yang harus dilakukan adalah:


a. Menutup dengan kasa 3 sisi. Kasa ditutup dengan plester pada 3
sisinya, sedangkan pada sisi yang atas dibiarkan terbuka (kasa harus
dilapisi zalf/sofratulle pada sisi dalamnya supaya kedap udara)
b. Menutup dengan kasa kedap udara. Apabila dilakukan cara ini maka
harus sering dilakukan evaluasi paru. Apabila ternyata timbul tanda
tension pneumothoraks, maka kasa harus dibuka pada luka yang
sangat besar, maka dapat dipakai palastik infuse yang digunting
sesuai ukuran.
2. Tension Pneumothoraks
Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran
udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke
dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat
udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi,
maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps,
mediastinum

terdorong

ke

sisi

berlawanan

dan

menghambat

pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan


paru kontralateral.
Penyebab tersering dari tension pneumothoraks adalah komplikasi
penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan
positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension
pneumothoraks dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks
sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan
parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan
kateter

subklavia

atau

vnea

jugularis

interna.

Tension pneumothoraks juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang


toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).
Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan
tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radkologi.
Tension pneumothoraks ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres
pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya suara nafas
pada satu sisi dan distensi vena leher. Tension pneumothoraks

38

membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan


cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis
midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini
akan

mengubah

tension

pneumothoraks

menjadi

pneumothoraks

sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah


akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif
selalu dibutuhkan dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela
iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris.
3. Hematothoraks massif
Hematothoraks massif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari
1.500 cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka
tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah
pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul.
Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai
suara nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang
mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan
penggantian

volume

darah

yang

dilakukan

bersamaan

dengan

dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara


cepat dengan jarum besar dan kemudian pemberian darah dengan
golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat
dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Jika
pada awalnya sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita
tersebut membutuhkan torakotomi segera.
Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus
menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status
fisiologi penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan
selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan
resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada
(chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke
dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau
vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar
dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial

39

dari garis puting susu dan luka di daerah posterior, medial dari skapula
harus di sadari oleh dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan torakotomi,
oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus
dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung.
4. Flail Chest
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas
dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur
iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis
fraktur. Adanya semen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan
gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru
di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan
menyebabkan hipoksia yang serius.
Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim
paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan
dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada
inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan
hipoksia.
Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan
nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan
trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat pada
awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan
pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak
terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi
iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto toraks
akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi
terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis
gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga
membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan
termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan
resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan
kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan
pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest,
maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan

40

resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar


pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan untuk
mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta
pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak
semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan
hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta
ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola
trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap.
Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan
penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing /
waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
5. Temponade Jantung
Tamponade jantung adalah kompresi jantung disebabkan oleh darah atau
cairan yang terakumulasi di ruang antara miokardium (otot jantung) dan
pericardium (lapisan luar jantung). Ini merupakan keadaan darurat
medis,dengan meningkatnya produksi cairan sehingga akan menekan
jantung lebihkuat dan proses pengisian tidak normal. Jika tidak diobati,
ventrikel akan terganggu, mengakibatkan shock dan kematian.
Etiologinya bermacam-macam yang paling sering adalah maligna,
perikarditis, uremia dan trauma, perdarahan ke dalam ruang pericardial
akibattrauma,

operasi,

atau

infeksi,

pemasangan

pacu

jantung,

tuberculosis, dan penggunaan antikoagulan.


Patofisiologi Tamponade jantung terjadi bila jumlah efusi pericardium
menyebabkan hambatan serius aliran darah ke jantung (gangguan
diastolik ventrikel). Penyebab tersering adalah neoplasma, dan uremi.
Neoplasma menyebabkan terjadinya pertumbuhan sel secara abnormal
pada otot jantung. Sehingga terjadi hiperplasia sel yang tidak terkontrol,
yang menyebabakan pembentukan massa (tumor). Hal ini yang
dapatmengakibatnya ruang pada kantong jantung (perikardium) terdesak
sehingga terjadi pergesekan antara kantong jantung (perikardium) dengan
lapisan paling luar jantung (epikardium). Pergesekan ini dapat
menyebabkan terjadinya peradangan pada perikarditis sehingga terjadi
penumpukan

cairan

pada

pericardium

yang

dapat

menyebakan

41

tamponade jantung. Uremia juga dapat menyebabkan tamponade jantung.


Dimana orang yang mengalami uremia, didalam darahnya terdapat toksik
metabolik yang dapat menyebabkan inflamasi (dalam hal ini inflamasi
terjadi pada perikardium). Manifestasi klinis dari tamponade jantung
adalah takikardi, peningkatan volume intravascular, peningkatan tekanan
vena jugularis.
Pemeriksaan Secondary Survey
Pemeriksaan secondary survey merupakan suatau kegiatan mencari
perubahan-perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan
mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi dengan pemeriksaan dari kepala
sampai kaki (head to toe) biasanya dilakukan setelah pemeriksaan primer
(primary survey) dan setelah memulai resusitasi.
Pemeriksaan sekunder dilakukan untuk mengidentifikasi masalah-masalah
yang mungkin tidak diidentifikasi sebagai masalah yang mengancam jiwa
(masalah-masalah yang tidak mengharuskan untuk dilakukan perawatan atau
penanganan segera agar korban selamat, tetapi mungkin mengancam jiwa jika
tidak ditangani) dan juga untuk mendeteksi penyakit atau trauma yang
diderita pasien sehingga dapat ditangani lebih lanjut.
1. Fraktur Iga
Costa merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang
memiliki fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap organ
didalamnya dan yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi
ventilasi paru.
Fraktur Costa adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang /
tulangrawan yang disebabkan oleh rudapaksa pada spesifikasi lokasi
pada tulangcosta. Fraktur costa akan menimbulkan rasa nyeri, yang
mengganggu prosesrespirasi, disamping itu adanya komplikasi dan
gangguan lain yang menyertai. Diperlukan perhatian khusus dalam
penanganan terhadap fraktur ini.
Pada anak fraktur costa sangat jarang dijumpai oleh karena costa pada
anak masih sangat lentur. Fraktur costa dapat terjadi dimana saja
disepanjang costa tersebut..Dari keduabelas pasang costa yang ada, tiga
costa pertama paling jarang mengalami fraktur hal ini disebabkan karena
costa tersebut sangat terlindung. Costa ke 4-9 paling banyak mengalami

42

fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki pelindung yang


sangat sedikit, sedangkan tiga costa terbawah yakni costa ke 10-12 juga
jarang mengalami fraktur oleh karena sangat labil.
Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam 2
kelompok:
a. Disebabkan trauma
1. Trauma tumpul
Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan adanya
fraktur costa antara lain : Kecelakaan lalulintas,kecelakaan pada
pejalan kaki ,jatuh dari ketinggian, atau jatuh pada dasar yang
keras atau akibat perkelahian.
2. Trauma tembus
Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa
luka tusuk dan luka tembak
b. Disebabkan bukan trauma
Yang dapat mengakibatkan fraktur costa, terutama akibat gerakan
yang menimbulkan putaran rongga dada secara berlebihan atau oleh
karena adanya gerakan yang berlebihan dan stress fraktur, seperti
pada gerakan olahraga : Lempar martil, soft ball, tennis, golf. Fraktur
costa dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah depan,
samping ataupun dari arah belakang. Trauma yang mengenai dada
biasanya akan menimbulkan trauma costa, tetapi dengan adanya otot
yang melindungi costa pada dinding dada, maka tidak semua trauma
dada akan terjadi fraktur costa. Fraktur costa yang displace akan
dapat

mencederai

jaringan

sekitarnya

atau

bahkan

organ

dibawahnya. Fraktur pada costa ke 4-9 dapat mencederai


intercostalis, pleura visceralis, paru maupun jantung, sehingga dapat
mengakibatkan timbulnya hematotoraks, pneumotoraks ataupun
laserasi jantung.
2. Kontusio Paru
Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada
golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul
perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah
kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah
berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati,

43

juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita


dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara
ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan
ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.
Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit
paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan
intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan
kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi endotrakeal
atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan
analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu
pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi
penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi
dan ventilasi terlebih dahulu.
3. Ruptur Aorta
Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, dan lokasi
ruptura tersering adalah di bagian proksimal arteri subklavia kiri dekat
ligamentum arteriosum. Hanya kira-kira 15% dari penderita trauma
toraks dengan ruptura aorta ini dapat mencapai rumah sakit untuk
mendapatkan pertolongan. Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto
toraks bila didapatkan :
a. mediastinum yang melebar
b. fraktur iga 1 dan 2
c. trakea terdorong ke kanan
d. gambaran aorta kabur
e. penekanan bronkus utama kiri
f. gambaran pipa lambung (NGT) pada esofagus yang terdorong ke
kanan.
Ruptur aorta disebabkan kekuatan deselerasi yang besar ketika terjadi
benturan dan kemudian kekuatan tersebut didistribusikan secara tidak
merata di sepanjang aorta, mengingat pelekatan aorta pada struktur
interna. Trauma akselerasi-deselerasi vertikal seperti jatuh dapat
menyebabkan robeknya aorta asendens dengan tamponade perikardial
akut.
Mekanisme yang menyebabkan ruptur adalah:

44

a. shear forces dalam hubungannyadengan segmen mobile arkus aorta


dan aorta torakalis desendens (mis titik fiksasi padaligamentum
arteriosum);
b. kompresi aorta dan pembuluh darah besar lainnya padakolumna
vertebralis; dan
c. hiperekstensi intraluminal yang cukup besar selama momentubrukan.
4. Ruptur Diagfragma
Ruptur diafragma jarang merupakan trauma tunggal biasanya disertai
trauma lain, trauma thorak dan abdomen, dibawah ini merupakan organorgan yang paling sering terkena bersamaan dengan ruptur diafragma :
a. fraktur pelvis 40%,
b. ruptur lien 25%,,
c. ruptur hepar 25%,
d. ruptur aorta pars thorakalis 5-10%.
Beberapa

ahli

membagi

ruptur

diafragma

berdasarkan

waktu

mendiagnosisnya menjadi :
a. Early diagnosis
Diagnosis biasanya tidak tampak jelas dan hanpir 50% pasien

ruptur diafragma tidak terdiagnosis dalam 24 jam pertama.


Gejala yang mencul biasanya adanya tanda gangguan

pernapasan
Pemeriksaan fisik yang menudukung : adanya suara bising usus
di dinding thorak dan perkusi yang redup di dinding thorak yang

terkena
b. Delayed diagnosis
Bila tidak terdiagnosa dalam 4 jam pertama, biasanya diagnosa
akan muncul beberapa bulan bahkan tahun kemudian
Sekitar 80-90% ruptur diafragma terjadi akibat kecelakaan
sepeda motor. Mekanisme terjadinya ruptur berhubungan
dengan perbedaan tekanan yang timbul antara rongga pleura dan
rongga peritoneum. Trauma dari sisi lateral menyebabkan ruptur
diafragma 3 kali lebih sering dibandingkan trauma dari sisi
lainnya oleh karena langsung dapat menyebabkan robekan
diafragma pada sisi ipsilateral. Trauma dari arah depan
menyebabkan peningkatan tekan intra abdomen yang mendadak

45

sehingga menyebabkan robekan radier yang panjang pada sisi


posterolateral diafragma yang secara embriologis merupakan
bagian terlemah. 75 % ruptur diafragma terjadi disisi kiri, dan
pada beberapa kasus terjadi pada sisi kanan yang biasanya
disebabkan oleh trauma yang hebat dan biasanya menyebabkan
gangguan hemodinamik, hal ini disebabkan oleh karena letak
hepar disebelah kanan yang sekaligus menjadi suatu proteksi.
Pada trauma kendaraan bermotor arah trauma menentukan
lokasi injuri di kanada dan Amerika Serikat biasanya yang
terkena adalah sisi kiri khususnya pada pasien yang menyetir
mobil, sedangkan pada penumpang biasanya yang terkena sisi
kanan.
Pada trauma tumpul biasanya menyebabkan robekan radier pada
mediastinum dengan ukuran 5 15 cm, paling sering pada sisi
posterolateral, sebaliknya trauma tembus menyebabkan robekan
linear yang kecil dengan ukuran kurang dari 2 cm dan bertahuntahun kemudian menimbulkan pelebaran robekan dan terjadi
herniasi.
a.
b.
c.

Berikut ini mekanisme terjadinya ruptur diafragma :


robekan dari membran yang mengalami tarikan (stretching),
avulsi diafragma dari titik insersinya,
tekanan mendadak pada organ viscera yang diteruskan ke diafragma.
5. Perforasi Eosofagus
Ruptur esofagus (Boerhaave syndrome) atau perforasi esofagus adalah
pecahnya dinding esofagus karena muntah-muntah. 90 % penyebab
ruptur esofagus adalah iatrogenik, yang biasanya diakibatkan oleh
instrumentasi medis seperti paraesophageal endoskopi atau pembedahan.
Dan 10%-nya disebabkan oleh muntah-muntah.
Ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh peningkatan mendadak
tekanan intraesophageal dan tekanan negatif intrathoracic. Penyebab lain
dari ruptur esofagus meliputi trauma tajam, pil esofagitis, Barretts ulkus,
infeksi ulkus pada pasien dengan AIDS, dan pelebaran striktur esofagus.
Sebagian besar kasus ruptur esofagus, terjadi pada bagian posterolateral
kiri dan meluas sampai beberapa sentimeter ke arah distal esofagus.
46

Keadaan ini dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan
berakibat fatal pada ketiadaan terapi. Kadang-kadang gejala non spesifik
dapat

menyebabkan

keterlambatan

dalam

diagnosis

dan

dapat

memberikan hasil yang buruk. Penyakit esofagus yang sudah ada


sebelumnya bukan merupakan prasyarat untuk ruptur esofagus, tapi
memberikan kontribusi pada peningkatan angka kematian ruptur
esofagus tersebut.
Ruptur esofagus yang disebabkan oleh trauma akibat benda tajam masih
tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Amerika
Serikat dan dunia, meskipun berbagai pendidikan dan peraturan telah
diberikan sebagai upaya untuk mengurangi terjadinya kasus ini.
Penyebab ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh

trauma

tajam/tembus, antara lain:


a. kerusakan iatrogenic dari struktur esofagus atau trauma dari luar
b. peningkatan tekanan intraesofagus disertai muntah hebat
c. penyakit esofagus seperti esofagitis korosif, esophageal ulcer dan
neoplasma.
Letak ruptur tergantung dari kasus ruptur esofagus. Ruptur esofagus
biasanya terjadi di pharing atau esefagus bagian bawah tepat di dinding
posterolateral di atas diafragma.
Gejala ruptur esofagus juga berupa nyeri dada yang hebat pada saat
menelan atau bernapas. Udara yang masuk ke mediastinum dapat menuju
ke leher dan dapat menyebabkan emfisema subkutaneus atau ke dalam
rongga pleura dan dapat menyebabkan pneumothorak.
Ruptur esofagus juga bisa disebabkan oleh varises esofagus. Varises
esofagus bisa menyebabkan hematemesis. Pada kasus ini hematemesis
dapat berakibat fatal untuk penderita.
Penatalaksanaan Trauma Thorak
1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil,
sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak,
sebelum penderita jatuh dalam shock.

47

b. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of
breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura
sehingga "mechanis of breathing" tetap baik.
2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti
verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang
menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu
menyeka tubuh pasien.
b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit
yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang
dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien,

sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.


Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang
bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang,
melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil
mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas

yang cedera.
d. Mendorong berkembangnya paru-paru.
Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
Latihan napas dalam.
Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan
batuk waktu slang diklem.
Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc.
Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan
torakotomi.

Jika

banyaknya

hisapan

bertambah/berkurang,

perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.


f. Suction harus berjalan efektif.

48

Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan


setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien,

warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.


Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai
petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien
dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring
bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang
tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak,
atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding

paru-paru.
g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa

cairan yang keluar kalau ada dicatat.


Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan

adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.


Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara

masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.


Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas

botol dan slang harus tetap steril.


Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-

sendiri, dengan memakai sarung tangan.


Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga

dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.


h. Dinyatakan berhasil, bila :
Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan

radiologi.
Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
Tidak ada pus dari selang WSD.

49

Anda mungkin juga menyukai